"Mbak Nawang, gak papa?" Mbok Ijah terlihat khawatir. Kuhentikan laju motorku.
"Gak papa, Mbok. Mbok gak papa kan?" Aku bertanya balik.
"Gak papa. Hati-hati Mbak. Calon pengantin, memang rawan hal beginian. Makanya dilarang keluar lama dan jauh dari rumah," ujar mbok Ijah.
Aku yang melamun saat tengah membawa motor maticku. Hampir saja terserempet pengendara lain yang menyalip dari samping kananku.
"Iya Mbok. Hahhhh, yuk kita pulang." Aku menarik nafas sebelum melajukan motorku lagi.
"Pelan-pelan saja ya Mbak. Gak papa lama, yang penting tetap sampe di rumah." Mbok Ijah terlihat masih khawatir.
"Iya Mbok, tenang aja."
Kulajukan pelan saja motorku, hanya berkecepatan empat puluh kilometer per jam.
Sampai di rumah, aku disambut tawa renyah Fatin keponakanku. Dari sejak pertemuan dua keluarga, mbak Asih belum ada pulang ke rumahnya lagi.
Mbak Asih tinggal di luar pulau, tentu sangat merepotkan bila harus balik lagi dalam waktu dekat. Beruntung mas Pur mengizinkan mbak Asih menginap lebih lama.
Mas Pur, suami mbak Asih, akan datang menjelang hari H. Pekerjaannya tak memungkinkan untuk ditinggalkan berlama-lama.
"Ketemu sama Dimas?" tanya mbak Asih. Mungkin tadi mbak Asih menguping pembicaraan aku dan Ibu. Makanya dia tau, aku akan menemui mas Dimas.
"Saya ke belakang dulu ya Mbak," pamit mbok Ijah. Langsung menuju ke dapur.
"Mbok, tolong buatkan saya sirup dingin ya," pintaku.
"Iya, Mbak," jawabnya.
"Ketemu Mbak." Aku menjawab pertanyaan mbak Asih tadi.
Kuhempaskan tubuhku ke sofa yang ada di ruang keluarga. Rasanya lelah sekali. Bukan fisik, tapi hatiku.
"Bagaimana reaksinya? Apa dia kecewa? Atau marah?" Dia memberondongku dengan pertanyaan.
"Ini minumnya Mbak." Mbok Ijah datang membawakan sirup dingin yang kuminta.
"Makasih, ya Mbok."
Glek glen glek
Aku menenggak sirup dingin dengan perlahan, merasakan sensasi segar mengalir di tenggorokanku.
"Lama banget sih, jawab pertanyaan Mbak tadi." Mbak Asih terlihat tak sabaran.
"Mas Dimas sepertinya sudah bisa menerima keputusan Nawang, Mbak," kataku tanganku masih me me gang I gelas sirupku.
"Dia gak marah?" tanyanya lagi.
"Gak sama sekali. Malah terlihat tenang."
Mataku menerawang mengingat siap Mas Dimas tadi.
"Syukurlah. Tadinya Mbak kira, dia akan bawa kamu lari."
"Kalo mas Dimas mau, sudah lama Mbak, kami kawin lari. Tapi mas Dimas tak mau menikah tanpa restu."
"Mudah-mudahan nanti Dimas menemukan pengganti yang lebih baik." Doa tulus meluncur dari mulut mbak Asih.
"Aamiin." Tetap kuaminkan, meski ada rasa tak rela.
★★★KARTIKA DEKA★★★
Hari ini datang juga. Hari dimana aku bersanding di pelaminan dengan mas Bayu. Pesta pernikahan kami diselenggarakan besar-besaran. Banyak pejabat daerah yang diundang Bapak dan Ibu. Sebagai salah satu pemilik kebun sawit terbesar di kampung ini. Bapak dan Ibu termasuk dikenal banyak pesohor di sini.
Pukul sembilan pagi tadi, kami mengikat janji suci di depan penghulu. Cukup lantang dan tanpa mengulang, mas Bayu mengucapkan kalimat akad pernikahan. Seolah dia sangat mantap akan merangkai masa depannya bersamaku.
Mulai dari pagi tak berhenti tamu yang datang. Tentunya sanak family yang datang lebih dulu.
Aku sudah tak menangisi perpisahanku dengan mas Dimas lagi. Aku harus tegar, menangis pun percuma. Aku sudah bisa menerima kenyataan. Kalau Mas Bayu lah yang akan menjadi nakhoda biduk rumah tanggaku, bukan Mas Dimas. Meskipun belum tumbuh rasa cintaku untuknya. Kata mbak Asih, rasa cinta bisa tumbuh seiring kebersamaan kami. Semoga.
Bapak, Ibuku dan Papa, Mama Mas Bayu tampak sangat bahagia. Senyum merekah selalu menghiasi wajah mereka. Banyak yang memuji kami pasangan yang serasi. Wajahku yang cantik pantas berdampingan dengan mas Bayu yang ganteng. Apalagi banyak yang mengetahui kami berdua sama-sama dari keluarga terpandang.
Kami memakai baju adat Jawa model terbaru, dengan memakai jasa perias tersohor di kampung kami. Harum bunga melati menyeruak dari tubuhku, sebagian accesoris di rambutku, memang menggunakan bunga melati asli. Tamu-tamu undangan berdecak kagum. Kami laksana Raja dan Ratu sehari.
Aku berusaha terlihat bahagia di depan orang, selalu melepas senyum buat mereka yang datang mengucapkan selamat.
Tiba-tiba mataku terpaku pada sosok mas Dimas yang datang seorang diri. Dia tampak tegar. Tak nampak gurat sedih diwajahnya. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Terkadang pandangan kami beradu, aku segera membuang pandanganku ke arah yang lain.
"Buat tamu undangan yang ingin menyumbangkan suara emasnya bisa naik ke panggung." Suara MC terdengar dari atas panggung.
Aku melihat Mas Dimas, berjalan menuju panggung. Suara mas Dimas memang merdu, itu salah satu alasan aku mencintainya.
"Terima kasih. Untuk kedua mempelai, saya ucapkan selamat. Semoga langgeng, sakinah, mawaddah dan warrahmah sampai ke jannah. Aamiin." Kata pembuka dari Mas Dimas sebelum dia mulai bernyanyi. Mataku mulai mengembun, hanya bisa tertunduk agar tak ada yang menangkap raut gelisah di wajahku.
Tak mampu kubendung airmataku saat mas Dimas melantunkan lagu berjudul Menjaga Jodoh Orang dari D'cozt.
'Kamu pacaran denganku
Tapi nikah dengan dia
Berjanji bertemu di pelaminan
Nyatanya hanya jadi tamu undangan'
Beberapa sahabatku yang hadir, yang mengetahui hubunganku dengan mas Dimas juga terlihat menitikkan air mata. Mereka seperti ikut merasakan kesedihan yang mas Dimas dan aku rasakan.
"Dia, mantan pacar kamu?" bisik mas Bayu. Sepertinya mas Bayu menyadari perubahan sikapku saat mas Dimas mulai bernyanyi.
Aku tak berani menjawabnya. Apalagi Ibu memperhatikanku dari tadi. Dari sejak melihat kehadiran mas Dimas. Papa dan Mama mas Bayu pun terlihat tak senang.
Mas Bayu menggenggam tanganku erat. Dia tersenyum, seolah berkata tak mengapa. Tapi, lama kelamaan genggaman tangannya semakin mencengkram. Aku meringis kesakitan, berusaha menarik tanganku dari genggamannya. Aku melihat mas Bayu tersenyum menyeringai.
"Selamat ya, semoga rumah tangga kalian sakinah mawaddah warahmah." Mas Dimas memberi ucapan selamat kepada kami. Setelah turun dari panggung. Aku tak berani menatapnya.
"Bro, jaga baik-baik Nawang. Sekali kamu sakiti dia, aku akan merebutnya darimu." Terdengar mas Dimas berbisik ke mas Bayu.
"Pasti, jangan khawatir. Takkan kulepas dia untukmu," sahut mas Bayu tetap tenang. Aku yang ada di sebelah mas Bayu, mendengar jelas bisikkan mereka. Dan itu membuatku serba salah.
Mas Dimas, hanya menatapku sebentar. Tanpa bersalaman, lalu pergi begitu saja.
Kedatangan mas Dimas, membuatku sulit untuk tersenyum lagi. Meskipun harus aku paksakan. Aku lebih banyak diam, fotograper fhoto pernikahan kami, hingga harus berulangkali mengarahkanku untuk tersenyum saat sesi mengambil fhoto.
"Kamu masih mencintainya?" tanya mas Bayu dengan berbisik. Saat kami sedang pose berpelukan, ketika fotographer bersiap mengambil fhoto kami.
"Nggak, Mas," jawabku lirih, menentang hatiku sendiri.
Dia hanya diam, tak bertanya lagi. Hari semakin sore, tamu terus silih berganti. Aku merasa sangat lelah. Ingin pesta ini segera berakhir.
"Kamu, capek?" tanya mas Bayu yang sedari tadi memperhatikanku yang lebih banyak diam.
Aku mengangguk tetap diam, tak berani menatapnya. Aku melirik ke arah Ibu yang terlihat gelisah melihatku. Mungkin Ibu takut, gelagatku membuat orangtua mas Bayu berprasangka. Entahlah, aku tak bisa membaca isi hati Ibu. Hanya menduga-duga saja.
"Yuk, kita ganti baju," kata perias pengantin, dia membantu mengangkat bagian belakang gaunku yang menjuntai. Syukurlah, aku bisa istirahat sebentar.
Aku begitu lelah, tubuhku terasa tak berdaya. Pertemuan dengan mas Dimas tadi, serasa meluluhlantakkan persendianku.
Tiba-tiba ….
★★★KARTIKA DEKA★★★
Tiba-tiba mas Bayu menggendongku, semua orang terdengar sumringah bahagia. Aku sedikit merasa tersipu. Kami masih lagi belum turun dari pelaminan. Mungkin dia memang jodoh terbaik buatku. Tak mungkin Ibu memilih menantu yang salah untuknya. Dia pasti mencari yang terbaik untuk menjadi suamiku."Belum selesai acaranya Bayu.""Masih sore ini, Bay."Begitulah kira-kira ledekan yang dilontarkan, tapi tak dihiraukan mas Bayu."Mas ... malu." Aku berbisik ke telinganya."Simpan wajahmu di dada, Mas," katanya tersenyum simpul.Aku merasakannya, aku mendengar detak jantungnya yang tak beraturan. Dan apa ini! Kenapa aku b
POV NawangIbu … inikah lelaki yang Ibu pilihkan untukku. Ratap batinku.Mas Bayu mendapatkan malam pertama kami sesuai kehendaknya. Namun tidak denganku. Aku hanya merasakan perih di sekujur tubuhku. Dia begitu kasar melakukannya. Aku yang baru kali ini melakukannya, harus mengalami trauma di malam pertama. Kata orang malam pertama itu malam yang indah. Tapi tidak denganku.Apa yang harus kulakukan? Apa Ibu akan percaya bila aku mengadu? Tapi tidak! Aku harus diam, menelan sendiri penderitaanku. Aku takut penyakit jantung Ibu kambuh.Mas Bayu telah tidur karena kelelahan. Aku bangkit dari peraduan, tubuhku sakit semua, tampak beberapa bekas lebam di area sensitifku. Kulangkahkan kaki perlahan, menuju ke kamar mandi. Aku ingin mandi, menghil
"Kenapa bibir kamu, Nawang?" tanya Ibu. Ternyata Ibu memperhatikan, aku harus jawab apa?"Maklumlah Bu, manten baru. Belum pinter caranya hehehe." Syukurlah mbak Asih yang menjawab pertanyaan Ibu. Meski jawabannya membuat hatiku teriris. Mbak gak tau, apa yang sebenarnya terjadi?"Ini loh, Papa Mamanya, Bayu mau pamitan. Mau balik ke rumah. Katanya masih banyak persiapan lagi yang belum tuntas, buat acara ngundo mantu minggu depan," beber Ibu."Cepat banget sih Bu," kataku mencoba mengakrabkan diri dengan mertua."Kok, Ibu sih. Panggil Mama Papa. Sama seperti Bayu memanggil kami," kata Mama mas Bayu."Iya Ma." Masih agak canggung aku meman
POV Nawang"Gak bisa Bu. Mas Pur nggak bisa lama-lama ninggalin kerjaan. Asih kan udah sebulan di sini. Nanti, kalau Mas Pur cuti panjang lagi, kami bakalan nginap di sini.""Ya udah, tapi bener ya. Sering-sering ke sini. Nawang juga udah nikah. Ibu kesepian cuma berduaan sama Bapak.""Yes Mem!" kata Mbak Asih seraya memeluk Ibu dari belakang, yang sedang duduk menikmati tehnya.Akhirnya Ibu menerima penjelasan mbak Asih, mbak Asih memang sudah satu bulan lebih di sini. Tentunya juga harus menjaga perasaan mas Pur dan keluarganya. Tak ada alasan kuat lagi untuk menunda kepulangan. Kalau hanya acara ngunduh mantu, tentu tak begitu memberatkan mbak Asih untuk pulang.
POV NawangPLAKKDia menamparku lagi. Kurasakan sudut bibirku begitu perih. Luka yang kemaren baru sembuh. Sudah harus terluka lagi.Aku menangis menahan rasa perih di bibirku dan sakit di bagian punggung yang terhempas.Mas Bayu yang lagi berdiri, datang berlutut ke arahku yang sedang meringkuk, menahan sakit dan rasa takut."A-ampun Mas!" Aku memohon ampun, kututupi wajahku dengan kedua tanganku. Takut dia menamparku lagi.Tiba-tiba dia menggendongku, menghempaskan tubuhku dengan kasar ke atas peraduan.
POV Nawang"Mas, berangkat kerja ya." Mas Bayu berpamitan. Aku tetap mencium tangannya. Dia mencium pucuk kepalaku lembut. Hhhh, sangat romantis bukan?"Iya, Mas. Hati-hati," ucapku.Sepeninggalnya, aku membantu Mama membereskan meja makan, membawa piring-piring kotor ke dapur dan mencucinya. Asisten rumah tangga di rumah ini ada dua orang. Tapi, tak mungkin aku hanya berpangku tangan, apalagi yang harus kulakukan.Mas Bayu tak mengizinkan aku keluar rumah sendirian. Kemana-mana harus bersamanya. Meskipun Mama yang mengajakku keluar, aku harus tetap meminta izin kepadanya.Lagipula, aku pun terbiasa membantu mbok Ijah di rumah. Ibu tetap m
POV Nawang"Lihat ini!" katanya menunjukkan gawaiku ke hadapanku. Sangat dekat, sampai gawai itu, benar-benar berada di depan mataku.Astaga banyak panggilan tak terjawab darinya."Nawang … gak ada buka hape, Mas," kataku apa adanya. Seharian aku memang tak ada membuka gawaiku.Kejadian tadi malam membuatku malas memegang gawaiku. Hampir seharian waktuku hanya bersama Mama. Sementara gawaiku terbiar diatas meja riasku.PLAKKDia menamparku lagi. Luka disudut bibirku yang belum begitu mengering, kembali berdarah. Bahkan rasanya lebih sakit dari tadi malam. Namun, tetap hatiku yang paling sakit. Tak mengerti apa salahku, kenapa aku harus menerima perlakuan sekasar ini.
POV Nawang"Ndok, pipi kamu kok bengkak gitu?" tanya Mama ketika kami sarapan bersama pagi ini. Hal yang sudah menjadi rutinitas pagi, sejak aku tinggal di rumah Mas Bayu.Aku tak mampu menjawab pertanyaan Mama, padahal aku sangat ingin menceritakan sebenarnya. Tapi suaraku seperti tercekat di leherku."Nawang, sakit gigi Ma. Makanya pipinya agak bengkak." Mas Bayu yang menjawab pertanyaan Mama. Aku menatapnya, dia membalas tatapanku dengan mata sendu. Seolah mengatakan, 'Tolong jangan cerita ke Mama.'Aku membuang muka darinya, rasa cinta yang baru kusemai, kini mati sudah. Tak bersisa sama sekali. Berganti rasa takut dan amarah yang tak mampu kuluahkan.