POV Nawang
"Lihat ini!" katanya menunjukkan gawaiku ke hadapanku. Sangat dekat, sampai gawai itu, benar-benar berada di depan mataku.
Astaga banyak panggilan tak terjawab darinya.
"Nawang … gak ada buka hape, Mas," kataku apa adanya. Seharian aku memang tak ada membuka gawaiku.
Kejadian tadi malam membuatku malas memegang gawaiku. Hampir seharian waktuku hanya bersama Mama. Sementara gawaiku terbiar diatas meja riasku.
PLAKK
Dia menamparku lagi. Luka disudut bibirku yang belum begitu mengering, kembali berdarah. Bahkan rasanya lebih sakit dari tadi malam. Namun, tetap hatiku yang paling sakit. Tak mengerti apa salahku, kenapa aku harus menerima perlakuan sekasar ini.
POV Nawang"Ndok, pipi kamu kok bengkak gitu?" tanya Mama ketika kami sarapan bersama pagi ini. Hal yang sudah menjadi rutinitas pagi, sejak aku tinggal di rumah Mas Bayu.Aku tak mampu menjawab pertanyaan Mama, padahal aku sangat ingin menceritakan sebenarnya. Tapi suaraku seperti tercekat di leherku."Nawang, sakit gigi Ma. Makanya pipinya agak bengkak." Mas Bayu yang menjawab pertanyaan Mama. Aku menatapnya, dia membalas tatapanku dengan mata sendu. Seolah mengatakan, 'Tolong jangan cerita ke Mama.'Aku membuang muka darinya, rasa cinta yang baru kusemai, kini mati sudah. Tak bersisa sama sekali. Berganti rasa takut dan amarah yang tak mampu kuluahkan.
"Mas Bayu … sudah memperlakukan Nawang dengan kasar," kataku dengan satu helaan nafas."Kasar? Kasar gimana?""Mas Bayu … melakukan KDRT ke Nawang, Bu." Aku menceritakan apa yang kualami dengan isak tangis."Kamu nih ya. Alasan saja! Ibu tau gimana Bayu. Setahun ini Ibu sudah mengenalnya. Tak mungkin dia bertindak seperti itu! Pasti kamu yang cari masalah, kalo sampe Bayu ringan tangan! Jangan-jangan kamu menjalin hubungan diam-diam lagi dengan Dimas, makanya Bayu seperti itu!" Ibu mencecarku dengan prasangka buruk.Benar saja keraguanku, Ibu tak mempercayaiku. Siapapun yang mengenal Mas Bayu, takkan ada yang percaya."
POV NawangMas Bayu tampak terdiam, mungkin bingung bagaimana mulai bercerita. Atau mungkin ada rasa malu, mengingat ini adalah aib besar bagi dirinya."Ru, kamu pernah dengan tentang prilaku s*x yang menyimpang?" Mas Bayu justru memulai pembicaraan dengan pertanyaan."Maksudnya?" Bang Heru agak heran dengan pertanyaan Mas Bayu."Begini Ru … aku ada masalah dengan …." Mas Bayu seperti kebingungan melanjutkan kata-katanya."Apa … Kamu ada masalah dengan kejantananmu?" selidik bang Heru.Aku sebenarnya merasa sedikit malu, tapi aku harus mendampingi
"Di hari pernikahan kami … dia hadir. Atas undangan Ibu saya. Ibu saya sengaja mengundangnya, supaya dia bisa menyaksikan sendiri, bahwa saya sudah menjadi istri Mas Bayu. Jujur, saat dia datang. Saya tak mampu mengontrol emosi saya, Bang. Saya menangis waktu itu." Airmataku luruh juga, tak mampu lagi aku menahannya.Aku ambil tisu yang ada di meja, kuhapus airmataku dan ingus yang mengalir di hidungku. Mendadak hidungku jadi mampet."Tapi sungguh … saya sangat berusaha melupakannya. Saya sudah berjanji akan belajar mencintai Mas Bayu. Tapi … Mas Bayu tak percaya dengan saya. Dia cemburu membabi buta. Bahkan di malam pertama, dia …." Aku tak mampu lagi meneruskan kalimatku. Airmataku sudah menganak sungai yang tak bisa lagi di bendung.
POV Nawang"Kalau begitu, kalau boleh tau. Kenapa amarahmu datang, hanya saat kamu berhasrat saja?" tanya bang Heru.Mas Bayu tampak tercenung mendengar pertanyaan dari bang Heru. Rasa ingin tauku pun cukup besar. Aku juga merasa aneh, kenapa ya mas Bayu hanya marah saat mau 'itu' saja?"Jujur, setiap aku ingin menyentuh Nawang. Aku merasa … laki-laki itu ada diantara kami." Perkataan mas Bayu membuatku terhenyak. Kenapa mas Bayu bisa merasakan hal seperti itu?Bang Heru lama menatap mas Bayu, seolah mencari jawaban dari mata mas Bayu. Mas Bayu terlihat seperti sangat malu atau menyesal atau apalah. Yang jelas dia tak berani lama-lama bertatapan dengan bang Heru. Dia menundukkan kepalanya.
POV NawangAku tetap membeku, tak mampu menjawab pertanyaan mas Bayu."Mas janji … gak akan mengulangi hal konyol itu lagi." Aku menatap bola matanya, mencari kejujuran atas perkataan yang baru saja dia lontarkan."Nawang, boleh menuntut cerai. Mas ikhlas, kalau sampai Mas … mengulanginya lagi." Aku tak percaya dengan perkataannya, tapi bola matanya menyiratkan kesungguhan."Mas … tau. Hhhh … Nawang pasti sangat menderita, menjadi istri Mas," ujarnya dengan mata yang berkaca-kaca. Dia menarik nafas yang tampak sesak di tengah kalimatnya.Aku masih belum bergeming. Hatiku terasa gamang untuk mempercayainya. Hei,
POV NawangBaru saja, aku akan balik badan kembali masuk ke kamarku. Terlihat mas Bayu, sudah berjalan ke arahku. Aku agak terperanjat. Kira-kita mas Bayu, lihat gak ya, saat aku suruh mbok Ijah buang diariku?Mudah-mudahan mas Bayu, gak lihat. Jangan sampai diari itu menjadi pemicu kemarahannya. Jantungku serasa berdebar kencang, aku merasa telapak tanganku mendadak berkeringat. Padahal sudah cukup lama, aku tak merasakan kecemasan seperti ini."Kenapa?" tanya mas Bayu, dengan mata agak menyipit. Seolah dia mencurigai sesuatu."Eng-enggak papa," jawabku gugup. Tenang Nawang, tenang. Jangan sampai suamimu mencurigaimu. Batinku berkata pada diriku sendiri.
POV NawangMas Bayu mengirimkan gambar buku harianku, yang kemarin sudah kuminta mbok Ijah untuk membakarnya. Kenapa bisa ada di tangan mas Bayu?"Mbok!" Kupanggil mbok Ijah."Iya, Mbak," sahutnya dari arah dapur. Aku tak sabar menunggu dia datang, kulangkahkan kaki mendatangi ke arahnya. Kami bertemu di pintu dapur."Mbok, buku harian yang semalam saya suruh bakar. Udah dibakar apa belum?" Aku pura-pura bertanya dulu."Belum jadi Mbak. Semalam saya letak dulu di tempat sampah. Sorenya pas mau saya bakar, udah gak ada lagi. Saya pikir, Mbak Nawang yang ngambil lagi," jawabnya polos. Aku percaya sama mbok Ijah. Selama aku mengenal mbo
Naldi dan Asih terperangah melihat kehadiran Rika yang datang berdua dengan Pur ke rumah mereka. Sempat terlintas pikiran buruk di benak mereka. Apalagi mendengar Pur dan Rika mengutarakan niat mereka untuk menikah. "Bagaimana kalian bisa saling kenal? Tau-tau kalian ingin menikah?" selidik Naldi. "Tak perlu kami ceritakan bagaimana prosesnya. Yang jelas, keinginan kami sungguh-sungguh untuk menikah," jawab Pur. Dia merasa tak perlu berbagi cerita tentang niat terselubung mereka pada awalnya. Yang terpenting sekarang, dia dan Rika sungguh-sungguh ingin menjalin cinta mereka sendiri. Tanpa mengusik jalinan cinta orang lain lagi. "Tapi Rika masih kuliah, pasti Ayah tak akan mengizinkannya menikah semuda ini. Apalagi dengan orang yang usianya jauh lebih tua." "Aku tetap mengizinkan Rika menyambung kuliahnya. Tapi dia harus balik lagi ke Kalimantan. Soal usia, aku rasa tak masalah. Asal Rika nyaman." Naldi memandangi wajah adiknya. Naldi melihat harapan besar akan restunya buat Rika,
Hari-hari terus berlalu, hubungan Rika dan Asih semakin akrab. Rika juga tetap menjalankan aktifitasnya bersama Pur. Menghabiskan sore hari dengan bermandi peluh, menikmati kenikmatan sesaat. Sebelum tujuannya tercapai, Rika tak akan berhenti. "Huh, kamu gagal!" Rika langsung memukul Pur, saat baru saja Pur membuka pintu kamarnya di hotel.Pur bingung, melihat tingkah Rika kali ini. Biasanya Rika datang langsung mendorongnya ke atas tempat tidur. Rika bertindak lebih agresif memang. Dia yang selalu memulai duluan, tanpa menciptakan suasana romantis sebelum memulainya.Jelas saja, tak dibutuhkan romantisme. Tak ada cinta di antara mereka. Mereka melakukan itu hanya untuk memuluskan rencana mereka saja.Ada sedikit penyesalan di hati Pur. Sejak awal manis madu Rika dia reguk. Dia tau, Rika gadis yang tak mudah mengobral diri. Terbukti, meski perangainya terlalu menyebalkan. Tapi dia masih bisa menjaga kesucian. Dia menyerahkan pada Pur hanya untuk satu tujuan. Merebut Naldi dari Asih.
Naldi memandangi gawainya cukup lama. Dia merasa heran dengan sikap Rika barusan saat dia hubungi. Kenapa Rika tan sepertinya? batinnya. Bukan dia tak menyenangi perubahan Rika yang sepertinya sudah bisa menerima pernikahannya dengan Asih. Tapi terlalu mendadak bagi Naldi. Masih dia ingat, bagaimana sikap Rika terakhir kali. Ada rasa curiga terselip di hatinya. "Apa Rika sedang merencanakan sesuatu?" gumamnya. "Bang!" "Ya!" sahut Naldi mendengar panggilan Rika dari dapur yang ada di lantai bawah."Tolongin dong!" kata Asih. Tanpa bertanya, pertolongan seperti apa yang diinginkan istrinya. Naldi bangkit dari peraduan, diletakkan kacamata yang sedari tadi bertengger di hidungnya ke atas meja kerjanya beserta dengan file yang ada ditangannya. Dia segera keluar kamar dan menuruni anak tangga satu persatu. Langsung menuju ke arah dapur. "Tolong apa, Dek?" tanyanya saat sudah sampai di dapur."Ini, tolong buatkan sangkutan buat menyangkutkan wajan juga panci." Naldi langsung memenuhi
"Syukurlah, sekarang Karin sudah keluar dari rumah ini. Kalau tidak, kita pasti akan dalam masalah lebih besar," kata Papa Bayu setelah mendengar cerita Bayu, tentang kronologi perempuan bernama Ayu mencari Karin hingga membawa orang-orang suruhan, membuat kekacauan di rumah mereka."Bayu juga nggak nyangka Pa. Karin bisa terlibat dengan sindikat seperti itu." "Begitulah, kalau terlalu materialistis. Gak pikir panjang, kalau mau berbuat sesuatu. Ada hikmahnya juga, dia dulu ninggalin kamu." "Iya Pa. Hikmah terbesarnya, Bayu bisa punya istri seperti Nawang," kata Bayu melirik Nawang yang pura-pura asik mencari channel siaran yang menarik di tivi. Padahal dia juga mendengar pembicaraan bapak dan anak itu. Nawang mencoba menutupi semburat merah di pipinya dengan pura-pura mencium ujung rambutnya sendiri.Nawang tak henti mengucap syukur di dalam hatinya, ternyata kesabarannya berbuah manis. Meski sempat hampir menyerah menghadapi sikap temperamental Bayu. Namun kesempatan kedua yang di
Karin benar-benar merasa bingung sekarang. Kalau dia menyeret nama Bram, dia khawatir keselamatan keluarganya akan terancam. Bram merupakan otak dari sindikat perdagangan manusia. Bisnis prostitusinya sangat sulit diendus pihak berwajib. Bukan hanya secara online, Bram juga menjalani bisnisnya secara offline, yang menyasar kalangan atas. Bram pasti tidak akan tinggal diam. Selama ini dia selalu bekerja di belakang layar dan sangat rapi, wanita-wanita yang dia pekerjakan tak ada yang mengenalnya. Hingga sulit bagi polisi untuk melacaknya. "Saudari Karin, sebaiknya Anda bekerja sama. Kalau Anda kooperatif, itu dapat mengurangi hukuman Anda." Penyidik terus memperhatikan ekspresi Karin, yang jelas ketakutan juga kebingungan."Apa … Anda sedang merasa terancam?" tanya penyidik. Karin masih saja bungkam."Kami akan memberi perlindungan pada Anda, kalau benar ada yang mengancam keselamatan Anda," kata penyidik. Karin tetap saja tidak berani buka suara, meski polisi berjanji akan melindungi
Sementara itu di tempat lain. Rika datang menemui Pur ke hotel tempatnya menginap. Rika mengambil gawainya dari dalam tas. Dicarinya nama Pur, tertera tulisan Secret Man. Dihubunginya melalui aplikasi bergambar gagang telepon berwarna hijau."Aku sudah di depan hotel," kata Rika langsung tanpa basa basi, saat Pur mengangkat panggilannya."Aku di kamar Melati. Kamu temui saja customer service, nanti aku akan menghubunginya. Aku akan beritahu dia, kalau kamu adalah tamuku." Klik, Rika langsung mematikan gawaiya. Kakinya melangkah dengan mantap masuk ke dalam hotel, tak ada keraguan sedikitpun ataupun merasa risih, dia akan mendatangi seorang pria yang usianya jauh lebih tua darinya. "Selamat siang, ada yang bisa dibantu?" sambut customer service ramah, saat Rika sudah ada di hadapannya."Saya mau ke kamar Melati," jawab Rika."Oh iya, tadi sudah diberitahu kalau akan ada tamu. Silahkan naik ke lantai tiga, sebelah kiri, kamar ketiga, nanti ada tulisan kamar Melati di pintunya. Terima
Seorang polisi juga ikut ke kamar tamu bersama dengan Bayu. Mata mereka memindai setiap sudut kamar, hingga bawah kolong tempat tidur juga di dalam lemari, tak ditemukan keberadaan Karin. "Apa mungkin dia keluar sebelum orang-orang tadi datang?" gumam Bayu. Bukan tanpa alasan Bayu berpikir seperti itu. Seluruh rumah mereka memiliki jerjak besi di tiap jendela juga pintunya, tak mungkin bagi Karin bisa keluar tanpa diketahui siapa pun. "Karin! Keluar!" teriak Bayu, matanya nyalang. Dia geram, karena Karin tak kunjung keluar dari persembunyian. Padahal polisi sudah mengamankan ke empat orang yang mencarinya."Saudari Karin! Sebaiknya anda keluar, sudah aman sekarang. Orang yang mencari anda sudah ditahan!" polisi berpangkat kapten yang bersama Bayu juga turut memanggil Karin.Karin mendengar, tapi dia terlalu takut untuk keluar. Dia bertahan di tempat persembunyiannya, berencana akan kabur bila nanti ada kesempatan. Menunggu Bayu dan keluarganya lengah. Dia tak may polisi menahannya.
Laki-laki itu langsung masuk ke kamar tamu. Kali ini Nawang tak lagi mencegahnya. Dia mengambil gawai yang ada di saku celananya. Mencoba menghubungi Bayu."Anak ganteng." Nawang berhenti, urung menghubungi Bayu. Saat dilihatnya wanita itu mengangkat Bayu tinggi-tinggi seolah hendak menghempaskan tubuh putranya.Nawang dan Mama Bayu sangat khawatir, kalau perempuan itu benar akan menghempaskan tubuh Tama. Tama justru tertawa-tawa, merasa senang saat perempuan itu berulangkali melempar tubuhnya ke udara lalu menangkapnya lagi. Tama mengira, perempuan itu sedang mengajaknya main."Tolong, lepasin anak saya." Karin memelas pada wanita itu. Tapi tak diindahkan."Dia gak ada bos," kata laki-laki tadi keluar dari ka
Cipto menggeleng-gelengkan kepalanya, menghembuskan nafasnya perlahan. Membuat Bayu bingung dengan sikap Cipto."Apa Karin yang mengatakan begitu?" tanya laki-laki berjenggot itu."Ya," jawab Bayu seraya mengangguk."Maafkan aku, jujur, dulu aku memang sangat menggilai dia. Sampai tak berpikir panjang waktu itu. Memang kuakui, beberapa hari sebelum kalian menikah, aku masih berusaha membujuk Karin untuk kembali." Cipto mulai bercerita. Bayu tak berniat menyelanya. Sudah tak lagi ada amarah di hatinya, karena perbuatan Cipto yang ingin merebut Karin kembali dulu. Semua itu hanya tinggal masa lalu back Bayu."Tapi waktu itu Karin menolak. Dengan alasan, dia sudah tak mencintai aku. Dan kamu lebih memiliki segalanya da