POV Nawang
Mas Bayu tampak terdiam, mungkin bingung bagaimana mulai bercerita. Atau mungkin ada rasa malu, mengingat ini adalah aib besar bagi dirinya.
"Ru, kamu pernah dengan tentang prilaku s*x yang menyimpang?" Mas Bayu justru memulai pembicaraan dengan pertanyaan.
"Maksudnya?" Bang Heru agak heran dengan pertanyaan Mas Bayu.
"Begini Ru … aku ada masalah dengan …." Mas Bayu seperti kebingungan melanjutkan kata-katanya.
"Apa … Kamu ada masalah dengan kejantananmu?" selidik bang Heru.
Aku sebenarnya merasa sedikit malu, tapi aku harus mendampingi
"Di hari pernikahan kami … dia hadir. Atas undangan Ibu saya. Ibu saya sengaja mengundangnya, supaya dia bisa menyaksikan sendiri, bahwa saya sudah menjadi istri Mas Bayu. Jujur, saat dia datang. Saya tak mampu mengontrol emosi saya, Bang. Saya menangis waktu itu." Airmataku luruh juga, tak mampu lagi aku menahannya.Aku ambil tisu yang ada di meja, kuhapus airmataku dan ingus yang mengalir di hidungku. Mendadak hidungku jadi mampet."Tapi sungguh … saya sangat berusaha melupakannya. Saya sudah berjanji akan belajar mencintai Mas Bayu. Tapi … Mas Bayu tak percaya dengan saya. Dia cemburu membabi buta. Bahkan di malam pertama, dia …." Aku tak mampu lagi meneruskan kalimatku. Airmataku sudah menganak sungai yang tak bisa lagi di bendung.
POV Nawang"Kalau begitu, kalau boleh tau. Kenapa amarahmu datang, hanya saat kamu berhasrat saja?" tanya bang Heru.Mas Bayu tampak tercenung mendengar pertanyaan dari bang Heru. Rasa ingin tauku pun cukup besar. Aku juga merasa aneh, kenapa ya mas Bayu hanya marah saat mau 'itu' saja?"Jujur, setiap aku ingin menyentuh Nawang. Aku merasa … laki-laki itu ada diantara kami." Perkataan mas Bayu membuatku terhenyak. Kenapa mas Bayu bisa merasakan hal seperti itu?Bang Heru lama menatap mas Bayu, seolah mencari jawaban dari mata mas Bayu. Mas Bayu terlihat seperti sangat malu atau menyesal atau apalah. Yang jelas dia tak berani lama-lama bertatapan dengan bang Heru. Dia menundukkan kepalanya.
POV NawangAku tetap membeku, tak mampu menjawab pertanyaan mas Bayu."Mas janji … gak akan mengulangi hal konyol itu lagi." Aku menatap bola matanya, mencari kejujuran atas perkataan yang baru saja dia lontarkan."Nawang, boleh menuntut cerai. Mas ikhlas, kalau sampai Mas … mengulanginya lagi." Aku tak percaya dengan perkataannya, tapi bola matanya menyiratkan kesungguhan."Mas … tau. Hhhh … Nawang pasti sangat menderita, menjadi istri Mas," ujarnya dengan mata yang berkaca-kaca. Dia menarik nafas yang tampak sesak di tengah kalimatnya.Aku masih belum bergeming. Hatiku terasa gamang untuk mempercayainya. Hei,
POV NawangBaru saja, aku akan balik badan kembali masuk ke kamarku. Terlihat mas Bayu, sudah berjalan ke arahku. Aku agak terperanjat. Kira-kita mas Bayu, lihat gak ya, saat aku suruh mbok Ijah buang diariku?Mudah-mudahan mas Bayu, gak lihat. Jangan sampai diari itu menjadi pemicu kemarahannya. Jantungku serasa berdebar kencang, aku merasa telapak tanganku mendadak berkeringat. Padahal sudah cukup lama, aku tak merasakan kecemasan seperti ini."Kenapa?" tanya mas Bayu, dengan mata agak menyipit. Seolah dia mencurigai sesuatu."Eng-enggak papa," jawabku gugup. Tenang Nawang, tenang. Jangan sampai suamimu mencurigaimu. Batinku berkata pada diriku sendiri.
POV NawangMas Bayu mengirimkan gambar buku harianku, yang kemarin sudah kuminta mbok Ijah untuk membakarnya. Kenapa bisa ada di tangan mas Bayu?"Mbok!" Kupanggil mbok Ijah."Iya, Mbak," sahutnya dari arah dapur. Aku tak sabar menunggu dia datang, kulangkahkan kaki mendatangi ke arahnya. Kami bertemu di pintu dapur."Mbok, buku harian yang semalam saya suruh bakar. Udah dibakar apa belum?" Aku pura-pura bertanya dulu."Belum jadi Mbak. Semalam saya letak dulu di tempat sampah. Sorenya pas mau saya bakar, udah gak ada lagi. Saya pikir, Mbak Nawang yang ngambil lagi," jawabnya polos. Aku percaya sama mbok Ijah. Selama aku mengenal mbo
POV NawangMas Bayu, menjambak rambutku dengan kasar. Hingga aku terdongak."INI APAAA!" katanya geram, menunjukkan poto di layar gawainya.Mataku membeliak melihat poto yang ada di gawai itu. Itu potoku dan mas Dimas. Bagaimana bisa?"A-aku gak p-pernah–""APAA! APA ALASANMU! HAH." Belum sempat aku menjelaskan, dia sudah menimpali kata-kataku.Seingatku, memang tak pernah berpoto dengan mas Dimas seperti yang ada di poto itu. Tunggu … itu seperti. Ya, aku baru ingat. Poto itu seperti kejadian di supermarket kemaren. Saat aku bertabrakan dengan mas Dimas.
"Gak papa Jeng, biar lancar nanti lahirannya." Ibu yang menimpali perkataan Mama."Ma, Bayu ke kamar dulu ya. Ngantuk, dari pagi tadi gak ada istirahat." Mas Bayu langsung masuk ke kamar, tanpa menunggu jawaban dari Mama."Eh, anak itu. Beberapa hari ini, aneh sekali sikapnya. Uring-uringan terus, pulang ke rumah pun terus larut malam. Gak biasanya dia kayak gitu," curhat Mama.Ternyata mas Bayu, bukan padaku saja berubah. Tapi juga ke Mama."Capek mungkin Jeng. Ada masalah kali, di tempat kerjanya." Ibu berusaha bijak menyikapi perubahan mas Bayu."Tapi, Bayu gak pernah kayak gitu Jeng. Dia gak pernah bawa masalah kerja ke rum
POV NawangAku menepiskan tangannya. Dia tetap memaksa, dia memelukku dari belakang. Aku memberontak."Jangan peluk aku!" Aku meninggikan suaraku. Kutatap tajam kedua manik matanya yang menyiratkan penyesalan. Tapi aku tak percaya lagi. Dia selalu seperti itu, bersembunyi di balik matanya yang sayu."Nawang … gak bisa maafin Mas?" Aku muak mendengar dia bertanya seperti itu.Dia pikir aku ini benda mati! Yang bisa sesuka hatinya memperlakukanku bagaimana pun. Kalau bukan karena Ibu, sudah tak sudi aku sekamar dengannya."Mas, khilaf tadi." Dia coba membela diri."Khil