POV Nawang
Aku tetap membeku, tak mampu menjawab pertanyaan mas Bayu.
"Mas janji … gak akan mengulangi hal konyol itu lagi." Aku menatap bola matanya, mencari kejujuran atas perkataan yang baru saja dia lontarkan.
"Nawang, boleh menuntut cerai. Mas ikhlas, kalau sampai Mas … mengulanginya lagi." Aku tak percaya dengan perkataannya, tapi bola matanya menyiratkan kesungguhan.
"Mas … tau. Hhhh … Nawang pasti sangat menderita, menjadi istri Mas," ujarnya dengan mata yang berkaca-kaca. Dia menarik nafas yang tampak sesak di tengah kalimatnya.
Aku masih belum bergeming. Hatiku terasa gamang untuk mempercayainya. Hei,
POV NawangBaru saja, aku akan balik badan kembali masuk ke kamarku. Terlihat mas Bayu, sudah berjalan ke arahku. Aku agak terperanjat. Kira-kita mas Bayu, lihat gak ya, saat aku suruh mbok Ijah buang diariku?Mudah-mudahan mas Bayu, gak lihat. Jangan sampai diari itu menjadi pemicu kemarahannya. Jantungku serasa berdebar kencang, aku merasa telapak tanganku mendadak berkeringat. Padahal sudah cukup lama, aku tak merasakan kecemasan seperti ini."Kenapa?" tanya mas Bayu, dengan mata agak menyipit. Seolah dia mencurigai sesuatu."Eng-enggak papa," jawabku gugup. Tenang Nawang, tenang. Jangan sampai suamimu mencurigaimu. Batinku berkata pada diriku sendiri.
POV NawangMas Bayu mengirimkan gambar buku harianku, yang kemarin sudah kuminta mbok Ijah untuk membakarnya. Kenapa bisa ada di tangan mas Bayu?"Mbok!" Kupanggil mbok Ijah."Iya, Mbak," sahutnya dari arah dapur. Aku tak sabar menunggu dia datang, kulangkahkan kaki mendatangi ke arahnya. Kami bertemu di pintu dapur."Mbok, buku harian yang semalam saya suruh bakar. Udah dibakar apa belum?" Aku pura-pura bertanya dulu."Belum jadi Mbak. Semalam saya letak dulu di tempat sampah. Sorenya pas mau saya bakar, udah gak ada lagi. Saya pikir, Mbak Nawang yang ngambil lagi," jawabnya polos. Aku percaya sama mbok Ijah. Selama aku mengenal mbo
POV NawangMas Bayu, menjambak rambutku dengan kasar. Hingga aku terdongak."INI APAAA!" katanya geram, menunjukkan poto di layar gawainya.Mataku membeliak melihat poto yang ada di gawai itu. Itu potoku dan mas Dimas. Bagaimana bisa?"A-aku gak p-pernah–""APAA! APA ALASANMU! HAH." Belum sempat aku menjelaskan, dia sudah menimpali kata-kataku.Seingatku, memang tak pernah berpoto dengan mas Dimas seperti yang ada di poto itu. Tunggu … itu seperti. Ya, aku baru ingat. Poto itu seperti kejadian di supermarket kemaren. Saat aku bertabrakan dengan mas Dimas.
"Gak papa Jeng, biar lancar nanti lahirannya." Ibu yang menimpali perkataan Mama."Ma, Bayu ke kamar dulu ya. Ngantuk, dari pagi tadi gak ada istirahat." Mas Bayu langsung masuk ke kamar, tanpa menunggu jawaban dari Mama."Eh, anak itu. Beberapa hari ini, aneh sekali sikapnya. Uring-uringan terus, pulang ke rumah pun terus larut malam. Gak biasanya dia kayak gitu," curhat Mama.Ternyata mas Bayu, bukan padaku saja berubah. Tapi juga ke Mama."Capek mungkin Jeng. Ada masalah kali, di tempat kerjanya." Ibu berusaha bijak menyikapi perubahan mas Bayu."Tapi, Bayu gak pernah kayak gitu Jeng. Dia gak pernah bawa masalah kerja ke rum
POV NawangAku menepiskan tangannya. Dia tetap memaksa, dia memelukku dari belakang. Aku memberontak."Jangan peluk aku!" Aku meninggikan suaraku. Kutatap tajam kedua manik matanya yang menyiratkan penyesalan. Tapi aku tak percaya lagi. Dia selalu seperti itu, bersembunyi di balik matanya yang sayu."Nawang … gak bisa maafin Mas?" Aku muak mendengar dia bertanya seperti itu.Dia pikir aku ini benda mati! Yang bisa sesuka hatinya memperlakukanku bagaimana pun. Kalau bukan karena Ibu, sudah tak sudi aku sekamar dengannya."Mas, khilaf tadi." Dia coba membela diri."Khil
Dia tertunduk dalam. Menyesal, selalu seperti itu. Tapi suatu saat akan mengulang lagi. Aku yang merasa setahun ini, hidup berbahagia dengannya. Mendadak kebahagiaan itu, sirna begitu saja. Bersama dengan dia meludahi wajahku.Aku memegangi perutku, sakit. Sepertinya aku kontraksi. Kali ini lebih parah. Aku duduk di tepi ranjang menahan sakitnya. Kugigit bibirku sendiri, untuk meredam rasa sakit di perutku sekaligus hatiku."Nawang, kenapa? Sakit? Kamu mau melahirkan." Dia memegang tanganku, terlihat cemas.PLAKKAku tepiskan tangannya dengan kasar, aku masih meringis. Aku mencoba bangkit, mengambil tas bayi yang ada di samping nakas. Tas itu berisi perlengkapan bayiku, yang sudah kusiapkan untuk dibawa. Kalau aku aka
POV NawangSaat kubuka mataku, sudah ada mas Bayu di sisi tempat tidur. Wajahnya nampak pucat dan lelah. Mungkin karena tak tidur semalaman."Sudah bangun?" tanyanya, aku menarik tanganku yang ada di genggamannya."Nawang, masih marah?" tanyanya lagi. Aku diam, malas menanggapi.Aku bukanlah tipe pendendam terutama dengan suami sendiri. Tapi aku tak mau, dia terus bertindak sesuka hati. Di saat amarahnya datang, bisa seenaknya saja memperlakukan aku. Dia harus tau, aku juga manusia biasa, yang punya harga diri.Masih kuingat bagaimana caranya meludahiku. Seolah aku ini manusia hina. Bahkan jauh lebih sakit rasanya, dari tamparannya d
Malam ini kami lalui dengan syahdu, berharap ini awal yang baik bagi perjalanan rumah tangga kami. Aku berusaha mengetepiskan ego yang masih bertengger di hatiku.★★★KARTIKA DEKA★★★Namun ternyata perubahan itu hanya beberapa bulan saja, kini di saat anakku Tama sedang lucu-lucunya. Dia berulah lagi.Adiguna pratama, artinya anak lelaki pertama yang pintar dan yang banyak manfaatnya. Nama yang disematkan untuk anakku. Kami memanggilnya Tama. Aku berharap Tama tumbuh sesuai dengan namanya.Saat ini Tama sedang belajar berjalan. Tapi jarang di dampingi Papanya. Sekarang mas Bayu seolah memiliki dunia lain. Pulang selalu larut malam, dalam keadaan wajah kuyu yang kelihatan sangat lelah.