Tiba-tiba mas Bayu menggendongku, semua orang terdengar sumringah bahagia. Aku sedikit merasa tersipu. Kami masih lagi belum turun dari pelaminan. Mungkin dia memang jodoh terbaik buatku. Tak mungkin Ibu memilih menantu yang salah untuknya. Dia pasti mencari yang terbaik untuk menjadi suamiku.
"Belum selesai acaranya Bayu."
"Masih sore ini, Bay."
Begitulah kira-kira ledekan yang dilontarkan, tapi tak dihiraukan mas Bayu.
"Mas ... malu." Aku berbisik ke telinganya.
"Simpan wajahmu di dada, Mas," katanya tersenyum simpul.
Aku merasakannya, aku mendengar detak jantungnya yang tak beraturan. Dan apa ini! Kenapa aku berdebar berada di gendongannya.
Mas Bayu menggendongku hingga ke kamar, dia menurunkanku pelan ke atas tempat tidurku.
"Mbok, tolong ambilkan makan dan minum buat Nawang," pinta mas Bayu ke mbok Ijah, yang kebetulan melintas di depan kamarku.
Kamarku di hias begitu indah. Wangi yang tercium, berasal dari bunga-bunga mawar dan melati asli yang ditaburkan di seluruh permukaan tempat tidurku.
Untuk sesaat kami hanya diam, aku serba salah. Masih malu, berduaan dengannya di dalam kamar.
"Kita ganti gaun modern ya," kata mbak Yuni, perias pengantin.
"Nawang makan dulu, ya Mbak. Dari pagi belom makan. Selesai makan, baru di rias lagi," pinta mas Bayu. Hatiku sedikit tergugah, ternyata mas Bayu sosok yang penyayang dan perhatian.
"Ya sudah, saya tinggal dulu ya." Mbak Yuni langsung keluar lagi dari kamar.
"Ini makannya Mas." Mbok Ijah menyerahkan sepiring nasi lengkap dengan lauk. Juga segelas teh hangat.
"Banyak banget, mbok," ujarku melihat nasi yang sepiring penuh.
"Gak papa, nanti bareng Mas juga makannya." Mas Bayu menimpali.
"Biar Mas yang suapi ya," sambungnya.
"Nawang, sendiri aja Mas." Aku masih sungkan.
"Sudah, Mas aja yang suapi. Hari ini, Nawang sudah sah menjadi istri Mas. Anggap saja ini, salah satu bentuk perhatian Mas sebagai suami." Aku memandang tak percaya, mendengar ucapannya. Benarkah dia mencintaiku? Sedangkan dia tau, aku belum mencintainya?
Mataku terus memperhatikan lelaki yang sudah menjadi suamiku ini. Suap demi suap nasi berpindah ke perutku, sesekali dia memasukkan suapan nasi kemulutnya sendiri. Aku akan berusaha mencintaimu Mas. Tak ada cela pada dirimu, yang menolakku untuk mencintaimu. Janjiku pada diri sendiri.
Selesai makan, Mbak Yuni kembali meriasku. Kami duduk kembali di pelaminan. Tubuhku sudah agak bertenaga.
"Kamu, sangat cantik Nawang. Mas beruntung bisa menjadi suamimu," Bisik mas Bayu. Aku hanya menjawabnya dengan tersenyum simpul.
Semakin sore, semakin banyak tamu yang berdatangan. Senyum tak lepas dari wajah kami, mengaminkan setiap doa yang baik untuk kelanggengan rumah tangga yang baru akan kubina bersama mas Bayu.
Hari semakin larut, tamu-tamu pun mulai sepi. Hanya tinggal kerabat dekat saja.
"Yuk, Nawang. Sudah bisa ganti bajunya dengan baju rumah. Kalo gak mau pake baju pun sudah bisa." Mbak Yuni menggodaku, dengan tersenyum genit.
"Ah, Mbak," kataku tersipu malu.
★★★KARTIKA DEKA★★★
Ceklek. Suara pintu yang dikunci.
Mas Bayu mengunci pintu dari dalam, setelah memastikan kami sudah bisa istirahat.
Tubuhku terasa kaku, terduduk diam di depan cermin. Aku bingung mau berbuat apa, salah tingkah. Degup jantungku serasa berlomba. Tadi sore saja, sudah cukup membuatku mati kutu. Padahal pintu tak terkunci, siapa pun masih bebas keluar masuk. Apalagi sekarang, tak ada lagi yang bisa mengganggu.
Mas Bayu perlahan mendekatiku. Dia duduk di sebelahku. Aku hanya memaku diam. Diraihnya sebelah tanganku, menciumnya lembut. Membuat darahku berdesir.
Baru kali ini tanganku dicium lelaki. Meskipun aku lama berpacaran dengan mas Dimas, dia sangat menjaga kehormatanku.
"Mas tau, kamu masih belum bisa mencintai Mas." Suaranya memecah keheningan di antara kami.
"Nawang … akan berusaha Mas." Aku berkata dengan masih menundukkan wajahku. Tak berani menatapnya langsung.
Dia merengkuh tubuhku ke pelukannya. Rasa itu lagi. Apakah aku mulai mencintainya? Jantungku berdegup tak berirama. Terasa damai sekali dipelukannya.
"Mas mencintaimu Nawang. Sangat mencintaimu. Dari sejak awal kita bertemu," katanya masih memelukku erat. Tapi aku merasakan pelukannya begitu erat, sehingga aku sulit bernafas.
"Mas." Aku terpaksa mendorongnya. Rasanya aku hampir kehabisan oksigen saat berada dipelukannya barusan.
"Maafkan Mas. Mas lepas kendali." Dia tampak menyesal.
"Gak papa Mas," ujarku. Ada rasa takut seketika menjalar, mengingat caranya memelukku.
Dia menatap tajam langsung ke bola mataku, aku masih tak sanggup membalas tatapannya. Kutundukkan wajahku.
Dia mengangkat daguku dengan tangannya. Aku pasrah dia menciumku. Aku sudah sah menjadi istrinya, tak mungkin bagiku untuk menolak. Hanya saja aku masih takut, ini kali pertama dalam hidupku.
Aku mendorong kuat tubuh mas Bayu, kupegangi bibirku yang berdarah karena gigitannya. Ya, dia menggigit bibirku.
"Kau bohong Nawang!" Aku terhenyak mendengar kata-katanya. Yang terdengar tentang tapi tajam.
"Kau masih mencintai laki-laki itu, bukan?!" Matanya memandang tajam tepat ke kedua bola mataku, penuh amarah.
"Ti–tidak Mas," jawabku terbata.
Dia mengangkat tubuhku kasar, hingga aku terduduk di tempat tidur yang sudah dihias dengan sangat indah.
Aku sangat takut melihat perubahan mas Bayu. Tadi dia begitu lembut, kenapa tiba-tiba dia menjadi berang seperti ini.
"Aku melihat kau menangis saat dia bernyanyi! Itu, kau bilang tak cinta lagi hah!" cecarnya.
Dia tidak berbicara dengan suara yang kuat, agar tak kedengaran keluar kamar. Tapi tampak sekali dia menyimpan amarah yang besar. Matanya begitu nyalang.
Aku tak tau harus menjawab apa, aku memang masih mencintai mas Dimas. Aku masih butuh waktu untuk melupakannya. Namun aku sudah berjanji pada diriku sendiri, untuk berusaha mencintai mas Bayu.
"Kamu sudah menjadi istriku! Tapi di kepalamu masih ada laki-laki lain." Dia berkata dengan tangan yang menempeleng ke kepalaku.
Aku syok menerima perlakuannya. Bahkan Ibu, semarah apa pun tak pernah menempeleng kepalaku. Aku terdiam kaku seakan tak percaya. Aku menjadi korban KDRT di malam pertamaku.
Malam pertama yang kuharap menjadi pembuka gerbang hatiku untuknya. Justru tertutup rapat dengan sendirinya.
"Maafkan Mas, Nawang," katanya dengan mata sayu mendekatiku.
Apalagi ini. Kenapa dia bisa berubah seratus delapan puluh derajat dalam sekelip mata. Aku sangat takut, benar-benar takut.
"Mas, hanya cemburu pada mantanmu itu," katanya lembut.
Jarinya mengusap lembut darah yang ada di bibirku. Lukanya cukup dalam, hingga darahnya masih menetes. Namun, jauh lebih dalam luka di hatiku.
"Kamu janji akan melupakan dia kan?" tanyanya. Aku masih terpaku.
"Kamu janji kan!" Kali ini dia lebih tegas.
"I–iya Mas." Aku menjawab terbata.
Dia menciumku lagi, tanpa rasa jijik masih ada aroma darah di bibirku. Justru sekarang … aku yang merasa jijik dengannya.
Ibu ….
★★★KARTIKA DEKA★★★
POV NawangIbu … inikah lelaki yang Ibu pilihkan untukku. Ratap batinku.Mas Bayu mendapatkan malam pertama kami sesuai kehendaknya. Namun tidak denganku. Aku hanya merasakan perih di sekujur tubuhku. Dia begitu kasar melakukannya. Aku yang baru kali ini melakukannya, harus mengalami trauma di malam pertama. Kata orang malam pertama itu malam yang indah. Tapi tidak denganku.Apa yang harus kulakukan? Apa Ibu akan percaya bila aku mengadu? Tapi tidak! Aku harus diam, menelan sendiri penderitaanku. Aku takut penyakit jantung Ibu kambuh.Mas Bayu telah tidur karena kelelahan. Aku bangkit dari peraduan, tubuhku sakit semua, tampak beberapa bekas lebam di area sensitifku. Kulangkahkan kaki perlahan, menuju ke kamar mandi. Aku ingin mandi, menghil
"Kenapa bibir kamu, Nawang?" tanya Ibu. Ternyata Ibu memperhatikan, aku harus jawab apa?"Maklumlah Bu, manten baru. Belum pinter caranya hehehe." Syukurlah mbak Asih yang menjawab pertanyaan Ibu. Meski jawabannya membuat hatiku teriris. Mbak gak tau, apa yang sebenarnya terjadi?"Ini loh, Papa Mamanya, Bayu mau pamitan. Mau balik ke rumah. Katanya masih banyak persiapan lagi yang belum tuntas, buat acara ngundo mantu minggu depan," beber Ibu."Cepat banget sih Bu," kataku mencoba mengakrabkan diri dengan mertua."Kok, Ibu sih. Panggil Mama Papa. Sama seperti Bayu memanggil kami," kata Mama mas Bayu."Iya Ma." Masih agak canggung aku meman
POV Nawang"Gak bisa Bu. Mas Pur nggak bisa lama-lama ninggalin kerjaan. Asih kan udah sebulan di sini. Nanti, kalau Mas Pur cuti panjang lagi, kami bakalan nginap di sini.""Ya udah, tapi bener ya. Sering-sering ke sini. Nawang juga udah nikah. Ibu kesepian cuma berduaan sama Bapak.""Yes Mem!" kata Mbak Asih seraya memeluk Ibu dari belakang, yang sedang duduk menikmati tehnya.Akhirnya Ibu menerima penjelasan mbak Asih, mbak Asih memang sudah satu bulan lebih di sini. Tentunya juga harus menjaga perasaan mas Pur dan keluarganya. Tak ada alasan kuat lagi untuk menunda kepulangan. Kalau hanya acara ngunduh mantu, tentu tak begitu memberatkan mbak Asih untuk pulang.
POV NawangPLAKKDia menamparku lagi. Kurasakan sudut bibirku begitu perih. Luka yang kemaren baru sembuh. Sudah harus terluka lagi.Aku menangis menahan rasa perih di bibirku dan sakit di bagian punggung yang terhempas.Mas Bayu yang lagi berdiri, datang berlutut ke arahku yang sedang meringkuk, menahan sakit dan rasa takut."A-ampun Mas!" Aku memohon ampun, kututupi wajahku dengan kedua tanganku. Takut dia menamparku lagi.Tiba-tiba dia menggendongku, menghempaskan tubuhku dengan kasar ke atas peraduan.
POV Nawang"Mas, berangkat kerja ya." Mas Bayu berpamitan. Aku tetap mencium tangannya. Dia mencium pucuk kepalaku lembut. Hhhh, sangat romantis bukan?"Iya, Mas. Hati-hati," ucapku.Sepeninggalnya, aku membantu Mama membereskan meja makan, membawa piring-piring kotor ke dapur dan mencucinya. Asisten rumah tangga di rumah ini ada dua orang. Tapi, tak mungkin aku hanya berpangku tangan, apalagi yang harus kulakukan.Mas Bayu tak mengizinkan aku keluar rumah sendirian. Kemana-mana harus bersamanya. Meskipun Mama yang mengajakku keluar, aku harus tetap meminta izin kepadanya.Lagipula, aku pun terbiasa membantu mbok Ijah di rumah. Ibu tetap m
POV Nawang"Lihat ini!" katanya menunjukkan gawaiku ke hadapanku. Sangat dekat, sampai gawai itu, benar-benar berada di depan mataku.Astaga banyak panggilan tak terjawab darinya."Nawang … gak ada buka hape, Mas," kataku apa adanya. Seharian aku memang tak ada membuka gawaiku.Kejadian tadi malam membuatku malas memegang gawaiku. Hampir seharian waktuku hanya bersama Mama. Sementara gawaiku terbiar diatas meja riasku.PLAKKDia menamparku lagi. Luka disudut bibirku yang belum begitu mengering, kembali berdarah. Bahkan rasanya lebih sakit dari tadi malam. Namun, tetap hatiku yang paling sakit. Tak mengerti apa salahku, kenapa aku harus menerima perlakuan sekasar ini.
POV Nawang"Ndok, pipi kamu kok bengkak gitu?" tanya Mama ketika kami sarapan bersama pagi ini. Hal yang sudah menjadi rutinitas pagi, sejak aku tinggal di rumah Mas Bayu.Aku tak mampu menjawab pertanyaan Mama, padahal aku sangat ingin menceritakan sebenarnya. Tapi suaraku seperti tercekat di leherku."Nawang, sakit gigi Ma. Makanya pipinya agak bengkak." Mas Bayu yang menjawab pertanyaan Mama. Aku menatapnya, dia membalas tatapanku dengan mata sendu. Seolah mengatakan, 'Tolong jangan cerita ke Mama.'Aku membuang muka darinya, rasa cinta yang baru kusemai, kini mati sudah. Tak bersisa sama sekali. Berganti rasa takut dan amarah yang tak mampu kuluahkan.
"Mas Bayu … sudah memperlakukan Nawang dengan kasar," kataku dengan satu helaan nafas."Kasar? Kasar gimana?""Mas Bayu … melakukan KDRT ke Nawang, Bu." Aku menceritakan apa yang kualami dengan isak tangis."Kamu nih ya. Alasan saja! Ibu tau gimana Bayu. Setahun ini Ibu sudah mengenalnya. Tak mungkin dia bertindak seperti itu! Pasti kamu yang cari masalah, kalo sampe Bayu ringan tangan! Jangan-jangan kamu menjalin hubungan diam-diam lagi dengan Dimas, makanya Bayu seperti itu!" Ibu mencecarku dengan prasangka buruk.Benar saja keraguanku, Ibu tak mempercayaiku. Siapapun yang mengenal Mas Bayu, takkan ada yang percaya."