Hari ini Ina ada tempatan arisan yang nantinya para teman sosialitanya datang.
"Amalia.... Amalia...." teriak Ina di pagi hari.Dengan tergesa-gesa Amalia turun untuk menemui mertuanya itu, tumben sekali ia dipanggil dan terus berulang, Amalia yang tengah menyiapkan pakaian Ammar pun bergegas menghampiri, takut terjadi sesuatu. "Ada apa mah?" tanyanya panik."Telingamu bu-deg apa gimana sih? Dipanggil tuh nyahut! sampai capek tenggorokan saya! Hari ini saya ada arisan di rumah jadi bantu bibi menyiapkan segala menu yang sudah saya perintah, ingat! Harus higenis dan jangan membuat malu!!" perintah Ina dengan wajah sinis.Amalia celingukan seperti sedang mencari seseorang dan itu membuat Ina tambah kesal, bukannya menjawab perintah darinya malah seperti orang kebingungan. "Cari siapa sih? Denger gak saya bilang apa?" tanya Ina ketus."Dengar mah... Amalia lagi cari Heni, kemana dia? Kok hanya Amalia saja yang dipanggil mamah," tanya Am"Selamat siang semuanya.... Terima kasih atas kehadirannya di acara arisan ini, semoga kalian semua menikmati acara demi acara dan juga hidangan yang telah disiapkan tuan rumah," sapa Amalia sangat ramah, tak lupa senyum yang menawan ia perlihatkan kepada semua tamu arisan. Hati Ana menjadi penasaran dan merasa akan ada berita heboh makanya ia nekat mendekati Amalia untuk menanyakan siapa dirinya. "Kamu cantik sekali nona... Kalau boleh saya tau, anda siapa?" tanya Ana yang memang tulus memuji. Antara Ina dengan Heni saling lempar pandang dengan hati yang tengah gusar, mereka takut jika Amalia berbicara yang sebenarnya... Hancur sudah reputasi Ina ketika semuanya terbongkar. "Buat apa kamu bertanya seperti itu, Jeng Ana? Apakah itu hal yang penting?" tanya Ina yang mulai panik. "Tentu dong Jeng karena selama kita mengadakan arisan, baru ini pertama kalinya kami melihat nona cantik ini," jawab Ana dengan senyum penuh kemenan
"Mah... Aku gak terima direndahkan seperti itu sama Amalia, dia gadis kampung mah... Kenapa sekarang dia punya keberanian seperti itu?" rengek Heni. "Diam lah, kamu pikir saya gak pusing memikirkannya, saya juga kaget darimana dia berani seperti itu padahal hari ini kan gak ada Ammar atau pun suami saya," jawab Ina sambil memijat kening. "Pokoknya kita harus membuat perhitungan sama dia mah, tolong bantu pikirkan caranya mah," rengek Heni lagi dan Ina sama sekali tidak menjawab. Untuk berpikir saja saat ini Ina tak bisa, mendadak otaknya kosong karena ia masih syok dengan keberanian dan ucapan demi ucapan Amalia beberapa waktu lalu. "Kalau mamah gak bisa membantu biarkan aku menyelesaikannya sendiri, pokonya Amalia harus menangis dan sangat sakit hati!" ucap Heni berlari ke kamar. ****Tak berselang lama Heni pergi ke kantor Ammar yang kebetulan pekerjaan hari ini sedikit longgar, kedatangan Heni tentu saja membuat
Waktu sudah mulai sore, Ammar terbangun dari tidur nyenyak nya. Menyadari yang disebelahnya kini Heni sebenarnya membuat Ammar merasa sedih namun di satu sisi Ammar mengakui bagaimana hebatnya Heni ketika berurusan dengan ranjang. Bukan bermaksud membandingkan dengan Amalia yang lebih banyak diam, namun yang namanya laki-laki pasti lebih tertantang dengan wanita yang liar didalam ranjang, hal seperti itu akan menimbulkan sensasi sendiri bahkan rasa ketagihan. "Hen... Heni... Ayo bangun," ucap Ammar menggoyangkan tubuh Heni pelan. "Jam berapa ini, mas? Astaga maaf mas aku belum masak, bentar," ucap Heni yang langsung berdiri dan menuju dapur. Ia kaget ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul 6 sore, itu tandanya sebentar lagi makan malam. Ammar pun mengikuti langkah Heni ke dapur, di sana istrinya tampak terampil dalam menggunakan segala bahan dan alat di dapur, apalagi aroma masakannya sangat menggugah selera. Menyad
"Lihat tuh... Heni saja yang baru menjadi istrinya Ammar sudah bisa mengambil hati dan juga waktu, jangan salahkan anak saya jika semakin lama yang menjadi utama itu Heni," sindir Ina tersenyum sinis. Mendengar penuturan sadis mertuanya membuat Amalia merasa rendah diri, sejak kejadian Heni pindah ke apartemen, setiap hari suaminya selalu pulang terlambat. Pernah di kala weekend Ammar sampai tak pulang dan ya sudah pasti suaminya berada di rumah singgah madunya. "Makanya jadi istri itu ada gairahnya! Gak diam aja kek gini! Nyesel kan sekarang udah di kalahkan sama Heni!" ucap Ina lagi lalu berjalan ke luar rumah. Entah kemana perginya sang mertua yang jelas saat ini Amalia tengah fokus dengan perubahan suaminya. Berulang kali Amalia menelpon namun tak juga diangkat, apa sesibuk itu sehingga panggilan darinya tak berarti lagi? Akhirnya Amalia memutuskan ke kantor suaminya untuk meminta penjelasan atas semuanya. ****
Hari ini ada pertemuan rutin setiap 3 bulan sekali dan kebetulan bertepatan di rumah orang tua Ammar. Segala hidangan sudah siap tersaji dengan rapi dan menggugah selera, menu hari ini tak hanya dimasak oleh pembantunya saja melainkan lebih banyak yang pesan di restoran ternama langganan keluarga Ammar demi memangkas waktu. Satu per satu keluarga besar Ammar datang dan saling menyapa satu sama lain, hingga akhirnya tiba juga di acara makan-makan. Ketika semua keluarga sudah berada di meja makan, pandangan mereka justru tertuju pada Heni yang duduk di sebelah kiri Ammar sedangkan Amalia, sang istri berada di sebelah kanan. "Siapa dia?""Kenapa duduk di sana?"Begitulah kurang lebih bisik-bisik dari keluarga besar Ammar yang terdengar oleh Amalia juga Heni. Merasa kedua menantunya menjadi pusat perhatian akhirnya Ino memberi klarifikasi. "Selamat siang semua, terima kasih sudah menyempatkan waktunya untuk hadir dalam acara rutin keluarga, semoga hidangan yang kami sediakan cocok d
"Yuk berangkat, Mah," ajak Heni yang sudah tiba di rumah mertuanya beberapa saat lalu dengan dandanan yang sangat glamor, semua yang dikenakan pun barang branded yang terkenal. Ketika Heni dan Ina melintas keluar rumah, ada Amalia yang sedang duduk di teras depan entah menanti siapa, rasa penasaran menyelinap pada diri Heni. "Ngapain disitu, mbak?" tanya Heni penasaran. "Lagi nyantai aja, kalian mau kemana?" tanya balik Amalia yang melihat penampilan mertua dan madunya dari atas sampai bawah. "Mau shopping dong, mbak," jawab Heni dengan wajah angkuhnya lalu seketika ia memiliki ide untuk mengerjai kakak madunya itu. "Eh mbak mending ikut kami aja yuk daripada suntuk di rumah," ajak Heni yang membuat Amalia tak percaya begitu juga dengan Ina yang langsung memperlihatkan ekspresi tak sukanya. "Udah mbak ikut aja biar terlihat akrab, yuk," desak Heni lalu dengan terpaksa Amalia setuju. Ia sempat ke kamar sebentar untuk me
Tak mau lebih rendah dari kakak madunya, setelah makan di restoran bersama Ina selesai, Heni langsung bergegas menuju kantor Ammar dengan gemuruh yang ada di dada. "Buru-buru amat mau kemana, Hen?" tanya Ina mengekor di belakang Heni dengan langkah tergesa sampai kewalahan. Langkah Heni sangat cepat sekali, menandakan dia sedang marah apalagi raut wajahnya tak ada senyum sama sekali. ****Tiba di kantor suaminya, Heni langsung mencecar dengan segudang pertanyaan. "Mas Ammar jahat!" pekik Heni ketika membuka pintu ruangan Ammar. "Apa maksudnya?" tanya Ammar bingung. "Jahat!!! Pokoknya mas Ammar jahat! Mas Ammar gak adil! Bisa-bisanya antara aku dengan istrimu itu di bedakan! Udah aku diminta tinggal di apartemen, perihal uang belanja pun juga berbeda! Jahat kamu mas! Kamu gak adil jadi suami! Aku malu mas tadi di mall banyak yang ngelihatin gara-gara istri sah mu itu terus menyudutkan aku!!!" keluh Heni dengan suara cukup keras. "Apa-apaan sih! Gak jelas amat! Semua sudah aku kas
Hari ini Amalia memutuskan untuk lari pagi di bundaran ibu kota, banyak muda-mudi hingga lansia yang ikut meramaikan lari pagi ini. Amalia yang datang sendirian tentu saja menjadi bahan godaan para pria bujang yang tujuannya kesini tak hanya untuk olahraga saja melainkan ajang cari jodoh. Namun sayang sekali Amalia tak menggubris dan malah terkesan cuek. Hingga akhirnya tanpa sengaja seseorang menabrak Amalia dan membuatnya nyaris terjatuh, untung saja seseorang itu sigap menangkap. "Amalia, benarkah itu kamu?" tanya seseorang memastikan dan Amalia cukup lama memperlihatkan pria itu sambil berpikir siapa dia. "Kamu, Alan? Benar bukan?" tanya Amalia memastikan dan orang itu tersenyum senang karena setidaknya Amalia tak melupakannya. "Benar, ini aku, Alan, lama tak jumpa ya, gimana kabarmu?" tanya orang itu yang ternyata bernama Alan. "Iya, kabarku baik bagaimana denganmu?" tanya balik Amalia sedikit canggung.