MENANTU AMBURADUL 143"Siapa yang sakit Mommy?" tanya Daffa yang sejak tadi sudah merasa penasaran dengan obrolanku dan Daddynya di telfon."Nenek sakit, Nak.""Ooohhh," jawab Daffa."Kok, cuman ohh?" tanyaku heran."Bukannya Nenek juga sering jawab begitu saat dikasih tahu ada yang lagi sakit, Mom?"Deggh ... Sebuah protes melayang dari mulut anakku. Lagi-lagi tentang Ibu mertua."Emangnya Daffa pernah lihat Nenek begitu?" tanyaku balik."Sering.""Masa sih? Enggak salah denger?""Enggak Mommy, Daffa masih denger dengan jelas." dia ngeyel bahwa apa yang sering didengarnya itu benar.Astaghfirullah, ternyata Daffa diam-diam memperhatikan apa yang dilakukan Neneknya. Perihal seperti ini saja dia hafal, apalagi untuk hal-hal yang lain?"Ya bukan berarti Daffa harus niruin Nenek begitu dong. Bilang Innalillah, kalau sedang terkena musibah,""Innalillah ..." ucap Daffa mengikuti saranku."Good boy,"Aku berniat memberi kabar kepada Mama dan Papa bahwa Ibu sakit. Sayangnya sudah larut mal
MENANTU AMBURADUL 144Ketakutan para cucu untuk mendekat kepada Ibu ternyata membuat Ibu semakin emosi. Ibu semakin sering marah dan ngambek tidak jelas. Apalagi jika nanti kubawa Fajarina pulang ke rumahku, Ibu mungkin akan makin bertambah kesal.Aku meminta Fajarina untuk bilang sendiri kepada Neneknya, bahwa dia sementara ingin tinggal bersama Daffa. Meski aku tahu pasti Aku yang akan Ibu tuduh mengompori Rina, setidaknya itu jauh lebih baik dari pada Aku sendiri yang menyampaikan hal tersebut."Nek, Rina mau menginap di rumah Tante Nisa saja ya, sama kak Daffa."Ibu hanya menatap Rina, tanpa ekspresi. Biasanya Ibu bisa menganggukkan kepala kalau setuju. Ini sama sekali tidak."Rina cium tangan Nenek dulu, kan Nenek baru saja lihat Rina." pintaku"Nggak mau ah, Rina takut. Tante saja yang cium," tolaknyaDaffa juga kusuruh bersalaman dengan Ibu, tapi keduanya malah keluar kamar Ibu sambil berlari berhambur keluar.Rina dan Daffa beneran takut dengan kondisi Neneknya sekarang. Kala
MENANTU AMBURADUL 145Bukanlah hal yang mudah merawat orang tua yang sakit dalam jangka waktu yang lama. Apalagi dengan sifat temperamennya yang luar biasa. Pastinya butuh kesabaran ekstra dan keikhlasan yang tiada batasnya.Sudah lelah jiwa dan raga, terkadang mereka malah beraksi diluar batas. Membuat emosi semakin bertambah. Bersabarlah... Semoga pengabdian kalian para anak dibalas dengan surga.____________"Selamat siang, therapys datang." panggil seseorang di luar sana.Kupersilahkan anak muda yang tinggi berbadan besar itu untuk masuk ke dalam."Mau therapy Ibu ya, Mas?" tanyaku."Iya Bu, si Nenek sudah siap?" tanyanya balik padaku."Ooh iya. Sudah Mas." jawabku asal.Padahal aku tidak tahu apa saja yang harus dipersiapkan sampai si therapys bilang kalau pasien sudah siap. Hehehehe."Belum siap Mas, lagi disiapin sama Suster." jawab Mbak Rini dari dalam. Sepertinya habis nengok ke kamar Ibu.Hihihihi harap maklum ya Mas. Saya anak baru di sini. Salah-salah jawab nggak papa lah
MENANTU AMBURADUL 146Aku sedang membuat minuman hangat di dapur, sambil mendengarkan perbincangan Mas Yusuf dan si sulung Daffa di ruang tv."Daffa, Kak Khaity sudah mulai mau masuk pesantren loh, setelah lulus sekolah ini. Kalau kamu maunya gimana?" tanya Daddynya serius."Emm, gimana ya enaknya?" Daffa sepertinya masih bingung."Coba difikirkan matang-matang, gimana maunya Daffa." tutur Daddynya. Rina tampak cuek bebek fokus dengan apa yang ditontonnya."Silahkan di minum, minuman hangatnya." kuletakkan seteko lemon tea hangat untuk mereka bertiga. Aku sudah menuang satu gelas untukku sendiri. Kuteguk pelan sambil menikmati kehangatannya yang merasuki tenggorokan."Makasih de'," ucap suamiku berterimakasih."Iya, sama-sama, Mas."Menurut penuturan Mbak Rini, si Khaity memang sebentar lagi akan dimasukkan ke sebuah pesantren oleh Mas Rama. Itu sudah menjadi cita-cita Mas Rama sejak Khaity kecil, Ia kepingin punya anak yang pandai dalam beragama, sholekhah dan kelak bisa berbakti de
MENANTU AMBURADUL 147Jam dinding menunjukkan pukul 22.30 Wib. Malam sudah larut, tapi Daffa dan Mas Yusuf belum kunjung pulang dari rumah Mas Rama. Jiwa penasaranku makin menjadi-jadi sekarang. Sebenarnya ada kejadian penting apa disana. Seheboh inikah hanya karena Fajarina?Aku sudah beberapa kali tertidur, namun terbangun lagi karena fikiranku melayang kemana-mana. Padahal Fateh tidur pulas. Harusnya bisa kumandangkan waktu ini untuk beristirahat dengan nyenyak. Apalagi seharian ini sungguh menguras tenaga dan emosi. Kucoba memejamkan kembali mataku.________Aku mendengar suara Mas Yusuf dan Daffa, sepertinya mereka baru saja sampai rumah. Kulihat pukul berapa sekarang, ternyata sudah pukul 23.35 Wib."Belum tidur de'?" tanya Mas Yusuf yang baru saja membuka pintu kamar kami."Sudah, tapi kebangun. Ada apa? Kok sampai selarut ini?" tanyaku penasaran."Enggak apa. Kami hanya ngobrol kok di sana. Besok saja ya ceritanya.Mas Yusuf sepertinya tahu, kalau Aku pasti kelelahan, belum la
MENANTU AMBURADUL 148"Selamat datang di rumah kami Bu. Silahkan Ibu bebas bertindak apapun di sini. Seperti halnya cucu kesayangan Ibu yang sedang luar biasa sekali kebandelannya. Ibu pasti akan lebih paham melihat langsung kelakuan cucu yang selalu Ibu banggakan Itu. Asal jangan salah-salahin Nisa sama Mas Yusuf lagi ya Bu. Juga jangan sampai tingkahnya membuat tekanan darah Ibu melonjak bebas. Hahahahhaa."___________Ibu mertua akhirnya dipindahkan ke rumah kami harinini. Dengan bantuan dari Mas Rama dam team. Segala kebutuhan yang menyangkut beliau dibawa serta juga ke rumah ini. Aku meminta Mbak Karti menyiapkan ruangan kamar yang sekiranya lebih luas. Supaya jika ditempati bertiga, yaitu untuk Ibu dan para pengasuhnya tidaklah sempit. Bukan pengasuh sih namanya, maksudku suster dan Mimi.Aku bersyukur Mimi masih saja setia bekerja dengan kami, meski kondisi Ibu sudah sangat berbeda dengan dulu. Yang jelas dengan adanya Mimi sedikit banyak membantu. Apalagi untuk sekedar menceri
MENANTU AMBURADUL 149Mungkin menantu hanyalah manusia biasa yang kadang tak luput dari salah dan dosa, tapi setidaknya bersikap baiklah padanya, jangan kau hakimi apalagi kau jadikan ia sebagai bahan pelampiasan amarah semata.Terkadang mereka tidak ikut mengambil keputusan yang tidak seharusnya mereka ambil, lebih baik tanyakan dulu kepada anakmu sendiri tentang keputusan penting tersebut, jangan membuat menantumu seperti seorang tersangka atas apa yang tidak ia ikut putuskan._____________Mas Yusuf pulang dari kantornya, ada raut sedih yang muncul pada ekspresi wajahnya. Entah sedih atau lesu, sulit dibedakan. Ia melepas kemeja panjangnya yang seharian ini sudah membuatnya gerah. Seperti biasa, handuk untuknya mandi sudah kusiapkan di kamar mandi.“Kamu kenapa sih, Mas? Diamuk pak bos?” tanyaku memberinya perhatian.“Nggak ada apa-apa. Mas lelah aja seharian ini kerja di lapangan.”“Loh? Kamu ganti profesi, Mas? Jadi Pemain bola ya, sekarang?”“Hahhahaa ngaco aja kamu. Ngawur.” ja
MENANTU AMBURADUL 150Kulipat satu persatu pakaian Daffa yang berantakan, tadi sengaja kuambil dari lemari pakaiannya. Entah kenapa dengan melihat pakaian ini saja bisa membuatku terisak.Aku mulai kesepian, tidak ada Daffa yang biasanya menemani hari-hariku di rumah. Meski bagaimanapun, dia tetaplah yang pertama. Anak yang lebih dulu mengajarkanku banyak hal sebelum hadirnya Fateh. Mungkin ini pentingnya tidak hanya memiliki seorang anak di rumah. Agar jika jarak memisahkan salah satu diantaranya, seorang Ibu tidak akan merasa lebih menderita dari ini.Air mataku menetes juga, merindukan sosok Daffa, buah hati yang selalu kubawa serta dalam setiap berdoa. Semoga engkau kelak menjadi seseorang yang berguna Nak."Kenapa de'?" Mas Yusuf memergoki kesedihanku."Nggak papa kok, Mas.""Bohong.""Hehhee serius nggak papa.""Ibu rese' lagi?"Aku menggeleng."Lalu apa? Rina bandel lagi?"Aku kembali menggeleng."Rindu Daffa?"Kali ini Aku mengangguk. Membenarkan pertanyaan Mas Yusuf. Mas Yusu