MENANTU AMBURADUL 160Kulihat betapa senangnya Daffa diperhatikan oleh Mama dan Papa. Daffa juga sangat bahagia karena Mama dan Papa beberapa hari ini tinggal di rumah kami. Dua orang yang memang sejak Daffa kecil sangat dekat dengan Daffa.Dulu, si Sulungku justru malah sering kutinggalkan bersama kedua orang tuaku karena banyak hal. Itu sebabnya suatu waktu Mama pernah memarahiku karena hal tersebut. Karena kesibukanku di duniaku sendiri sehingga sering meninggalkan anakku di tempat Mama.Sering juga kutinggalkan Daffa karena ulah Ibu mertua. Atau masalah keluarga Mas Yusuf yang tak jarang menyita waktuku. Tentang almarhumah Mia, tentang Ibu, atau masalah lainnya.Dari sebab inilah Daffa menjadi lebih dekat dan intensitas kebersamaannya dengan Grandma dan Grandpanya sangat sering."Lagi pada asyik ngapain?" tanyaku pada Papa dan Daffa yang sedang bercengkerama di ruang Tv."Lagi jawab teka-teki silang nih Mom." jawab Daffa."Siapa yang menang?""Nggak ada yang menang, kami jawab b
MENANTU AMBURADUL 161 (ENDING)Setiap manusia selalu punya pilihan untuk selalu bersikap baik kepada sesama atau justru sebaliknya.___________Takdir hidup terkadang memang mengejutkan. Apalagi dengan terjadinya pendekatan dan rencana pernikahan antara Mimi dan Raihan. Semua orang bahkan diriku sendiri juga kaget. Apalagi mereka yang baru saja tinggal satu rumah dalam hitungan hari. Mimi dulu sempat ingin diadopsi sebagai anak oleh Ibu setelah kematian Mia, tapi rencana Ibu gagal karena tidak mendapatkan persetujuan dari anak-anak lelaki Ibu, kini Ia malah akan dijadikan istri oleh Raihan. Seseorang yang pernah menjadi menantu Ibu.Herannya si Mimi juga bersedia dengan permintaan Raihan yang ingin mempersuntingnya. Entah apapun itu motifnya yang jelas doa terbaik selalu untuk mereka berdua.Jika dengan menikah dengan Raihan membuat Mimi akan bersikap lebih penyayang kepada Fajarina dan Ibu, sungguh itu ide yang bagus. Karena selama ini Ibu sudah di rawat dengan Mimi dengan sepenuh ha
BAB 1“De’, yang cuci piring siapa tadi? Kok, Ibu sekarang cuci piring lagi?” tanya Mas Yusuf dengan suara berbisik kepadaku.“Aku. Kenapa memangnya? Enggak bersih? Diulangi lagi sama Ibu?” sahutku jutek karena emosi mulai meradang.Aku kesal setiap kali melakukan pekerjaan apapun di rumah mertuaku ini selalu saja kena komplain oleh suami, dengan alasan yang beragam. “Hehehe, Mas cuma tanya, kok. Ya sudah ndak apa-apa, biarkan saja Ibu.” jawab Mas Yusuf tanpa dosa.Hatiku mulai memanas, karena untuk kesekian kalinya hasil cuci piringku diulangi lagi oleh ibu mertua. Awalnya aku tak tahu masalah ini, kebetulan saudara Mas Yusuf waktu itu memberitahuku, bahwa piring, gelas dan peralatan dapur yang baru saja selesai kucuci akhirnya dicuci ulang oleh mertua saat aku sedang pergi dengan suami. Padahal menurutku sudah kucuci dengan bersih hingga ku sabun berulang, lalu kucium baunya berkali-kali, supaya tidak meninggalkan jejak bau amis a
BAB 2“Suf, istrimu itu dikasih tahu supaya jangan permalukan Ibu lagi di depan tetangga kita.”Aku yang tengah berada di dalam kamar secara sadar dan sengaja menguping pembicaraan ibu dan suamiku di ruang tv. Kebetulan jaraknya dekat dengan kamar tidur kami.Tiba-tiba terdengar gerakan kaki seseorang hendak masuk ke kamar. Pasti itu kelakuan Mas Yusuf, mungkin sedang mengecek istrinya sudah tidur apa belum? Untungnya diriku sudah hapal gelagatnya, segera Aku pura-pura memejamkan mata, lalu sedikit mendengkur. Setelah kudengar gerak langkah kakinya berjalan menjauhi kamar kami, barulah aku kembali mendengarkan obrolan mereka dengan santai. Setiap kali ibunya membahas tentangku, Mas Yusuf sepertinya tidak mau Aku mendengar percakapan mereka. Jadi dia berusaha keras untuk menutupinya dariku. Mungkin takut nanti akan terjadi perang dunia di rumah ini. “Memangnya Nisa kenapa, Bu?” tanya Mas Yusuf bingung.“Itu loh, I
BAB 3Kedamaian, ketentraman, dan keamanan tingkahku terjamin secara totalitas di rumah ini. Hunian yang ku tempati selama puluhan tahun ini. Tanpa harus berebut kekuasaan. Tanpa harus berbagi dengan ahli waris lain, karena diriku terlahir sebagai anak tunggal di keluarga Mama dan Papa. Terkadang Mama suka heran, bagaimana bisa anak sepertiku hidup di bawah aturan dari suami, sementara kelakuanku di rumah ini saja terus semena-mena. Hahaha. Aku meyakinkan Mama supaya percaya kepada anaknya satu-satunya ini, bahwa diriku bisa melakukan semua hak yang diragukan oleh orang yang telah melahirkanku itu. “Nisa, Yusuf, ayo makan malam, Nak.” ajak Mama sambil mengetok pelan pintu kamar kami yang setengah terbuka.“Iya.. Ma.” sahutku hampir bersamaan dengan Mas Yusuf.Mamaku memang terbaik, setiap kali kami pulang ke rumah, aku dan suami diperlakukan seperti raja dan ratu. Semua pekerjaan rumah sampai memasak diambil alih oleh beliau.
Bab 4“Mas, itu celana kamu kenapa?” tanyaku penasaran dan masih berusaha menahan tawa yang tak bisa ku hentikan.“Kenapa memangnya?” tanya mas Yusuf balik. “Sobek begitu loh. Ngapain dipakai sih? Malu-maluin saja!” jawabku kesel sampai ke ubun-ubun. “Masa sih? Tadi enggak sobek kok, De’.” protesnya tak percaya. “Aduuuhhh.... coba cek pantat kamu cepetaaaaaann.” suruhku. “Hahahahaa, ihh ternyata beneran sobek ya, De’. Ini tadi pas mau berdiri memisahkan Ibu sama mas Rama itu loh... eh bunyi “kreeek” gitu, tapi Aku enggak ngeh kalo celanaku yang sobek. soalnya situasinya lagi genting.” tutur mas Yusuf. Mas Rama tampak terkekeh geli sendiri mendengar penjelasan adiknya. Aku tak bisa menahan tawa. ya Allah, suamiku seketika menghilangkan citraku sebagai istri yang perhatian sama suami hanya karena tragedi celana bolong.Aku berusaha tenang, dan positif thingking kepada khalayak ramai. Tapi apala
Bab 5“Alhamdulillah, akhirnya sampai rumah juga ya Mbak Rin, terimakasih sudah bertahan demi Mas Rama, si kecil dan kita semua.” ucapku syukur menyambut kedatangan mbak Rini di rumahnya. Kami saling berpelukan, menumpahkan rasa haru dan syukur kami atas perjuangan yang sudah berhasil dilewati oleh Mbak Rini, suami dari kakak iparku ini. Pagi ini, tepat pukul 09.20 pagi kami sekeluarga sudah berkumpul bersama di kediaman Mas Rama. Ada mas Yusuf, Aku, Ibu, Mia dan Raihan, serta keluarga dari mbak Rini. Selain untuk menyambut sang baby cute, kami juga ingin menyambut mbak Rini yang baru selamat dari berjuang melawan masa kritisnya. “Makasih ya, De’. Makasih semuanya.” sahut Mbak Rini lirih. “Siapa nama bayinya, Mas?” tanya Mia kepada Mas Rama. “Khaitylin Ardiansyah. Bagus Nggak?” tanya balik Mas Rama kepada adik bungsunya. “Baguusss.... cute kok, sesuai dengan parasnya.” sahutku buru-buru. Sebelum ada sahutan lain yang lebih horor. Semua orang ikut tersenyum. Tanda mengiyakan kali
Bab 6 “Pagi Mbak Rini,” sapaku. Ia kulihat sedang sibuk melipat pakaian bayi milik Khaity. “Hai, Nisa... kapan sampai?” tanya Mbak Rini menimpali, ia sedikit terkejut atas kedatanganku yang tiba-tiba ini. Meski sebenarnya kami berdua sudah janjian di hari sebelumnya. “Barusan kok, Mbak.” balasku jelas padat dan kurang berisi, hehehe. “Sini masuk, Khaity lagi bobok tuh. Usianya masih bayi banget sih, ya, jadi pasti lebih banyak waktu tidurnya.” seru Mbak Rini. Ku lihat matanya sayup, sepertinya Mbak Rini kurang tidur. Pikirku. “Hehehehe, iya. Mbak sehat?” aku bertanya balik padanya. Sebagai seorang ibu baru, pastilah rawan dengan masalah baby blues syndrome. Tapi semoga saja doi tidak mengalami hal semacam ini. “Sehat dan waras tentunya. Kamu sendiri? Waras? Tertekan? Mendekati gila?" guraunya sembari terkekeh. Meski suka ceplas-cepkos, tapi Mbak Rini sangat baik terhadapku. Dia justru tidak mengajakku bersaing menjadi yang paling baik sebagai sesama menantu di keluarga Ardiansya