Share

BULAN MADU YUSUF DAN ANNISA

Bab 6

“Pagi Mbak Rini,” sapaku. Ia kulihat sedang sibuk melipat pakaian bayi milik Khaity. 

“Hai, Nisa... kapan sampai?” tanya Mbak Rini menimpali, ia sedikit terkejut atas kedatanganku yang tiba-tiba ini. Meski sebenarnya kami berdua sudah janjian di hari sebelumnya. 

“Barusan kok, Mbak.” balasku jelas padat dan kurang berisi, hehehe. 

“Sini masuk, Khaity lagi bobok tuh. Usianya masih bayi banget sih, ya, jadi pasti lebih banyak waktu tidurnya.” seru Mbak Rini. Ku lihat matanya sayup, sepertinya Mbak Rini kurang tidur. Pikirku. 

“Hehehehe, iya. Mbak sehat?” aku bertanya balik padanya. Sebagai seorang ibu baru, pastilah rawan dengan masalah baby blues syndrome. Tapi semoga saja doi tidak mengalami hal semacam ini. 

“Sehat dan waras tentunya. Kamu sendiri? Waras? Tertekan? Mendekati gila?" guraunya sembari terkekeh. Meski suka ceplas-cepkos, tapi Mbak Rini sangat baik terhadapku. Dia justru tidak mengajakku bersaing menjadi yang paling baik sebagai sesama menantu di keluarga Ardiansyah, malah justru diriku mendapatkan banyak pengalaman dari cerita-ceritanya. Jarang sekali ipar yang model begini, memang patut ku syukuri sih, karena ipar yang begini ini seribu satu. Banyak sekali tipe sesama menantu yang bermuka dua dan ingin terlihat baik sendiri. 

“Hahaha enggak dong. Amit-amit. Alhamdulillah baik juga.” seruku percaya diri. Gila? Ah benar juga katanya? Kadang saking kewalahan menghadapi keluarga Mas Yusuf, membuatku merasa sangat ingin pergi ke seorang psikiater. 

“Sarapan bareng yuuuk. Tadi Ibuku masak buat kami sebelum akhirnya pulang."

"Asyik... Aturan tadi ajak Mas Yusuf sekalian buat sarapan ya, Mbak." ungkapku sedikit kecewa. 

"Sudah dibungkuskan tadi, Mbak titipkan Mas Rama buat Yusuf." jelas Mbak Rini mengejutkan.

"Ah perhatian sekali rupanya kedua kakakku ini. Makasih banyak loh, Mbak." 

"Hehehe sama-sama." 

"Syukurlah, Mbak. Ibu rajin bantu banyak kerjakan pekerjaan rumah ya." pujiku.  

"Iya Nis, jadi ringan tugasku menjadi seoeang Ibu sekaligus istri, di tengah kondisi yang mengharuskanku beristirahat lebih dulu hingga pulih."

"Semoga sehat selalu kalian. Demi baby." doaku. 

"Aamiin Nis, jadi setiap hari kokinya ibuku sendiri, setiap hari bantu masak sama bantu pekerjaan rumah. Habis itu kalau sudah kelar semuanya baru deh ditinggal pulang sama beliau.” Mbak Rini sibuk menjelaskan tugas emaknya di rumah ini.

"Bener-bener full service sepertinya sih, dan tanpa pamrih kalau ibu sendiri yang urus anak perempuannya lepas lahiran. Lain cerita lagi kalau mertua seperti Ibu Ilma yang berperan, bisa gonjang-ganjing kondisi para menantu di muka bumi ini." imbuhku.

"Hahaha. Dasar kupret kamu, Dek." Mbak Rini mengumpat, tubuhnya terguncang menertawakan lawakanku. 

"Loh, ya bener kan. Coba saja kalai enggak percaya, Mbak." tekanku. 

"Ogah. Dibayangkan saja sudah cukup, jangan terjadi di dunia nyata. Bisa perang dunia nanti di rumah ini." tolaknya. 

"Hahaha dasar menantu kurang ajar, suka ghibahin mertua." olokku. 

"Yee, kamu yang mulai. Awas dilirik Malaikat Munkar dan Nakir loh." celoteh Mbak Rini menimpali. 

"Hahaha bener juga, ampun." 

Aku tak bisa menahan tawa atas jawaban dari Mbak Rini. 

“Enak dong, Mbak, sudah ada Ibu jadi beres semua pekerjaan rumah." cerocosku. 

“Hehehehe iya. Nanti paling pas kamu melahirkan juga gitu. Mamamu kan sayang banget sama kamu, De'. Apalagi Papa.” Mbak Rini memang yang paling memahami bagaimana kedua orang tuaku menyayangi anak satu-satunya ini. 

“Hehehehehe, bantu doa saja, semoga Nisa cepat dikasih momongan ya, Mbak.”

“Aamiiin.” 

Setelah obrolan penuh canda tawa itu, kami berdua asyik sarapan bersama. Aku menikmati suapan demi suapan yang masuk ke dalam mulut dengan sangat brutal, mungkin karena cita rasa masakannya sungguh enak, ditambah lagi kebetulan perutku juga dalam kondisi sedang lapar. Mana makanan ini gratis pula ya, kan. Tahu begini ku ajak sekalian Mas Yusuf buat menyantap masakan ibunya Mbak Rini biar bisa leluasa memilih lauk mana yang ia suka. Aku ngebatin sekaligus menyesal. Meski ku tahu, Mas Rama kakaknya sudah membawakan bekal untuk suamiku pergi ke kantor. 

“Eh, enak loh masakan Ibu, Mbak. Jadi kangen masakan Mama.” ungkapku berapi-api. Mbak Rini juga tampak lahap menikmati makanan yang terhidang di atas meja ini. Gimana enggak lahap, orang tinggal masukkan ke mulut, lain lagi kalau suruh masak dulu. Hehehe canda Mbak Rin, Aku ngebatin sendiri. 

“Serius enak? Mas Rama suka banget sama masakan mertuanya dari pada masakanku,” ucap Mbak Rini malah sibuk merendahkan dirinya sendiri. Aku jadi merasa turut direndahkan juga kalau macam ini. Hahaha. 

“Ih sama banget loh, Mbak. Mas Yusuf juga begitu." ungkapku jujur. Kini harga diriku benar-benar sebanding dengan sendal jepit. Rendah dan jatuh banget...

“Eh, ngomong-ngomong kamu izinnya kemana sama Ibu. Mia sudah pulih?” cecar Mbak Rini antusias. 

“Ih... Satu-satu dong, Mbak. Jangan keroyokan pertanyaanya." protesku. 

"Hehehe, sudah ku tahan dari tadi pula, kau suruh diriku supaya perlahan-lahan tanya. Dasar adik tak tahu diri." umpat Mbak Rini sembari terkekeh. 

"Ye... Sabar. Kami berdua sedang tinggal di Hotel Mbak. Sempat ada problem sih waktu kemarin Mia sama suami balik ke rumah Ibu. Ada sedikit cekcok begitu antara Mas Yusuf sama Ibu.” jelasku yang entah bisa bikin orang lain paham atau malah pening. Hahaha. 

“Oooohhhh, pantesan si Rama sudah nebak saja. Dia bilang sebentar lagi bakalan ribut nih si Ibu sama Yusuf. Bilang gitu waktu dia pulang dari rumah emaknya.” 

“Heheheh masa sih? Dasar suami istri tukang ghibah, gosip, asal nebak. Tanya dong langsung sama pemerannya." makiku. 

"Hahaha dasar kamu, jelasin alasannya buruan!" tagih Mbak Rini tak sabar. Kesabarannya memang setipis tisu. 

"Habisnya Ibu suka ngawur ngomongnya. Masa’ masalah takdir gampang banget begitu buat bahan ejekan. Belum nanti buat bahan rumpi. Pokoknya gitulah mbak. Jangan bilang mas Rama loh, ya... kalau aku ngerumpiin emaknya gini. Ini Nisa ngomong tentang fakta bukan fitnah.” ancamku.

“Takut banget kamu, De’. Santai, Rama lagi kerja. Kita ngobrol sebagai sesama menantu aja.” 

"Awas ya kalau bocor." Aku serius mengancam. 

“Enggak!"jawabnya nyolot. 

"Bener loh, awas." bibirku kembali menegaskan. 

"Ish..." balas Mbak Rinu geram. 

"Jadi kalian berdua sekarang tinggal di Hotel? Kenapa enggak pulang ke rumah Mama sama Papa? Ciieee si Yusuf lagi pengen berdua doang pasti.” Mbak Rini mulai meledek. 

“Hahahaha, kalau itu mah setiap hari mbak. Bukan cuma Mas Yusuf, aku juga pingin berduaan aja. Puas, bebas, tanpa tekanan.”

"Bener banget. Stress pasti jadi kamu, setiap hari pemandangannya Ibu. Kalau aku sih entahlah, mungkin sudah saling gampar satu sama lain di rumah." timpal Mbak Rini. Se-ekstrim memang kalau Mbak Rini dan Ibu disatukan. 

"Pinginnya begitu, Mbak. Tapi kan hidup ada batasan juga. Kalau terlalu keras sama mertua, ujungnya Nisa yang dibenci saudara Mas Yusuf lainnya, termasuk Mas Rama."

"Iya juga ya, Nis. Skip ajalah. Malas bahas Ibu. Jadi kalian beneran menginap di hotel sekarang?"

"Iya, Mbak." 

“Enggak apa, lah, yaa, udah nikah ini. Bebasss, Halal, nggak takut di grebek juga. Hahahaha.” gurau Mbak Rini. 

“Sebenernya ini semua tercetus itu karena minggu ini kami sebenarnya ada planning ke Bali buat liburan. Tapi karena kondisi keluarga tidak memungkinkan untuk kami berlibur, akhirnya Mas Yusuf meminta ganti lain waktu saja. Jadi kami liburannya ke Hotel. Lagian Mia kan juga habis keguguran.”

“Oh begitu. Ngapain juga terlalu perasa sih. Kalau mau travelling ya lakuin aja kali. Toh si Mia sama siapa tuh nama suaminya yang mirip sama nama mantan aku? Ah jadi lupa.”

“Dasar dikau somplak malah keingat mantan. Hahaha. Si Raihan.....” sahutku kenceng sebelum mbak Rini teringat berlebihan tentang kenangan bersama mantannya. 

“Oh iya, lagian Mia sama Raihan pas seneng, pas asik-asik juga belum tentu ingat kalian kan. Jadi ngapain nggak enak. Masalah keguguran kan nanti bisa bikin lagi. Kalau aku sih bakalan cuek aja. Toh lebih duluan rencana kalian kan dari pad kejadian mereka yang sekarang. Udaahh deh nggak usah terlalu baik sama Mia kamu De’. Belum tau aja kamu kalo dia julidnya dibelakang kamu udah ngalahin emaknya.” 

“Hehehhe aku juga baru tahu beberapa hari yang lalu mbak. Tentang sifat sebenarnya Mia. Itupun dikasih tau sama bu Rohmah.” 

“Seriusan? Ah memang baek hati tuh mak Rohmah, selalu ngelaporin hal-hal begituan ke menantu-menantu Ibu.” 

“Iya, Mbak.” 

“Jadi... kamu kesini naik apa tadi, De’?”

“Diantar Mas Yusuf, mbak. Nanti juga kusuruh dia jemput. Aku bilang kangen sama khaity dan pengen bantuin mbak Rini. Dari pada kesepian juga di Hotel jadinya dibolehin deh.” 

“Adduuuhhh, Mbak salah moment ini, moment honeymoon malah ku ajakin ngerumpi yang enggak-enggak.” ucap Mbak Rini penuh sesal.

“Biasa aja, Mbak. Santai aja. Nisa kayak bunglon kok, mudah menyesuaikan. Nanti pas nyampek Hotel sudah lain lagi karakternya.”

“Hahahaha bisa saja kamu, De’.”

Terdengar suara tangisan khaity dari dalam kamar. Mbak Rini segera berlari melihat anaknya. Sementara aku, melanjutkan sarapan pagiku. 

Ku lihat foto pernikahan mbak Rini dan Mas Rama  terpampang di dinding ruang tengah. Ada keluarga besar Ardiansyah disana. Alias keluarga almarhum bapak mertua. Beruntung sekali karena pernikahan Mbak Rini dan Mas Rama masih bisa disaksikan oleh almarhum bapak mertua. Menurut cerita Mas Yusuf, bapak meninggal belum lama, sekitar satu tahun setelah pernikahan mas Rama. Bapak adalah orang yang sabar dan baik. Beliau bisa dalam segala hal. Bahkan untuk urusan dapur, beliau jagonya. Ibu salah satu wanita paling beruntung di dunia. Tapi sayangnya, keberadaan Bapak kurang begitu dianggap oleh Ibu. Ibu berfikiran bahwa semua anak diurus hanya olehnya. Suami hanya terima beres. Padahal menurut cerita mas Rama dan Mas Yusuf tidaklah begitu. Justru Bapak lebih letih mengurus anak dan rumah juga bekerja mencari nafkah keluarga. Ibu malah asik dengan dunianya sendiri. Tapi entahlah... mungkin bisa beda versi lagi jika yang bercerita Mia. 

********

Mbak Rini membawa sebuah Hp dari kamarnya. Menyodorkannya kepadaku, dengan layar yang sudah terbuka. 

“Bacalah Nisa, ini pesan Ibu kepada kakakmu Rama. Mbak sengaja foto untuk kasih lihat ke kamu.” 

(Rama, Kelakuan Yusuf adikmu sudah kurang ajar sama Ibu. Dia berani mempermalukan Ibu di depan istri dan adik-adiknya. Bahkan mereka berdua sekarang keluar dari rumah tanpa berpamitan dengan Ibu. Salah Ibu apa nak? Ibu sudah lelah membesarkan kalian. Mengorbankan semuanya demi kalian. Bahkan ibu rela mengorbankan kesenangan Ibu hanya untuk menjaga kalian. Tolong kasih tahu Yusuf. Jangan mau jadi budak Annisa. Dia bukan wanita baik) 

“Astaghfirullah Ibu....,” bagaikan kesamber petir Aku membaca pesan konyol dari Ibu untuk mas Rama. Sebegitu bencikah beliau dengan menantu sehingga dengan gamblang menggambarkan sosok menantunya seperti monster?

“Respon Mas Rama bagaimana mbak?” 

“Dia tidak pernah merespon. Jarang sekali membalas saat ibu seperti itu. Kadang sampai Ibu sendiri marah. Paling Rama cuma bisa jawab sabar, nanti Rama tegur. Udah, cuma itu yang bisa dia katakan. Membela adik-adiknya pun hanya akan jadi kalimat sampah di telinga Ibu. Nggak akan di dengar.” 

Aku menahan bulir air mata yang memaksa untuk jatuh. Mungkin mbak Rini sudah melihat mataku berkaca, seketika dia memelukku erat. 

“Kita menghadapi seorang Ibu yang sama. Kita sama-sama orang asing dalam keluarga suami. Dan hati kita-pun sering tersakiti oleh keluarga suami. Tapi mbak yakin, kamu jauh lebih baik dari Mbak, jauh lebih kuat dan tangguh. Kamu punya kelebihan yang enggak mbak punyai. Mbak hanya mau pesan, hati-hatilah. Ibu manusia yang sangat berbahaya. Juga Mia anaknya.” 

“Apa yang pernah Mia ceritakan tentang Aku mbak?” 

“Banyak. Apalagi masalah pakaian. Dia sangat terganggu jika kita pakai sesuatu yang bagus atau bermerk. Meskipun event kita mau kondangan sekalipun. Apalagi kalau kamu pakai berlian atau emas. Meski itu dari orang tuamu sekalipun.” 

“Masa’ sih, Mbak?”cecarku tak percaya.

“Iya. Kamu pernah kan ditegur. Ciieeee bajunya baru. Cieeee tasnya baru.”

“Iya. Bener. Sering banget malah.”

“Habis itu, dia bakalan ceritakan itu semua ke Ibu dengan percaya diri, seakan dia paling tahu bahwa istri suaminya suka foya-foya dan ngabisin uang kakaknya.” 

“Astagaaa.... kelakuannya busuk kayak bau tai kucing ya ternyata.” 

“Masih banyak lagi. Kamu bakal tahu sendiri nanti. Mbak cuma mau kasih wejangan aja. Pokoknya hati-hati.” 

“Makasih mbak.” 

“Iya. Sama-sama Nis.” 

Kalau pakai pakaian bagus enggak boleh, masa’ iya musti pakai pakaian ala-ala pengemis palsu gitu pas di rumah mertua. Yang disobek-sobekin kaosnya. Dibikin kumuh seakan udah dua tahun enggak ganti. Terus sekalian aja rambut dibikin gimbal. Abis tuh goreng deh gimbalnya pake minyak jelantah. Hahahahaha. 

**********

“Bye Mbak Rini, terimakasih jamuannya ya. Kapan-kapan Nisa main kesini lagi. Kenyang soalnya disini banyak makanan. Hahahaha.” pamitku pada mbak Rini saat sang pangeran sudah menjemputku untuk pulang. 

“Bisa saja nih. Ati-ati ya kalian. Eh, Suf, makin ganteng aja kamu tinggal di Hotel berbintang, Suf. Jiwa mudamu lagi on, ya? Hahahaha...” 

Mas Yusuf tampak berseri-seri tanpa malu. Mukanya udah kayak kripik rengginang aja. Renyah dilihat. 

“Bye mbak Rin, sabar ya, yang lagi puasa. Jangan iri sama kita-kita." jawab mas Yusuf tak mau kalah. 

“Hahahha, Bye... dasar adik kurang ajar.” teriak Mbak Rini sebelum akhirnya mobil kita melaju kencang. 

_________

“Assalamu’alaikum Pa, Ma.” 

“Wa’alaikum salam. Eh kalian udah sampai.” ternyata Mama yang bukain pintu rumah.

Aku dan mas Yusuf memutuskan untuk pulang ke rumah Papa dan Mama setelah selama tiga hari tinggal di Hotel. Cukuplah ya untuk merefresh otak dari problem yang kemarin. Pikirku. 

“Papa dimana, Ma?” tanya Mas Yusuf. 

“Lagi mandi tuh, kamu mandi dulu aja Yusuf. Untuk air panasnya udah Mama colokin tadi sebelum kalian nyampek.”

“Makasih ya, Ma. Yusuf mandi dulu.” 

“Iya, Nak.” 

Mataku sudah mulai berkaca-kaca. Betapa berbanding terbalik cara orang tuaku memperlakukan menantunya, sedangkan keluarga Mas Yusuf. Ahhh sudahlah. 

“Mama, peluk Nisa,” pintaku pada Mama.

Mama mengulurkan tangan dan bahunya. Rasanya hangat berada dipelukan Mama. Air mataku bebas berlinang dan tanpa sengaja membasahi baju Mama. 

“Loh, anak kesayangan Papa sudah pulang?” Tiba-tiba Papa muncul begitu saja. Membuatku bergegas berganti memeluknya.

“Annisa rindu sama Papa Mama.”

“Kenapa Sayang? Bilang sama kami.” tanya Papa, seakan tahu Aku sedang ada masalah.

“Siapa yang jahat sama kamu? Bilang sama Mama. Mertua? Ipar? Atau Yusuf? Jangan bilang mereka semena-mena ya perlakukan kamu. Kamu itu anak satu-satunya kami. Anak perempuan yang berharga. Siapapun yang berani sakitin kamu, akan berhadapan sama Mama!” uuuh... Manusia berhati Malaikat yang selalu pasang badan untuk anaknya, ya orang tua. 

“Mama, jangan keras-keras, nanti Yusuf dengar.” pinta Papa.

Aku masih terisak dipelukan Papa. Entah apa yang harus aku ceritakan. Aku bingung memulainya. Perjalananku sudah begitu panjang, dan sejak awal aku memang tidak pernah menceritakan masalah kesedihanku di rumah mertua. Aku tak mau orang tuaku berbalik arah, menjadi tidak menyayangi Mas Yusuf. Itu sebabnya lebih baik jika aku diam dan memendamnya sendiri. 

“Kenapa? Mertuamu jahat,Nis? Bilang sama dia, sebagai besan yang baik, jika anaknya ingin diperlakukan baik di rumah mertuanya, maka, perlakukan baik pula anak orang di tempat dia. Jangan semena-mena. Bilang sama dia begitu. Tidak ada anak yang tidak berharga bagi orang tuanya. Jika dia berani macam-macam. Mama lawannya!” Ancam Mama. 

“Apaan sih, Ma. Dengerin dulu dong Nisa bicara.” 

“Doain Nisa, supaya lekas punya momongan.” tiba-tiba itu yang muncul di kepala. Tak apalah dari pada bingung mau ceritain tentang apa. 

“Oalaaahhh, masalah itu. Kenapa dibikin pusing, sih? Itu kan Tuhan yang kasih, nggak usah pusing. Yang paling penting ikhtiar dan minta langsung.” jawab Mama. 

Akhirnya Mas Yusuf keluar dari kamar dengan pakaian yang sudah berganti. Dan tercium aroma parfum yang wangi, tanda dia sudah bersih-bersih badan. Mas Yusuf tampak bingung karena melihat kami seperti membicarakan hal serius. Mataku pun tampak sembab saat ku tengok di sebuah kaca besar di ruang tamu ini.  

“Yusuf. Kamu apa kan anakku Nisa? Dia sampai babak belur begini?” tanya Papa setengah bercanda untuk mencairkan suasana.

“Iya Suf, apa yang kamu lakukan pada Anak kami? Jujur!” Mama menimpali dan tampak serius. 

“Yuuuu... Yusuf cuman itu Pa, Ma, enggak ngapa-ngapain. Yaa kan, Sayang?” 

“Kamu, ada yang sakit?” Mas Yusuf balik bertanya padaku. Karena bingung. 

Aku menggeleng sambil menahan tawa. 

“Diapain? Awas kamu ya berani sakitin anak saya.” Tegas Papa.

“Enggak sakitin Pa. Yusuf udah pelan-pelan kok. Yusuf ajak Nisa ke Hotel karena awalnya mau ke Bali tapi enggak jadi, Pa. Tapi Yusuf enggak sakitin Nisa.” 

“Ooohhh... jadi sebelum kesini kalian nginep di Hotel. Gitu? Bukannya pulang dulu tapi mlipir dulu ke Hotel? Begitu? Ajaran siapa itu?” 

“Hahahahhaa.....” kami bertiga menertawai wajah Mas Yusuf yang super tegang menghadapi ketegasan mertuanya.

Mas Yusuf akhirnya merunduk malu. Melempar balik senyum tipis pada kami yang tengah duduk di sofa. 

Tiba-tiba Papa dan Mama berdiri, hendak pergi dari ruang tamu. 

“Sudah sana istirahat kamu, Nis. Papa sama Mama ada undangan pesta malam ini. Silakan dilanjutkan yaaaa acara yang di Hotel tadi, Suf.” ejek Papa sembari menepuk bahu mas Yusuf. 

Aku bergegas memeluknya, lalu menggandeng tangannya mengajak ke kamar. Ku bisikkan di telinga Mas Yusuf. “Ngapain sewa Hotel ya, mas. Buang-buang uang saja. Kamar kita disini kan, lantai atas. Jadi aman, Papa Mama nggak bakalan denger.” ucapku berbisik.

Aku berlari menaiki tangga menuju lantai dua. Buru-buru Aku masuk ke kamar, menyomot handuk lalu ku kunci rapat kamar mandi. Terdengar suara langkah kaki Mas Yusuf mengejarku.

“Buka Sayang.... Buka! Dasar kamu ya. Beraninya malu-maluin suami di depan orang tua! Padahal kamu sendiri yang pikirannya jorok. Sini kamu! Nggak ada ampun ya malam ini.” teriaknya di depan pintu. Sambil gedor-gedor pintu. 

Kubuka pintu kamar mandi dan ku tarik lengan Mas Yusuf. Ku guyur dia pake air, dan akhirnya... dia pun mandi dan keramas lagi. Ups... Basah deh. Lagi, yang terjadi di hotel terulang lagi di rumah. Huuft...

__________

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status