Bab 8
Di dalam mobil, mulutku masih manyun karena masih kesal. Aku lebih memilih duduk di jok belakang bersama Mama, ketimbang harus duduk bersebelahan dengan Mas Yusuf. Tidak biasanya memang kami berdua terpisahkan jarak, mungkin kedua orang tuaku sudah hapal tabiatku begitu saat sedang ngambek. Papa duduk di jok depan bersama menantu kesayangan.Mama Papa sepertinya tidak ngeh masalah penyanyi di kafe tadi. Buktinya mereka diam saja padahal biasanya sudah heboh dan julid.“Suf, Papa mau tanya. Kalau kita ketemu mantan di tempat umum dan tanpa disengaja, apakah itu kesalahan kita sebagai laki-laki?” ungkap Papa tiba-tiba. Rupanya beliau mulai aktif menyindir anak semata wayangnya ini. Baru sadar kalau ternyata si papa paham juga kalau tadi itu adalah mantan kekasih dari Mas Yusuf. “Yaaa pastilah, Pa. Tetap kita yang disalahkan, meskipun kita sama-sama tidak sengaja. Lelaki memang selalu saja salah di mata perempuan, Pa." sahut Mas Yusuf percaya diri. Aku yakin dia sangat bahagia karena mendapatkan pembela di dalam mobil ini. Wajarlah, sesama gender, pasti merasakan hiruk pikuk susah payah menghadapi sifat seorang wanita dalam hidup mereka. “Tapi kalau yang ketemu mantannya adalah istri kita? Gimana tuh?” tanya papa lagi. Kali ini sepertinya sedang berusaha menyudutkan pihak perempuan. Mama melirik ke arahku, begitu juga sebaliknya. Kami sebagai pihak tersindir diam saja tak menanggapi obrolan keduanya secara serius. Takutnya malah jingkrak-jingkrak nantinya. “Sah saja sih, Pa, santai saja bagi mereka. Karena itulah istimewanya wanita, mereka tidak pernah salah dan tidak pernah mau mengakui kesalahannya.” jawab Mas Yusuf penuh penekanan.“Hahaha...”Keduanya terkekeh. Aku dan Mama sebagai seorang wanita dan objek yang dibicarakan, pura-pura tidur saja cari aman.Memang benar sih, wanita dimana-mana selalu benar. Laki-laki selalu salah. Apa salahnya juga Mas Yusuf yang tidak tahu menahu kalau mantannya ada di sana tadi? Tapi masalahnya adalah, kenapa dia mendengarkan nyanyian tadi dengan penuh penghayatan. Jika memang benar dia menyimak lagunya dengan baik, lalu apa kabar dengan ingatannya tentang yang sudah berlalu? Aku over thinking sekarang, memikirkan hal yang malu untuk kupertanyakan. Eh sebentar, sebenarnya suamiku tadi benae-benar menghayati atau diam karena takut padaku, ya? Ah entahlah yang jelas Ini artinya Papa lebih membela kaumnya, dibandingkan anak sendiri. Huh, jadi bingung mau ngambek atau udahan. Hiks.*******Satu bulan berlalu. Aku dan Mas Yusuf merasa bahagia tinggal di rumah orang tuaku. Mood baik dan kewarasan selalu terjaga. Awalnya kami memutuskan untuk pergi ke Bali minggu ini. Tapi karena Mas Yusuf ada kerjaan yang tidak bisa ditinggal, akhirnya ditunda sampai minggu depan.“Ting.”Ada satu notif pesan masuk di hp Mas Yusuf.[Suf, pulanglah Nak. Ajak Nisa juga. Ibu rindu]Pesan ini dari Ibu mertua ternyata. Tumben bilang rindu. Jangan-jangan ada tragedi pertempuran di sana? Atau si Mia sama Raihan pulang ke tempat orang tua Raihan? Ah entahlah.“Mas, Ibu kirim pesan tuh.” Aku membangunkan Mas Yusuf yang masih terlelap. Sudah waktunya Ia bangun untuk bersiap-siap kerja.“Bilang apa, si Ibu?” sahutnya masih mengantuk. Matanya belum melek sepenuhnya. “Rindu kamu. Kita disuruh pulang.” jawabku sedikit jutek. Membayangkan bagaimana beliau merindukanku? Sama dengan membayangkan diriku memakai sepatu Cinderella, mustahil banget! Paling ada sesuatu tragedi yang memang sedang berlangsung, hanya saja Ibu mertua tak mau menceritakan secara detail lewat sebuah pesan. “Ya sudah jawab saja, nanti kesana habis Mas pulang kerja.” pinta Mas Yusuf. “Baiklah paduka...” [Sepulang dari bekerja nanti Yusuf dan Nissa ke rumah Ibu] balasku. Suamiku banyak berubah sekarang, termasuk dalam hal pesan semacam ini. Kini diriku dibebaskan membalas apapun pesan yang ibunya kirim. Berbeda dengan dulu saat dia benar-benar membatasiku dalam rasa keingintahuanku atas obrolan apa yang sedang suamiku dan ibunya bahas. Semakin ke sini, Mas Yusuf sudah banyak berubah, dan Aku senang. [Iya, Suf]*********"Pergilah kami ke rumah Ibu mertua. Setelah Mas Yusuf pulang kerja. Setelah menerjang memacetan yang luar biasa, kami berhasil memarkir mobil kami di halaman rumah Ibu. Di halaman rumah ibu tampak Ada mobil Mas Rama. Itu tandanya mungkin khaitylin dan mbak Rini sedang berkunjung ke tempat eyang putrinya. Alkhamdulillah kalau memang hubungan mereka sudah membaik, pikirku. “Hallo.... kalian, Assalamualaikum.” sapa Mbak Rini mengagetkan.“Eh, mbak di sini juga?” tanyaku. "Iya nih. Ajak maen khaity ke eyangnya. Kalian?” “Kami disuruh Ibu kesini, mbak.” jawabku jujur. “Kayaknya lagi ada problem sama Mia deh si Ibu. Soalnya dari tadi ngomong serius sama Mas Rama enggak kelar-kelar di kamar." imbuh Mbak Rini sedikit bercerita tenrang kondisi di dalam rumah. “Loh, Mia kemana emang?” tanya Mas Yusuf menimpali. “Pulang ke rumah mertua dia sama Raihan.” ucao Mbak Rini. “Pantesan.” “Sana, kamu saja yang nyusulin Mas Rama, Suf. Siapa tahu Ibu mau ngobrol serius sama kalian.” perintah Mbak Rini pada suamiku. “Baik, Mbak.” Mas Yusuf bergegas masuk ke dalam rumah, sementara diriku harus tahu fungsi, bahwa yang dibutuhkan sekarang adalah anak lelaki Ibu. Menantu dan lainnya nomor ke sekian, jadi harap tahu diri. Hahaha. ********""Terdengar suara tangisan Ibu. Setelah Mas Yusuf berhasil masuk ke dalam kamar beliau. Aku dan Mbak Rini seperti biasa, menguping pembicaraan mereka dari luar. Meski ada beberapa kalimat yang tidak kedengeran, tapi lumayanlah kita enggak budek-budek amat. Hahaha. Si bayi Khaitylin memang sedang tidak bersahabat dengan kita para menantu. Tiba-tiba saja dia nangis kencang. Terpaksa kita lebih mendengar tangisannya dari pada pembicaraan Ibu dan anak-anak lelakinya.Kulihat meja makan Ibu, tidak ada makanan sama sekali di sana. Bergegas ku pencet applikasi online yang bisa delivery makanan jam segini. Kupilihkan salah satu menu kesukaan Ibu. Dan lagi beberapa menu untuk kita berempat makan. Aku baru ingat kalau belum sempat makan malam, itu sebabnya ku siapkan segala hal yang tidak mungkin kumasak malam-malam begini. Tiga puluh menit berlalu, akhirnya makanan datang. Ibu dan anak-anak juga keluar dari kamar. Kami makan bersama. Aku dan Mbak Rini makan dengan lahap, tapi suami kami seperti kehilangan selera makan. Tak apalah, nanti juga perlahan-lahan habis. Sejak kapan para lelaki meninggalkan kesempatannya untuk makan? Bahkan saat dulu putus sama pacar sekalipun, makanan bakalan tetap masuk ke dalam organ pencernaan yaitu perut. Meski bilangnya “enggak nafsu makan, masih mikirin kamu.” hallaah omong kosong! Makiku. Mia dan Raihan datang. Mungkin sengaja di suruh oleh Mas Rama.“Duduk, Han. Mia...” pinta Mas Yusuf. Aku dan Mbak Rini kebingungan karena benar-benar tidak tahu masalah pastinya apa. Kami berdua hanya bisa bersabar dan menunggu saja. Menunggu sesuatu yang akan dijelaskan oleh waktu dan keadaan. Kulihat Ibu tiba-tiba meneteskan air mata. Ada apa ini? Hanya wajahku dan Mbak Rini yang tampak bingung. Drama apalagi ini sebenarnya? “Ada masalah apa kalian sama, Ibu?” tanya Mas Rama mengawali obrolan. Ibu masih terisak, sesekali mengusap air matanya. Entah air mata buaya atau kadal atau katak. Hahaha. Ups, sejahat itu ternyata pemikiranku. “Enggak ada masalah. Kami hanya ingin pulang ke rumah orang tua Mas Raihan, itu saja kok, Mas.” Mia tampak serius menjelaskan.“Kamu ngomong apa sama Ibu, Mia? Alasan kenapa Ibu nangis sampai detik ini, pasti kamu tahu kenapa?” Mas Yusuf ikut mendesak adik perempuannya itu. “Ibu Mas Raihan itu sedang sakit. Jadi Mas Raihan sibuk ngurusin Aku dan Ibunya selama aku masa pemulihan kemarin. Aku masih bisa terima suamiku menggantikan tugasku selama itu di rumah ini. Tapi tolong hargailah tenaga Mas Raihan. Jangan apa-apa dibandingin dengan kalian. Masalah gajipun dibanding-bandingkan. Tahu sendiri kan, berobat banyak biaya. Gaji Mas seberapa? Tapi yang Ibu pinta itu macam-macam. Apa salah aku membela suamiku? Belum lagi Mas dituduh semobil sama wanita lain pula. Hanya karena Ibu dengar dari orang bahwa Raihan bersama wanita lain selain aku. Itu ibunya!!” gertak Mia. Semua orang terpaku mendengar penjelasannya. Mia terlihat sangat emosi saat menjelaskan kepada kami. Ibu yang bercerita tidak sesuai dengan kenyataannya langsung tiba-tiba histeris. Bukan itu semua yang kudengar tadi. Ini beda persoalan.“Ya Allah apa salahku ya Allah, semua anak-anakku membangkang. Ampuni hamba ya Allah.” ucap Ibu mertua yang selalu menjadi andalan. Beliau selalu mencari pembenaran atas kesalahan yang sudah berhasil ditebar. Kondisi apa sebenarnya yang Ibu inginkan? Hanya Ibu dan Tuhan yang tahu. Sebagai penyimak, hanya bisa mengamati saja. “Membangkang gimana, Bu? Mia hanya menjelaskan supaya semuanya paham! Jadi kakak Mia tidak ada yang akan menyalahkan Mas Raihan dan Mia lagi.”"Aduuh... Dada Ibu sakit, Ya Allah. Tolong Ibu Rama, Yusuf, ibu lemas sekali." tutur Ibu penuh sandiwara. Aku sampai hafal bagaimana beliau bertingkah setelah ketahuan dengan kebohongannya. “Ayo pulang Mas, Ibu sendirian di rumah.” ajak Mia pada suaminya. Raihan hanya menurut lalu berniat bersalaman dengan Ibu mertua. Sayangnya ditampik kasar oleh Ibu. Padahal Raihan sama sekali tidak berucap sepatah katapun, tapi respon Ibu sangat keterlaluan begitu. Kami hanya bengong, apalagi ini yang Ibu buat sehingga mengumpulkan kami semua di sini seperti ini? Mungkin beliau pikir, anak lelakinya bakalan membela beliau di depan adiknya, tapi mendengar penjelasan Mia, anak lain hanya bisa diam saja. Bagaimana tidak, fitnah Ibu akhirnya terbantahkan, sudah cukup bagi kami untuk pahan atas kondisi apa yang sudah Mia perjelas. “Ibu tidur ya, ayo Rini temani ke kamar.” Aku yang saat itu masih membopong khaitylin, hanya bengong. Bingung. Mbak Rini berhasil membujuk Ibu untuk mau masuk ke dalam kamar. “Biar Aku, Khaity dan Mas Rama saja yang menginap di sini. Kalian pulang, ya.” kata Mbak Rini. Akupun bersiap pulang dengan suami.Baru sampai pintu gerbang rumah, kepalaku rasanya pusing dan aku tidak bisa melihat apapun. Pandanganku kabur, dan tak sadarkan diri. **********Entah berapa puluh menit berlalu, ternyata aku sudah berada di sebuah tempat perawatan. Ada Mama, Papa dan Mas Yusuf di dekat bed pasien yang sedang ku tiduri.“Aku dimana, Mas?” tanyaku linglung.“Di Klinik, Sayang. Tadi kamu pingsan.” jelas Mas Yusuf. “Aku tidak makan tadi siang, tapi malam ini sudah ku isi perutku.”“Makan yang teratur dong, Nis, biar enggak sakit.” pinta Mama."Iya, Ma. Pa, makasih sudah dampingi Mas Yusuf di sini." ucapku. "Iya, sama-sama Sayang." Aku disuruh melakukan pemeriksaan urine setelah tersadar. Lalu diminta untuk menunggu beberapa waktu untuk melihat hasilnya.Ada dua orang masuk membuka tirai ruang tempatku berbaring. Sepertinya ini ruang gawat darurat. Keduanya yang datang menghampiriku rupanya seorang Dokter laki-laki dan suster.“Gimana mbak Nisa? Sudah lebih baik?” tanya pak Dokter.“Sudah, Dok. Saya boleh pulang?” tanyaku spontan. Rasanya tidak mau berlama-lama di sini. “Boleh. Ada kabar baik ya Pak, Bu, Mas. Mbak. Mbak Nisa Hamil. Hasil tes urinenya positif. Silakan besok supaya periksa ke spesialis Obgyn untuk memastikan berapa usia janin yang di kandungnya.”“Alhamdulillah ya Allah......” Papa Mama terharu, menangis bahagia dan memelukku erat. Mas Yusuf juga meneteskan air mata. Begitu juga Aku. Akhirnya yang kami tunggu benar-benar dititipkan ke dalam rahimku. MasyaAllah... Aku benar-benar bersyukur.“Ma, Nisa bahagia sekali, akhirnya... ada Baby di rahimku.”"Selamat ya, Nak. Kami semua bahagia.” Papa menimpali. Mama memelukku erat. "Mas Yusuf curang, Jahat.”"Kenapa Sayang? Jahat kenapa?” tanya Mama.“Kan minggu depan jadwal ke Bali, pasti gagal lagi deh gara-gara Nisa hamil. Kayaknya sengaja banget ngejadwalinnya. Ah Nisa mau ngambek, tapi kok lagi seneng.” omelku pada suami. Bukannya dijawab malah Mas Yusuf memelukku erat.“Makasih sayang atas surprise ini.”"Huuaaaaa.... huuaaaaa...... tanggung jawab kamu Mas! Gagal lagi kita mau pergi jauh Huuuuaaaa." teriakku histeris. “Hahaha.....” Terdengar suara gelak tawa yang kompak dari mereka bertiga menertawai kelakuanku.Setelah ini, suamiku sepertinya akan mulai trauma memberikan janji kepada istrinya. Ia sama sekali tidak peduli dengan apapun yang kuucap, mungkin yang jauh lebih penting sekarang adalah Mas Yusuf sudah berhasil mencetak goal di dalam rahimku. Goal pertama kalinya yang mungkin akan merubah dunia kami yang awalnya begini-begini saja menjadi memiliki sesuatu yang spesial dan bisa dibanggakan yaitu keturunan. Bersyukur memiliki orang tua yang senantiasa tidak tergesa-gesa dan memberi tekanan kepada kami berdua, karena mereka berdua paham sepenuhnya bahwa Allah adalah sang pemegang kendali atas takdir yang kita semua jalani di dunia ini.************Part 9Kabar kehamilanku terdengar langsung oleh seantero raya. Keluarga besarku dan keluarga besar Mas Yusuf telah mendengar hampir semua. Mama Papa berencana mengadakan sebuah tasyakuran kecil-kecilan demi menyambut hadirnya cucu pertama mereka di tengah penantian kami semua yang cukup lama. Penantian yang kini sudah dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Kotak makanan dan snack ringan yang telah dikirim oleh pihak catering makanan sudah siap untuk dibagikan, tinggal kita bagikan saja kepada warga setempat dan pihak keluarga yang turut hadir.Mamaku bukan tipe yang mau ribet saat mengadakan acara. Bukan tipe orang yang segala menu dimasak sendiri. Belum nanti cuci-cuci peralatan yang dipakai untuk memasak yang pastinya sangat melelahkan. Beliau suka yang simpel dan menghemat waktu beserta tenaga. Jadi sisa waktunya bisa dipakai untuk mengobrol dan istirahat. Apalagi aku sekarang lagi hamil muda. Jadi enggak boleh kelelahan juga dan tidak bisa banyak membantu seperti sebelumnya. “Nisa,
Bab 10Ada untungnya punya mbak Lilis, assisten rumah tangga yang kami pekerjakan di tempat Ibu, karena segala macam informasi tentang kejadian di sana, pasti dia laporkan kepadaku. Seperti kejadian di rumah Ibu mertua kemarin. Katanya Mia ngambek karena meminta suaminya membelikan tas yang sama seperti yang kupakai. Belum lagi sepatu yang senada yang kupakai di hari yang sama. Tapi Raihan bilang belum punya duit. Makanya istrinya marah. Ini artinya adalah, bahwa sesungguhnya problem dalam keluarga suamiku itu bersumber dari dua orang, yaitu ibu dan Mia. Dari dulu memang mereka berdua yang bikin ulah dan ribut. Belum lagi setiap kakak ipar perempuannya pakai beberapa perhiasan, Mia pasti cemburu dan ingin ikut juga memiliki. Dulu banget waktu awal-awal memang aku sering membelikan barang yang sama dengan yang kubeli untuk Mia. Karena posisinya waktu itu dia belum menikah. Sekarang kan beda keadaannya, dia sudah married, jadi segala macam urusan permintaan sudah ada suami yang lebih b
Bab 11Usia kehamilanku masuk bulan ketiga. Rasanya masih nano-nano. Mual muntah tak kunjung reda. Belum lagi pas tiba waktunya indera penciumanku menghirup aroma yang tidak begitu ku suka, bisa ambyar semua makanan yang sudah terlanjur tertelan ke dalam perut ini. Bahkan bisa keluar lagi semua makanan kurang lebih sesuai porsi awal makan.Benar-benar luar biasa sekali kali ini, menikmati segala sesuatu yang penuh dengan perjuangan dan tidak semudah saat sebelum hamil dulu. Mas Yusuf yang melihatku sebelum hamil bisa makan sampai dua piring, kini merasa Iba. Karena kini, porsi makan yang hanya berukuran seperempat piring pun kadang hanya berakhir di wastafel. Segitu parahnya bukan? Tapi aku selalu berdoa untuk kesehatan janinku. Semoga dia memahami Emaknya yang sedang KO sama keadaan. Semoga dia diberikan kesehatan dan perkembangannya juga bagus. Meski diriku berjuang begitu hebatnya hanya demi supaya suplai makanan bisa tetap ada yang masuk ke dalam lambung. “Nis, makan dong. Kasian
Khaity dan mamanya hari ini main ke rumah orang tuaku. Katanya Mbak Rini bosan karena tidak ada teman. Menurut penuturan Mbak Rini kini ibunya sudah tidak lagi sering datang ke rumahnya. Selain karena sibuk berjualan makanan, Mbak Rini sudah bisa melakukan semuanya sendiri. Jadi emaknya juga tega melepas anak perempuan sulungnya memegang bayinya sendiri. “Nitip mereka berdua ya, Nisa. Kalau rewel pulangin saja pakai taksi. Hehehe.” ucap mas Rama sebelum akhirnya mereka berdua turun dari mobil.“Siap Mas. Bajai juga banyak kok.” balasku. "Becak aja gimana? Lebih seru kayaknya." ledeknya lagi. "Gimana kalau suruh jalan kaki, lumayan bikin langsing." Aku menimpali. "Nenek sihir mah, bisa terbang Nis, jangan suruh jalan kaki, enggak bakalan mau." “Enak aja,” sahut mbak Rini sewot. "Hahaha." tawa renyah menyambut obrolan ringan pagi ini. "Pamit duku ya, bye semua." pungkas Mas Rama. "Hati-hati Beb, jangan lupa pulang bawa duit segepok." Mbak Rini berpesan. "Iye ntar gua korupsi du
Part 13Besok kebetulan weekend. Sesuai kesepakatan bersama, kini setiap sabtu dan minggu, semua anak-anak, cucu dan menantu Ibu harus tidur di rumah Ibu mertua. Mau tidak mau harus setuju. Karena Ini sudah kesepakatan yang sudah kami setujui tempo lalu. Kenapa membuat kesepakatan semacam ini? Karena protes dari Bu Ilma yang merasa dijauhi oleh anak dan menantunya. Bagaimana tidak dijauhi kalau sikapnya saja tidak amak untuk didekati. Sekali berada di dekat beliau selalu akan ada masalah yang menyertai. Lebih tepatnya adalah selalu ada problem yang dibuat-buat. Aku menata keperluanku dan suami selama dua hari tinggal di rumah mertua. Belum cemilan dan hal pokok lain yang aku butuhkan saat malam hari di sana. Ngebayangin gimana nanti ketemu Bumer alias Ibu mertua saja sebenernya rasanya sudah ngilu. Selain ngilu, mules, hati berdebar-debar. Dannjuga harus menyiapkan mental, siapkan diri dari tekanan batin, dari omongan beliau dan juga pemberitahuan dari para tetangga yang secara ikhla
Part 14Pagi-pagi sekali, setelah salat subuh berjamaah, mbak Rini sudah bangun dan mulai mengerjakan pekerjaan rumah. Aku ikut bangun. Mia pun menyusul. Kami bertiga berbagi tugas agar semua pekerjaan rumah cepat selesai. Saat kami menyelesaikan pekerjaan rumah, Mbak Lilis mendapat bagian tugas untuk masak. Lumayan ringan dong bagi Mbak Lilis, dari pada mengerjakan semua pekerjaan di rumah ini sendiri seperti biasanya. Mbak Lilis juga sangat senang katanya, saat anak dan cucu Ibu menginap di rumah, hunian yang awalnya sepi dan mencekam, menjadi ramai dan penuh kekeluargaan. Mbak Rini cukup cerdik, Ibu dikasih bagian mengajak Khaitylin. Jadi pikirnya Ibu enggak perlu lagi ngulangin kerjaan kami. Masuk akal sih. Semoga saja berjalan sesuai dengan rencana. Kalau gagal? Entahlah, harus seberapa lama lagi harusnya kami berdua menjadi menantu Ibu? Kalau sudah bertahun-tahun begini tapi masih belum benar saat mengerjakan segala sesuatu di sini? “Rin, Riniiii.... anakmu ngompol nih, popok
Bab 15Acara tasyakuran tiga bulanan kehamilanku digelar di rumah Papa dan Mama. Hanya acara kecil-kecilan. Katanya orang dulu sebagai syarat, dan kami masih memakai adat dan budaya tersebut. Acara seperti ini biasanya dilaksanakan terutama untuk kehamilan pertama. Kalau untuk kehamilan kedua dan seterusnya terserah mau diadakan atau tidak. Pukul 19.00 Wib acara sudah rampung. Alhamdulillah semua sudah terlaksana dengan lancar. Kini waktunya kami untuk beristirahat. Merebahkan badan di kasur, sambil bercerita dengan pasangan. Yang pada belum punya pasangan, ya semoga lekas dipercepat ketemu jodohnya. Yang lagi LDR-an ya, banyakin sabar aja. Masih ada guling kok, yang bisa dengerin cerita kamu, hehehe. “Mas, rasanya cepat ya. Sebentar lagi kita akan menjadi orang tua.” kataku terharu membayangkan sebentar lagi akan dipanggil dengan sebutan Ibu. “Iya Sayang. Kamu sudah siapkan nama buat anak kita apa belum?” tanya mas Yusuf. “Belum nih, kamu sudah, Mas?” “Belum. Nanti saja kalau s
Bab 16Sebuah kabar duka, datang dari keluarga Raihan. Ibunya yang selama beberapa tahun ini menderita sakit stroke harus berpulang. Kami sekeluarga berniat melayat bersama ke kediaman orang tua Raihan. Tanpa pikir panjang lagi, kami semua bersiap. Kami sudah berkumpul di rumah Ibu. Ada banyak orang di sini, termasuk kedua orang tuaku juga ikut. Pun kedua orang tua mbak Rini. Aku menengok ke dalam rumah, barang kali orang rumah belum siap. “Ibu kemana Mbak Lilis?” tanyaku. “Masih di kamar kayaknya, Neng.” balas Mbak Lilis yang masih sibuk mengerjakan pekerjaan rumah. “Loh, belum siap, kah?” Aku kembali memastikan. Mbak Lilis menggelengkan kepala. Karena tak tahu secara pasti sedang apa Ibu di dalam kamar sedari tadi? Aku langsung paham, lalu ku ketok pintu kamar beliau, namun tidak ada jawaban. “Bu,” panggilku dari balik pintu kamarnya. Ku coba membuka sedikit pintu kamar beliau, ternyata tidak dikunci. “Ooh... Ibu sedang salat.” ucapku setelah menemukan Ibu sedang melakukan iba