Share

ANNISA HAMIL

Bab 8

Di dalam mobil, mulutku masih manyun karena masih kesal. Aku lebih memilih duduk di jok belakang bersama Mama, ketimbang harus duduk bersebelahan dengan Mas Yusuf. Tidak biasanya memang kami berdua terpisahkan jarak, mungkin kedua orang tuaku sudah hapal tabiatku begitu saat sedang ngambek. Papa duduk di jok depan bersama menantu kesayangan.

Mama Papa sepertinya tidak ngeh masalah penyanyi di kafe tadi. Buktinya mereka diam saja padahal biasanya sudah heboh dan julid.

“Suf, Papa mau tanya. Kalau kita ketemu mantan di tempat umum dan tanpa disengaja, apakah itu kesalahan kita sebagai laki-laki?” ungkap Papa tiba-tiba. Rupanya beliau mulai aktif menyindir anak semata wayangnya ini. Baru sadar kalau ternyata si papa paham juga kalau tadi itu adalah mantan kekasih dari Mas Yusuf. 

“Yaaa pastilah, Pa. Tetap kita yang disalahkan, meskipun kita sama-sama tidak sengaja. Lelaki memang selalu saja salah di mata perempuan, Pa." sahut Mas Yusuf percaya diri. Aku yakin dia sangat bahagia karena mendapatkan pembela di dalam mobil ini. Wajarlah, sesama gender, pasti merasakan hiruk pikuk susah payah menghadapi sifat seorang wanita dalam hidup mereka. 

“Tapi kalau yang ketemu mantannya adalah istri kita? Gimana tuh?” tanya papa lagi. Kali ini sepertinya sedang berusaha menyudutkan pihak perempuan. Mama melirik ke arahku, begitu juga sebaliknya. Kami sebagai pihak tersindir diam saja tak menanggapi obrolan keduanya secara serius. Takutnya malah jingkrak-jingkrak nantinya. 

“Sah saja sih, Pa, santai saja bagi mereka. Karena itulah istimewanya wanita, mereka tidak pernah salah dan tidak pernah mau mengakui kesalahannya.” jawab Mas Yusuf penuh penekanan.

“Hahaha...”

Keduanya terkekeh. Aku dan Mama sebagai seorang wanita dan objek yang dibicarakan, pura-pura tidur saja cari aman.

Memang benar sih, wanita dimana-mana selalu benar. Laki-laki selalu salah. Apa salahnya juga Mas Yusuf yang tidak tahu menahu kalau mantannya ada di sana tadi? Tapi masalahnya adalah, kenapa dia mendengarkan nyanyian tadi dengan penuh penghayatan. Jika memang benar dia menyimak lagunya dengan baik, lalu apa kabar dengan ingatannya tentang yang sudah berlalu? Aku over thinking sekarang, memikirkan hal yang malu untuk kupertanyakan. Eh sebentar, sebenarnya suamiku tadi benae-benar menghayati atau diam karena takut padaku, ya? Ah entahlah yang jelas Ini artinya Papa lebih membela kaumnya, dibandingkan anak sendiri. Huh, jadi bingung mau ngambek atau udahan. Hiks.

*******

Satu bulan berlalu. Aku dan Mas Yusuf merasa bahagia tinggal di rumah orang tuaku. Mood baik dan kewarasan selalu terjaga. Awalnya kami memutuskan untuk pergi ke Bali minggu ini. Tapi karena Mas Yusuf ada kerjaan yang tidak bisa ditinggal, akhirnya ditunda sampai minggu depan.

“Ting.”

Ada satu notif pesan masuk di hp Mas Yusuf.

[Suf, pulanglah Nak. Ajak Nisa juga. Ibu rindu]

Pesan ini dari Ibu mertua ternyata. Tumben bilang rindu. Jangan-jangan ada tragedi pertempuran di sana? Atau si Mia sama Raihan pulang ke tempat orang tua Raihan? Ah entahlah.

“Mas, Ibu kirim pesan tuh.” Aku membangunkan Mas Yusuf yang masih terlelap. Sudah waktunya Ia bangun untuk bersiap-siap kerja.

“Bilang apa, si Ibu?” sahutnya masih mengantuk. Matanya belum melek sepenuhnya. 

“Rindu kamu. Kita disuruh pulang.” jawabku sedikit jutek. Membayangkan bagaimana beliau merindukanku? Sama dengan membayangkan diriku memakai sepatu Cinderella, mustahil banget! Paling ada sesuatu tragedi yang memang sedang berlangsung, hanya saja Ibu mertua tak mau menceritakan secara detail lewat sebuah pesan. 

“Ya sudah jawab saja, nanti kesana habis Mas pulang kerja.” pinta Mas Yusuf. 

“Baiklah paduka...” 

[Sepulang dari bekerja nanti Yusuf dan Nissa ke rumah Ibu] balasku. Suamiku banyak berubah sekarang, termasuk dalam hal pesan semacam ini. Kini diriku dibebaskan membalas apapun pesan yang ibunya kirim. Berbeda dengan dulu saat dia benar-benar membatasiku dalam rasa keingintahuanku atas obrolan apa yang sedang suamiku dan ibunya bahas. Semakin ke sini, Mas Yusuf sudah banyak berubah, dan Aku senang. 

[Iya, Suf]

*********"

Pergilah kami ke rumah Ibu mertua. Setelah Mas Yusuf pulang kerja. Setelah menerjang memacetan yang luar biasa, kami berhasil memarkir mobil kami di halaman rumah Ibu. Di halaman rumah ibu tampak Ada mobil Mas Rama. Itu tandanya mungkin khaitylin dan mbak Rini sedang berkunjung ke tempat eyang putrinya. Alkhamdulillah kalau memang hubungan mereka sudah membaik, pikirku. 

“Hallo.... kalian, Assalamualaikum.” sapa Mbak Rini mengagetkan.

“Eh, mbak di sini juga?” tanyaku. 

"Iya nih. Ajak maen khaity ke eyangnya. Kalian?” 

“Kami disuruh Ibu kesini, mbak.” jawabku jujur. 

“Kayaknya lagi ada problem sama Mia deh si Ibu. Soalnya dari tadi ngomong serius sama Mas Rama enggak kelar-kelar di kamar." imbuh Mbak Rini sedikit bercerita tenrang kondisi di dalam rumah.  

“Loh, Mia kemana emang?” tanya Mas Yusuf menimpali. 

“Pulang ke rumah mertua dia sama Raihan.” ucao Mbak Rini. 

“Pantesan.” 

“Sana, kamu saja yang nyusulin Mas Rama, Suf. Siapa tahu Ibu mau ngobrol serius sama kalian.” perintah Mbak Rini pada suamiku. 

“Baik, Mbak.” 

Mas Yusuf bergegas masuk ke dalam rumah, sementara diriku harus tahu fungsi, bahwa yang dibutuhkan sekarang adalah anak lelaki Ibu. Menantu dan lainnya nomor ke sekian, jadi harap tahu diri. Hahaha. 

********""

Terdengar suara tangisan Ibu. Setelah Mas Yusuf berhasil masuk ke dalam kamar beliau. Aku dan Mbak Rini seperti biasa, menguping pembicaraan mereka dari luar. Meski ada beberapa kalimat yang tidak kedengeran, tapi lumayanlah kita enggak budek-budek amat. Hahaha. 

Si bayi Khaitylin memang sedang tidak bersahabat dengan kita para menantu. Tiba-tiba saja dia nangis kencang. Terpaksa kita lebih mendengar tangisannya dari pada pembicaraan Ibu dan anak-anak lelakinya.

Kulihat meja makan Ibu, tidak ada makanan sama sekali di sana. Bergegas ku pencet applikasi online yang bisa delivery makanan jam segini. Kupilihkan salah satu menu kesukaan Ibu. Dan lagi beberapa menu untuk kita berempat makan. Aku baru ingat kalau belum sempat makan malam, itu sebabnya ku siapkan segala hal yang tidak mungkin kumasak malam-malam begini. 

Tiga puluh  menit berlalu, akhirnya makanan datang. Ibu dan anak-anak juga keluar dari kamar. Kami makan bersama. Aku dan Mbak Rini makan dengan lahap, tapi suami kami seperti kehilangan selera makan. Tak apalah, nanti juga perlahan-lahan habis. Sejak kapan para lelaki meninggalkan kesempatannya untuk makan? Bahkan saat dulu putus sama pacar sekalipun, makanan bakalan tetap masuk ke dalam organ pencernaan yaitu perut. Meski bilangnya “enggak nafsu makan, masih mikirin kamu.” hallaah omong kosong! Makiku. 

Mia dan Raihan datang. Mungkin sengaja di suruh oleh Mas Rama.

“Duduk, Han. Mia...” pinta Mas Yusuf. Aku dan Mbak Rini kebingungan karena benar-benar tidak tahu masalah pastinya apa. Kami berdua hanya bisa bersabar dan menunggu saja. Menunggu sesuatu yang akan dijelaskan oleh waktu dan keadaan. 

Kulihat Ibu tiba-tiba meneteskan air mata. Ada apa ini? Hanya wajahku dan Mbak Rini yang tampak bingung. Drama apalagi ini sebenarnya? 

“Ada masalah apa kalian sama, Ibu?” tanya Mas Rama mengawali obrolan. Ibu masih terisak, sesekali mengusap air matanya. Entah air mata buaya atau kadal atau katak. Hahaha. Ups, sejahat itu ternyata pemikiranku. 

“Enggak ada masalah. Kami hanya ingin pulang ke rumah orang tua Mas Raihan, itu saja kok, Mas.” Mia tampak serius menjelaskan.

“Kamu ngomong apa sama Ibu, Mia? Alasan kenapa Ibu nangis sampai detik ini, pasti kamu tahu kenapa?” Mas Yusuf ikut mendesak adik perempuannya itu. 

“Ibu Mas Raihan itu sedang sakit. Jadi Mas Raihan sibuk ngurusin Aku dan Ibunya selama aku masa pemulihan kemarin. Aku masih bisa terima suamiku menggantikan tugasku selama itu di rumah ini. Tapi tolong hargailah tenaga Mas Raihan. Jangan apa-apa dibandingin dengan kalian. Masalah gajipun dibanding-bandingkan. Tahu sendiri kan, berobat banyak biaya. Gaji Mas seberapa? Tapi yang Ibu pinta itu macam-macam. Apa salah aku membela suamiku? Belum lagi Mas dituduh semobil sama wanita lain pula. Hanya karena Ibu dengar dari orang bahwa Raihan bersama wanita lain selain aku. Itu ibunya!!” gertak Mia. Semua orang terpaku mendengar penjelasannya. 

Mia terlihat sangat emosi saat menjelaskan kepada kami. Ibu yang bercerita tidak sesuai dengan kenyataannya langsung tiba-tiba histeris. Bukan itu semua yang kudengar tadi. Ini beda persoalan.

“Ya Allah apa salahku ya Allah, semua anak-anakku membangkang. Ampuni hamba ya Allah.” ucap Ibu mertua yang selalu menjadi andalan. Beliau selalu mencari pembenaran atas kesalahan yang sudah berhasil ditebar. Kondisi apa sebenarnya yang Ibu inginkan? Hanya Ibu dan Tuhan yang tahu. Sebagai penyimak, hanya bisa mengamati saja. 

“Membangkang gimana, Bu? Mia hanya menjelaskan supaya semuanya paham! Jadi kakak Mia tidak ada yang akan menyalahkan Mas Raihan dan Mia lagi.”

"Aduuh... Dada Ibu sakit, Ya Allah. Tolong Ibu Rama, Yusuf, ibu lemas sekali." tutur Ibu penuh sandiwara. Aku sampai hafal bagaimana beliau bertingkah setelah ketahuan dengan kebohongannya. 

“Ayo pulang Mas, Ibu sendirian di rumah.” ajak Mia pada suaminya. Raihan hanya menurut lalu berniat bersalaman dengan Ibu mertua. Sayangnya ditampik kasar oleh Ibu. Padahal Raihan sama sekali tidak berucap sepatah katapun, tapi respon Ibu sangat keterlaluan begitu. 

Kami hanya bengong, apalagi ini yang Ibu buat sehingga mengumpulkan kami semua di sini seperti ini? Mungkin beliau pikir, anak lelakinya bakalan membela beliau di depan adiknya, tapi mendengar penjelasan Mia, anak lain hanya bisa diam saja. Bagaimana tidak, fitnah Ibu akhirnya terbantahkan, sudah cukup bagi kami untuk pahan atas kondisi apa yang sudah Mia perjelas. 

“Ibu tidur ya, ayo Rini temani ke kamar.” Aku yang saat itu masih membopong khaitylin, hanya bengong. Bingung. Mbak Rini berhasil membujuk Ibu untuk mau masuk ke dalam kamar. 

“Biar Aku, Khaity dan Mas Rama saja yang menginap di sini. Kalian pulang, ya.” kata Mbak Rini. Akupun bersiap pulang dengan suami.

Baru sampai pintu gerbang rumah, kepalaku rasanya pusing dan aku tidak bisa melihat apapun. Pandanganku kabur, dan tak sadarkan diri. 

**********

Entah berapa puluh menit berlalu, ternyata aku sudah berada di sebuah tempat perawatan. Ada Mama, Papa dan Mas Yusuf di dekat bed pasien yang sedang ku tiduri.

“Aku dimana, Mas?” tanyaku  linglung.

“Di Klinik, Sayang. Tadi kamu pingsan.” jelas Mas Yusuf. 

“Aku tidak makan tadi siang, tapi malam ini sudah ku isi perutku.”

“Makan yang teratur dong, Nis, biar enggak sakit.” pinta Mama.

"Iya, Ma. Pa, makasih sudah dampingi Mas Yusuf di sini." ucapku. 

"Iya, sama-sama Sayang." 

Aku disuruh melakukan pemeriksaan urine setelah tersadar. Lalu diminta untuk menunggu beberapa waktu untuk melihat hasilnya.

Ada dua orang masuk membuka tirai ruang tempatku berbaring. Sepertinya ini ruang gawat darurat. Keduanya yang datang menghampiriku rupanya seorang Dokter laki-laki dan suster.

“Gimana mbak Nisa? Sudah lebih baik?” tanya pak Dokter.

“Sudah, Dok. Saya boleh pulang?” tanyaku spontan. Rasanya tidak mau berlama-lama di sini. 

“Boleh. Ada kabar baik ya Pak, Bu, Mas. Mbak. Mbak Nisa Hamil. Hasil tes urinenya positif. Silakan besok supaya periksa ke spesialis Obgyn untuk memastikan berapa usia janin yang di kandungnya.”

“Alhamdulillah ya Allah......” Papa Mama terharu, menangis bahagia dan memelukku erat. Mas Yusuf juga meneteskan air mata. Begitu juga Aku. Akhirnya yang kami tunggu benar-benar dititipkan ke dalam rahimku. MasyaAllah... Aku benar-benar bersyukur.

“Ma, Nisa bahagia sekali, akhirnya... ada Baby di rahimku.”

"Selamat ya, Nak. Kami semua bahagia.” Papa menimpali. Mama memelukku erat. 

"Mas Yusuf curang, Jahat.”

"Kenapa Sayang? Jahat kenapa?” tanya Mama.

“Kan minggu depan jadwal ke Bali, pasti gagal lagi deh gara-gara Nisa hamil. Kayaknya sengaja banget ngejadwalinnya. Ah Nisa mau ngambek, tapi kok lagi seneng.” omelku pada suami. Bukannya dijawab malah Mas Yusuf memelukku erat.

“Makasih sayang atas surprise ini.”

"Huuaaaaa.... huuaaaaa...... tanggung jawab kamu Mas! Gagal lagi kita mau pergi jauh  Huuuuaaaa." teriakku histeris. 

“Hahaha.....” 

Terdengar suara gelak tawa yang kompak dari mereka bertiga menertawai kelakuanku.

Setelah ini, suamiku sepertinya akan mulai trauma memberikan janji kepada istrinya. Ia sama sekali tidak peduli dengan apapun yang kuucap, mungkin yang jauh lebih penting sekarang adalah Mas Yusuf sudah berhasil mencetak goal di dalam rahimku. Goal pertama kalinya yang mungkin akan merubah dunia kami yang awalnya begini-begini saja menjadi memiliki sesuatu yang spesial dan bisa dibanggakan yaitu keturunan. Bersyukur memiliki orang tua yang senantiasa tidak tergesa-gesa dan memberi tekanan kepada kami berdua, karena mereka berdua paham sepenuhnya bahwa Allah adalah sang pemegang kendali atas takdir yang kita semua jalani di dunia ini.

************

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status