Bab 8
Di dalam mobil, mulutku masih manyun karena masih kesal. Aku lebih memilih duduk di jok belakang bersama Mama, ketimbang harus duduk bersebelahan dengan Mas Yusuf. Tidak biasanya memang kami berdua terpisahkan jarak, mungkin kedua orang tuaku sudah hapal tabiatku begitu saat sedang ngambek. Papa duduk di jok depan bersama menantu kesayangan.Mama Papa sepertinya tidak ngeh masalah penyanyi di kafe tadi. Buktinya mereka diam saja padahal biasanya sudah heboh dan julid.“Suf, Papa mau tanya. Kalau kita ketemu mantan di tempat umum dan tanpa disengaja, apakah itu kesalahan kita sebagai laki-laki?” ungkap Papa tiba-tiba. Rupanya beliau mulai aktif menyindir anak semata wayangnya ini. Baru sadar kalau ternyata si papa paham juga kalau tadi itu adalah mantan kekasih dari Mas Yusuf. “Yaaa pastilah, Pa. Tetap kita yang disalahkan, meskipun kita sama-sama tidak sengaja. Lelaki memang selalu saja salah di mata perempuan, Pa." sahut Mas Yusuf percaya diri. Aku yakin dia sangat bahagia karena mendapatkan pembela di dalam mobil ini. Wajarlah, sesama gender, pasti merasakan hiruk pikuk susah payah menghadapi sifat seorang wanita dalam hidup mereka. “Tapi kalau yang ketemu mantannya adalah istri kita? Gimana tuh?” tanya papa lagi. Kali ini sepertinya sedang berusaha menyudutkan pihak perempuan. Mama melirik ke arahku, begitu juga sebaliknya. Kami sebagai pihak tersindir diam saja tak menanggapi obrolan keduanya secara serius. Takutnya malah jingkrak-jingkrak nantinya. “Sah saja sih, Pa, santai saja bagi mereka. Karena itulah istimewanya wanita, mereka tidak pernah salah dan tidak pernah mau mengakui kesalahannya.” jawab Mas Yusuf penuh penekanan.“Hahaha...”Keduanya terkekeh. Aku dan Mama sebagai seorang wanita dan objek yang dibicarakan, pura-pura tidur saja cari aman.Memang benar sih, wanita dimana-mana selalu benar. Laki-laki selalu salah. Apa salahnya juga Mas Yusuf yang tidak tahu menahu kalau mantannya ada di sana tadi? Tapi masalahnya adalah, kenapa dia mendengarkan nyanyian tadi dengan penuh penghayatan. Jika memang benar dia menyimak lagunya dengan baik, lalu apa kabar dengan ingatannya tentang yang sudah berlalu? Aku over thinking sekarang, memikirkan hal yang malu untuk kupertanyakan. Eh sebentar, sebenarnya suamiku tadi benae-benar menghayati atau diam karena takut padaku, ya? Ah entahlah yang jelas Ini artinya Papa lebih membela kaumnya, dibandingkan anak sendiri. Huh, jadi bingung mau ngambek atau udahan. Hiks.*******Satu bulan berlalu. Aku dan Mas Yusuf merasa bahagia tinggal di rumah orang tuaku. Mood baik dan kewarasan selalu terjaga. Awalnya kami memutuskan untuk pergi ke Bali minggu ini. Tapi karena Mas Yusuf ada kerjaan yang tidak bisa ditinggal, akhirnya ditunda sampai minggu depan.“Ting.”Ada satu notif pesan masuk di hp Mas Yusuf.[Suf, pulanglah Nak. Ajak Nisa juga. Ibu rindu]Pesan ini dari Ibu mertua ternyata. Tumben bilang rindu. Jangan-jangan ada tragedi pertempuran di sana? Atau si Mia sama Raihan pulang ke tempat orang tua Raihan? Ah entahlah.“Mas, Ibu kirim pesan tuh.” Aku membangunkan Mas Yusuf yang masih terlelap. Sudah waktunya Ia bangun untuk bersiap-siap kerja.“Bilang apa, si Ibu?” sahutnya masih mengantuk. Matanya belum melek sepenuhnya. “Rindu kamu. Kita disuruh pulang.” jawabku sedikit jutek. Membayangkan bagaimana beliau merindukanku? Sama dengan membayangkan diriku memakai sepatu Cinderella, mustahil banget! Paling ada sesuatu tragedi yang memang sedang berlangsung, hanya saja Ibu mertua tak mau menceritakan secara detail lewat sebuah pesan. “Ya sudah jawab saja, nanti kesana habis Mas pulang kerja.” pinta Mas Yusuf. “Baiklah paduka...” [Sepulang dari bekerja nanti Yusuf dan Nissa ke rumah Ibu] balasku. Suamiku banyak berubah sekarang, termasuk dalam hal pesan semacam ini. Kini diriku dibebaskan membalas apapun pesan yang ibunya kirim. Berbeda dengan dulu saat dia benar-benar membatasiku dalam rasa keingintahuanku atas obrolan apa yang sedang suamiku dan ibunya bahas. Semakin ke sini, Mas Yusuf sudah banyak berubah, dan Aku senang. [Iya, Suf]*********"Pergilah kami ke rumah Ibu mertua. Setelah Mas Yusuf pulang kerja. Setelah menerjang memacetan yang luar biasa, kami berhasil memarkir mobil kami di halaman rumah Ibu. Di halaman rumah ibu tampak Ada mobil Mas Rama. Itu tandanya mungkin khaitylin dan mbak Rini sedang berkunjung ke tempat eyang putrinya. Alkhamdulillah kalau memang hubungan mereka sudah membaik, pikirku. “Hallo.... kalian, Assalamualaikum.” sapa Mbak Rini mengagetkan.“Eh, mbak di sini juga?” tanyaku. "Iya nih. Ajak maen khaity ke eyangnya. Kalian?” “Kami disuruh Ibu kesini, mbak.” jawabku jujur. “Kayaknya lagi ada problem sama Mia deh si Ibu. Soalnya dari tadi ngomong serius sama Mas Rama enggak kelar-kelar di kamar." imbuh Mbak Rini sedikit bercerita tenrang kondisi di dalam rumah. “Loh, Mia kemana emang?” tanya Mas Yusuf menimpali. “Pulang ke rumah mertua dia sama Raihan.” ucao Mbak Rini. “Pantesan.” “Sana, kamu saja yang nyusulin Mas Rama, Suf. Siapa tahu Ibu mau ngobrol serius sama kalian.” perintah Mbak Rini pada suamiku. “Baik, Mbak.” Mas Yusuf bergegas masuk ke dalam rumah, sementara diriku harus tahu fungsi, bahwa yang dibutuhkan sekarang adalah anak lelaki Ibu. Menantu dan lainnya nomor ke sekian, jadi harap tahu diri. Hahaha. ********""Terdengar suara tangisan Ibu. Setelah Mas Yusuf berhasil masuk ke dalam kamar beliau. Aku dan Mbak Rini seperti biasa, menguping pembicaraan mereka dari luar. Meski ada beberapa kalimat yang tidak kedengeran, tapi lumayanlah kita enggak budek-budek amat. Hahaha. Si bayi Khaitylin memang sedang tidak bersahabat dengan kita para menantu. Tiba-tiba saja dia nangis kencang. Terpaksa kita lebih mendengar tangisannya dari pada pembicaraan Ibu dan anak-anak lelakinya.Kulihat meja makan Ibu, tidak ada makanan sama sekali di sana. Bergegas ku pencet applikasi online yang bisa delivery makanan jam segini. Kupilihkan salah satu menu kesukaan Ibu. Dan lagi beberapa menu untuk kita berempat makan. Aku baru ingat kalau belum sempat makan malam, itu sebabnya ku siapkan segala hal yang tidak mungkin kumasak malam-malam begini. Tiga puluh menit berlalu, akhirnya makanan datang. Ibu dan anak-anak juga keluar dari kamar. Kami makan bersama. Aku dan Mbak Rini makan dengan lahap, tapi suami kami seperti kehilangan selera makan. Tak apalah, nanti juga perlahan-lahan habis. Sejak kapan para lelaki meninggalkan kesempatannya untuk makan? Bahkan saat dulu putus sama pacar sekalipun, makanan bakalan tetap masuk ke dalam organ pencernaan yaitu perut. Meski bilangnya “enggak nafsu makan, masih mikirin kamu.” hallaah omong kosong! Makiku. Mia dan Raihan datang. Mungkin sengaja di suruh oleh Mas Rama.“Duduk, Han. Mia...” pinta Mas Yusuf. Aku dan Mbak Rini kebingungan karena benar-benar tidak tahu masalah pastinya apa. Kami berdua hanya bisa bersabar dan menunggu saja. Menunggu sesuatu yang akan dijelaskan oleh waktu dan keadaan. Kulihat Ibu tiba-tiba meneteskan air mata. Ada apa ini? Hanya wajahku dan Mbak Rini yang tampak bingung. Drama apalagi ini sebenarnya? “Ada masalah apa kalian sama, Ibu?” tanya Mas Rama mengawali obrolan. Ibu masih terisak, sesekali mengusap air matanya. Entah air mata buaya atau kadal atau katak. Hahaha. Ups, sejahat itu ternyata pemikiranku. “Enggak ada masalah. Kami hanya ingin pulang ke rumah orang tua Mas Raihan, itu saja kok, Mas.” Mia tampak serius menjelaskan.“Kamu ngomong apa sama Ibu, Mia? Alasan kenapa Ibu nangis sampai detik ini, pasti kamu tahu kenapa?” Mas Yusuf ikut mendesak adik perempuannya itu. “Ibu Mas Raihan itu sedang sakit. Jadi Mas Raihan sibuk ngurusin Aku dan Ibunya selama aku masa pemulihan kemarin. Aku masih bisa terima suamiku menggantikan tugasku selama itu di rumah ini. Tapi tolong hargailah tenaga Mas Raihan. Jangan apa-apa dibandingin dengan kalian. Masalah gajipun dibanding-bandingkan. Tahu sendiri kan, berobat banyak biaya. Gaji Mas seberapa? Tapi yang Ibu pinta itu macam-macam. Apa salah aku membela suamiku? Belum lagi Mas dituduh semobil sama wanita lain pula. Hanya karena Ibu dengar dari orang bahwa Raihan bersama wanita lain selain aku. Itu ibunya!!” gertak Mia. Semua orang terpaku mendengar penjelasannya. Mia terlihat sangat emosi saat menjelaskan kepada kami. Ibu yang bercerita tidak sesuai dengan kenyataannya langsung tiba-tiba histeris. Bukan itu semua yang kudengar tadi. Ini beda persoalan.“Ya Allah apa salahku ya Allah, semua anak-anakku membangkang. Ampuni hamba ya Allah.” ucap Ibu mertua yang selalu menjadi andalan. Beliau selalu mencari pembenaran atas kesalahan yang sudah berhasil ditebar. Kondisi apa sebenarnya yang Ibu inginkan? Hanya Ibu dan Tuhan yang tahu. Sebagai penyimak, hanya bisa mengamati saja. “Membangkang gimana, Bu? Mia hanya menjelaskan supaya semuanya paham! Jadi kakak Mia tidak ada yang akan menyalahkan Mas Raihan dan Mia lagi.”"Aduuh... Dada Ibu sakit, Ya Allah. Tolong Ibu Rama, Yusuf, ibu lemas sekali." tutur Ibu penuh sandiwara. Aku sampai hafal bagaimana beliau bertingkah setelah ketahuan dengan kebohongannya. “Ayo pulang Mas, Ibu sendirian di rumah.” ajak Mia pada suaminya. Raihan hanya menurut lalu berniat bersalaman dengan Ibu mertua. Sayangnya ditampik kasar oleh Ibu. Padahal Raihan sama sekali tidak berucap sepatah katapun, tapi respon Ibu sangat keterlaluan begitu. Kami hanya bengong, apalagi ini yang Ibu buat sehingga mengumpulkan kami semua di sini seperti ini? Mungkin beliau pikir, anak lelakinya bakalan membela beliau di depan adiknya, tapi mendengar penjelasan Mia, anak lain hanya bisa diam saja. Bagaimana tidak, fitnah Ibu akhirnya terbantahkan, sudah cukup bagi kami untuk pahan atas kondisi apa yang sudah Mia perjelas. “Ibu tidur ya, ayo Rini temani ke kamar.” Aku yang saat itu masih membopong khaitylin, hanya bengong. Bingung. Mbak Rini berhasil membujuk Ibu untuk mau masuk ke dalam kamar. “Biar Aku, Khaity dan Mas Rama saja yang menginap di sini. Kalian pulang, ya.” kata Mbak Rini. Akupun bersiap pulang dengan suami.Baru sampai pintu gerbang rumah, kepalaku rasanya pusing dan aku tidak bisa melihat apapun. Pandanganku kabur, dan tak sadarkan diri. **********Entah berapa puluh menit berlalu, ternyata aku sudah berada di sebuah tempat perawatan. Ada Mama, Papa dan Mas Yusuf di dekat bed pasien yang sedang ku tiduri.“Aku dimana, Mas?” tanyaku linglung.“Di Klinik, Sayang. Tadi kamu pingsan.” jelas Mas Yusuf. “Aku tidak makan tadi siang, tapi malam ini sudah ku isi perutku.”“Makan yang teratur dong, Nis, biar enggak sakit.” pinta Mama."Iya, Ma. Pa, makasih sudah dampingi Mas Yusuf di sini." ucapku. "Iya, sama-sama Sayang." Aku disuruh melakukan pemeriksaan urine setelah tersadar. Lalu diminta untuk menunggu beberapa waktu untuk melihat hasilnya.Ada dua orang masuk membuka tirai ruang tempatku berbaring. Sepertinya ini ruang gawat darurat. Keduanya yang datang menghampiriku rupanya seorang Dokter laki-laki dan suster.“Gimana mbak Nisa? Sudah lebih baik?” tanya pak Dokter.“Sudah, Dok. Saya boleh pulang?” tanyaku spontan. Rasanya tidak mau berlama-lama di sini. “Boleh. Ada kabar baik ya Pak, Bu, Mas. Mbak. Mbak Nisa Hamil. Hasil tes urinenya positif. Silakan besok supaya periksa ke spesialis Obgyn untuk memastikan berapa usia janin yang di kandungnya.”“Alhamdulillah ya Allah......” Papa Mama terharu, menangis bahagia dan memelukku erat. Mas Yusuf juga meneteskan air mata. Begitu juga Aku. Akhirnya yang kami tunggu benar-benar dititipkan ke dalam rahimku. MasyaAllah... Aku benar-benar bersyukur.“Ma, Nisa bahagia sekali, akhirnya... ada Baby di rahimku.”"Selamat ya, Nak. Kami semua bahagia.” Papa menimpali. Mama memelukku erat. "Mas Yusuf curang, Jahat.”"Kenapa Sayang? Jahat kenapa?” tanya Mama.“Kan minggu depan jadwal ke Bali, pasti gagal lagi deh gara-gara Nisa hamil. Kayaknya sengaja banget ngejadwalinnya. Ah Nisa mau ngambek, tapi kok lagi seneng.” omelku pada suami. Bukannya dijawab malah Mas Yusuf memelukku erat.“Makasih sayang atas surprise ini.”"Huuaaaaa.... huuaaaaa...... tanggung jawab kamu Mas! Gagal lagi kita mau pergi jauh Huuuuaaaa." teriakku histeris. “Hahaha.....” Terdengar suara gelak tawa yang kompak dari mereka bertiga menertawai kelakuanku.Setelah ini, suamiku sepertinya akan mulai trauma memberikan janji kepada istrinya. Ia sama sekali tidak peduli dengan apapun yang kuucap, mungkin yang jauh lebih penting sekarang adalah Mas Yusuf sudah berhasil mencetak goal di dalam rahimku. Goal pertama kalinya yang mungkin akan merubah dunia kami yang awalnya begini-begini saja menjadi memiliki sesuatu yang spesial dan bisa dibanggakan yaitu keturunan. Bersyukur memiliki orang tua yang senantiasa tidak tergesa-gesa dan memberi tekanan kepada kami berdua, karena mereka berdua paham sepenuhnya bahwa Allah adalah sang pemegang kendali atas takdir yang kita semua jalani di dunia ini.************Part 9Kabar kehamilanku terdengar langsung oleh seantero raya. Keluarga besarku dan keluarga besar Mas Yusuf telah mendengar hampir semua. Mama Papa berencana mengadakan sebuah tasyakuran kecil-kecilan demi menyambut hadirnya cucu pertama mereka di tengah penantian kami semua yang cukup lama. Penantian yang kini sudah dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Kotak makanan dan snack ringan yang telah dikirim oleh pihak catering makanan sudah siap untuk dibagikan, tinggal kita bagikan saja kepada warga setempat dan pihak keluarga yang turut hadir.Mamaku bukan tipe yang mau ribet saat mengadakan acara. Bukan tipe orang yang segala menu dimasak sendiri. Belum nanti cuci-cuci peralatan yang dipakai untuk memasak yang pastinya sangat melelahkan. Beliau suka yang simpel dan menghemat waktu beserta tenaga. Jadi sisa waktunya bisa dipakai untuk mengobrol dan istirahat. Apalagi aku sekarang lagi hamil muda. Jadi enggak boleh kelelahan juga dan tidak bisa banyak membantu seperti sebelumnya. “Nisa,
Bab 10Ada untungnya punya mbak Lilis, assisten rumah tangga yang kami pekerjakan di tempat Ibu, karena segala macam informasi tentang kejadian di sana, pasti dia laporkan kepadaku. Seperti kejadian di rumah Ibu mertua kemarin. Katanya Mia ngambek karena meminta suaminya membelikan tas yang sama seperti yang kupakai. Belum lagi sepatu yang senada yang kupakai di hari yang sama. Tapi Raihan bilang belum punya duit. Makanya istrinya marah. Ini artinya adalah, bahwa sesungguhnya problem dalam keluarga suamiku itu bersumber dari dua orang, yaitu ibu dan Mia. Dari dulu memang mereka berdua yang bikin ulah dan ribut. Belum lagi setiap kakak ipar perempuannya pakai beberapa perhiasan, Mia pasti cemburu dan ingin ikut juga memiliki. Dulu banget waktu awal-awal memang aku sering membelikan barang yang sama dengan yang kubeli untuk Mia. Karena posisinya waktu itu dia belum menikah. Sekarang kan beda keadaannya, dia sudah married, jadi segala macam urusan permintaan sudah ada suami yang lebih b
Bab 11Usia kehamilanku masuk bulan ketiga. Rasanya masih nano-nano. Mual muntah tak kunjung reda. Belum lagi pas tiba waktunya indera penciumanku menghirup aroma yang tidak begitu ku suka, bisa ambyar semua makanan yang sudah terlanjur tertelan ke dalam perut ini. Bahkan bisa keluar lagi semua makanan kurang lebih sesuai porsi awal makan.Benar-benar luar biasa sekali kali ini, menikmati segala sesuatu yang penuh dengan perjuangan dan tidak semudah saat sebelum hamil dulu. Mas Yusuf yang melihatku sebelum hamil bisa makan sampai dua piring, kini merasa Iba. Karena kini, porsi makan yang hanya berukuran seperempat piring pun kadang hanya berakhir di wastafel. Segitu parahnya bukan? Tapi aku selalu berdoa untuk kesehatan janinku. Semoga dia memahami Emaknya yang sedang KO sama keadaan. Semoga dia diberikan kesehatan dan perkembangannya juga bagus. Meski diriku berjuang begitu hebatnya hanya demi supaya suplai makanan bisa tetap ada yang masuk ke dalam lambung. “Nis, makan dong. Kasian
Khaity dan mamanya hari ini main ke rumah orang tuaku. Katanya Mbak Rini bosan karena tidak ada teman. Menurut penuturan Mbak Rini kini ibunya sudah tidak lagi sering datang ke rumahnya. Selain karena sibuk berjualan makanan, Mbak Rini sudah bisa melakukan semuanya sendiri. Jadi emaknya juga tega melepas anak perempuan sulungnya memegang bayinya sendiri. “Nitip mereka berdua ya, Nisa. Kalau rewel pulangin saja pakai taksi. Hehehe.” ucap mas Rama sebelum akhirnya mereka berdua turun dari mobil.“Siap Mas. Bajai juga banyak kok.” balasku. "Becak aja gimana? Lebih seru kayaknya." ledeknya lagi. "Gimana kalau suruh jalan kaki, lumayan bikin langsing." Aku menimpali. "Nenek sihir mah, bisa terbang Nis, jangan suruh jalan kaki, enggak bakalan mau." “Enak aja,” sahut mbak Rini sewot. "Hahaha." tawa renyah menyambut obrolan ringan pagi ini. "Pamit duku ya, bye semua." pungkas Mas Rama. "Hati-hati Beb, jangan lupa pulang bawa duit segepok." Mbak Rini berpesan. "Iye ntar gua korupsi du
Part 13Besok kebetulan weekend. Sesuai kesepakatan bersama, kini setiap sabtu dan minggu, semua anak-anak, cucu dan menantu Ibu harus tidur di rumah Ibu mertua. Mau tidak mau harus setuju. Karena Ini sudah kesepakatan yang sudah kami setujui tempo lalu. Kenapa membuat kesepakatan semacam ini? Karena protes dari Bu Ilma yang merasa dijauhi oleh anak dan menantunya. Bagaimana tidak dijauhi kalau sikapnya saja tidak amak untuk didekati. Sekali berada di dekat beliau selalu akan ada masalah yang menyertai. Lebih tepatnya adalah selalu ada problem yang dibuat-buat. Aku menata keperluanku dan suami selama dua hari tinggal di rumah mertua. Belum cemilan dan hal pokok lain yang aku butuhkan saat malam hari di sana. Ngebayangin gimana nanti ketemu Bumer alias Ibu mertua saja sebenernya rasanya sudah ngilu. Selain ngilu, mules, hati berdebar-debar. Dannjuga harus menyiapkan mental, siapkan diri dari tekanan batin, dari omongan beliau dan juga pemberitahuan dari para tetangga yang secara ikhla
Part 14Pagi-pagi sekali, setelah salat subuh berjamaah, mbak Rini sudah bangun dan mulai mengerjakan pekerjaan rumah. Aku ikut bangun. Mia pun menyusul. Kami bertiga berbagi tugas agar semua pekerjaan rumah cepat selesai. Saat kami menyelesaikan pekerjaan rumah, Mbak Lilis mendapat bagian tugas untuk masak. Lumayan ringan dong bagi Mbak Lilis, dari pada mengerjakan semua pekerjaan di rumah ini sendiri seperti biasanya. Mbak Lilis juga sangat senang katanya, saat anak dan cucu Ibu menginap di rumah, hunian yang awalnya sepi dan mencekam, menjadi ramai dan penuh kekeluargaan. Mbak Rini cukup cerdik, Ibu dikasih bagian mengajak Khaitylin. Jadi pikirnya Ibu enggak perlu lagi ngulangin kerjaan kami. Masuk akal sih. Semoga saja berjalan sesuai dengan rencana. Kalau gagal? Entahlah, harus seberapa lama lagi harusnya kami berdua menjadi menantu Ibu? Kalau sudah bertahun-tahun begini tapi masih belum benar saat mengerjakan segala sesuatu di sini? “Rin, Riniiii.... anakmu ngompol nih, popok
Bab 15Acara tasyakuran tiga bulanan kehamilanku digelar di rumah Papa dan Mama. Hanya acara kecil-kecilan. Katanya orang dulu sebagai syarat, dan kami masih memakai adat dan budaya tersebut. Acara seperti ini biasanya dilaksanakan terutama untuk kehamilan pertama. Kalau untuk kehamilan kedua dan seterusnya terserah mau diadakan atau tidak. Pukul 19.00 Wib acara sudah rampung. Alhamdulillah semua sudah terlaksana dengan lancar. Kini waktunya kami untuk beristirahat. Merebahkan badan di kasur, sambil bercerita dengan pasangan. Yang pada belum punya pasangan, ya semoga lekas dipercepat ketemu jodohnya. Yang lagi LDR-an ya, banyakin sabar aja. Masih ada guling kok, yang bisa dengerin cerita kamu, hehehe. “Mas, rasanya cepat ya. Sebentar lagi kita akan menjadi orang tua.” kataku terharu membayangkan sebentar lagi akan dipanggil dengan sebutan Ibu. “Iya Sayang. Kamu sudah siapkan nama buat anak kita apa belum?” tanya mas Yusuf. “Belum nih, kamu sudah, Mas?” “Belum. Nanti saja kalau s
Bab 16Sebuah kabar duka, datang dari keluarga Raihan. Ibunya yang selama beberapa tahun ini menderita sakit stroke harus berpulang. Kami sekeluarga berniat melayat bersama ke kediaman orang tua Raihan. Tanpa pikir panjang lagi, kami semua bersiap. Kami sudah berkumpul di rumah Ibu. Ada banyak orang di sini, termasuk kedua orang tuaku juga ikut. Pun kedua orang tua mbak Rini. Aku menengok ke dalam rumah, barang kali orang rumah belum siap. “Ibu kemana Mbak Lilis?” tanyaku. “Masih di kamar kayaknya, Neng.” balas Mbak Lilis yang masih sibuk mengerjakan pekerjaan rumah. “Loh, belum siap, kah?” Aku kembali memastikan. Mbak Lilis menggelengkan kepala. Karena tak tahu secara pasti sedang apa Ibu di dalam kamar sedari tadi? Aku langsung paham, lalu ku ketok pintu kamar beliau, namun tidak ada jawaban. “Bu,” panggilku dari balik pintu kamarnya. Ku coba membuka sedikit pintu kamar beliau, ternyata tidak dikunci. “Ooh... Ibu sedang salat.” ucapku setelah menemukan Ibu sedang melakukan iba
MENANTU AMBURADUL 161 (ENDING)Setiap manusia selalu punya pilihan untuk selalu bersikap baik kepada sesama atau justru sebaliknya.___________Takdir hidup terkadang memang mengejutkan. Apalagi dengan terjadinya pendekatan dan rencana pernikahan antara Mimi dan Raihan. Semua orang bahkan diriku sendiri juga kaget. Apalagi mereka yang baru saja tinggal satu rumah dalam hitungan hari. Mimi dulu sempat ingin diadopsi sebagai anak oleh Ibu setelah kematian Mia, tapi rencana Ibu gagal karena tidak mendapatkan persetujuan dari anak-anak lelaki Ibu, kini Ia malah akan dijadikan istri oleh Raihan. Seseorang yang pernah menjadi menantu Ibu.Herannya si Mimi juga bersedia dengan permintaan Raihan yang ingin mempersuntingnya. Entah apapun itu motifnya yang jelas doa terbaik selalu untuk mereka berdua.Jika dengan menikah dengan Raihan membuat Mimi akan bersikap lebih penyayang kepada Fajarina dan Ibu, sungguh itu ide yang bagus. Karena selama ini Ibu sudah di rawat dengan Mimi dengan sepenuh ha
MENANTU AMBURADUL 160Kulihat betapa senangnya Daffa diperhatikan oleh Mama dan Papa. Daffa juga sangat bahagia karena Mama dan Papa beberapa hari ini tinggal di rumah kami. Dua orang yang memang sejak Daffa kecil sangat dekat dengan Daffa.Dulu, si Sulungku justru malah sering kutinggalkan bersama kedua orang tuaku karena banyak hal. Itu sebabnya suatu waktu Mama pernah memarahiku karena hal tersebut. Karena kesibukanku di duniaku sendiri sehingga sering meninggalkan anakku di tempat Mama.Sering juga kutinggalkan Daffa karena ulah Ibu mertua. Atau masalah keluarga Mas Yusuf yang tak jarang menyita waktuku. Tentang almarhumah Mia, tentang Ibu, atau masalah lainnya.Dari sebab inilah Daffa menjadi lebih dekat dan intensitas kebersamaannya dengan Grandma dan Grandpanya sangat sering."Lagi pada asyik ngapain?" tanyaku pada Papa dan Daffa yang sedang bercengkerama di ruang Tv."Lagi jawab teka-teki silang nih Mom." jawab Daffa."Siapa yang menang?""Nggak ada yang menang, kami jawab b
MENANTU AMBURADUL 159Mas Rama, Mbak Rini, Khaity dan Mama Papa berpamitan untuk pulang. Berhubung acara buka bersama telah usai. Sebenarnya ingin tarawih berjamaah juga, tapi takutnya kemalaman.Ibu mengamankan diri di kamar, mungkin sedang menyelesaikan beberes barang-barang. Begitu juga Mimi, dia digaji untuk mengikuti kemanapun Ibu akan tinggal.Mungkin tidak lama lagi Mimi bisa bekerja dengan Ibu, karena umur dia sekarang sudah menunjukkan umur seorang wanita yang pantas untuk menikah. Kedua orang tuanya sudah sering mendesak Mimi untuk segera menikah. Tidak peduli bagaimana senangnya Mimi mencari uang.Mungkin kedua orang tua Mimi takut jika nanti Mimi menikah terlalu tua. Apalagi di kampung pasti banyak yang akan ikut berkomentar jika ada anak gadis salah satu warga yang menikah terlalu tua.Aku berpesan kepada Mimi untuk jangan lebih dulu bilang sama Ibu jika memang sudah mau resign dari pekerjaan ini. Karena tahu sendiri pasti Ibu akan merasa gelisah jika diberi tahu di awal.
MENANTU AMBURADUL 158Tidak ada yang bisa merubah watak seseorang, kecuali dirinya sendiri yang ingin merubahnya.Betapa sulitnya menuruti semua kemauan Ibu. Dari hal sepele, sampai hal yang paling berat sekalipun. Dari waktu yang bersahabat atau waktu yang sedang tidak bersahabat. Jika si Ibu sudah berkehendak, maka keinginan itu harus terwujud."Ibu jadinya puasa atau enggak, Bu?""Mana kuat Ibu puasa, Ibu kan enggak sahur Nis. Ada-ada aja kamu.""Oooh, gegara menu sahur enggak sesuai keinginan Ibu, Ibu jadi mutusin buat nggak puasa ya.""Ngomong apa sih kamu ini." Elak Ibu. Mungkin si kanjeng ratu malu mau jujur."Ibu minta menu apa buat nanti sahur. Biar bisa puasa bareng kita.""Apa ya, nanti Ibu kasih tahu deh kalau sudah dapat menu yang Ibu pingin.""Sekarang saja Bu. Nggak usah nanti-nanti. Yang mau belanja dan yang masih jualan lauk mentah siapa kalau sudah sore. Ini bentar lagi juga orang sibuk nyari takjil. Bukan sayur mayur atau lauk mentah." cerocosku mendesak Ibu agar me
MENANTU AMBURADUL 157"Marhaban ya Romadhon. Marhaban Syahrossiyam."Selamat menunaikan Ibadah puasa bagi yang menjalankan. Semoga kita semua diberikan kesehatan sehingga bisa beribadah dengan maksimal di bulan suci ini. Aamiin.____________"Nek, maafkan Rina. Nenek jangan marah." kata Rina di balik pintu kamar neneknya sambil ketok-ketok.Ibu mengunci pintu kamar beliau dari dalam, sehingga tidak ada seorangpun yang bisa masuk, termasuk Mimi."Pergi saja semua. Jangan perdulikan Nenek lagi.""Kami semua masih peduli kok sama Nenek.""Bohong. Buktinya kamu tidak mau tinggal sama Nenek. Kamu malah memilih tinggal bersama Ayahmu.""Nenek boleh ikut sama kami. Kata Ayah, kita akan tinggal bersama."Hening... tidak ada balasan dari dalam ruangan yang pastinya berantakan itu akibat ulah dari Ibu. Segala barang yang ada di dalam selalu dirusak saat Ibu marah. Itu sebabnya kami tidak banyak meletakkan barang-barang berbahan kaca yang mudah pecah. Salah satu alasannya ya karena itu. Tidak i
MENANTU AMBURADUL 156Kami masih di Supermarket langganan. Cuman beda posisi saja. Aku, Fateh, Rina, Daffa dan Mbak Karti sedang menunggu Ibu dan Mimi yang masih ada di dalam. Mas Yusuf entah menghilang kemana?Daffa awalnya membantu Neneknya mendorong troli belanjaan, tapi dia antarkan troli tersebut sampai kasir lalu pamit mencari Daddynya agar bisa membantunya membawakan belanjaan si nenek. Sudah Daffa cari kemana-mana, batang hidung Daddynya belum juga nongol, akhirnya Daffa menemukan keberadaan kami dan menunggu Mas Yusuf bersama kami di sini."Loh, kok kalian pada di sini? Ibu dimana?" tanya Mas Yusuf yang mendadak care dengan keberadaan ibunya."Helloooo kemana aja dari tadi Mas?" batinku mengomel.Entah dari mana asalnya Mas Yusuf tiba-tiba muncul begitu saja. Bilangnya sih dari toilet. Entah ngumpet atau ngapain dia sejak tadi di sana? Kami saja sudah duduk di sini sekitar 15 menit. Berarti Mas Yusuf berada di toilet hampir 45 menitan. Hahahaha mustahil sekali Mas. Alasan k
MENANTU AMBURADUL 155Suara huru-hara orang yang hendak beraktivitas mulai terdengar di luar. Sang embun mulai menampakkan diri, pertanda bahwa pagi ini masih begitu dingin. Kembali kututup pintu rumah, lalu menikmati pekerjaan pagi yang setiap hari kujalani.Mbak Karti sudah memulai pekerjaan rumah lebih dulu, ia tampak serius sedang bergelut dengan cucian dan mesin. Sementara Aku sedang menyiapkan bumbu dan bahan makanan untuk kukupas dan potong-potong.Mas Yusuf dan Fateh masih terlelap tidur. Tadi mereka asyik bercanda dari sebelum subuh, namun akhirnya keduanya tertidur kembali setelah Mas Yusuf melakukan sholat subuh.Daffa dan Fajarina juga kebetulan sedang ada di rumah. Mereka sedang menikmati liburan di rumah menjelang ramadhan dari pesantren. Tidak lama sih, sekitar satu minggu. Itupun sudah membuat mereka berdua merasa senang, karena bisa pulang ke rumah dan berkumpul bersama keluarga. Khaity juga pulang."Boleh Rina bantu, Tante?" sapa seseorang dari belakangku."Eh Rina,
MENANTU AMBURADUL 154Kudengar bel rumah berbunyi, sepertinya ada seseorang yang datang. Aku berdiri dari posisi awalku yang sedang duduk di samping Fateh untuk menitipkan sementara Fateh, kepada Mbak Karti. Dengan sedikit rasa penasaran Akupun membuka pintu depan."Assalamu'alaikum Mbak Nisa. Saya rindu sekali dengan Mbak Nisa." sapa seorang dokter perempuan cantik di hadapanku. Ia Aisyah, istri dari Ilyas.Kami saling berpelukan. Sudah lama sekali sepertinya kami tidak berjumpa."Alhamdulillah Baik. Tahu rumahku dari Mana, Syah?""Minta sama Mbak Rini. Hehehehe nggak papa kan Mbak? Maaf sudah lancang.""Nggak papa dong. Malahan seneng ada yang datang ke sini jengukin diriku.""Hehehehe Mbak Nisa bisa saja."Setelah bertahun-tahun tidak bertemu, rupanya Aku sedikit pangling padanya. Kini Aisyah tampak lebih subur, sepertinya benar yang dibilang oleh Fajarina, Aisyah terlihat seperti sedang berbadan dua. Wajahnya masih saja cantik, bahkan lebih cantik sekarang dengan aura keibuannya ya
MENANTU AMBURADUL 153Sudah sekitar 45 menit kami menunggu mobil yang dinaiki oleh Ibu singgah di sini. Kami semua seperti orang hilang di sebuah Pom Bensin ini. Bukan seperti lagi, kami ibarat keluarga yang terdampar tanpa kepastian.Ibu tak kunjung ada kabar. Selain cemas, kami juga sempat berfikiran buruk tentang mereka bertiga yang kebetulan di supiri oleh orang sewaan yang kurang begitu kami kenal. Takutnya mereka bertiga kenapa-napa. Misalnya diculik gitu. Tapi ribet juga sih kalau yang diculik Ibu. Bakalan susah ngerawatnya. Belum lagi pas kena omel si Ibu, bisa-bisa nyerah penculiknya. Angkat tangan beserta kaki. Hahahahaa.Selang berapa lama, Mas Yusuf dan Mas Rama akhirnya berhasil menghubungi si driver lewat sambungan telfon. Saat ditanya oleh Mas Rama kebetulan si driver baru sampai rumah lagi. Tadinya masih di jalan dan susah ambil ponsel di sakunya, makanya tidak kunjung diangkat.Ternyata Ibu melupakan sesuatu, tas beliau ketinggalan di ruang tamu lengkap beserta pons