Part 14Pagi-pagi sekali, setelah salat subuh berjamaah, mbak Rini sudah bangun dan mulai mengerjakan pekerjaan rumah. Aku ikut bangun. Mia pun menyusul. Kami bertiga berbagi tugas agar semua pekerjaan rumah cepat selesai. Saat kami menyelesaikan pekerjaan rumah, Mbak Lilis mendapat bagian tugas untuk masak. Lumayan ringan dong bagi Mbak Lilis, dari pada mengerjakan semua pekerjaan di rumah ini sendiri seperti biasanya. Mbak Lilis juga sangat senang katanya, saat anak dan cucu Ibu menginap di rumah, hunian yang awalnya sepi dan mencekam, menjadi ramai dan penuh kekeluargaan. Mbak Rini cukup cerdik, Ibu dikasih bagian mengajak Khaitylin. Jadi pikirnya Ibu enggak perlu lagi ngulangin kerjaan kami. Masuk akal sih. Semoga saja berjalan sesuai dengan rencana. Kalau gagal? Entahlah, harus seberapa lama lagi harusnya kami berdua menjadi menantu Ibu? Kalau sudah bertahun-tahun begini tapi masih belum benar saat mengerjakan segala sesuatu di sini? “Rin, Riniiii.... anakmu ngompol nih, popok
Bab 15Acara tasyakuran tiga bulanan kehamilanku digelar di rumah Papa dan Mama. Hanya acara kecil-kecilan. Katanya orang dulu sebagai syarat, dan kami masih memakai adat dan budaya tersebut. Acara seperti ini biasanya dilaksanakan terutama untuk kehamilan pertama. Kalau untuk kehamilan kedua dan seterusnya terserah mau diadakan atau tidak. Pukul 19.00 Wib acara sudah rampung. Alhamdulillah semua sudah terlaksana dengan lancar. Kini waktunya kami untuk beristirahat. Merebahkan badan di kasur, sambil bercerita dengan pasangan. Yang pada belum punya pasangan, ya semoga lekas dipercepat ketemu jodohnya. Yang lagi LDR-an ya, banyakin sabar aja. Masih ada guling kok, yang bisa dengerin cerita kamu, hehehe. “Mas, rasanya cepat ya. Sebentar lagi kita akan menjadi orang tua.” kataku terharu membayangkan sebentar lagi akan dipanggil dengan sebutan Ibu. “Iya Sayang. Kamu sudah siapkan nama buat anak kita apa belum?” tanya mas Yusuf. “Belum nih, kamu sudah, Mas?” “Belum. Nanti saja kalau s
Bab 16Sebuah kabar duka, datang dari keluarga Raihan. Ibunya yang selama beberapa tahun ini menderita sakit stroke harus berpulang. Kami sekeluarga berniat melayat bersama ke kediaman orang tua Raihan. Tanpa pikir panjang lagi, kami semua bersiap. Kami sudah berkumpul di rumah Ibu. Ada banyak orang di sini, termasuk kedua orang tuaku juga ikut. Pun kedua orang tua mbak Rini. Aku menengok ke dalam rumah, barang kali orang rumah belum siap. “Ibu kemana Mbak Lilis?” tanyaku. “Masih di kamar kayaknya, Neng.” balas Mbak Lilis yang masih sibuk mengerjakan pekerjaan rumah. “Loh, belum siap, kah?” Aku kembali memastikan. Mbak Lilis menggelengkan kepala. Karena tak tahu secara pasti sedang apa Ibu di dalam kamar sedari tadi? Aku langsung paham, lalu ku ketok pintu kamar beliau, namun tidak ada jawaban. “Bu,” panggilku dari balik pintu kamarnya. Ku coba membuka sedikit pintu kamar beliau, ternyata tidak dikunci. “Ooh... Ibu sedang salat.” ucapku setelah menemukan Ibu sedang melakukan iba
MENANTU AMBURADULBab 17Mas Yusuf minggu ini ada tugas ke luar kota. Suntuk sekali rasanya tidak punya kegiatan khusus. Setiap harinya hanya bengong jaga rumah udah mirip dengan satpam komplek. Kali ini mas Yusuf pamit untuk seminggu, kalau lebih lama lagi entah akan kuperbolehkan atau tidak saat dirinya bersiap menggeret koper miliknya tempo lalu? Papa kebetulan sibuk bekerja, sementara Mama ada arisan hari ini. Aku sendiri mau ngapain? Tanyaku dalam hati, saking suksesnya diriku menjadi seorang pengangguran. Inisiatif ku telfon sahabat-sahabatku, siapa tahu mereka ada waktu untuk berkumpul. Terserah mau mereka sibuk atau tidak, keinginanku untuk menghubungi mereka semua harus terwujud. Kalau tidak, maka bisa jadi bisul nantinya. Hahaha. Setelah mencoba menghubungi para sahabat karibku beberapa saat, akhirnya diputuskan bahwa Sinta, Alia dan Dinda mau ketemu di salah satu Mall. Karena posisi perutku lagi bunting, mereka bertiga berbesar hati untuk menjemputku dan pergi bareng. Syu
MENANTU AMBURADULBab 18Mbak Rini dan Mas Rama rencananya hari ini akan menggelar acara tedak siten untuk anaknya, yaitu Khaity Ardiansyah. Seorang bayi yang namanya pernah menjadi perdebatan sengit antara kedua neneknya, yaitu Ibu mertua dan ibunya Mas Rini. Tedak Siten merupakan sebuah acara dari adat suku jawa yang biasa juga disebut turun tanah. Acara ini umumnya diadakan untuk bayi yang berusia sekitar 6 bulan sampai 7 bulan, bisa juga kurang atau lebih. Aku dan mama datang antusias untuk datang ke acara tersebut. Iseng kubawa bingkisan untuk khaity sebagai hadiah dan doa, semoga Ia lekas bisa berjalan, dan bahkan berlari. Seperti tema dari acara ini dilaksanakan, yaitu segala hal yang berhubungan dengan tanah tempat di mana langkah kaki kami berpijak. “Hai khaity, ini dari eyang dan aunty ya, sayang.” “Makasih aunty...” jawab emaknya Khaity."Iya, sama-sama." Tak terasa kini usia gadis bayi itu sudah bertambah bulan. Bayi yang hampir saja kehilangan nyawa mamanya saat dia m
Bab 19Langit tampak cerah sore ini, padahal biasanya mendung. Apakah ada hubungannya dengan cerahnya hatiku? Yaaa, hari ini bertepatan tanggal 1. Biasanya jam segini gaji Mas Yusuf sudah masuk ke dalam rekening. Mas Yusuf yang kucintai sepanjang hari, yang kusayangi sepenuh hati dan jiwa ini, yang ketampanannya tak pudar-pudar saat dompetnya tebal, yang... Apalagi ya? Aku bingung kali ini musti ngegombal pakai kalimat apa? Saking seringnya kalimat rayuan tersebut ku lontarkan saat awal bulan begini. Semua itu ku lakukan supaya nominal gaji milik Mas Yusuf juga cepat cair ke rekeningku. Hahaha. Pukul 18.30 Wib sekarang, sudah lepas maghrib, kenapa suamiku tak kunjung pulang? Galaunya diriku melebihi apapun. Makan tak enak, tidur tak nyenyak. Tiduran juga gelisah. Ngobrol sama orang tua pun jadi tak konsen. Sebelum batang hidung Mas Yusuf nampak depan mata. "Klunting....” Sebuah pesan masuk dari suamiku. Ku baca dengan rasa khawatir. (Mas malam ini ada acara sama temen-temen kantor,
Bab 20Hari ini adalah hari sabtu. Pantas saja langit begitu mendung. Semendung hati kami para menantu yang sebentar lagi bakalan berhadapan dengan Ibu mertua tercinta. Tibalah jadwal kami semua untuk datang ke rumah Ibu mertua. Malas, lemah, lesu, mules. Berbagai rasa mulai menyergap badan kami yang awalnya segar bugar ini. “Kamu kenapa, De’, kok murung amat?” tanya mas Yusuf mulai curiga. Entah kenapa kali ini ia tak peka. Jika saja isi hatiku bisa ia teropong, pastilah suamiku enggan mengajakku datang ke rumah emaknya. “Enggak papa kok, mungkin masih ngantuk.” sahutku seadanya. Tak mungkin juga jujur, takut dibilang kebanyakan alasan nanti.“Lembur nonton lagi, semalem?” tanyanya lebih serius.“Enggak, sih.” “Sarapan saja dulu, biar waras lagi.” suruhnya. “Yeeeee... emangnya Aku gila!” balasku jutek. "Hahaha jangan marah, makin cantik loh, nanti." candanya. Mulutku mencibir, tiba-tiba saja bad mood. Kamu enggak tahu kan, Mas? Aku kayak begini karena apa? Karena mau ketemu ema
MENANTU AMBURADULBab 21Pernah suatu hari, aku menanyakan kepada Mas Yusuf tentang sifat Ibunya. Watak siapakah sebenarnya yang Ibunya tiru? Mas Yusuf bilangnya, kurang begitu tahu karena waktu dia kecil Kakek dan Neneknya sudah meninggal. Dengan karakter Ibu yang begitu dingin pada anak-anak, membuatnya tidak pernah menanyakan hal semacam ini. Yang membuat heran adalah, kenapa Ibu begitu merasa care dengan anak-anaknya setelah semuanya memiliki pasangan. Padahal dulu katanya tidak begitu. Beliau cenderung cuek. Bahkan yang lebih perhatian adalah almarhum Bapak. Ungkapnya. Pernah suatu malam Mas Yusuf bertanya kepadaku. Pilih mana, antara seorang suami yang sikapnya baik sama kamu tapi mertua jahat? Atau suami yang sikapnya jahat tapi mertua baik? Terpaksa aku jawab mending suami baik meski mertua jahat. Karena diantara pilihan tersebut, pilihanku adalah yang terbaik. Sebenarnya dia pun mengakui kalau Ibunya tidak begitu baik dengan para menantu. Bahkan sikapnya sungguh membuat ana