Bab 5
“Alhamdulillah, akhirnya sampai rumah juga ya Mbak Rin, terimakasih sudah bertahan demi Mas Rama, si kecil dan kita semua.” ucapku syukur menyambut kedatangan mbak Rini di rumahnya. Kami saling berpelukan, menumpahkan rasa haru dan syukur kami atas perjuangan yang sudah berhasil dilewati oleh Mbak Rini, suami dari kakak iparku ini. Pagi ini, tepat pukul 09.20 pagi kami sekeluarga sudah berkumpul bersama di kediaman Mas Rama. Ada mas Yusuf, Aku, Ibu, Mia dan Raihan, serta keluarga dari mbak Rini. Selain untuk menyambut sang baby cute, kami juga ingin menyambut mbak Rini yang baru selamat dari berjuang melawan masa kritisnya. “Makasih ya, De’. Makasih semuanya.” sahut Mbak Rini lirih. “Siapa nama bayinya, Mas?” tanya Mia kepada Mas Rama. “Khaitylin Ardiansyah. Bagus Nggak?” tanya balik Mas Rama kepada adik bungsunya. “Baguusss.... cute kok, sesuai dengan parasnya.” sahutku buru-buru. Sebelum ada sahutan lain yang lebih horor. Semua orang ikut tersenyum. Tanda mengiyakan kalimatku. “Kasih nama kok susah banget. Orang tua lidahnya pada belibetlah kalau mau manggil.” terdengar sebuah sahutan yang tajam dan sukses mengejutkan banyaknya pasang indera pendengaran di ruangani ini. Siapa lagi kalau bukan suara dari kanjeng emak ratu padepokan. Seketika suasana menjadi hening, horor dan menegangkan. Walah dalah, kok ya pakai acara beneran ada sahutan misterius dari Ibu mertua. Gumamku lirih dalam hati. Enggak berani kenceng, takut ikutan disamber. Hahaha. Kulirik wajah Mas Rama dan Mbak Rini, seketika mukanya mirip warna tomat, Memerah.“Bagus kok. yaa, kan, Mia?” aku mencoba mengalihkan fokus Mbak Rini terhadap olokan dari Ibu mertua kami tercinta. “Iya, bagus kok Bu, kayak nama anak jaman sekarang banget.” tutur Mia menimpali. Semua orang menatap obrolan ini serius. Suasana menjadi tegang akibat ulah dari Ibu. “Bagus apaan.” balas Ibu sewot. Raut ketidaksukaan Ibu begitu kentara. Padahal keluarga mbak Rini juga memperhatikan obrolan kita. Ibu sama sekali tak berniat menjaga perasaan mereka. Sekali Ibu tak suka, ya dia akan memepertontonkan ketidak sukaannya itu secara gamblang. “Bagus dong nama cucu saya, masa engga bagus. Makannya, Jenk Ilma cari referensi nama bayi yang modern, umumnya anak sekarang. Jadi enggak tampak seperti orang yang ketinggalan jaman.” sahut Ibu dari mbak Rini, alias Ibu mertua Mas Rama. Heran banget kenapa masalah nama saja bisa bikin Ibu semarah itu. Kan nggak enak juga sama keluarga mbak Rini?“Maksudnya? Saya ketinggalan jaman gitu Jenk?” jawab Ibu mertua tidak mau kalah. "Memang iya, ketinggalan jaman. Memangnya cucu saya mau dikasih nama apa? Sarijem? Pariyem? Ndeso banget pemikirannya." imbuh Ibunya Mbak Rini tak mau kalah. Beliau tak kalah nyolot. Sebagai ibu kandung yang telah susah payah melahirkan dan membesarkan anak perempuannya, jelas tidak akan terima melihat anak perempuannya mendapatkan perlakuan tidak baik di depan mata. Wajah Ibu tampak sangat kesal, namun ku lihat tak satupun ada yang berpihak kepadanya. Ibu yang menyulut emosi, seharusnya Ibu sendiri yang harus meredamkannya. Aku yakin, kalau semua orang di sini sebenarnya berpihak pada Ibunya Mbak Rini, bukan pada Ibu mertua. “Ayukk silakan santap hidangannya semuanya, makanan sudah siap.” Ayah mbak Rini mempersilakan kami untuk makan bersama karena hidangan telah siap. "Ayo... Selamat menikmati semua." Mas Rama dan Mas Yusuf ikut mempersilakan para tamu untuk segera menukmati suguhan dari keluarga Mbak Rini. Kami semua pun beralih fokus ke makanan. Akhirnya, perang dunia tertunda, sepertinya juga gagal terjadi di sini. Leganyaa... Rasanya itu seperti nahan kentut berjam-jam dan akhirnya meluncur tanpa halangan dengan segala baunya. Sedeeeeppp.... hahahhaa. Begitulah Ibu mertuaku, selalu tidak melihat situasi dan kondisi saat mencela anak atau menantunya. Tidak peduli dengan siapapun, tidak ada yang beliau takuti. Sungguh surga menanti siapapun anak yang bisa merawat dan sabar menghadapi orang seperti Ibu. Akhirnya acara Aqiqah, pemberian nama dan tasyakuran Khaitylin selesai dan berjalan lancar. Kami semua pulang ke rumah masing-masing. Kecuali orang tua Mbak Rini yang masih ingin tinggal di rumah Mbak Rini untuk membantu merawat khaitylin. Sungguh penantian yang panjang. Selama tiga tahun pernikahan, mereka baru dikaruniai keturunan. Itupun dengan perjuangan yang luar biasa. Congratulation ya mas Rama dan mbak Rini. Doa terbaik untuk keluarga kecil kalian.*********(Annisa, besok datang ke rumah mbak Rini lagi ya, ada banyak hal yang mbak mau ceritakan ke kamu. Sendiri saja, jangan ajak Yusuf. Besok mbak yang tentuin jamnya. Ok De’) Ada pesan masuk dari mbak Rini. Pasti ada hal penting sampai aku disuruh ke rumah tanpa mas Yusuf. (Baik Mbak) Jawabku singkat, takut mas Yusuf baca. Karena aku masih duduk di sampingnya. Kita masih sedang dalam satu mobil. *********Pagi-pagi sekali Raihan datang ke rumah dengan wajah panik. Ia buru-buru meminjam mobil untuk membawa Mia ke Rumah Sakit. Entah ada apa gerangan. Belum ada penjelasan yang pasti. Raihan cuma bilang ada kondisi urgent. Entah apa yang sedang terjadi dengan Mia? "Aku ikut ya, Han? Mbakmu juga." pinta Mas Yusuf. "Tidak usah, Mas. Nanti Raihan kabari saja. Mas kan kerja juga hari ini." tolak Raihan."Ya sudah kalau begitu. Biar Anisa saja ya yang ikut?" Mas Yusuf kembali menawarkan pilihan. "Enggak usah Mas, kami bisa sendiri kok." ungkapnya percaya diri. "Bagaimama dengan Ibu?" Mas Yusuf masih berbaik hati. "Tidak Mas, Raihan tidak mau ada keributan di rumah sakit seperti yang sudah-sudah." jelasnya. "Baiklah kalau begitu. Semoga tidak terjadi hal buruk ya." "Aamiin." balas kami bersamaan. Aku dan mas Yusuf tidak diperbolehkan ikut ke rumh sakit oleh Raihan, Apalagi Ibu. Semoga saja tidak ada hal yang serius. Pintaku. Mas Yusuf masuk ke dalam rumah demi bersiap untuk mandi, sementara diriku masih ada di luar rumah. Ku selesaikan pekerjaanku menyapu halaman dan teras. Supaya bisa mengerjakan yang lain setelahnya. Mau diulangi Ibu mertua terserah, enggak juga tidak masalah. Batinku cuek. “Nis, sini sebentar.” panggil bu Rohmah tetangga sebelah rumah tiba-tiba. “Iya Bu, ada apa?” tanyaku ingin tahu. Ku letakkan seperangkat alat-alat untuk membersihkan rumah. “Hati-hati ya sama Mia. Dia itu sebenernya jahat sama kamu.” titah Bu Rohmah. “Hah? Maksud Ibu rohmah gimana, yaa?” tanyaku penasaran.“Dia itu baiknya sama kamu cuma di depan doang. Dibelakangmu dia suka ceritakan tentang keburukanmu. Apalagi pas kemarin lusa nginep di sini beberapa hari? Fiuuuuhhh mulutnya itu loh... sembarangan.” Bu Rohmah dengan fasih menuturkan. “Sebentar.. Sebentar... tolong jelaskan lagi lebih detail Bu, apa yang Mia katakan tentang Nisa. Nisa tidak mau berburuk sangka, takutnya kalau ini itu hanya fitnah atau Ibu salah dengar.” “Mia bilang sama orang-orang kalau kamu mandul. Soalnya dari keluarga Yusuf, semuanya subur. Makannya sampai sekarang kamu belum hamil. Begitu katanya. Ada bu Ilma juga kok, malahan bu Ilma ikut nimbrung juga ngejelekin kamu. Sombong sekali si Mia, nggak takut apa ya, dia kan lagi hamil muda. Ngomongnya sembarangan.” maki Bu Rohmah. “Astaghfirullah... itu seriusan, Bu?” mulutku berusaha keras memberikan pertanyaan penuh dengan tekanan. “Seriuslah Nisa. Masa’ Saya mengada-ngada. Jujur waktu itu saya memang termakan hasutannya bu Ilma. Tapi sekarang saya tau kamu anak yang baik. Ibu minta maaf, ya, Nis.” “Hehehhee iya Ibu. Makasih ya sudah kasih tau saya. Jadi saya bisa lebih berhati-hati lagi.” “Sama-sama, Nis.” Sungguh drama yang tak kunjung usai. Belum kelar masalah bagaimana menghadapi Ibu mertua yang super duper luar biasa, kini gen julid beliau sudah mulai menular ke anaknya. “Allahu Akbar....”**********“Nisa, dari mana kamu?” tanya mertua nyolot. Mukanya sungguh asam dan sorot matanya seperti sedang penuh dengan rasa dendam. “Enggak dari mana-mana, kok, Bu.” sanggahku. Memang dari tadi kan di teras rumah doang. Itupun teras adalah tempat di mana aku bisa refresh otak, dari kejenuhan selama berada di dalam rumah mertua. “Ngapain kamu kemarin ngebelain Rama sama Rini tentang nama anaknya?” cecar Ibu mertua.“Nisa cuma membuat suasana cair saja Bu, mereka juga tidak butuh dibela karena sudah sama-sama dewasa.” sangkalku penuh dengan pembelaan. “Hallaaah alasan saja. Kamu mau melawan Ibu di depan keluarga besan Ibu? Iya?” bentak Ibu kasar. “Untuk apa, Bu? Nggak ada untungnya juga begitu.” balasku yang sudah siap baku hantam. Hahaha. “Dasar Sok baik. Baru berapa hari kamu jadi istri Yusuf, sudah berani ngelawan Ibu?” rengeknya. Lagi-lagi, mau ngajak berhitung berapa hari diriku menjadi menantunya. Yang jelas sehari saja berada di sini bagaikan sewindu. Batinku konyol. “Duuuhhh..... Perut Nisa mules nih, Bu. Ibu kalau mau ngelanjutin marah-marahnya boleh kok, ngikut Nisa aja ke toilet. Maaf bukannya enggak sopan. Tapi dari pada Nisa poop disini.” Tak lupa tanganku pura-pura memegang perut layaknya orang bener-bener kebelet."Bruuuuuttt... Preeettt..... Ah lega." ucapku setelah rudal kentut meluncur tepat sasaran. Hahaha.Ibu makin kesal dan pergi begitu saja. “Rasaaaiiiinnnn.” umpatku dalam hati. Salah siapa marah-marah enggak jelas. Mustinya Akulah yang marah karena dia beserta anaknya ngejelek-jelekin aku. Kita lihat saja siapa yang akan Tuhan lindungi.“Huh, Terpaksa deh masuk toilet tanpa mules gegara ngehindarin mulut Ibu yang bisa bikin jiwa dan raga stress. Sikat-sikat aja sekalian nih toilet sampe lima jam baru keluar dari sini. Ibu pingsan kelamaan nungguin karena mules mau BAB juga biarin. Hahahahha.” Gerutuku yang tak terbendung.**********“De’.... lagi apa? Maaf ya, Mas telat pulang kerja. Sudah tidur?” Saking ngantuknya aku malas menjawab pertanyaan mas Yusuf. Sudah jam 00.30 loh ini, batang hidungnya baru muncul. Kemana aja dia? “Ya sudah, Mas bersih-bersih dulu.” tuturnya tanpa jawaban dariku. Lima belas menit berlalu. Aku masih menunggu Mas Yusuf bercerita kenapa bisa pulang selarut ini. Tidak biasanya dia nongkrong dengan teman-temannya, kecuali memang ada urusan pekerjaan. Apakah tidak paham dia kalau Aku sangat bosan menghadapi emaknya yang suka keributan itu setiap hari? Dasar, heran! Makiku sambil ngebatin.Aku merem sembari menunggu suamiku yang sedang membersihkan badannya. “Sudah selesai semua. Sholatpun sudah. Ada yang mau Mas ceritakan sama kamu. Penting. Tapi jangan sampai Ibu dengar dulu, ya.” pinta mas Yusuf kepadaku. Akupun mengangguk dan tidak lagi pura-pura tidur. Hanya ini sebenarnya yang diinginkan istri ketika suami telat pulang kerja. Penjelasan!“Mia keguguran. Dia terpeleset di kamar mandi tadi pagi. Ada benturan hebat dan kondisi janinnya tidak bisa diselamatkan. Mas habis mampir ke RS tempat Mia melakukan curret. Kasihan mereka berdua, masih sangat terpukul. Raihan bingung mau menceritakan semua ini kepada siapa, karena memang Mia meminta jangan sampai keluarganya dengar dulu, terutama Ibu.” Aku terduduk. Sangat kaget mendengar penjelasan dari suamiku. “Astaghfirullah... Kasian sekali Mia dan Raihan. Ini kehamilan pertama mereka loh. Pasti mereka sangat sedih dan merasa bersalah.” sahutku.“Iya De’, Mia juga belum mau menemui siapapun termasuk aku. Jadi Mas cuma ketemu Raihan tadi di lobby Rs.” jelas Mas Yusuf. “Kenapa jadi begini kondisinya. Masa’ kita tega mau ninggalin keluarga hanya untuk berlibur ke Bali, minggu ini Mas?” imbuhku. “Makanya, mas mau bahas ini ke kamu takutnya kamu tersinggung.” Ah, rupanya arah pembicaraan doi ke sini. Aku ngebatin. “Yasudah kita pending dulu saja. Situasinya lagi genting.” Jawabku pasrah. Sebenarnya kecewa, kenapa lagi dan lagi harus gagal rencana untuk berliburnya. Mungkin benar kata temanku, aku terlalu stress tinggal di rumah ini. Makannya belum berhasil punya momongan. Tapi aku percaya kalau saatnya tiba nanti, pasti Allah akan kirimkan satu malaikat kecil untuk kami.“Makasih pengertiannya, De’.” kata Mas Yusuf manis. “Iya sama-sama, Mas.” *********Sebenarnya, untuk tidak menjawab semua perkataan buruk Ibu tentangku adalah hal terberat yang selama ini aku pikul sendirian. Tapi jika aku ceroboh dan tidak berhati-hati, makan Ibu akan menghina kedua orang tuaku dan bakalan bilang mereka tidak mendidikku sebagai anak perempuan mereka dengan baik. Seperti katanya waktu itu saat mencaci maki mbak Rini. Banyak ketakutan yang ku pendam. Apalagi untuk menceritakan tentang kelakuan Ibunya kepada Mas Yusuf. Berat rasanya, tapi aku tidak boleh menyerah. Meski lelah, meski berat, aku yakin aku kuat hadapi. Sebagai menantu perempuan, kesalahan terbesar yang akan memicu pertengkaran berkepanjangan dengan suami adalah ketika caci maki untuk Ibu dari suami, kalian lontarkan dari mulut kalian sendiri. Itulah sakit hati terbesar seorang suami, mendengar Ibunya dicaci maki oleh istrinya sendiri. Seburuk apapun, jangan bicarakan keburukannya dihadapan suami. Karena itu yang akan membuat kalian dibenci suami sendiri beserta saudara-saudaranya. Nasehat dari Papa ini, akan selalu ku pegang. Selama masih ada cara lain selain adu mulut, akan aku lakukan cara itu. Dua hari kemudian, Mia pulang dari RS ke rumah Ibu. Mas Rama juga datang kesini pagi-pagi karena ingin melihat kondisi adik bungsunya. Kami semua sudah tahu cerita tentang Mia yang keguguran, kecuali Ibu. “Loh, dari mana kalian Raihan? Kenapa Mia lemas begitu?” tanya Ibu penasaran. “Biarkan Mia masuk rumah dulu Ibu. Nanti kita bahas di dalam rumah.” tutur Mas Rama. Ibu tampak semakin penasaran, raut mukanya tak bisa dibohongi. Panik.Setelah merebahkan istrinya di kamar, Raihan membereskan barang-barang dari Rs, menurunkan semuanya dari mobil. Ibu segera mendekati keberadaan Mia, anak perempuan satu-satunya. “Kamu kenapa, Mia?” cecar Ibu. “Ibuu..... hiks... hiks... maafkan Mia, Bu. Mia keguguran kemaren. Hikssss....” Mia menjelaskan dengan isak tangis yang tak terbendung. Air mataku tiba-tiba mengucur bersamaan dengan penjelasan dari adik iparku tersebut. Merasa kasian dengan keadaan Mia dan Raiha . Rasa kehilangan itu pasti menyakitkan bagi keduanya, terutama Mia.“Apa katamu, Mia? Keguguran? Kok, bisa? Kamu itu kan seorang bidan, bagaimana bisa kejadian seperti ini terjadi sama kamu? Kehamilan kan bidangmu? Hah? Astagaaaa bodohnya... makanya hati-hati jadi orang. Malu-maluin saja!” maki Ibu pada anak perempuan beliau satu-satunya ini. Ibu sangat syock, segala umpatan dikeluarkan tanpa sadar. Mia makin menjadi, tangisnya pecah merasa lebih bersalah lagi kepada Ibu. Inilah salah satu kesalahan terbesar orang tua. Menyalahkan anak diatas rasa bersalah yang yang sebenarnya jauh lebih besar dibanding siapapun. Dia sedang kehilangan calon bayinya, dan harus disalahkan pula atas kehilangan yang tidak mungkin disengaja ini. “Maafkan Mia Bu. Maaf Bu....” pinta Mia. “Makanya lain kali hati-hati. Kamu tinggal di sini saja, Ibu akan didik kamu supaya bisa menjaga bayimu dengan benar!” Sahutan Ibu yang amat menyakitkan bagiku. “Ini kecelakaan Bu. Jangan salahkan Mia seperti itu.” Raihan yang tidak pernah banyak komentar dalam keluarga ini, tiba-tiba berbicara untuk membela istrinya. Mungkin dia tidak terima dengan sikap Ibu. “Iya Bu, sudahlah. Nanti juga Mia bakalan hamil lagi.” sahut Mas Yusuf. “Kamu juga, Suf. Nggak usah ikut komentar. Istrimu saja belum hamil. Harusnya kalian mikir kenapa belum juga dikasih keturunan. Fokus. Nggak usah berlagak ikut nyalahin Ibu.” “What? Kenapa jadi Mas Yusuf yang kena? Kenapa harus kami?” batinku gemas. Ibu melenggang pergi begitu saja dari hadapan kami berempat. Sungguh tak ku percaya, begitu egoisnya Ibu. Tidak pernah ada kata salah dalam kamusnya. Beliau yang paling benar. Selalu benar. “Udah enggak usah dimasukin ke hati. Sudah hafal kan, gimana watak Ibu. Dulu juga Rini enggak kunjung hamil digituin juga.” keluh Mas Rama menenangkan kami. “Iya, mas.” sahut Mas Yusuf. “Mia, istirahat ya. Kamu juga, Raihan. Kami keluar dulu.” Akhirnya mas Rama pamit pulang. Setelah melihat kondisi Mia sudah jauh lebih baik. **********“Nisa, itu cucikan baju kotor Mia dari Rumah Sakit. Supaya rumah ini enggak berantakan.” Pinta Ibu padaku. Aku dan mas Yusuf saling pandang. “Nggak papa mas, paling juga nggak seberapa.” jawabku. “Kenapa musti Nisa bu? Kan ada suaminya? Atau enggak di laundry saja.” Mas Yusuf menimpali perintah Ibunya. “Kenapa musti laundry, Nisa kan nganggur nggak ada kerjaan. Biarlah dia yang kerjakan.”Kulihat wajah Mas Yusuf memerah, seperti orang yang emosinya sedang naik ke ubun-ubun. “Nisa bukan pembantu Ibu dan juga Mia. Yusuf menikahinya bukan untuk menjadikannya buruh cuci Ibu atau Mia! Nisa wanita berpendidikan Bu, karir dia bahkan jauh lebih baik dari Yusuf. Gaji dia bisa untuk membayar beberapa puluh orang untuk Ibu suruh menjadi buruh cuci di rumah ini. Yusuf sengaja memaksa dia tidak bekerja karena Yusuf ingin bertanggung jawab kepada istri. Jadi jangan pernah lagi bilang dia pengangguran. Itu menyakitkan bagi Yusuf!” ucap Mas Yusuf murka. "Loh, loh kok begitu jadinya. Maksud ibu itu benar Suf..." sangkal Ibu. “Ayo Sayang. Kita pulang ke rumah orang tuamu.” Ajak Mas Yusuf kepadaku yang saat itu sedang asik melongo melihat kejantanannya menghadapi Ibunya. Baru kali ini dia tampak setampan ini saat berhadapan dengan Ibu. Kini dia sangatlah menggoda di mataku. Saking lamanya Aku bengong, Ia tarik tanganku untuk segera siap-siap pulang ke rumah orang tuaku. Melihat ekspresi wajah Ibu mertuaku, serasa melihat pandangan sosok antagonis dalam sinetron TV. Sayangnya aku kurang paham, mirip artis siapa wajah Ibu mertuaku ini. Mungkin karena saking jarangnya aku nonton. Tapi kalau terlalu sering nonton juga nanti acting Ibu bakalan kalah dengan aktingku. Hahahahahaha. “Mana kunci mobilku, Han? bilang saja kapan jadwal kontrol nanti akan kuantar.” Akhirnya aku dan Mas Yusuf pergi dari rumah Ibunya.“Pelan-pelan mas, jangan ngebut.” aku berpesan.“Enggak bisa pelan De’. Mas udah enggak tahan.” ungkap Mas Yusuf ngebet. “Enggak tahan? kenapa?” tanyaku bingung. “Enggak tahan yang kemarin gagal itu loh. Mas mau ajak kamu ke Hotel dulu biar kita leluasa. Ini kan hujan, jadi pas banget. Itung-itung ganti dari liburan ke Bali yang gagal.”“Iiihhhh, mas apaan sih.” Aku pura-pura jual mahal di depan suami. Padahal dalam hati. Astagaaaaaaaa.... mau banget. Hahahahahaha.**********Bab 6 “Pagi Mbak Rini,” sapaku. Ia kulihat sedang sibuk melipat pakaian bayi milik Khaity. “Hai, Nisa... kapan sampai?” tanya Mbak Rini menimpali, ia sedikit terkejut atas kedatanganku yang tiba-tiba ini. Meski sebenarnya kami berdua sudah janjian di hari sebelumnya. “Barusan kok, Mbak.” balasku jelas padat dan kurang berisi, hehehe. “Sini masuk, Khaity lagi bobok tuh. Usianya masih bayi banget sih, ya, jadi pasti lebih banyak waktu tidurnya.” seru Mbak Rini. Ku lihat matanya sayup, sepertinya Mbak Rini kurang tidur. Pikirku. “Hehehehe, iya. Mbak sehat?” aku bertanya balik padanya. Sebagai seorang ibu baru, pastilah rawan dengan masalah baby blues syndrome. Tapi semoga saja doi tidak mengalami hal semacam ini. “Sehat dan waras tentunya. Kamu sendiri? Waras? Tertekan? Mendekati gila?" guraunya sembari terkekeh. Meski suka ceplas-cepkos, tapi Mbak Rini sangat baik terhadapku. Dia justru tidak mengajakku bersaing menjadi yang paling baik sebagai sesama menantu di keluarga Ardiansya
Bab 7(Mas tolong antarkan kami kontrol besok ya)Ada pesan masuk di handphone milik Mas Yusuf. Kulihat nama pengirimnya adalah Raihan. (Jam berapa?) balasku. (Pukul 18.00 Wib Mas. Bisa nggak?) Raihan kembali mengirimkan balasan. Pukul 20.00 Wib tadi Mas Yusuf sudah terlelap dalam tidurnya, mungkin karena dia sangat kelelahan. Biasanya dia tidur setelah mataku terpejam. Tepatnya diriku sering tidur lebih awal darinya. Karena bimbang, ku biarkan pesan ini tanpa balasan, takut nanti salah jawab. Siapa tahu Mas Yusuf belum mau ke rumah Ibu. Atau ada jam masuk kerja awal mungkin? Entahlah, biarkan saja, nanti malah Aku yang salah. Ku tatap wajah lelah Mas Yusuf . Aku belai rambut hitamnya dengan lembut, bersyukur rasanya memiliki seseorang sepertinya.“Terimakasih Mas, sudah melindungiku dari keluargamu.” ucapku sembari mengusap air mata yang tiba-tiba saja mengalir di pipi.“Aku kira, Tuhan salah kasih jodoh. Karena kamu dulu tidak pernah ingin belajar memahami keadaan. Tapi sekarang
Bab 8Di dalam mobil, mulutku masih manyun karena masih kesal. Aku lebih memilih duduk di jok belakang bersama Mama, ketimbang harus duduk bersebelahan dengan Mas Yusuf. Tidak biasanya memang kami berdua terpisahkan jarak, mungkin kedua orang tuaku sudah hapal tabiatku begitu saat sedang ngambek. Papa duduk di jok depan bersama menantu kesayangan.Mama Papa sepertinya tidak ngeh masalah penyanyi di kafe tadi. Buktinya mereka diam saja padahal biasanya sudah heboh dan julid.“Suf, Papa mau tanya. Kalau kita ketemu mantan di tempat umum dan tanpa disengaja, apakah itu kesalahan kita sebagai laki-laki?” ungkap Papa tiba-tiba. Rupanya beliau mulai aktif menyindir anak semata wayangnya ini. Baru sadar kalau ternyata si papa paham juga kalau tadi itu adalah mantan kekasih dari Mas Yusuf. “Yaaa pastilah, Pa. Tetap kita yang disalahkan, meskipun kita sama-sama tidak sengaja. Lelaki memang selalu saja salah di mata perempuan, Pa." sahut Mas Yusuf percaya diri. Aku yakin dia sangat bahagia kar
Part 9Kabar kehamilanku terdengar langsung oleh seantero raya. Keluarga besarku dan keluarga besar Mas Yusuf telah mendengar hampir semua. Mama Papa berencana mengadakan sebuah tasyakuran kecil-kecilan demi menyambut hadirnya cucu pertama mereka di tengah penantian kami semua yang cukup lama. Penantian yang kini sudah dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Kotak makanan dan snack ringan yang telah dikirim oleh pihak catering makanan sudah siap untuk dibagikan, tinggal kita bagikan saja kepada warga setempat dan pihak keluarga yang turut hadir.Mamaku bukan tipe yang mau ribet saat mengadakan acara. Bukan tipe orang yang segala menu dimasak sendiri. Belum nanti cuci-cuci peralatan yang dipakai untuk memasak yang pastinya sangat melelahkan. Beliau suka yang simpel dan menghemat waktu beserta tenaga. Jadi sisa waktunya bisa dipakai untuk mengobrol dan istirahat. Apalagi aku sekarang lagi hamil muda. Jadi enggak boleh kelelahan juga dan tidak bisa banyak membantu seperti sebelumnya. “Nisa,
Bab 10Ada untungnya punya mbak Lilis, assisten rumah tangga yang kami pekerjakan di tempat Ibu, karena segala macam informasi tentang kejadian di sana, pasti dia laporkan kepadaku. Seperti kejadian di rumah Ibu mertua kemarin. Katanya Mia ngambek karena meminta suaminya membelikan tas yang sama seperti yang kupakai. Belum lagi sepatu yang senada yang kupakai di hari yang sama. Tapi Raihan bilang belum punya duit. Makanya istrinya marah. Ini artinya adalah, bahwa sesungguhnya problem dalam keluarga suamiku itu bersumber dari dua orang, yaitu ibu dan Mia. Dari dulu memang mereka berdua yang bikin ulah dan ribut. Belum lagi setiap kakak ipar perempuannya pakai beberapa perhiasan, Mia pasti cemburu dan ingin ikut juga memiliki. Dulu banget waktu awal-awal memang aku sering membelikan barang yang sama dengan yang kubeli untuk Mia. Karena posisinya waktu itu dia belum menikah. Sekarang kan beda keadaannya, dia sudah married, jadi segala macam urusan permintaan sudah ada suami yang lebih b
Bab 11Usia kehamilanku masuk bulan ketiga. Rasanya masih nano-nano. Mual muntah tak kunjung reda. Belum lagi pas tiba waktunya indera penciumanku menghirup aroma yang tidak begitu ku suka, bisa ambyar semua makanan yang sudah terlanjur tertelan ke dalam perut ini. Bahkan bisa keluar lagi semua makanan kurang lebih sesuai porsi awal makan.Benar-benar luar biasa sekali kali ini, menikmati segala sesuatu yang penuh dengan perjuangan dan tidak semudah saat sebelum hamil dulu. Mas Yusuf yang melihatku sebelum hamil bisa makan sampai dua piring, kini merasa Iba. Karena kini, porsi makan yang hanya berukuran seperempat piring pun kadang hanya berakhir di wastafel. Segitu parahnya bukan? Tapi aku selalu berdoa untuk kesehatan janinku. Semoga dia memahami Emaknya yang sedang KO sama keadaan. Semoga dia diberikan kesehatan dan perkembangannya juga bagus. Meski diriku berjuang begitu hebatnya hanya demi supaya suplai makanan bisa tetap ada yang masuk ke dalam lambung. “Nis, makan dong. Kasian
Khaity dan mamanya hari ini main ke rumah orang tuaku. Katanya Mbak Rini bosan karena tidak ada teman. Menurut penuturan Mbak Rini kini ibunya sudah tidak lagi sering datang ke rumahnya. Selain karena sibuk berjualan makanan, Mbak Rini sudah bisa melakukan semuanya sendiri. Jadi emaknya juga tega melepas anak perempuan sulungnya memegang bayinya sendiri. “Nitip mereka berdua ya, Nisa. Kalau rewel pulangin saja pakai taksi. Hehehe.” ucap mas Rama sebelum akhirnya mereka berdua turun dari mobil.“Siap Mas. Bajai juga banyak kok.” balasku. "Becak aja gimana? Lebih seru kayaknya." ledeknya lagi. "Gimana kalau suruh jalan kaki, lumayan bikin langsing." Aku menimpali. "Nenek sihir mah, bisa terbang Nis, jangan suruh jalan kaki, enggak bakalan mau." “Enak aja,” sahut mbak Rini sewot. "Hahaha." tawa renyah menyambut obrolan ringan pagi ini. "Pamit duku ya, bye semua." pungkas Mas Rama. "Hati-hati Beb, jangan lupa pulang bawa duit segepok." Mbak Rini berpesan. "Iye ntar gua korupsi du
Part 13Besok kebetulan weekend. Sesuai kesepakatan bersama, kini setiap sabtu dan minggu, semua anak-anak, cucu dan menantu Ibu harus tidur di rumah Ibu mertua. Mau tidak mau harus setuju. Karena Ini sudah kesepakatan yang sudah kami setujui tempo lalu. Kenapa membuat kesepakatan semacam ini? Karena protes dari Bu Ilma yang merasa dijauhi oleh anak dan menantunya. Bagaimana tidak dijauhi kalau sikapnya saja tidak amak untuk didekati. Sekali berada di dekat beliau selalu akan ada masalah yang menyertai. Lebih tepatnya adalah selalu ada problem yang dibuat-buat. Aku menata keperluanku dan suami selama dua hari tinggal di rumah mertua. Belum cemilan dan hal pokok lain yang aku butuhkan saat malam hari di sana. Ngebayangin gimana nanti ketemu Bumer alias Ibu mertua saja sebenernya rasanya sudah ngilu. Selain ngilu, mules, hati berdebar-debar. Dannjuga harus menyiapkan mental, siapkan diri dari tekanan batin, dari omongan beliau dan juga pemberitahuan dari para tetangga yang secara ikhla