Share

SUMBER KONFLIK

Bab 4

“Mas, itu celana kamu kenapa?” tanyaku penasaran dan masih berusaha menahan tawa yang tak bisa ku hentikan.

“Kenapa memangnya?” tanya mas Yusuf balik. 

“Sobek begitu loh. Ngapain dipakai sih? Malu-maluin saja!” jawabku kesel sampai ke ubun-ubun. 

“Masa sih? Tadi enggak sobek kok, De’.” protesnya tak percaya. 

“Aduuuhhh.... coba cek pantat kamu cepetaaaaaann.” suruhku. 

“Hahahahaa, ihh ternyata beneran sobek ya, De’. Ini tadi pas mau berdiri memisahkan Ibu sama mas Rama itu loh... eh bunyi “kreeek” gitu, tapi Aku enggak ngeh kalo celanaku yang sobek. soalnya situasinya lagi genting.” tutur mas Yusuf. 

Mas Rama tampak terkekeh geli sendiri mendengar penjelasan adiknya. 

Aku tak bisa menahan tawa. ya Allah, suamiku seketika menghilangkan citraku sebagai istri yang perhatian sama suami hanya karena tragedi celana bolong.

Aku berusaha tenang, dan positif thingking kepada khalayak ramai. Tapi apalah daya imaginasiku terlanjur lari kemana-mana. Siapa saja yang ngelihat? Gimana reaksi mereka? Seberapa puas mereka menertawai suamiku? Tapi bodo amatlah ya, masih ada kain penghalang kok. Yaitu kain celana dalam. 

Aku tersadar, ada mas Rama yang masih sedih di samping kami. Kulihat lagi dia ternyata masih ikut tertawa memperhatikan pembicaraan kami.

“Gila kamu, Suf. Sana ganti! ambil di mobil, di tas  warna hitam milik mas, ada celana ganti.” sahut mas Rama. Kebetulan size mereka sama. 

"Hehehe iya Mas, siap." sahut Mas Yusuf cengengesan. 

Ada hikmah juga dibalik lelucon ini. Tanpa sadar mas Yusuf menghibur kakaknya yang sedang ketar-ketir menunggui kabar dari istrinya. Semoga mbak Rini segera sadar dari kritisnya dan diberikan kekuatan lebih untuk bertahan. 

___________

(Mbak Nisa, Ibu tidak mau makan. Masih menangis saja di kamar)

Ada satu pesan masuk di handphoneku. Ternyata dari Mia. Memberitahu kondisi Ibu sepulang dari Rumah Sakit Bersalin tadi. 

(Biarkan saja dulu Mia, mungkin Ibu masih terpukul dengan sikap mas Rama) balasku.

(Baiklah Mbak) jawabnya mengakhiri percakapan teks kita. 

Sedih rasanya, mendengar kabar Ibu barusan. Meski bagaimanapun anak lelaki tidak seharusnya memilih antara membela Ibu atau Istrinya. Karena keduanya sama-sama wanita yang berharga dalam hidupnya. Tapi adilkah? jika istri yang dia sayangi tidak dikasihi oleh ibunya sendiri? Istri yang menemaninya kala susah dan senang. Istri yang ikut berjuang bahkan bertirakat untuk masa depan keluarga dan anak-anak. Istri yang setiap harinya melayani anak lelaki kesayangannya. Istri yang selalu mengutamakan lebih dulu kebahagiaan anak dan suaminya. Istri yang belum tentu sudah dibahagiakan oleh suaminya. Bolehkah seorang Ibu bersikap seperti itu kepada menantunya? 

Kita sama-sama manusia, kita sesama seorang wanita, dan kita yang sama-sama pernah menjadi seorang menantu, patutkah jahat kepada menantu? Ini bukan masalah bagaimana keras sifatmu, bagaimana asli watakmu, tapi bagaimana kamu mengasihi dan memanusiakan anak menantumu di rumahmu. 

Bukankah dengan mengasihi anak menantumu, hingga membuat ia nyaman berada di sisimu adalah hal penting? dimana kamu bisa selalu dekat dengan anak lelakimu. Apa ruginya?

Tapi kembali lagi semua itu pilihan. Hidupmu ya pilihanmu. Bagaimana kamu bersikap terhadap menantu dan cucumu adalah standart yang menentukan hidupmu akan dikasihi anak-anakmu atau akan ditinggalkan oleh mereka. Karena mereka butuh hidup yang waras, hidup yang bahagia untuk keluarga kecil mereka. Entah harus mencari kebahagiaan itu di luar rumahmu atau tetap stay di dalam rumahmu saja sudah merupakan kebahagiaan bagi mereka. begitulah kiranya wahai para Ibu Mertua. 

___________

(Rini selamat dari kondisi kritisnya, Nis. Alhamdulillah.. sampaikan kepada keluarga ya) pesan masuk dari mas Rama yang mengabarkan bahwa mbak Rini sadar. 

(Alhamdulillah, kami akan segera kesana Mas) balasku antusias. 

(Jangan dulu, karena belum boleh banyak dijenguk orang. Aku masih bisa handle sendiri) cegah Mas Rama atas niat baikku.

(Iya tidak apa-apa Mas. Jangan lupa Mas Rama juga tetap jaga kesehatan buat mbak Rini dan bayi) ujarku. 

(Siap. Makasih Nis)

Entah sejak kapan aku merasa akrab dengan mas Rama. Mungkin karena sifat seorang kakak sebagai pengayom yang membuatku dekat dengannya dan istri. Yusuf sendiri kurang begitu akrab dengan Mas Rama. Mungkin karena sesama lelaki, jadi tingkat kedekatannya berbeda. Aku yang tidak memiliki saudara, malah merasa kehadiran Mas Rama dan Mbak Rini adalah cermin bagiku dalam bertingkah laku. Mereka selalu kasih contoh yang baik kepada adik-adiknya. Tidak peduli seberapa tidak sukanya Ibu dengan mbak Rini. Aku tetap mengasihi mereka sebagai saudara. 

____________

“De’... coba kamu pilih tempat liburan kita. Mau di Jakarta aja dekat sini, atau ke luar Jakarta?” tanya Mas Yusuf. 

“Opsinya kemana saja kalau ke luar Jakarta, Mas?” 

“Bali atau Malang. Kata sahabatku tempat wisatanya bagus-bagus di Malang.” Jawabnya menjelaskan. 

“Bali aku sudah pernah. Malang aku yang belom.” jawabku polos. 

“Terus pilih yang mana?” 

“Bali saja.” 

“Aduuuuhh Maemunah ini gimana sih, kirain mau pilih Malang, tadi. Kenapa pilih Bali?” 

“Kalau malang terlalu deket Jo, Parjo. Bisa kita jangkau kapan saja. Naik kereta bisa. Naik mobil bisa. Beda kalau Bali. Aku juga belum keliling semua tempat yang indah-indah di Bali. Gituhhh.” 

“Kok parjo sih? Ya sudah, seminggu lagi kita ke Bali ya. Mas akan pesan tiketnya.” 

“Salah siapa tadi panggil maemunah. Huuuuu... inget, Istri itu cerminan dari suami! Tapi by the way assiiiikkkkkk... kita bisa liburan.” balasku kegirangan. 

"Iya. Maaf ya, karena baru sekarang bisa ajak kamu pergi jalan."

"Tidak apa-apa baru ajak sekarang, Mas, dari pada enggak sama sekali." sindirku. 

"Hahaha dasar Munawaroh." balasnya terkekeh. 

Jujur, ini moment berharga yang sudah kunantikan sejak kita baru menikah dahulu. Dulu waktu kita mau honeymoon, tiba-tiba Ibu mas Yusuf sakit, jadi tertunda terus sampai setahun usia pernikahan kami. Semoga saja kali ini beneran terealisasi tanpa drama lagi. 

_____________

Aku pulang ke rumah mertua bersama mas Yusuf. Kami ingin menenangkan Ibu dan menemaninya. Semoga saja sudah baik-baik saja. 

“Assalamu’alaikum Bu, kami pulang.” kataku basa-basi. 

“Wa’alaikum salam. Ngapain pulang? Katanya Yusuf mau tinggal selamanya di tempat orang tuamu, Nis?” Jawab Ibu judes. 

“Hehehhee, Ibu bisa saja bercandanya.” aku menimpali. 

“Sana kalian pergi saja dari rumah Ibu. Nggak usah kesini sekalian. Biar Ibu sendiri. Ibu tidak butuh anak-anak seperti kalian yang sukanya membangkang! Pergiii cepattt!! Pergii..!” 

Betapa kagetnya aku mendengarkan kalimat yang keluar dari mulut Ibu mertua. Seketika teriakannya membuat tetangga sebelah rumah pada berkerumun. Mungkin mereka bakal pikir kita yang sudah ngejahatin Ibu. Dengan kepala yang masih menoleh ke kanan dan kiri aku mencoba tetap stay cool. Kenapa jadi kami korbannya untuk permasalahan Ibu dan mas Rama? Kenapa? Batinku meronta tidak terima atas perlakuan Ibu. Mataku masih melotot syock apalagi melihat Ibu histeris menangis dengan suara begitu keras sekali. Aku mulai mundur menjauh, kutarik baju mas Yusuf untuk mendekati dan menenangkan Ibunya. Tidak mungkin Ibu akan tenang jika aku yang menyentuhnya. Aku sadar, bahwa beliau sama sekali tidak menyukai kehadiranku. 

“Ibu kenapa sih, Bu? Ayo masuk!” Ajak mas Yusuf. Mungkin dia malu diperlakukan ibunya seperti itu. 

“Pergi sana.... pergi. Ibu sudah rawat kalian sampai dewasa nyatanya kalian malah jahat sama Ibu. Huuuuaaaaa... huaaaa.... tolong ya Robb... kasihani hamba. Salah apa hamba yang sudah membesarkan mereka.” Suara Ibu makin menjadi-jadi. 

“Jahat gimana sih maksud Ibu? Ayo masukk!” teriak Mas Yusuf. Ramailah sudah tetangga kami berkerumun. Menyaksikan adegan kami layaknya sedang syuting sebuah sinetron. Apakah Ini sungguh nyata? Aku berulang kali mencubit lenganku. Tapi kucubit dengan pelan, jadi enggak begitu sakit. Hahahahaa. 

Ternyata ini benar nyata. 

“Camera... rolling.... action.....” 

Hanya itu yang ada dibenakku sekarang. Berharap ini hanya sebuah halusinasiku bermain film. Entah Aku takut menghadapi orang-orang sekitar setelah kejadian ini, atau memang aku malu dengan kondisi psikis Ibu mertuaku. Dari mana beliau belajar seperti ini? Dengan siapa? Apakah terlalu sering menonton drama? Atau entahlah.... 

Sungguh sebuah drama kehidupan nyata yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan ketika aku masih gadis dulu. 

_________

“Mia, kenapa kamu tidak menemani Ibu setelah kejadian di Rumah sakit kemarin?” tanya mas Yusuf kepada Mia adiknya yang baru saja pulang dari pergi. Mia kini tengah hamil. Ia biasa tinggal bersama keluarga suaminya. 

“Aku temenin Ibu terus kok. Bahkan tadi pagi kami baru aja pamit pulang ke rumah hanya untuk mengambil buku kehamilan. Karena hari ini jadwal kami USG.” 

“Yakin? Kamu temenin Ibu beberapa hari ini?” Mas Yusuf mengulangi pertanyaannya karena ragu. 

“Yakinlah Mas. Lihat itu di depan cucian bajuku sama mas Raihan belum kering. Noh lihat ...” 

Memang ada banyak cucian di depan rumah. Paling banyak pakaian milik Ibu. Tapi ada beberapa pakaian lainnya yang merupakan pakaian milik Mia dan suami. 

Padahal sudah ada Mia anak perempuan Ibu yang menemani, tapi kenapa Ibu seperti merasa sendirian dan tidak ada teman? Sungguh teka-teki. 

“Memangnya kenapa mbak Nisa?” tanya Mia padaku.

“Ibu histeris dan menyalahkan anak-anaknya tadi waktu kami baru sampai sini. Bahkan tetangga kita udah kayak penonton orang main bola saja bergerombol, banyak yang dengar teriakan Ibu.”

“Bikin malu saja si Ibu. Ngapain coba kayak gitu.” protes Mia heran.

“Ya sudah kami pamit pulang dulu deh mbak.” Kata Mia. 

“Pulang kemana? Kamu ini anak perempuan Ibu. Harusnya kamu ada diwaktu beliau seperti sekarang ini!” Mas Yusuf mulai tersulut emosi. Aku pergi ke dapur meninggalkan perbincangan mereka. Begitu juga Raihan, sepertinya dia masuk ke kamar. 

“Maksud Mas itu apa? Aku kan sudah temani ibu beberapa hari ini? Menurut mas aku kemana?” Jawab Mia dengan suara lebih lantang lagi. 

Aku berniat mengintip ke pintu kamar Ibu, barang kali beliau masih sedih. Betapa terkejutnya aku melihat pemandangan beliau sedang menguping pembicaraan anak-anaknya dengan mimik wajah sedikit tersenyum. “Inikah yang beliau mau? Perdebatan diantara anak-anaknya?” Aku melapangkan dada. Mencoba positif thinking. 

“Sudahlah Mas, ngapain juga marahin Mia. Bukan salah dia juga, kan.” Belaku untuk adik ipar. 

“Bukan gitu Nis, Mia ini harus tau bahwa dia anak perempuan Ibu satu-satunya. Jadi dia harus lebih care dengan Ibunya supaya Ibu tidak merasa sendiri.” 

“Faktanya ibu tidak peduli mau Mia tinggal atau tidak bersama beliau mas. Ibu lebih suka jika beliau tinggal dengan anak-anak lelakinya. Itu faktanya.” 

“Ngawur aja kamu.” Sahut mas Yusuf. 

“Sudah! Cukup! Mia pergi ke kamar sekarang! Cepat!” teriakku mengakhiri semuanya. Apalah arti perdebatan ini. Toh yang tahu bagaimana kehendak Ibu hanyalah Ibu sendiri. 

______________

Esok hari aku sengaja pergi konsultasi dengan Dokter Obgyn sendirian, tanpa ditemani mas Yusuf. Aku ingin USG melihat seberapa sehat rahimku. Ada sebab apa hingga membuatku belum berhasil memiliki keturunan. Aku lebih nyaman priksa sendirian karena jika ada yang mungkin tidak beres dengan diriku, aku tidak akan melihat ekspresi wajah suamiku yang sedih. 

“Ooooh, bagus kok Mbak rahimnya.” Kata bu Dokter Sesil kepadaku. 

“Serius Dok?” 

“Iyah...., cuma memang harus dibantu pakai obat juga ya supaya mempermudah kehamilan. Semoga saja Allah lekas kabulkan ikhtiar kalian ini. Aamiin.” 

“Aamiiin.” 

“Saya kasih rekomendasi jadwal berhubungan yang oke ya mbak. Jadwal berhubungan kalau bisa dirubah. Bukan saat mau tidur malam hari setelah kalian lelah beraktivitas seharian. Kasihlah badan supaya istirahat dahulu. Biar Fresh. Interval waktunya yang baik adalah waktu tengah malem. syarat wajibnya yaitu setelah kalian tidur, sampai selepas subuh sekitar pukul 06.00-07.00 pagi. Inget, badan musti istirahat dulu. Jangan setiap hari pula kalian genjot habis, kasih jarak 2 sampai 3 hari sekali. Jadi kualitas cairan milik suami mbak juga bagus. Yang setiap hari itu malah justru kurang bagus.” 

“Oh begitu ya, Dok. Ini membantu sekali sih bagi saya. Kayak mindset saya jadi di refresh lagi sama Dokter.” 

“Iya. Sementara ini saja dulu dicoba. Jangan lupa mbak pakai applikasi hitung masa subur itu supaya memudahkan. Kan jadwal haidnya lancar, jadi otomatis gampang itu nentuin masa subur. Nah waktu tiba tanggal masa suburnya, genjot aja, segala macem kesedihan buang. Demi hadirnya si buah hati. Jaga kewarasan dan jangan stress berlebih.” 

“Makasih ya Dok. Saya nyaman sekali rasanya bisa sharing disini. Semoga kita cocok.” 

“Iya sama-sama.” seru Bu Dokter.

______________

Pukul 20.00 aku selesai periksa. Kusuruh mas Yusuf menjemputku di Klinik Obgyn tempatku periksa. Akhirnya dia datang tepat waktu dengan raut muka masam tak ada sedikitpun senyum. 

“Ngapain, mukanya ngapain?” Tanyaku nyerocos. 

“Kamu itu keterlaluan ya De’. Kamu anggap apa aku sebagai suami? Masak mau periksa beginian enggak ngajakin?”

“Hehehehe ya maaf. Kan Annisa mau pastikan dulu rahimnya nggak kenapa-napa Mas. Next kita priksa bareng yaa. Swettyku. Gantengku. Makin cakep deh kalo lagi ngambek.” 

“Apa saran Dokter?” 

Kucatat semua dalam buku diary, supaya mengingatkanku akan nasehat penting itu tadi. Mas Yusuf penasaran, dia ikut membaca saran dokter tadi saat kami berhenti di lampu merah jalan. 

“Nanti malam yukk De’.” ajaknya sambil senyum-senyum. 

“Mau ngapain?” tanyaku pura-pura tak paham.

“Ayoooolaaaaaaah. Tapi tidur dulu. Nanti pasang alarm deh.” 

“Ngaco kamu mas. Ibu, kan, lagi sedih.” 

“Tengah malem pasti udah tidur nyenyaklah.” 

Akupun mengangguk tanda setuju. Mas Yusuf kegirangan. 

_____________

Akhirnya sampai rumah. Kami berdua tidur lebih awal supaya nanti bisa bangun saat tengah malem. 

“Kriiiiiiiiiiiinggggg petok petok...... Kriiiiiinggggg petok petok.” 

Suara alarm yang tidak begitu kusukai milik mas Yusuf membangunkanku. Sungguh membuat polusi pendengaran. Rasanya seperti lagi berada di peternakan ayam. Ku bangunkan mas Yusuf supaya tidak rugi aku bangun sendiri akibat ulahnya. 

“Mas, bangun. Alarm kamu bunyi tuh.” Dengan mata yang masih sedikit terpejam aku membangunkan suamiku. Dia pu bangun sambil meraba-raba handphonenya untuk melihat jam. 

“Ayo siap-siap sayang.” Pintanya manis udah ngalahin madu. Akupun tersenyum manja layaknya anak kecil yang sebentar lagi akan diberi mainan baru.

“Haaahhh! Jam 5 pagi De’? Kirain ini tengah malem? Kita bangun untuk subuhan dong! Gagaaaaaaaal maniiiiiing... inyong gagal maniiiing guys.” 

Akupun tertawa ngakak di bawah selimut saking konyolnya menertawai kehidupan rumah tanggaku ini.

“Hahahahahaahaa”

**********

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status