BAB 3
Kedamaian, ketentraman, dan keamanan tingkahku terjamin secara totalitas di rumah ini. Hunian yang ku tempati selama puluhan tahun ini. Tanpa harus berebut kekuasaan. Tanpa harus berbagi dengan ahli waris lain, karena diriku terlahir sebagai anak tunggal di keluarga Mama dan Papa. Terkadang Mama suka heran, bagaimana bisa anak sepertiku hidup di bawah aturan dari suami, sementara kelakuanku di rumah ini saja terus semena-mena. Hahaha. Aku meyakinkan Mama supaya percaya kepada anaknya satu-satunya ini, bahwa diriku bisa melakukan semua hak yang diragukan oleh orang yang telah melahirkanku itu. “Nisa, Yusuf, ayo makan malam, Nak.” ajak Mama sambil mengetok pelan pintu kamar kami yang setengah terbuka.“Iya.. Ma.” sahutku hampir bersamaan dengan Mas Yusuf.Mamaku memang terbaik, setiap kali kami pulang ke rumah, aku dan suami diperlakukan seperti raja dan ratu. Semua pekerjaan rumah sampai memasak diambil alih oleh beliau. Tugasku hanya sibuk merebahkan diri di kamar seharian seperti orang baru keluar dari penjara saja. Penjara kehidupan yang mencekam bersama mertua lebih tepatnya. Hehehe. Aku menggandeng mesra lengan suamiku satu-satunya ini, menuju ke tempat makan. Sudah ada Papa dan Mama yang sudah duduk di kursi makan. Menunggu kami bergabung untuk makan bersama keduanya. “Gimana pekerjaanmu, Suf? Lancar?” Papa mengawali pembicaraan saat kami semua sedang makan malam.“Alhamdulillah lancar, Pa.” jawab Mas Yusuf sopan.“Kapan mau liburan berdua dengan Annisa?” tanya Papa serius. “Emmm.... belum ada planning, Pa.” Mas Yusuf menimpali. Kami berdua saling melirik, kening Mas Yusuf sempat berkerut. Bingung sepertinya dengan apa yang papa pertanyakan. “Ajaklah dia berlibur. Kamu butuh waktu free untuk mencetak generasi baru kalian dengan otak yang fresh. Teman Papa dulu bahkan rela resign dari pekerjaannya hanya untuk merefresh otaknya, rechager fisiknya dan fokus dengan keseriusan ingin memiliki keturunan.”Deg ... jantungku serasa berhenti berdetak sementara. Mendengar nasehat Papa yang tiba-tiba sangat serius. Ada benarnya juga sih kata Papa, bahwa selama ini kami biasa-biasa saja. Belum ada keseriusan untuk membahas masalah kehamilan. Tapi jika sikap papa begini, takut juga kalau-kalau Mas Yusuf tersinggung atas ucapan Papa barusan.“Baik, Pa. Akan Yusuf pikirkan dengan serius masukan Papa.” balas Mas Yusuf dengan ekspresi yang entahlah. Aku tahu dia pasti tersinggung. “Gitu dong. Pumpung kalian masih muda. Dan kami masih bisa menimang cucu dengan kuat. Ya kan, Ma?”“Hahhahahahaa” kami saling tertawa. Tapi kulihat tawa Mas Yusuf tampak tidak setulus biasanya. Ada raut tegang dan serius di muka Mas Yusuf. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Yang penting bagiku sekarang adalah dia tetap makan dengan lahap. Masalah yang barusan dibahas oleh Papa biar menjadi urusan kami nanti.Ahh…. Masakan Mama memang yang tercocok di lidah Mas Yusuf dibandingkan masakan istrinya sendiri. Pikirku dengan perasaan gelisah. 🌿🌿🌿🌿🌿“Nis, kamu kirim pesan apa ini sama Ibu? Kok bahas Mas Rama segala?”Aku sengaja tidak menghapus isi chatku kemarin dengan Ibu di handphone Mas Yusuf.“Itu loh, Ibu kupingnya terganggu ada tetangga lagi hajatan, makanya ku telfonkan Mas Rama supaya menjemput ibu ke rumah karena ibu mengeluh pusing.”“Terus, Ibu mau?” tanyanya balik dengan ekspresi tidak senang. “Enggak mau, soalnya kata Mas Rama Ibu enggak pusing, biasa saja gitu bilangnya. Jadi Beliau tetap tidur di rumah.” jawabku polos dan apa adanya. “Kamu kan sudah tahu kalau Ibu tidak cocok dengan istri Mas Rama. Kenapa kasih solusi semacam itu tanpa seizin Mas, sih!” Mas Yusuf mulai tampak geram denganku. “Loh, namanya juga cari solusi. Supaya Ibu tidak terganggu jam tidurnya.” sahutku tak kalah kesal. “Kamu juga, janganlah Nis kerjaan rumah yang sudah dikerjakan Ibu kamu ulang lagi. Kasian Ibu sakit hati. Anggap saja beliau sudah tua dan kekanakan lagi sifatnya.” omelnya padaku. Aku hanya mendengarkan nasehat suamiku tanpa membalas ucapannya. Sambil sesekali mengangguk. Mungkin Mas Yusuf tidak tahu rasanya bagaimana menjadi Aku yang selalu diolok Ibunya dalam segala hal. Baru saja dinasehati Papa dengan sopan masalah tadi, ujungnya anaknya Papa yang jadi pelampisan. Aku hafal betul sifat Mas Yusuf, karena aku istrinya. 🌿🌿🌿🌿🌿“Nisa, ambilkan selang dong. Mau cuci mobil, nih.” suruh Mas Yusuf kepadaku pagi-pagi. Semalam mungkin masih sebel dengannua, tapi pagi ini rasanya sudsh sembuh begitu saja. Mungkin efek tinggal berdekatan dengan orang tua sendiri, jadi mood baikku lah yang berhasil menguasai diri. “Nanti masuk angin kamu, Mas. Masih pagi banget loh ini. Dingin.” jawabku setengah mengomel.“Nggak papa, mobilku sama mobil Papa kotor ini. Biar sekalian ku cucikan.” jawabnya penuh semangat.“Ya sudah. Ini…” kusodorkan selang yang ia minta di hadapannya. Sementara Mas Yusuf sedang menyiapkan keperluan lain yang ia butuhkan untuk mencuci mobil. Entah apa yang merasuki suamiku pagi ini, sehingga dia berubah sebaik ini dan sepagi ini.“Aku bantuin Mama beli bahan buat masak dulu ya, Mas. Awas jangan sampai kedinginan loh.” pesanku kepada suami tercinta sebelum pergi bersama Mama.Sebenarnya awal-awal ada rasa khawatir meninggalkannya sendiri di rumah, kasian saja jika dirinya tidak ada teman, tapi sekarang dia sudah biasa kami tinggalkan sendiri atau kadang bersama Papa. Akhirnya aku dan Mama pergi belanja bersama berdua ke pasar naik motor. Bahagianya aku memiliki Mama yang sekaligus bisa dijadikan sahabat. Aku tidak pernah menceritakan bagaimana susahnya aku berdamai dengan keadaan di rumah suami. Bahkan segala perlakuan buruk mertuaku ku anggap perlakuan biasa seperti perlakuan ibuku sendiri. Sehingga aku merasa tidak ada yang perlu kuceritakan. Aku bisa menghadapinya sendiri, meski suamiku jarang mendukungku. Suatu saat pasti dia akan sadar sendiri. Begitu doaku dalam hati.*********[Nis, istriku nanti sore rencana melahirkan SC di rumah sakit. Kamu sama Yusuf sekalian jemput Ibu ya kalau beliau mau ikut]Pesan dari Mas Rama di ponselku. Segera kusodorkan handphoneku ke Mas Yusuf.“Ya sudah nanti kita jemput Ibu sama Mia. Supaya sama-sama ke Rumah sakitnya.” kata Mas Yusuf.Mia adalah adik bungsu Mas Yusuf yang juga sudah menikah baru beberapa bulan yang lalu, tetapi ia lebih beruntung dari kami karena sudah diberi kepercayaan untuk hamil. Sudah dua bulan usia kehamilannya sekarang. Itulah yang selalu menjadi patokan Ibu untuk terus menekanku agar lebih cepat lagi hamil karena Aku dan Mas Yusuf lebih dahulu menikah dari Mia dan suaminya. [Baik Mas Rama. Semoga diberikan kelancaran ya sampai nanti jam operasi tiba] balasku. [Aamiin. Makasih Nis] 🌿🌿🌿🌿🌿🌿Aku, Mama dan Mas Yusuf santai mengobrol di halaman depan. Dari membicarakan tentang kehidupan Mama waktu muda hingga beliau berumah tangga. Mama waktu itu juga sama, tidak langsung diberikan kepercayaan untuk hamil. Dua tahun menanti akhirnya beliau baru bisa hamil. Meski akhirnya keguguran di kehamilan pertamanya. Aku hadir di usia pernikahan Mama dan Papa yang ketiga tahun.“Itu Papa. Sudah selesai juga nyuciin mobilnya.” kata Mama menjelaskan kepergian Papa kemana sejak tadi.“Loh, Papa habis nyuciin mobil, Ma?” tanyaku memastikan.“Iya Nisa, bagian bawah mobil milik papa itu loh katanya kotor sekali. Setiap beliau nyuci sendiri kan hanya bagian bodi saja yang ke cuci. Katanya gitu.” jawab Mama yang sepertinya enggak ngerti kalau mobil Papa sudah dicuci oleh menantunya.Muka Mas Yusuf sudah memerah seperti udang yang baru saja digoreng. Sudah lelah dia membersihkan mobil Papa tadi pagi, eh malah dicucikan ulang sama Papa.“Yusuf masuk kamar dulu ya, Ma. Silakan dilanjutkan ngobrolnya.” pamitnya kepada kami. Aku berbisik pada Mama, memberitahu hal yang sebenarnya. Mama syock dan merasa tidak enak karena sudah sembarangan menjawab tanpa memikirkan perasaan menantunya.Aku bergegas menyusul Mas Yusuf ke dalam kamar. Berusaha membujuknya yang sedang ngambek dan mungkin saja hatinya terluka. “Maafkan Papa... ya, Mas. Papa tidak sengaja karena tidak tahu perihal sudah kamu cucikan tadi mobilnya.”Mas Yusuf semakin marah kepadaku. Dia bahkan tidak menjawab permintaan maafku.Akupun tertawa dalam hati. Meski berdosa tapi entah kenapa hatiku sangat bahagia melihat kejadian ini.“Kamu mau tahu kan, gimana rasanya melakukan sesuatu dan diulang kembali oleh orang tua kita. Ini kamu baru sekali Mas, dan satu pekerjaan. Bagaimana kalau banyak pekerjaan dan diulang terus menerus setiap harinya? Bisa gila pasti kamu. Itulah yang aku rasakan di rumah Ibu. Kuharap kamu mengambil pelajaran dan hikmah dari kejadian ini.” seruku percaya diri. Aku pergi meninggalkan keberadaan suami di dalam kamar. Setidaknya supaya dia berpikir dengan keras bahwa pembelaannya terhadap Ibu selama ini bukanlah solusi yang terbaik untuk kami semua.Jadilah penengah yang baik, pendengar yang baik, yang tidak memihak salah satu diantara istri atau ibu. Jadilah pengarah bagi yang salah arah. Juga berani membenarkan jika memang ibunya yang salah. Itu tugas sesungguhnya sebagai seorang suami dan anak.********Setelah menelepon Ibu dan Mia, kami berdua bergegas menuju ke rumah Ibu. Tampak Ibu dan Mia di depan Rumah sudah berpakaian rapi. Suami Mia juga ikut serta dengan kami. Selama perjalanan Ibu selalu mengutuk kakak ipar yang sebentar lagi akan melahirkan ini. Istri Mas Rama bernama Mbak Rini. Dia memang tipikal wanita yang tegas dan judes. Itu sebabnya Ibu kurang begitu cocok. Setiap kali dinasehati mertuanya selalu berani membangkang. Jangankan tanpa Mas Rama, ada Mas Rama pun mbak Rini tetap berani memarahi ibu jika ia tidak terima.Saking banyaknya problem sehari-hari antara ibu dan istrinya, Mas Rama kewalahan menengahi antara keduanya. Itu sebabnya mas Rama buru-buru membeli rumah untuk istrinya supaya bisa hidup mandiri.“Si Rini itu, terlalu membangkang sama orang tua dan suami, jadilah sekarang melahirkannya tidak bisa normal. Makannya jadi istri itu yang nurut sama suami dan orang tua.”Ibu memulai pembicaraan di mobil yang membuat mataku terbelalak lebar. Entah apa motifnya, yang jelas bagi orang awam sepertiku ini sungguh menyakitkan. Aku juga wanita dan juga menantunya. Pastilah tidak jauh beda nasib kami kelak misalkan aku memang suatu hari nanti harus melahirkan secara SC.“Ibu ngomong apa sih? Nggak enak tahu, kalau Mas Rama mendengar pasti Ibu dimarahin nanti.” sahut Mia yang mungkin merasa tidak enak kepadaku. Membicarakan seorang ipar di depan anak kandung mungkin sudah biasa dilakukan seorang mertua, tapi membicarakan menantu di depan menantunya yang lain, seharusnya tidak pernah terjadi. “Kan Ibu ngomong tentang kenyataan, Mia. Ngapain Rama marah!” protes Ibu. Ibu memang selalu emosi kalau di kasih tahu.“Ya sudah, nanti Ibu ngomong kayak tadi aja di depan Mas Rama, supaya Ibu tahu, dia responnya gimana.” jawab suamiku konyol membuat hatiku seketika terpingkal. Buru-buru ku tutup rapat mulutku supaya tidak kebablasan menertawakan ibu mertua.“Ibu itu punya anak perempuan yang lagi hamil. Harusnya ngomongnya jangan begitu. Nanti kalau Mia ngalamin hal yang sama kayak mbak Rini, Ibu bisa apa?” sahut Mia.“Ya Enggak mungkinlah Mia, kamu kan bidan, jadi tahu betul bagaimana cara melahirkan normal seperti Ibumu. Jangan malas kayak anak sekarang, dikit-dikit operasi. Nggak mau susah.” tutur Ibu seperti manusia yang tak punya perasaan. Jadi setiap wanita hamil yang melahirkan secara SC itu hina bagi beliau? Begitu kah? Batinku ngedumel.“Astaghfirullah Ibu. Mia juga manusia, Bu, semua itu yang menentukan Allah. Mau bidan, dokter, suster, kalau waktunya SC, ya SC.”“Terserah kalian lah. Anak capek-capek digedein pas sudah gede dikasih tau orang tua ngejawab mulu!” keluh Ibu.Tidak ada obrolan lagi setelahnya. Hening, hanya terdrngar suara mobil yang sedang melaju dengan kecepatab sedang. Sisanya adalah suara dengkuran Ibu yang kecewa karena aspirasinya ditolak mentah oleh anak-anaknya. Beliau lebih memilih untuk tidur. ********“Mas Rama, kenapa?” tanyaku bingung melihat kakak iparku menangis di ruang tunggu. Kami berlima bergegas mendekati keberadaannya.“Rini sekarang di ICU Nis, dia kritis pasca operasi.” ucapnya terbata. Hatiku seperti diiris-iris. Perih mendengar pengakuan iparku tersebut. “Bayinya gimana,Mas?” tanyaku lagi.“Bayinya selamat. Kakakmu Rini mengalami komplikasi kehamilan. Dia meminta dokter menyelamatkan nyawa anak kami jikalau ada hal mendesak nyawa.”Aku dan Mia tak sadar ikut meneteskan air mata. Merasakan bagaimana sedihnya Mbak Rini di dalam sana tadi.“Dulu enggak usah ribet operasi malah semuanya selamat.” celetuk Ibu diantara obrolan serius kami.“Ibu ... “ Mas Yusuf kasih kode ke Ibu supaya tidak banyak berkomentar dulu.“Loh, kenyataan kok, Suf. Tanyalah sana sama almarhum Bapak.” sahut Ibu lagi.““Ini menyangkut nyawa istriku Bu, kalau hati ibu memang tidak bisa iba dengan kondisi Rini, setidaknya jangan ngomong yang macam-macam. Bawa pulang saja, Suf. Aku tahu Ibu kesini tidak ikhlas.” balas Mas Rama geram.“Dasar kamu ya, Rama. Selalu saja belain istrimu. Aku itu Ibu yang ngelahirin kamu! Tahu nggak!” bentak Ibu. Beliau memang tipe manusia yang tidak mau tahu suasana hati orang lain. Pinginnya selalu dimengerti tapi tidak berlaku sebaliknya. “Tahu Bu, tapi istriku rela mengorbankan nyawanya demi melahirkan anakku. Dan pengorbanan nyawa itu seakan tidak Ibu anggap di depan Rama. Dia perempuan berharga dalam hidup Rama Bu. Tolong hargai.” imbuh Mas Rama. Ibu merasa kalah dan teraniaya. Akhirnya menangis histeris. Meski dilihat oleh banyak orang beliau tidak peduli. Mia dan Raihan suaminya segera memisahkan Ibu dari Mas Rama. Membawanya pulang bersama mereka. Kini tinggal Aku dan Mas Yusuf yang menemani Mas Rama.Aku baru tahu kenapa Ibu tidak cocok hidup dengan pasangan kakak iparku ini, karena Mas Rama sangat menghargai istrinya. Sedangkan Ibu, mungkin beliau terbakar api cemburu dengan sikap anak lelakinya yang melindungi istrinya dengan baik. Beda jauh dengan sikap Mas Yusuf terhadapku.Mas Yusuf terdiam seribu kata. Entah apa yang ada di dalam benaknya sekarang? Sakit hati oleh sikap kakaknya? Atau malah sadar bahwa sikap kakaknya itu memang sudah sikap yang terbaik.Aku pingin nangis terharu, bahkan kagum dengan sosok Mas Rama, tapi melihat celana yang di pakai suamiku bolong agak lebar bagian pantatnya, membuatku jadi tertawa terpingkal-pingkal.“Tolooooooooong… kenapa Yusuf sangat memalukan!”hahahahaha.**********Bab 4“Mas, itu celana kamu kenapa?” tanyaku penasaran dan masih berusaha menahan tawa yang tak bisa ku hentikan.“Kenapa memangnya?” tanya mas Yusuf balik. “Sobek begitu loh. Ngapain dipakai sih? Malu-maluin saja!” jawabku kesel sampai ke ubun-ubun. “Masa sih? Tadi enggak sobek kok, De’.” protesnya tak percaya. “Aduuuhhh.... coba cek pantat kamu cepetaaaaaann.” suruhku. “Hahahahaa, ihh ternyata beneran sobek ya, De’. Ini tadi pas mau berdiri memisahkan Ibu sama mas Rama itu loh... eh bunyi “kreeek” gitu, tapi Aku enggak ngeh kalo celanaku yang sobek. soalnya situasinya lagi genting.” tutur mas Yusuf. Mas Rama tampak terkekeh geli sendiri mendengar penjelasan adiknya. Aku tak bisa menahan tawa. ya Allah, suamiku seketika menghilangkan citraku sebagai istri yang perhatian sama suami hanya karena tragedi celana bolong.Aku berusaha tenang, dan positif thingking kepada khalayak ramai. Tapi apala
Bab 5“Alhamdulillah, akhirnya sampai rumah juga ya Mbak Rin, terimakasih sudah bertahan demi Mas Rama, si kecil dan kita semua.” ucapku syukur menyambut kedatangan mbak Rini di rumahnya. Kami saling berpelukan, menumpahkan rasa haru dan syukur kami atas perjuangan yang sudah berhasil dilewati oleh Mbak Rini, suami dari kakak iparku ini. Pagi ini, tepat pukul 09.20 pagi kami sekeluarga sudah berkumpul bersama di kediaman Mas Rama. Ada mas Yusuf, Aku, Ibu, Mia dan Raihan, serta keluarga dari mbak Rini. Selain untuk menyambut sang baby cute, kami juga ingin menyambut mbak Rini yang baru selamat dari berjuang melawan masa kritisnya. “Makasih ya, De’. Makasih semuanya.” sahut Mbak Rini lirih. “Siapa nama bayinya, Mas?” tanya Mia kepada Mas Rama. “Khaitylin Ardiansyah. Bagus Nggak?” tanya balik Mas Rama kepada adik bungsunya. “Baguusss.... cute kok, sesuai dengan parasnya.” sahutku buru-buru. Sebelum ada sahutan lain yang lebih horor. Semua orang ikut tersenyum. Tanda mengiyakan kali
Bab 6 “Pagi Mbak Rini,” sapaku. Ia kulihat sedang sibuk melipat pakaian bayi milik Khaity. “Hai, Nisa... kapan sampai?” tanya Mbak Rini menimpali, ia sedikit terkejut atas kedatanganku yang tiba-tiba ini. Meski sebenarnya kami berdua sudah janjian di hari sebelumnya. “Barusan kok, Mbak.” balasku jelas padat dan kurang berisi, hehehe. “Sini masuk, Khaity lagi bobok tuh. Usianya masih bayi banget sih, ya, jadi pasti lebih banyak waktu tidurnya.” seru Mbak Rini. Ku lihat matanya sayup, sepertinya Mbak Rini kurang tidur. Pikirku. “Hehehehe, iya. Mbak sehat?” aku bertanya balik padanya. Sebagai seorang ibu baru, pastilah rawan dengan masalah baby blues syndrome. Tapi semoga saja doi tidak mengalami hal semacam ini. “Sehat dan waras tentunya. Kamu sendiri? Waras? Tertekan? Mendekati gila?" guraunya sembari terkekeh. Meski suka ceplas-cepkos, tapi Mbak Rini sangat baik terhadapku. Dia justru tidak mengajakku bersaing menjadi yang paling baik sebagai sesama menantu di keluarga Ardiansya
Bab 7(Mas tolong antarkan kami kontrol besok ya)Ada pesan masuk di handphone milik Mas Yusuf. Kulihat nama pengirimnya adalah Raihan. (Jam berapa?) balasku. (Pukul 18.00 Wib Mas. Bisa nggak?) Raihan kembali mengirimkan balasan. Pukul 20.00 Wib tadi Mas Yusuf sudah terlelap dalam tidurnya, mungkin karena dia sangat kelelahan. Biasanya dia tidur setelah mataku terpejam. Tepatnya diriku sering tidur lebih awal darinya. Karena bimbang, ku biarkan pesan ini tanpa balasan, takut nanti salah jawab. Siapa tahu Mas Yusuf belum mau ke rumah Ibu. Atau ada jam masuk kerja awal mungkin? Entahlah, biarkan saja, nanti malah Aku yang salah. Ku tatap wajah lelah Mas Yusuf . Aku belai rambut hitamnya dengan lembut, bersyukur rasanya memiliki seseorang sepertinya.“Terimakasih Mas, sudah melindungiku dari keluargamu.” ucapku sembari mengusap air mata yang tiba-tiba saja mengalir di pipi.“Aku kira, Tuhan salah kasih jodoh. Karena kamu dulu tidak pernah ingin belajar memahami keadaan. Tapi sekarang
Bab 8Di dalam mobil, mulutku masih manyun karena masih kesal. Aku lebih memilih duduk di jok belakang bersama Mama, ketimbang harus duduk bersebelahan dengan Mas Yusuf. Tidak biasanya memang kami berdua terpisahkan jarak, mungkin kedua orang tuaku sudah hapal tabiatku begitu saat sedang ngambek. Papa duduk di jok depan bersama menantu kesayangan.Mama Papa sepertinya tidak ngeh masalah penyanyi di kafe tadi. Buktinya mereka diam saja padahal biasanya sudah heboh dan julid.“Suf, Papa mau tanya. Kalau kita ketemu mantan di tempat umum dan tanpa disengaja, apakah itu kesalahan kita sebagai laki-laki?” ungkap Papa tiba-tiba. Rupanya beliau mulai aktif menyindir anak semata wayangnya ini. Baru sadar kalau ternyata si papa paham juga kalau tadi itu adalah mantan kekasih dari Mas Yusuf. “Yaaa pastilah, Pa. Tetap kita yang disalahkan, meskipun kita sama-sama tidak sengaja. Lelaki memang selalu saja salah di mata perempuan, Pa." sahut Mas Yusuf percaya diri. Aku yakin dia sangat bahagia kar
Part 9Kabar kehamilanku terdengar langsung oleh seantero raya. Keluarga besarku dan keluarga besar Mas Yusuf telah mendengar hampir semua. Mama Papa berencana mengadakan sebuah tasyakuran kecil-kecilan demi menyambut hadirnya cucu pertama mereka di tengah penantian kami semua yang cukup lama. Penantian yang kini sudah dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Kotak makanan dan snack ringan yang telah dikirim oleh pihak catering makanan sudah siap untuk dibagikan, tinggal kita bagikan saja kepada warga setempat dan pihak keluarga yang turut hadir.Mamaku bukan tipe yang mau ribet saat mengadakan acara. Bukan tipe orang yang segala menu dimasak sendiri. Belum nanti cuci-cuci peralatan yang dipakai untuk memasak yang pastinya sangat melelahkan. Beliau suka yang simpel dan menghemat waktu beserta tenaga. Jadi sisa waktunya bisa dipakai untuk mengobrol dan istirahat. Apalagi aku sekarang lagi hamil muda. Jadi enggak boleh kelelahan juga dan tidak bisa banyak membantu seperti sebelumnya. “Nisa,
Bab 10Ada untungnya punya mbak Lilis, assisten rumah tangga yang kami pekerjakan di tempat Ibu, karena segala macam informasi tentang kejadian di sana, pasti dia laporkan kepadaku. Seperti kejadian di rumah Ibu mertua kemarin. Katanya Mia ngambek karena meminta suaminya membelikan tas yang sama seperti yang kupakai. Belum lagi sepatu yang senada yang kupakai di hari yang sama. Tapi Raihan bilang belum punya duit. Makanya istrinya marah. Ini artinya adalah, bahwa sesungguhnya problem dalam keluarga suamiku itu bersumber dari dua orang, yaitu ibu dan Mia. Dari dulu memang mereka berdua yang bikin ulah dan ribut. Belum lagi setiap kakak ipar perempuannya pakai beberapa perhiasan, Mia pasti cemburu dan ingin ikut juga memiliki. Dulu banget waktu awal-awal memang aku sering membelikan barang yang sama dengan yang kubeli untuk Mia. Karena posisinya waktu itu dia belum menikah. Sekarang kan beda keadaannya, dia sudah married, jadi segala macam urusan permintaan sudah ada suami yang lebih b
Bab 11Usia kehamilanku masuk bulan ketiga. Rasanya masih nano-nano. Mual muntah tak kunjung reda. Belum lagi pas tiba waktunya indera penciumanku menghirup aroma yang tidak begitu ku suka, bisa ambyar semua makanan yang sudah terlanjur tertelan ke dalam perut ini. Bahkan bisa keluar lagi semua makanan kurang lebih sesuai porsi awal makan.Benar-benar luar biasa sekali kali ini, menikmati segala sesuatu yang penuh dengan perjuangan dan tidak semudah saat sebelum hamil dulu. Mas Yusuf yang melihatku sebelum hamil bisa makan sampai dua piring, kini merasa Iba. Karena kini, porsi makan yang hanya berukuran seperempat piring pun kadang hanya berakhir di wastafel. Segitu parahnya bukan? Tapi aku selalu berdoa untuk kesehatan janinku. Semoga dia memahami Emaknya yang sedang KO sama keadaan. Semoga dia diberikan kesehatan dan perkembangannya juga bagus. Meski diriku berjuang begitu hebatnya hanya demi supaya suplai makanan bisa tetap ada yang masuk ke dalam lambung. “Nis, makan dong. Kasian
MENANTU AMBURADUL 161 (ENDING)Setiap manusia selalu punya pilihan untuk selalu bersikap baik kepada sesama atau justru sebaliknya.___________Takdir hidup terkadang memang mengejutkan. Apalagi dengan terjadinya pendekatan dan rencana pernikahan antara Mimi dan Raihan. Semua orang bahkan diriku sendiri juga kaget. Apalagi mereka yang baru saja tinggal satu rumah dalam hitungan hari. Mimi dulu sempat ingin diadopsi sebagai anak oleh Ibu setelah kematian Mia, tapi rencana Ibu gagal karena tidak mendapatkan persetujuan dari anak-anak lelaki Ibu, kini Ia malah akan dijadikan istri oleh Raihan. Seseorang yang pernah menjadi menantu Ibu.Herannya si Mimi juga bersedia dengan permintaan Raihan yang ingin mempersuntingnya. Entah apapun itu motifnya yang jelas doa terbaik selalu untuk mereka berdua.Jika dengan menikah dengan Raihan membuat Mimi akan bersikap lebih penyayang kepada Fajarina dan Ibu, sungguh itu ide yang bagus. Karena selama ini Ibu sudah di rawat dengan Mimi dengan sepenuh ha
MENANTU AMBURADUL 160Kulihat betapa senangnya Daffa diperhatikan oleh Mama dan Papa. Daffa juga sangat bahagia karena Mama dan Papa beberapa hari ini tinggal di rumah kami. Dua orang yang memang sejak Daffa kecil sangat dekat dengan Daffa.Dulu, si Sulungku justru malah sering kutinggalkan bersama kedua orang tuaku karena banyak hal. Itu sebabnya suatu waktu Mama pernah memarahiku karena hal tersebut. Karena kesibukanku di duniaku sendiri sehingga sering meninggalkan anakku di tempat Mama.Sering juga kutinggalkan Daffa karena ulah Ibu mertua. Atau masalah keluarga Mas Yusuf yang tak jarang menyita waktuku. Tentang almarhumah Mia, tentang Ibu, atau masalah lainnya.Dari sebab inilah Daffa menjadi lebih dekat dan intensitas kebersamaannya dengan Grandma dan Grandpanya sangat sering."Lagi pada asyik ngapain?" tanyaku pada Papa dan Daffa yang sedang bercengkerama di ruang Tv."Lagi jawab teka-teki silang nih Mom." jawab Daffa."Siapa yang menang?""Nggak ada yang menang, kami jawab b
MENANTU AMBURADUL 159Mas Rama, Mbak Rini, Khaity dan Mama Papa berpamitan untuk pulang. Berhubung acara buka bersama telah usai. Sebenarnya ingin tarawih berjamaah juga, tapi takutnya kemalaman.Ibu mengamankan diri di kamar, mungkin sedang menyelesaikan beberes barang-barang. Begitu juga Mimi, dia digaji untuk mengikuti kemanapun Ibu akan tinggal.Mungkin tidak lama lagi Mimi bisa bekerja dengan Ibu, karena umur dia sekarang sudah menunjukkan umur seorang wanita yang pantas untuk menikah. Kedua orang tuanya sudah sering mendesak Mimi untuk segera menikah. Tidak peduli bagaimana senangnya Mimi mencari uang.Mungkin kedua orang tua Mimi takut jika nanti Mimi menikah terlalu tua. Apalagi di kampung pasti banyak yang akan ikut berkomentar jika ada anak gadis salah satu warga yang menikah terlalu tua.Aku berpesan kepada Mimi untuk jangan lebih dulu bilang sama Ibu jika memang sudah mau resign dari pekerjaan ini. Karena tahu sendiri pasti Ibu akan merasa gelisah jika diberi tahu di awal.
MENANTU AMBURADUL 158Tidak ada yang bisa merubah watak seseorang, kecuali dirinya sendiri yang ingin merubahnya.Betapa sulitnya menuruti semua kemauan Ibu. Dari hal sepele, sampai hal yang paling berat sekalipun. Dari waktu yang bersahabat atau waktu yang sedang tidak bersahabat. Jika si Ibu sudah berkehendak, maka keinginan itu harus terwujud."Ibu jadinya puasa atau enggak, Bu?""Mana kuat Ibu puasa, Ibu kan enggak sahur Nis. Ada-ada aja kamu.""Oooh, gegara menu sahur enggak sesuai keinginan Ibu, Ibu jadi mutusin buat nggak puasa ya.""Ngomong apa sih kamu ini." Elak Ibu. Mungkin si kanjeng ratu malu mau jujur."Ibu minta menu apa buat nanti sahur. Biar bisa puasa bareng kita.""Apa ya, nanti Ibu kasih tahu deh kalau sudah dapat menu yang Ibu pingin.""Sekarang saja Bu. Nggak usah nanti-nanti. Yang mau belanja dan yang masih jualan lauk mentah siapa kalau sudah sore. Ini bentar lagi juga orang sibuk nyari takjil. Bukan sayur mayur atau lauk mentah." cerocosku mendesak Ibu agar me
MENANTU AMBURADUL 157"Marhaban ya Romadhon. Marhaban Syahrossiyam."Selamat menunaikan Ibadah puasa bagi yang menjalankan. Semoga kita semua diberikan kesehatan sehingga bisa beribadah dengan maksimal di bulan suci ini. Aamiin.____________"Nek, maafkan Rina. Nenek jangan marah." kata Rina di balik pintu kamar neneknya sambil ketok-ketok.Ibu mengunci pintu kamar beliau dari dalam, sehingga tidak ada seorangpun yang bisa masuk, termasuk Mimi."Pergi saja semua. Jangan perdulikan Nenek lagi.""Kami semua masih peduli kok sama Nenek.""Bohong. Buktinya kamu tidak mau tinggal sama Nenek. Kamu malah memilih tinggal bersama Ayahmu.""Nenek boleh ikut sama kami. Kata Ayah, kita akan tinggal bersama."Hening... tidak ada balasan dari dalam ruangan yang pastinya berantakan itu akibat ulah dari Ibu. Segala barang yang ada di dalam selalu dirusak saat Ibu marah. Itu sebabnya kami tidak banyak meletakkan barang-barang berbahan kaca yang mudah pecah. Salah satu alasannya ya karena itu. Tidak i
MENANTU AMBURADUL 156Kami masih di Supermarket langganan. Cuman beda posisi saja. Aku, Fateh, Rina, Daffa dan Mbak Karti sedang menunggu Ibu dan Mimi yang masih ada di dalam. Mas Yusuf entah menghilang kemana?Daffa awalnya membantu Neneknya mendorong troli belanjaan, tapi dia antarkan troli tersebut sampai kasir lalu pamit mencari Daddynya agar bisa membantunya membawakan belanjaan si nenek. Sudah Daffa cari kemana-mana, batang hidung Daddynya belum juga nongol, akhirnya Daffa menemukan keberadaan kami dan menunggu Mas Yusuf bersama kami di sini."Loh, kok kalian pada di sini? Ibu dimana?" tanya Mas Yusuf yang mendadak care dengan keberadaan ibunya."Helloooo kemana aja dari tadi Mas?" batinku mengomel.Entah dari mana asalnya Mas Yusuf tiba-tiba muncul begitu saja. Bilangnya sih dari toilet. Entah ngumpet atau ngapain dia sejak tadi di sana? Kami saja sudah duduk di sini sekitar 15 menit. Berarti Mas Yusuf berada di toilet hampir 45 menitan. Hahahaha mustahil sekali Mas. Alasan k
MENANTU AMBURADUL 155Suara huru-hara orang yang hendak beraktivitas mulai terdengar di luar. Sang embun mulai menampakkan diri, pertanda bahwa pagi ini masih begitu dingin. Kembali kututup pintu rumah, lalu menikmati pekerjaan pagi yang setiap hari kujalani.Mbak Karti sudah memulai pekerjaan rumah lebih dulu, ia tampak serius sedang bergelut dengan cucian dan mesin. Sementara Aku sedang menyiapkan bumbu dan bahan makanan untuk kukupas dan potong-potong.Mas Yusuf dan Fateh masih terlelap tidur. Tadi mereka asyik bercanda dari sebelum subuh, namun akhirnya keduanya tertidur kembali setelah Mas Yusuf melakukan sholat subuh.Daffa dan Fajarina juga kebetulan sedang ada di rumah. Mereka sedang menikmati liburan di rumah menjelang ramadhan dari pesantren. Tidak lama sih, sekitar satu minggu. Itupun sudah membuat mereka berdua merasa senang, karena bisa pulang ke rumah dan berkumpul bersama keluarga. Khaity juga pulang."Boleh Rina bantu, Tante?" sapa seseorang dari belakangku."Eh Rina,
MENANTU AMBURADUL 154Kudengar bel rumah berbunyi, sepertinya ada seseorang yang datang. Aku berdiri dari posisi awalku yang sedang duduk di samping Fateh untuk menitipkan sementara Fateh, kepada Mbak Karti. Dengan sedikit rasa penasaran Akupun membuka pintu depan."Assalamu'alaikum Mbak Nisa. Saya rindu sekali dengan Mbak Nisa." sapa seorang dokter perempuan cantik di hadapanku. Ia Aisyah, istri dari Ilyas.Kami saling berpelukan. Sudah lama sekali sepertinya kami tidak berjumpa."Alhamdulillah Baik. Tahu rumahku dari Mana, Syah?""Minta sama Mbak Rini. Hehehehe nggak papa kan Mbak? Maaf sudah lancang.""Nggak papa dong. Malahan seneng ada yang datang ke sini jengukin diriku.""Hehehehe Mbak Nisa bisa saja."Setelah bertahun-tahun tidak bertemu, rupanya Aku sedikit pangling padanya. Kini Aisyah tampak lebih subur, sepertinya benar yang dibilang oleh Fajarina, Aisyah terlihat seperti sedang berbadan dua. Wajahnya masih saja cantik, bahkan lebih cantik sekarang dengan aura keibuannya ya
MENANTU AMBURADUL 153Sudah sekitar 45 menit kami menunggu mobil yang dinaiki oleh Ibu singgah di sini. Kami semua seperti orang hilang di sebuah Pom Bensin ini. Bukan seperti lagi, kami ibarat keluarga yang terdampar tanpa kepastian.Ibu tak kunjung ada kabar. Selain cemas, kami juga sempat berfikiran buruk tentang mereka bertiga yang kebetulan di supiri oleh orang sewaan yang kurang begitu kami kenal. Takutnya mereka bertiga kenapa-napa. Misalnya diculik gitu. Tapi ribet juga sih kalau yang diculik Ibu. Bakalan susah ngerawatnya. Belum lagi pas kena omel si Ibu, bisa-bisa nyerah penculiknya. Angkat tangan beserta kaki. Hahahahaa.Selang berapa lama, Mas Yusuf dan Mas Rama akhirnya berhasil menghubungi si driver lewat sambungan telfon. Saat ditanya oleh Mas Rama kebetulan si driver baru sampai rumah lagi. Tadinya masih di jalan dan susah ambil ponsel di sakunya, makanya tidak kunjung diangkat.Ternyata Ibu melupakan sesuatu, tas beliau ketinggalan di ruang tamu lengkap beserta pons