MENANTU AMBURADUL 148"Selamat datang di rumah kami Bu. Silahkan Ibu bebas bertindak apapun di sini. Seperti halnya cucu kesayangan Ibu yang sedang luar biasa sekali kebandelannya. Ibu pasti akan lebih paham melihat langsung kelakuan cucu yang selalu Ibu banggakan Itu. Asal jangan salah-salahin Nisa sama Mas Yusuf lagi ya Bu. Juga jangan sampai tingkahnya membuat tekanan darah Ibu melonjak bebas. Hahahahhaa."___________Ibu mertua akhirnya dipindahkan ke rumah kami harinini. Dengan bantuan dari Mas Rama dam team. Segala kebutuhan yang menyangkut beliau dibawa serta juga ke rumah ini. Aku meminta Mbak Karti menyiapkan ruangan kamar yang sekiranya lebih luas. Supaya jika ditempati bertiga, yaitu untuk Ibu dan para pengasuhnya tidaklah sempit. Bukan pengasuh sih namanya, maksudku suster dan Mimi.Aku bersyukur Mimi masih saja setia bekerja dengan kami, meski kondisi Ibu sudah sangat berbeda dengan dulu. Yang jelas dengan adanya Mimi sedikit banyak membantu. Apalagi untuk sekedar menceri
MENANTU AMBURADUL 149Mungkin menantu hanyalah manusia biasa yang kadang tak luput dari salah dan dosa, tapi setidaknya bersikap baiklah padanya, jangan kau hakimi apalagi kau jadikan ia sebagai bahan pelampiasan amarah semata.Terkadang mereka tidak ikut mengambil keputusan yang tidak seharusnya mereka ambil, lebih baik tanyakan dulu kepada anakmu sendiri tentang keputusan penting tersebut, jangan membuat menantumu seperti seorang tersangka atas apa yang tidak ia ikut putuskan._____________Mas Yusuf pulang dari kantornya, ada raut sedih yang muncul pada ekspresi wajahnya. Entah sedih atau lesu, sulit dibedakan. Ia melepas kemeja panjangnya yang seharian ini sudah membuatnya gerah. Seperti biasa, handuk untuknya mandi sudah kusiapkan di kamar mandi.“Kamu kenapa sih, Mas? Diamuk pak bos?” tanyaku memberinya perhatian.“Nggak ada apa-apa. Mas lelah aja seharian ini kerja di lapangan.”“Loh? Kamu ganti profesi, Mas? Jadi Pemain bola ya, sekarang?”“Hahhahaa ngaco aja kamu. Ngawur.” ja
MENANTU AMBURADUL 150Kulipat satu persatu pakaian Daffa yang berantakan, tadi sengaja kuambil dari lemari pakaiannya. Entah kenapa dengan melihat pakaian ini saja bisa membuatku terisak.Aku mulai kesepian, tidak ada Daffa yang biasanya menemani hari-hariku di rumah. Meski bagaimanapun, dia tetaplah yang pertama. Anak yang lebih dulu mengajarkanku banyak hal sebelum hadirnya Fateh. Mungkin ini pentingnya tidak hanya memiliki seorang anak di rumah. Agar jika jarak memisahkan salah satu diantaranya, seorang Ibu tidak akan merasa lebih menderita dari ini.Air mataku menetes juga, merindukan sosok Daffa, buah hati yang selalu kubawa serta dalam setiap berdoa. Semoga engkau kelak menjadi seseorang yang berguna Nak."Kenapa de'?" Mas Yusuf memergoki kesedihanku."Nggak papa kok, Mas.""Bohong.""Hehhee serius nggak papa.""Ibu rese' lagi?"Aku menggeleng."Lalu apa? Rina bandel lagi?"Aku kembali menggeleng."Rindu Daffa?"Kali ini Aku mengangguk. Membenarkan pertanyaan Mas Yusuf. Mas Yusu
MENANTU AMBURADUL 151Usaha yang sama sekali tidak dihargai itu menyakitkan. Apalagi usaha itu disepelekan oleh orang terdekat. Orang yang sudah kita perjuangkan demi kebaikannya sendiri. Apa susahnya untuk sekedar berucap terimakasih? Walaupun itu hanya di mulut saja.____________Ibu menelfon semua anak lelakinya satu persatu. Aku mencoba menguping apa yang akan ibu bicarakan kepada keduanya atau salah satu diantaranya. Tinggal siapa nanti yang mengangkat telfon terlebih dahulu. Kita lihat saja, siapakah gerangan yang paling nurut sama Ibu kali ini.Kudengarkan sejak tadi sepertinya belum juga ada yang menyambung. Sudah nyambung tapi tidak diangkat. Suara khas dari sambungan telfon masih bertahan terdengar. "Tuuuuttt... Tuuuttt ...." jahatnya diriku malah menertawakan suara itu. Ibu mencoba memencet berulang kali, bahkan sampai ganti-ganti ponsel, dari ponsel beliau dan berganti ke ponsel Mimi. Kalau ponsel Mbak Santi enggak mungkin karena Mbak Santi jarang sekali kontekan dengan
MENANTU AMBURADUL 152Mas Rama pagi ini berjanji datang ke rumah untuk menemui Ibu. Saking kesalnya Ibu, beliau dari kemarin melimpahkan segala emosi kepada semua orang di rumah ini, hal itu membuatku terusik untuk menyuruh Mas Rama datang.Sebenarnya bisa saja Ibu protes lewat sambungan telfon, tapi tahu sendiri, pembicaraan via phone bisa dipengaruhi oleh signal. Kalau ada kalimat yang enggak jelas, kami juga sulit untuk menjelaskan pada Ibu, Ibu apalagi, mana mau mendengarkan penjelasan orang tentang kalimat orang diseberang telfon sedangkan yang menjelaskan jelas-ada ada di sekitar Ibu.Dari pada ribet mending via live saja supaya Ibu bisa nyubit pipi Mas Rama jika memang benar-benar gemes nantinya."Hallo Fateh," sapa Mas Rama bersemangat sesaat setelah keluar dari mobilnya, lalu melihat keberadaanku dan Fateh di halaman depan rumah.Sarapan sudah selesai kusiapkan di meja, Aku kini sedang menyuapi Fateh di depan."Alhamdulillah akhirnya sang Arjuna datang setelah diharapkan ole
MENANTU AMBURADUL 153Sudah sekitar 45 menit kami menunggu mobil yang dinaiki oleh Ibu singgah di sini. Kami semua seperti orang hilang di sebuah Pom Bensin ini. Bukan seperti lagi, kami ibarat keluarga yang terdampar tanpa kepastian.Ibu tak kunjung ada kabar. Selain cemas, kami juga sempat berfikiran buruk tentang mereka bertiga yang kebetulan di supiri oleh orang sewaan yang kurang begitu kami kenal. Takutnya mereka bertiga kenapa-napa. Misalnya diculik gitu. Tapi ribet juga sih kalau yang diculik Ibu. Bakalan susah ngerawatnya. Belum lagi pas kena omel si Ibu, bisa-bisa nyerah penculiknya. Angkat tangan beserta kaki. Hahahahaa.Selang berapa lama, Mas Yusuf dan Mas Rama akhirnya berhasil menghubungi si driver lewat sambungan telfon. Saat ditanya oleh Mas Rama kebetulan si driver baru sampai rumah lagi. Tadinya masih di jalan dan susah ambil ponsel di sakunya, makanya tidak kunjung diangkat.Ternyata Ibu melupakan sesuatu, tas beliau ketinggalan di ruang tamu lengkap beserta pons
MENANTU AMBURADUL 154Kudengar bel rumah berbunyi, sepertinya ada seseorang yang datang. Aku berdiri dari posisi awalku yang sedang duduk di samping Fateh untuk menitipkan sementara Fateh, kepada Mbak Karti. Dengan sedikit rasa penasaran Akupun membuka pintu depan."Assalamu'alaikum Mbak Nisa. Saya rindu sekali dengan Mbak Nisa." sapa seorang dokter perempuan cantik di hadapanku. Ia Aisyah, istri dari Ilyas.Kami saling berpelukan. Sudah lama sekali sepertinya kami tidak berjumpa."Alhamdulillah Baik. Tahu rumahku dari Mana, Syah?""Minta sama Mbak Rini. Hehehehe nggak papa kan Mbak? Maaf sudah lancang.""Nggak papa dong. Malahan seneng ada yang datang ke sini jengukin diriku.""Hehehehe Mbak Nisa bisa saja."Setelah bertahun-tahun tidak bertemu, rupanya Aku sedikit pangling padanya. Kini Aisyah tampak lebih subur, sepertinya benar yang dibilang oleh Fajarina, Aisyah terlihat seperti sedang berbadan dua. Wajahnya masih saja cantik, bahkan lebih cantik sekarang dengan aura keibuannya ya
MENANTU AMBURADUL 155Suara huru-hara orang yang hendak beraktivitas mulai terdengar di luar. Sang embun mulai menampakkan diri, pertanda bahwa pagi ini masih begitu dingin. Kembali kututup pintu rumah, lalu menikmati pekerjaan pagi yang setiap hari kujalani.Mbak Karti sudah memulai pekerjaan rumah lebih dulu, ia tampak serius sedang bergelut dengan cucian dan mesin. Sementara Aku sedang menyiapkan bumbu dan bahan makanan untuk kukupas dan potong-potong.Mas Yusuf dan Fateh masih terlelap tidur. Tadi mereka asyik bercanda dari sebelum subuh, namun akhirnya keduanya tertidur kembali setelah Mas Yusuf melakukan sholat subuh.Daffa dan Fajarina juga kebetulan sedang ada di rumah. Mereka sedang menikmati liburan di rumah menjelang ramadhan dari pesantren. Tidak lama sih, sekitar satu minggu. Itupun sudah membuat mereka berdua merasa senang, karena bisa pulang ke rumah dan berkumpul bersama keluarga. Khaity juga pulang."Boleh Rina bantu, Tante?" sapa seseorang dari belakangku."Eh Rina,