Aku sengaja menginjak kaki Mbak Sumi dengan kuat, supaya ucapannya nggak dilanjutkan, aku takut kalau orang tua Mas Hanif kurang suka cara dan gaya bercanda Mbak Sumi.Aduh, maafkan kakiku yang sudah menginjakmu Mbak, nanti saat warung sepi, aku akan datang minta maaf."Loh?! Kenapa Mbak?" tanya Mas Hanif yang lebih dekat jaraknya dengan Mbak Sumi.Orang tuanya juga menatap dengan heran."Anu Mas ...! Kesenggol gelas kopi tadi, masih panas he he he maaf ya kalau bikin kaget, saya juga ikutan kaget barusan, makanya teriak, mari silahkan diminum, permisi," ujar Mbak Sumi yang berbalik badan menuju ke belakang sambil mencebik, melirik manja ke arahku.Aku tetap diam tak merespon ulah Mbak Sumi.Semua tamuku terdiam, mungkin memikirkan jawaban Mbak Sumi yang aneh, bilangnya kesenggol gelas kopi, padahal saat dia teriak, yang di pegang gelas juz buah.Hadeh.Mas Hanif melihat ke arahku sambil tersenyum, seolah dia tahu aku telah melakukan sesuatu ke Mbak Sumi.Aku meringis dengan ulahku s
Mbak Sumi pura-pura mencebik, lalu pergi meneruskan pekerjaannya di belakang."Cepet diambil yuk ...! Biar cepet selesai dan dikirim ke Shella, kasian sahabat kamu nanti nunggu kelamaan." Mas Hanif segera berlalu menuju ke arah orang tuanya yang masih mengobrol santai sambil mencicipi camilan.Aku gegas mengikuti langkahnya, tak lupa mengambil tas cangklong untuk tempat ponsel dan dompet, di dalamnya selalu tersedia brosur dan kartu nama yang dibuatkan Ardi untukku, yang setiap saat bisa aku bagi-bagikan saat bertemu kenalan."Ayah, Bunda! Tunggu disini dulu ya, belanjaan Mbak Dewi ada yang ketinggalan di pasar, aku bantu nganter dulu, buat ambil belanjaannya, dibutuhkan sekarang soalnya, tapi kalau kalian ingin pulang lebih dulu, Hanif telpon Pak Rudi datang ya, buat jemput kemari, soalnya jam 8.30 ada jadwal terapi Bunda," ujar Mas Hanif pada Orang tuanya."Iya Nak, pergi aja, hati-hati di jalan ya, biar Ayahmu yang menelpon Pak Rudi, " ( supir pribadi keluarga Pak Fandi) ujar Bu Y
Aku masih belum menjawab pertanyaannya hingga mobil masuk ke halaman depan warungku."Nanti aja ya ceritanya, pas nganter makanan ke rumah Nenek Murni, rumahnya nggak jauh, 20 menitan juga dari sini." Aku menjanjikan akan cerita saat perjalanan mengantar pesanan Shella nanti."Oke, santai aja!" jawab Mas Hanif dengan mengulas senyum di wajahnya. Aku segera membuka pintu mobil, takut dibantu Mas Hanif lagi.Di warung ini yang aku takutkan cuma Mbak Sumi, bisa-bisa aku jadi sasaran candaannya terus, bikin aku salah tingkah.Aku segera turun sambil membawa kantong kresek berisi buah-buahan.Aku menyapa Bapak Fandi dan Ibu Yulia saat melewatinya."Aduh, Bapak, Ibu, maaf ya jadi ditinggalin, tamunya malah nggak ditemenin," ujarku tak enak hati."Nggak usah sungkan begitu Nak, kami tahu kok warung kamu ramai, itu dari tadi Mbaknya nggak berhenti, banyak yang datang dan bungkus, Alhamdulillah, kami senang lihatnya." Pak Fandi berkata menenangkan aku yang tak enak hati.Terlihat Mbak Sumi men
Makan Sepiring BerduaBab 46Aku langsung berlari masuk ke dalam rumah, lupa kalau datang bersama Mas Hanif, biarlah dia bersama Nenek dan Kakek, nanti juga dipersilahkan masuk.Aku langsung berlari menuju kamar Shella.Tok tok tok!"Shella! Shella!" Aku memanggilnya saat sudah di depan kamar lalu mengetuk pintu kamar.Ceklek!Pintu terbuka dan muncul wajah Shella yang pucat dan kuyu sambil cemberut."Lamaaa ...!" ujarnya merajuk."Nich ...! Pesennya mendadak sih, terus di proses dulu sayang," ujarku sambil mengangkat kantong plastik berisi pesanannya."Wah ...! Ayo di makan," Mata Shella langsung berbinar, direbutnya kantong plastik dari tanganku, berjalan riang sambil senyum-senyum ke arah meja makan."Ayo Dewi! Ikutin gue, ngapain bengong di situ," ujarnya sambil tetap berjalan.Aku memang masih melongo melihat tingkah Shella, tadi Nenek bilang, dia sakit nggak kuat jalan, nggak bisa bangun, lah ... sekarang dia melangkah cepat sambil mesam-mesem, aneh banget ulahnya.Aku langsung
Aku segera menghabiskan separuh porsi nasi, bahkan hanya sedikit saja yang diri ini makan, selebihnya untuk Kak Dewa, baru hari ini aku makan sepiring berdua dengan pria, aku makin grogi dengan tatapannya.Aku membuang muka, menghindari tatapan kak Dewa, melihat ke arah Shella."Shella ...! Kamu sudah periksa ke dokter?" tanyaku.Shella menjawab dengan senyuman dan anggukan kepala dengan antusias, bola matanya juga melebar berbinar memancarkan rasa bahagia.Kriuk ..kriuk...Shella menikmati gigitan kedondong muda di tangannya, yang membuatku ngilu dan meringis membayangkan sensasi kecutnya.Aku lihat dipiring ada buah-buahan yang serba muda dan pasti kecut rasanya.Kedua alisku menaut, keningku mengerenyit."Shella?! Kamu ngidam?" tanyaku hati-hati sambil memicingkan mata.Shella, hanya nyengir lebar sambil menganggukkan kepalanya lagi dengan raut wajah yang sama berbinar bahagia."Masya Allah ...! Alhamdulillah ...! Beneran Shella ...?!" Aku terlonjak dari tempat dudukku, karena mende
POV HanifSemenjak pulang dari mengantar Dewi ke rumah Neneknya Shella, hati ini begitu gelisah, berkali-kali kutarik napas dalam dan mengembuskan perlahan.Aku menatap langit-langit kamar, resah! Mata ini tak mau terpejam juga, padahal jam sudah menunjukkan pukul 22.40.Kenapa aku segelisah ini? Apa aku kecewa atau cemburu? Melihat pandangan mata Kak Dewa begitu lembut dan sayang pada Mbak Dewi? Mampukah aku bersaing dengannya?Mbak ...?! Aku memanggilnya Mbak! Karena memang usiaku jauh lebih muda hampir 10 tahun darinya.Tapi, bukankah mencintai beda usia tidak ada larangan? Bahkan aku banyak baca dan lihat di berita, ada pernikahan seorang Nenek dengan pemuda ABG, ada mantan siswa cowok menikahi mantan gurunya perempuan, atau sebaliknya ada seorang gadis dinikahi Kakek-kakek dan mereka hidup rukun.Pasangan itu terlihat lebih romantis dan harmonis, bahkan hingga punya keturunan.Jadi buat aku, jatuh cinta dengan Dewi yang usianya 10 tahun lebih tua dariku bukanlah hal yang memaluk
POV Ardi"Hallo Bro, Lu jadi ke Bali?" Fauzi, sahabatku bertanya, namun matanya tetap fokus menatap layar ponsel, kami tetangga rumah, dia sering menginap di rumahku, kami juga satu sekolahan."Kurang tahu gue zi, gimana keluarga Tante aja, berangkat okey, nggak juga nggak apa-apa," jawabku santai."Eh, tapi di Bali banyak turis loh ... bisa buat konten, ngobrol sama mereka, pakai bahasa mereka, lalu kita terjemahkan artinya, dan menginfokan pengucapan yang benar di konten," ujar Fauzi."Iya juga, gimana nanti aja deh, sekarang juga lagi sibuk edit naskah cerita berbahasa asing dan terjemahannya, bikin naskah yang mengedukasi dulu.""Lu bantu promo juga di group literasi ya," ujarku."Okey Bro ..! Eh Ardi, otak lu nggak keriting, encer banget dah, tiap hari bikin naskah, edit naskah, bikin konten, masih sekolah, bantu kerjaan Om lu, bantu nyokap lu, keren tau nggak." Fauzi berdecak kagum."Hidup gue keras zi dari kecil, nyokap gue berjuang demi anak-anaknya, tiap hari bangun subuh, t
BAB 50Fauzi terus saja menggodaku dan tertawa keras, melihat aku dan Tiara tersipu malu Tok tok tok!"Ardi Sayang, ini Ibu Nak." Terdengar pintu kamar, ruangan kedap suara yang aku pakai untuk ruang bekerja dan bikin tugas di ketuk Ibuku."Sebentar ya," kataku pada Tiara, yang dibalas dengan anggukannya.Aku memutar kenop pintu Ceklek!"Ya Bu?" ucapku."Tadi Ibu lihat ada temen kamu yang datang, ayo di ajak makan dulu, Sholat dhuhur dulu ya," kata Ibuku.Aku membuka pintu lebar-lebar agar Ibu bisa melihat Fauzi juga."Tante," Fauzi menyapa dan menganggukkan kepala dengan sopan. Ibu membalasnya dengan tersenyum.Namun pandangan Ibu berhenti pada ponselku yang masih menyala, dia memperhatikan sosok yang terlihat di ponselku. Tiara yang merasa diperhatikan menyapa dan memberikan senyumannya."Hallo ...! Tante Dewi, apa kabar? Senang bisa melihat Tante lagi, Tante tambah cantik loh," ujar Tiara.Ibu masih diam dengan alis menaut."Siapa dia Ardi? Ibu seperti pernah melihatnya, tapi dim