Mbak Winda mendorong tubuh Mas Ardi dan menggiringnya susah payah keluar kedai bakso. Mas Akim bangun dan berjalan ke luar juga mengikuti Mbak Winda. Perasaannya sudah tidak karuan. Akan tetapi semua lambat laun pasti akan diketahui. Sepandai-pandainya menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium juga baunya. Plak! Satu tamparan dihadiahkan Mas Ardi pada Mbak Winda. Wanita itu terhuyung dan meringis menahan sakit. Air matanya mengalir seketika. Seumur pernikahan baru kali itu Mas Ardi mrnamparnya.“Mas nampar aku?” Mbak Winda meringis sambil mengelus pipinya.Mas Ardi tidak menjawab. Pandangannya beralih pada Mas Akim. Napasnya naik turun karena emosi yang sudah luber. Dia mendekat dan menarik kerah baju Mas Akim. Bugh! Bugh! Bugh!Pukulan dan tendangan didaratkan pada wajah dan perut lelaki sok kalem itu. Mbak Winda menjerit dan berlari memburu Mas Ardi. Mas Akim meringis, tetapi dia belum melawan balik. Tubuhnya terhuyung karena tendangan Mas Ardi mengenai ulu hatinya.“Sudah, Mas!
“Hallo! Hafid! Kamu pulang ke rumah sekarang! Mbak mau bicara!” Mbak Winda akhirnya menelpon Hafid. Dia teringat tadi bertemu di tempat kejadian. Dia mau meminta Hafid membujuk Mas Ardi agar tidak jadi menceraikannya.“Mau bicara apa, Mbak?” Hafid mengkerutkan dahi, sedangkan tangannya tetap sibuk membungkus kerupuk. Dia sedang menyiapkan bungkusan kerupuk untuk jualan nasi gorengnya sore ini.“Kamu ke sini dulu saja, Fid! Bantuin, Mbak! Mas Ardi mau menceraikan Mbak!” Mbak Winda terisak. Hafid beristighfar ketika mendengar kata cerai.“Astagfirulloh! Mbak tenang dulu! Nanti aku coba telepon ke Mas Ardi, tapi sekarang aku gak bisa ke sana! Aku lagi bersiap mau jualan soalnya!” Hafid mencoba menenangkan kakak perempuannya itu.“Kamu itu, ya! Mana bisa Mbak tenang! Mbak mau diceraikan, Fid! Ini semua pasti gara-gara istri kamu tuh! Jadi orang gak tahu diri banget, sih!” Mbak Winda kembali mengeluh dan memaki.Hafid mengerutkan dahi. Dia tidak mengerti kenapa Mbak Winda malah menyalahkan
“Assalamu’alaikum!” Suara seorang wanita membuyarkan pikirannya. Hafid menoleh pada arah suara. “Wa’alaikumsalam. Eh, Bibi ada apa, ya, Bi?” Hafid menyalami wanita paruh baya yang beberapa hari lalu berkunjung ke tempatnya. “Hafid, Mia ada? Pamannya kritis. Sekarang sedang dilarikan ke rumah sakit.” Dia memandang Hafid. Tampak ada tersirat raut cemas di wajahnya. “Astagfirulloh!” Hafid beristighfar. “Mia! Dek!” Hafid tergopoh ke dalam. Dijumpainya Mia yang tengah sibuk dengan gawainya.“Ada apa, Mas?” Mia menatap Hafid.“Diluar ada Bi Itin, Dek! Paman kritis katanya!” Hafid menyampaikan pesan wanita paruh baya itu.“Astagfirulloh!” Mia beranjak. Dia keluar menemui wanita yang pernah direpotkannya itu. Ya, meskipun tidak sepenuhnya benar. Namun tetap saja Bi Itin lah yang dulu berjasa menampungnya di rumah mereka.“Bibi, Paman di rumah sakit mana?” Mia menatap kasihan pada Bi Itin. “Bibi juga belum tanya tadi Saskia bawa ke rumah sakit mana, Mia. Bibi khawatir banget sama keadaann
Mia sudah sibuk memotong sayuran. Beberapa hari berlalu semenjak kedatangan Mbak Winda. Perempuan itu membuat hari-harinya kembali tidak nyaman. Terlebih urusan Mas Ardi yang juga belum selesai. Beruntung kini dia sudah mulai membuka warteg di depan kontrakan kecilnya, jadi memiliki kesibukan tambahan dan bisa menepis persoalan yang dibawa kakak iparnya itu. Hari itu beruntung Mas Akim lewat membonceng perempuan. Mbak Winda langsung cabut dan mengajak Mbak Wilda mengikutinya. Entah apa yang terjadi di depan sana. Mia tidak ingin meski sekedar bertanya. Hidupnya kini lebih fokus pada apa yang akan diraihnya. Julukan ipar miskin yang kerap kali disematkan Mbak Winda membuat dirinya semakin giat bekerja dan mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Etalase bekas yang dipesannya sudah datang. Meski tidak tampak kembali seperti baru, akan tetapi keapikan tangan Hafid membuat kaca yang kusam itu bening kembali. Beberapa lauk sudah matang. Ada balado ikan, balado telur, telur dadar, gorengan tahu
Mia tengah berdiri di depan teller. Hafid menemaninya. Hari itu warteg mereka ditunggui oleh Mbak Finah sendirian. Komisi perumahan yang sudah cair lumayan banyak. Jadinya mereka akan mengambil dari teller sebagian. Selain itu, Mia minta dibuatkan buku tabungan sendiri. Peraturan baru menjadi lebih ketat dari marketing agency tempatnya berjualan. Rekening tidak boleh atas nama orang lain.“Habis ini kita jadi survey, Dek?” Hafid menoleh pada Mia yang baru saja duduk. Dia memasukan kartu ATM baru dan buku tabungan atas namanya ke dalam tas. “Iya, Mas. Sekalian saja. Mumpung ini ada launching DP nol rupiah, Mas. Kapan lagi bisa punya rumah dengan DP nol rupiah, Mas.” “Iya, Dek. Moga kuat bayar cicilannya.” Keduanya saling tersenyum. Bayangan memiliki rumah sendiri membuat Mia menjadi lebih bersemangat lagi. Beruntung dia bergabung pada agen marketing property Syariah. Di mana ada banyak program yang meringankan para pembeli seperti dirinya. Jika terlambat cicilan pun tidak ada akad d
Mbak Winda dan Mas Akim menuju mobil terios yang terparkir. Keduanya kembali menikmati empuknya jok mobil baru, hembusan AC dan merdunya suara music yang diputar. Mereka tidak langsung menuju kontrakan melainkan pergi ke mall. Mbak Winda hendak membeli berbagai baju branded, tas, sepatu untuknya dan Mas Akim memakai uang hasil menggadaikan sertifikat rumahnya ke Bank. “Mas, ini buat kamu biar nanti pas sudah buka usaha bisa keren penampilannya!” Mbak Winda mengambilkan dua set setelan jas kantoran. “Ok, aku suka ini. Kamu yang bayar, ya!” Mas Akim memasang senyum yang mampu meluluh lantakkan hati Mbak Winda. “Oke, Sayang! Kamu tunggu saja di sini!” Satu kecupan didaratkan pada pipi Mas Akim. Mbak Winda langsung mengantri di kasir. Dia membayar semua belanjaan itu, maklum uang sisa DP mobil masih ada jadi rasanya semua gampang saja dibelinya.Setelah itu, mereka pergi ke restoran. Keduanya memesan makanan yang serba wah. Mbak Winda menguploadnya ke sosial media miliknya. Mobil baru
POV AUTHORMia sudah selesai tanda tangan akad. Mulai hari ini, Mia sudah memiliki kewajiban untuk membayar cicilan atas cluster yang diambil itu. Meski belum closing lagi, akan tetapi uang tabungan Mia masih cukup untuk menjadi dana cadangan jika suatu hari dia keteteran. Dengan dana yang ada, Mia menyewa satu lokasi lagi. Dibukanya warteg di lokasi lain. Keberadaan Mbak Finah cukup membantu. Jadi setiap hari, kini Hafid memboyong masakan dari kontrakan sempitnya menuju tempat baru. Dia yang jaga wartegnya di sana dia sendirian, sedangkan Mbak Finah menjaga di tempat lama bersama Mia. [Menerima pesanan catering untuk acara syukuran, khitananan, pernikahan.] Satu banner dipasang di depan wartegnya disertai foto-foto yang menarik sehingga membuat orang lebih tertarik. Sudah beberapa orang yang pesan catering mereka untuk acara syukuran. Testimoninya cukup memuaskan dan dipajang juga di jejaring sosial media online. Mia yang sesekali melihat f******k tidak mengacuhkan berita berseliw
Kita tidak perlu bersusah payah membuktikan apapun pada siapapun. Cukup fokus pada tujuan dan impian. Abaikan orang-orang yang dengki dan iri, tidak perlu sibuk memikirkan caranya balas dendam karena setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan. ***Selamat Membaca! Hafid menoleh pada Mia. Ada rasa tidak enak di hatinya. Bagaimanapun hubungan Mia tidaklah harmonis dengan Bu Romsih dan Mbak Winda. “Dek, gimana?” Hafid menoleh setelah panggilan itu ditutupnya.Mia terdiam. Dia menarik napas kasar.“Berikan aku waktu, Mas. Kalau hanya Ibu, aku gak masalah dia bisa ikut bareng kita atau bisa menempati rumah kontrakan kita ini. Namun menampung Mbak Winda? Jujur hati ini bukan terbuat dari air yang begitu tergores lalu seperti tidak ada apa-apa. Aku bukan wanita berhati mulia seperti Sayyidah Khadijah, Mas. Aku Mia yang memiliki keegoisan sendiri dan cara sendiri menjalani semua ini.” Mia melempar pandang ke sembarang.Hafid menunduk mendengarkan penuturan Mia. Benar, terkadang hati tidak
Istri Mas Akim yang sedang menunggu di kontrakan akhirnya mencari tahu keberadaan Mas Akim yang tidak pulang-pulang hingga pagi. Dia bertanya pada tetangga kontrakan tentang alamat kontrakan Teta. Namun semua tidak ada yang tahu. Via mencoba menghubungi ponsel Mas Akim juga tapi tidak ada yang mengangkatnya. Hingga pada pukul sepuluh pagi, ada seseorang yang mengetuk pintu. Ternyata pemilik kontrakan. Via langsung mendadak lemas ketika mendapat kabar dari pemilik kontrakan jika Mas Akim ditemukan tewas bersama Teta di kontrakan perempuan itu.Via---perempuan yang dibodohi cinta, akhirnya membawa pulang jenazah suami yang telah berkhianat itu. Tetap saja dia menangis histeris. Terlebih selama ini dia tidak tahu kelakuan Mas Akim di rantau. Baginya Mas Akim adalah suami baik dan bertanggung jawab. Hanya hari itu saja dia memergoki bersama Teta. Kehidupan Via sebetulnya terselamatkan. Mas Akim tidak bisa lagi melaksanakan niat busuknya untuk menguasai warisan Via dari orang tuanya. Nam
Teta beberapa kali menciumi pipi Mas Akim. Sudah tidak sabar mereka akan melaksanakan rutinitas yang menyenangkan di dalam kontrakan Mas Akim. Terlebih baru saja mereka mendapatkan beberapa bungkus barang haram yang mereka candukan. Cup!Cup! Cup!Beberapa kali Teta mencium pipi lelaki berambut plontos itu ketika sepeda motor yang mereka tumpangi berhenti. Tangan Teta yang melingkar pada perut Mas Akim tak jua dilepasnya. “Sayang! Lepas, dong! Katanya mau buru-buru?” bisik Mas Akim sambil membelai pipi Teta. “Habisnya nyaman kalau peluk kamu, tuh!” ucap Teta sambil melepas pelukannya lalu turun dari sepeda motor. Begitu pun Mas Akim. Keduanya baru saja hendak membuka pintu kontrakan ketika terdengar ada suara yang memekik dari arah jalan.“Mas!” Suara seorang wanita memekik.Mas Akim dan Teta menoleh. Ada seorang wanita yang tampak memandang nyalang pada Mas Akim. Perempuan itu mendekat. Lalu menatap lekat wajah Teta yang memang masih terbilang muda itu dengan penuh kebencian. Pl
Mia menatap Mesya dan Lili yang tengah berlarian di taman depan. Fasilitas umum yang baru selesai dibangun oleh developer ini cukup efektif. Keduanya berteman semakin dekat semenjak Lili resmi diadopsi menjadi anak dari keluarga Mbak Nindi. Mendengar cerita Mia saat pulang dari panti waktu itu, Mbak Nindi langsung tertarik dengan sosok Lili. Setelah semua dokumen selesai diurus, akhirnya Lili kini resmi menjadi putri dari keluarganya. Mia dan Mbak Nindi tengah duduk di tepi lapang sambil memakan rujak petis. Mangga muda yang dibawa Mbak Nindi benar-benar segar. Meskipun hari sudah menjelang sore, akan tetapi rujak ini masih cukup bersahabat untuk dinikmati.Kini Mia lebih banyak memiliki waktu luang, semenjak Hafid meminta untuk tidak terlalu capek, Mia sudah membayar satu orang admin virtual untuk mengurusi setiap cabuy yang bertanya tentang property. Warteg dan catering akikah, sudah ada yang jaga juga. Jadi Mia hanya sesekali mengecheck mereka saja.Sore itu, Mia tengah menunggu H
“Astagfirulloh, Mas! Itu kok mirip banget sama Mbak Winda, Mas?” gumam Mia sambil menatap para pelaku yang tengah digiring oleh pihak kepolisian. Hafid menoleh pada layar kaca. Begitupun Bu Romsih yang tengah bermain dengan Mesya. Keduanya memekik bersama. Benar, wajah dalam layar kaca itu sangat mirip sekali dengan Mbak Winda. Namun masa iya, Mbak Winda berada di Batam? Mia mencoba mencari tahu kontak stasiun televisi yang menayangkan berita itu. Dia hanya ingin mendapatkan kabar tentang para pelaku yang dibekuk tersebut. Namun ternyata Mia cukup kesulitan. Sambungan terhubung akan tetapi tidak juga ada yang mengangkat. “Apakah Mbak Winda ada yang menjual ke luar pulau, ya, Mas? Makanya dia gak balik-balik ke sini?” bisik Mia pada Hafid.“Astaghfirulloh, Dek! Apa iya, ya? Mas gak kepikiran kesitu, ya?” Hafid terpekik mendengar penuturan Mia. Bu Romsih tiba-tiba terisak. Usianya yang semakin renta membuat perasaannya semakin sensitif. Terlebih dia kembali teringat pada Putri---cuc
Bu Romsih sudah menangis sejak semalam. Sepulang dari tempat kerja, Mbak Winda membawa paksa Putri. Alasannya mau dibawa ke dokter. Namun hingga pagi, Mbak Winda gak bisa dihubungi dan keberadaan Putri tidak diketahui. “Ibu kenapa juga ngasihin si Putri malem-malem dibawa Winda! Sudah jelas selama ini dia gak sayang sama anaknya itu!” Mbak Wilda malah menyalahkan Bu Romsih atas kehilangan bayi tersebut. Bu Romsih yang sejak malam menangis itu makin tersedu. Dia merasa sangat bersalah ketika tak mendapat kabar dari Mbak Winda. Hafid dan Mia baru saja tiba. Keduanya langsung masuk ke dalam rumah. Mas Kama sudah berangkat kerja. Hanya ada Bu Romsih dan Mbak Wilda di sana. “Putri belum ditemukan juga, Bu?” Hafid memburu Bu Romsih dengan pertanyaan. Wanita sepuh itu menggeleng sambil terisak. “Aku juga coba hubungi Mbak Winda berkali-kali tapi gak aktif. Nanti aku coba ke tempat kerjanya.” Hafid berusaha menenangkan. Mbak Wilda menatap sinis pada Hafid. Lalu melirik ke arah Mia. “Ka
“Mbak ngapain pagi-pagi ke sini?” Teta menyipit menatap Mbak Winda.“Aku mau barang itu, Ta!” Mbak Winda mendorong daun pintu yang Teta masih tahan. Namun sontak matanya membulat melihat sosok lelaki yang tengah terbaring di atas tempat tidur Teta. “Mas Akim?!” pekik Mbak Winda sambil berpegangan pada daun pintu. Kakinya mendadak gemetar. Hatinya berdentum-dentum hebat. Lelaki bertelanjang dada tersebut tampak kaget. Dia meraih kaosnya yang tergeletak lalu mengenakannya dengan cepat. Sementara itu, Mbak Winda berjalan cepat mendekat.Plak!Plak! Plak! Tamparan bertubi-tubi dihadiahkannya pada kedua pipi Mas Akim. Air mata Mbak Winda mengalir tak tertahan. Sedih, benci, marah bercampur kecewa membaur menjadi sesak. “Balikin uang aku, Mas! Balikin semuanya!” hardik Mbak Winda sambil mendorong tubuh lelaki yang baru saja hendak bangun itu. Tubuh Mas Akim terhuyung ke belakang karena tidak menyangka mendapatkan serangan dadakan sekuat tenaga dari Mbak Winda.Mbak Winda maju lagi mera
Arman pemilik konter aksesoris ponsel itu menyetujui permintaan Mia. Dia segera memijit nomor yang Mia berikan. Tidak berapa lama panggilan terhubung, lalu terdengar suara seorang perempuan di seberang telepon.“Hallo, ini siapa?” sapanya. Mia mendengarkan dengan seksama. Memorinya mulai merangkai kemiripan suara itu dengan yang pernah dia dengar. Rasanya suara itu familiar. “Ini Ferdi, kamu Santi ‘kan?” ucap Arman dengan santai. Modelan pengguna telepon salah sambung yang professional. “Ferdi? Santi? Salah sambung kali, Mas?” ucap suara dari seberang telepon yang memang sengaja di loudspeaker oleh Arman. Terdengar jelas suara itu mirip dengan siapa. Mia mengisyaratkan agar Arman kembali memancing pembicaraan. Arman mengangguk sambil mengangkat satu alisnya. Menjadi seorang duda di usia muda memang membosankan. Karenanya ketika mendapat pekerjaan seperti ini baginya merupakan hiburan juga. “Masa kamu lupa sama aku, coba kamu tebak aku siapa? Aku orang yang dulu kamu cintai banget
Sudah beberapa hari ini Mbak Winda mulai kerja di tempat Mince. Seperti halnya dulu, berangkat awal pagi dan pulang sudah larut. Terlebih tempat karaoke Mince itu terkenal dengan karaoke plus plusnya. Jadi banyak singer jadi-jadian yang sebetulnya memiliki profesi terselubung. Hanya namanya saja karaoke keluarga. Rencana Mbak Winda yang hendak membuang Putri ke panti asuhan dia tunda dulu. Hal ini tidak lain karena dia masih membutuhkan bayi itu untuk menarik simpatik dari Hafid. Seperti halnya hari itu, dia sudah menelpon Hafid meminta di jemput. Dengan berbagai alasan. Padahal tujuannya agar Hafid bertemu dengan Teta---seorang singer yang sudah terbiasa melayani Om-Om. Penampilannya tampak polos dan lugu akan tetapi sebetulnya Teta sudah sangat berpengalaman.“Fid, cepetan jemput ke sini! Kasihan Putri harus nungguin Mbak lama!” Mbak Winda berbicara pada Hafid memalui gawainya.“Iya bentar, Mbak! Aku masih di jalan habis jualan keliling!” ucap Hafid dari seberang telepon. Ya, kondi
Pov WindaRasa sakit setelah melaksanakan operasi secar membuatku tidak bisa bergerak bebas. Hanya tiduran sambil menatap bayi yang tergeletak tidak jauh dariku. Hari ini aku sudah pulang dan tinggal kembali di rumah Mbak Wilda. Tetesan air mata tiba-tiba tak bisa kutahan. Entah, menatap bayi itu aku menjadi sangat benci pada Mia. Kalau bukan gara-gara dia, aku dan Mas Ardi mungkin belum bercerai dan bayi itu masih memiliki ayah. Kini, semua menjadi tidak jelas, bayi ini anak siapa? Mas Akim atau Mas Ardi? “Mbak, ini beberapa pakaian waktu Mesya kecil dulu!” Mia menyodorkan satu plastik kantong berisi pakaian bayi sepertinya. Dia jadi sering sekali ke sini sepulangnya aku dari rumah sakit. Mungkin menebus perasaan bersalahnya atas nasibku. Tak ada keinginan untuk membalas ucapannya. Kulirik sekilas wajahnya yang kini tampak sedikit lebih bersih. Makin benci saja aku melihatnya. Mungkin hatinya kini tengah bersorak atas segala kekacauan yang kualami. Lihat saja Mia, aku akan membuat