Sekali lagi aku menatap bayangan diriku di depan cermin, merapikan sedikit rambutku yang kubiarkan tergerai. Blouse putih berlengan panjang—dengan sedikit gelembung di bagian ujungnya—kupadukan dengan celana panjang warna khaki dan sepatu hak rendah berwarna hitam. Sengaja aku memilih outfit yang terkesan formal karena aku menebak Arsya juga pasti akan mengenakan outfit formal mengingat dia akan menemuiku di sela istirahat kerja. Dengan begitu orang-orang akan mengira bahwa kami adalah klien yang akan membicarakan pekerjaan, bukan sepasang pria dan wanita yang bertemu setelah berkenalan di situs kencan online.
Setelah yakin dengan penampilanku, aku bergegas berangkat, khawatir terjebak macet. Di tengah perjalanan, ada pesan masuk dari Arsya. Dia mengatakan mungkin akan sedikit terlambat dari jam pertemuan yang sudah kami sepakati. Aku mengiakan. Tentu saja aku memakluminya karena ini hari kerja. Untuk ke sekian kali, kurapikan lagi pakaian dan rambutku begitu akan memasuki restoran tempat kami bertemu. Arsya yang memilih tempat ini, dia juga sudah memesan meja. Restoran yang dipilih Arsya terletak di satu wilayah perkantoran di Jakarta Selatan. Kantor Arsya sepertinya memang berada tidak jauh dari sini.
Pramusaji menyambutku ketika aku membuka pintu restoran. Aku menyebut reservasi atas nama Arsya, lalu pramusaji itu mengantarku ke sebuah meja yang berada di ujung ruangan, di bagian depan. Dua buah kursi yang berseberangan menemani meja itu. Aku segera duduk setelah mengucapkan terima kasih dan tersenyum kepada pramusaji yang mengantarku tadi.
Aku mengedarkan pandanganku. Restoran ini cukup mewah dengan desain interior bernuansa klasik, meski masih termasuk casual dining. Pengunjung restoran ini—sesuai dugaanku—adalah orang-orang kalangan atas. Setelah memperhatikan penampilan mereka, lalu memperhatikan penampilanku, aku jadi merasa tidak percaya diri. Ah, biarlah. Kubuang pandanganku ke samping sambil menghela napas. Dinding kaca restoran ini membuatku leluasa memandang ke arah jalan. Tampak lalu lintas yang padat di siang yang terik ini.
Pramusaji yang mengantarkan menu membuyarkan lamunanku. Aku memutuskan untuk memesan minuman saja dulu. Selebihnya aku akan pesan ketika Arsya datang nanti. Sepuluh menit berlalu. Apa Arsya akan sangat terlambat? Atau malah dia tidak akan datang? Bibirku mengerucut memikirkan kemungkinan itu. Bukan apa-apa, kalau dia sampai tidak datang berarti dia tidak menghargaiku. Kalau benar dia tidak datang, maka aku tidak akan mau bertemu lagi kalau dia menawarkan pertemuan selanjutnya. Aku bersungut dalam hati.
Seorang pria yang baru saja masuk mengalihkan pandanganku dari jendela kaca. Setelah berbicara sebentar dengan pramusaji, pria itu berjalan—sepertinya—ke arahku. Ia terlihat menolak untuk diantarkan. Apa mungkin itu Arsya? Pria tegap itu mengenakan setelan formal berwarna abu tua. Aku meyakini itu memang dia setelah dia berjalan semakin dekat ke mejaku. Kubuang pandanganku darinya, pura-pura menatap layar ponsel, agar tidak terlalu kelihatan sedang menunggunya.
Jantungku berdegup. Bukan karena Arsya terlihat wah atau bagaimana, namun ini memang selalu terjadi padaku setiap bertemu dengan orang baru. Namun aku juga tak menyangkal bahwa penampilan pria itu dan wajahnya yang tampan memang membuatku sedikit berdebar. Semoga aku tidak canggung saat bicara nanti.
Pria itu tersenyum ketika sudah sampai di mejaku. Masih berdiri, dia mengulurkan tangannya padaku dan menyebut namanya. Aku berdiri menyambut uluran tangannya, dan ikut menyebut namaku. Perkenalan kami terlihat sangat formal. Baguslah, jadi orang-orang akan berpikir bahwa kami adalah benar-benar klien kerja.
"Sorry for being late.” Arsya membuka percakapan.
"It's okay." Aku tersenyum tipis.
"Sudah pesan?" tanyanya menatapku. Suaranya terdengar lembut namun tegas di telingaku.
"Baru pesan minum. Mau pesan makanan tadi tapi saya menunggu Bapak datang dulu," jawabku canggung.
"Bapak?" Alisnya berkerut. "Tidak perlu terlalu formal, panggil nama saja." Arsya tertawa pelan.
Aku tidak tahu aku tadi memanggilnya dengan sebutan ‘Bapak’ karena aku terlalu canggung atau karena dia memang berpenampilan terlalu formal. Padahal aku sudah tahu usianya dari percakapan kami kemarin. Dia hanya setahun lebih tua dariku. Wajahnya juga masih terlihat muda, sesuai dengan usianya.
"Maaf, mungkin karena penampilan kamu formal banget.” Aku mencoba tertawa. Tawa yang sedikit kupaksakan.
Arsya hanya mengangguk tersenyum, kemudian menoleh pada pramusaji yang kembali datang untuk menawarkan menu. Setelah kami memesan makanan, pramusaji itu berlalu. Arsya mengalihkan tatapannya padaku lagi. Kali ini ia memandangiku cukup lama, seperti sedang menilai penampilanku. Aku jadi merasa sedikit salah tingkah, lantas memalingkan wajah.
"Saya kira kamu adalah seorang gadis yang selalu berpakaian serba hitam," komentar Arsya kemudian.
"Saya suka warna hitam, tapi tentu saja saya tidak selalu berpakaian serba hitam." Aku terdiam sejenak, lalu bertanya penasaran,"Did you expect me to be that kind of girl?"
Ia tersenyum lagi. "No, I didn't. Saya hanya berpikir bahwa kamu adalah tipe wanita seperti itu karena kamu terdengar misterius."
Aku hanya tertawa kecil.
Arsya kembali memandangiku. Kali ini aku menunduk. Aku adalah orang yang kaku dan sering merasa tidak nyaman saat berhadapan dengan orang baru. Ditambah lagi—jujur saja—pria di hadapanku ini terlihat cukup menawan.
"You look good. Better than I thought. Feminine and attractive."
Entah pujiannya itu tulus atau sekadar basa-basi, atau mungkin sedang berusaha merayuku? Aku tak tahu.
"Thanks." Aku tersenyum menatapnya, kemudian mengalihkan pandanganku lagi.
Selanjutnya obrolan kami mengalir sembari menikmati makanan setelah pesanan kami datang. Awalnya aku memang agak canggung berbicara dengannya dan Arsya pun tidak tampak seperti orang yang banyak bicara. Kami membicarakan beberapa hal yang sudah pernah kami bicarakan di aplikasi chat sebelumnya, seperti ingin memastikan bahwa orang yang ditemui memanglah orang yang sama.
"Senang bertemu denganmu, Abelia,” ucap Arsya setelah kami selesai makan.
“Saya juga,” jawabku.
“Apa rencana kita selanjutnya?”
"Maksud kamu?"
"Ya, pertemuan kita selanjutnya.” Arsya tersenyum tipis. “Makan, jalan-jalan, atau belanja mungkin?”
Aku mengerutkan kening. "Should we meet again?"
"Why not?"
"Sebenarnya saya tidak berpikir untuk bertemu denganmu lebih dari sekali. Because after all, still, you're a stranger to me. Tapi—"
“Tapi?”
Aku menggeleng tersenyum, "Bukan apa-apa."
"It's okay, Abelia. Bilang saja kalau ada yang ingin kamu katakan." Arsya mencoba meyakinkanku.
Aku tidak langsung menjawab. Menunduk sebentar, kemudian menghela napas.
"Sebenarnya saya perlu bantuan kamu," ucapku perlahan.
“Bilang saja. Kalau saya bisa, pasti akan saya bantu.”
"Saya sudah cerita padamu tentang keadaan finansial saya saat ini. Jujur saja, saya perlu pekerjaan." Aku merasa lega setelah mengatakannya.
Arsya tidak langsung menjawab, sepertinya dia mencoba menyusun kata-kata.
"Perusahaan saya saat ini sedang tidak membuka lowongan pekerjaan. Dan saat buka pun kami biasanya melakukan seleksi yang panjang dan membutuhkan waktu yang lama, jadi tidak akan membantumu,” jelas Arsya.
Aku mengangguk mengerti. “Oh, I see.”
"Sepertinya beberapa perusahaan milik kolega saya ada yang sedang membuka lowongan, nanti saya kirim ke kamu informasinya."
Kembali aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
Arsya menatapku. "Saya bisa saja meminta mereka untuk langsung menerimamu di perusahaan mereka. Tapi saya bukan tipe orang seperti itu. Tidak apa kalau kamu harus melewati proses seleksi?"
"Oh, ya, tentu saja!” sahutku cepat. “Saya juga bukan tipe orang yang mau diterima kerja karena orang dalam.”
"Maaf, saya tidak bermaksud—”
"Tidak apa-apa," selaku mencoba tersenyum.
Arsya balas tersenyum. Kemudian dia memanggil pramusaji untuk meminta bill pesanan.
"Saya harus kembali ke kantor, Abelia.” Ia melirik arlojinya.
“Oke, saya juga ada keperluan lain nanti," jawabku cepat. Aku sebenarnya tidak ada keperluan apa-apa hari ini, tapi tentu saja aku tidak mau terlihat benar-benar seperti pengangguran yang mengenaskan.
"Thanks for today. Saya berharap kita bisa bertemu lain waktu.” Arsya menatapku.
Aku tak menjawab. Kemudian ia menawarkan untuk mengantarku pulang, namun aku menolak dengan alasan bahwa aku bisa pulang sendiri. Ia hanya mengangguk maklum, lalu menemaniku menunggu taksi online yang kupesan.
***
Seminggu berlalu setelah pertemuanku dengan Arsya. Aku sudah mengirim lamaran ke perusahaan kolega Arsya. Akan tetapi dari sekian lamaran yang kukirim, tak ada satu perusahaan pun yang mengundangku untuk wawancara. Sampai pagi ini aku masih belum bersemangat melakukan apa pun. Mataku masih sembab karena menangis semalaman. Aku masih berada di bawah selimutku menatap langit-langit, padahal hari sudah menjelang siang. Ini hari Senin, hari kerja, tapi tidak ada bedanya dengan akhir pekan untukku yang pengangguran ini. Aku benar-benar bingung. Beberapa hari lagi aku harus membayar uang indekos. Jangankan untuk bayar indekos, untuk biaya makan saja aku tak yakin akan cukup. Saat aku sudah mulai akan menangis lagi, ponselku berdering. Aku tak berniat mengangkatnya. Sedang tak ingin berbicara dengan siapa pun. Setelah beberapa kali berdering, lalu senyap, baru aku meraih ponselku. Ada pesan dari Arsya, dia mengajakku untuk bertemu lagi. Aku belum membalasnya, karena aku tidak tahu jawabanny
Melalui dinding kaca ruangan kantornya, Arsya memandangi langit yang terlihat begitu cerah. Sudah jam makan siang, namun Arsya belum beranjak dari kursinya. Pikirannya melayang lagi pada Abelia. Penampilan wanita itu tidak terlihat misterius seperti yang terlintas dalam pikirannya sebelum mereka bertemu. Abelia cantik dan berpenampilan menarik, seperti banyak wanita yang ia temui. Tubuh wanita itu mungil dan wajahnya terlihat lebih muda dari usianya. Rasa penasaran yang sudah singgah di sudut hati Arsya saat pertama kali mengenal Abelia melalui situs kencan online semakin kuat saat mereka bertemu. Dari dua kali pertemuan mereka, Arsya tetap melihat ada keanehan atau ada hal yang disembunyikan oleh Abelia meski wanita itu tak terlihat misterius. Dan entah kenapa, Abelia selalu mengingatkan Arsya pada masa kecilnya. Hal itu yang membuat Arsya ingin mengenal wanita itu lebih jauh. Lamunan Arsya terhenti ketika ponselnya berdering. Sebuah nomor yang tak dikenalnya. Ia be
Gelap. Kubiarkan mataku terpejam dan untuk menambah pekat, aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Berharap kegelapan ini dapat menelanku. Tapi aku tahu itu tak mungkin. Sepertinya aku memang harus menghadapi problematika hidup ini. Rasanya aku ingin menjadi tokoh dalam cerita romance yang permasalahannya hanya seputar cinta dan hal picisan lainnya. Tidak sepertiku yang harus menghadapi pelik karena masalah finansial. Tawaran dari Arsya sudah terlanjur menerima. Namun, aku memilih sebutan perjanjian kami ini sebagai Relationship Contract dan Arsya menyetujuinya. Kami sudah berjanji untuk bertemu besok di restoran tempat dua pertemuan kami sebelumnya. Aku menghela napas sambil memikirkan apa yang harus kupersiapkan agar pria itu tak menjebakku nantinya. Ah, benar. Kontrak! Aku harus membuat kontrak. Kontrak perjanjian kubuat ke dalam dua lembar kertas berukuran A4. Lembar pertama berisi penjelasan tentang pelaku kontrak. Lembar kedua berisi poin-poin ketentuan dariku. Sungguh a
Abelia tak punya pilihan lain. Ia sudah terlanjur menandatangani kontrak perjanjian menjadi sugar baby tersebut. Maka ia pun terpaksa mengikuti permainan Arsya. Hari itu Pak Luki—sopir keluarga sekaligus orang kepercayaan Arsya—datang membantu Abelia pindah dari indekos ke apartemen baru yang disediakan oleh Arsya di kawasan Sudirman, Jakarta. Sepeninggalan Pak Luki, Abelia mulai menyusun barang-barang di apartemen barunya. Apartemen itu memiliki satu kamar tidur all in dilengkapi kamar mandi dan dapur mini, serta area ruangan untuk menonton TV yang dibatasi dengan partisi berupa lemari sebagai pemisah dengan area tempat tidur. Meski hanya berupa apartemen studio, Abelia tahu harga unit apartemen itu sangat mahal karena berada di salah satu kawasan pusat bisnis ibu kota. Selesai berkemas, sore itu Abelia memutuskan untuk tidur sebentar. Malam nanti, Arsya sudah bilang akan datang menemuinya. Kebetulan ada beberapa hal yang ingin Abelia diskusikan, salah satunya adalah nominal uang bu
Kala itu aku masih berumur 6 tahun dan kakakku, Ruben, berumur 10 tahun. Kami sedang bermain di taman dekat rumah dengan anak-anak lainnya. Lelah bermain, Ruben mengajakku pulang. Ibu sedang tak ada di rumah, ia pergi selama beberapa hari ke rumah kerabat yang sedang mengadakan pesta, dengan membawa serta adikku, Dikta. Seharusnya hanya ada ayah di rumah. Tapi siang itu ayah tak sendiri.Setelah memasuki pagar yang tak terkunci, aku dan Ruben seperti mendengar suara-suara aneh. Kami menajamkan pendengaran, ternyata berasal dari kamar ayah dan ibu yang berada di bagian depan rumah. Ruben pun mengajakku mendekati kamar ayah dan ibu untuk memastikan. Dari balik tanaman hias yang mulai meninggi, kami mengintip melalui jendela kaca yang tirainya sedikit terbuka. Ayah sedang bersama seorang wanita, tapi bukan ibu.Ayah dan wanita itu bergumul di atas ranjang dengan desahan-desahan yang terdengar menjijikkan di telingaku. Saat itu, aku tak tahu persis apa yang mereka lakukan,
Jalanan ibu kota tak terlalu padat di akhir pekan. Arsya melajukan mobilnya dengan kecepatan lumayan tinggi, namun tak terburu-buru. Kami sama-sama mengenakan pakaian kasual hari ini. Meski berpakaian kasual, Arsya tetap terlihat seperti orang berada. Aku memandangi wajah pria di sampingku itu. Walaupun dia menyebalkan, aku harus mengakui bahwa dia memang sangat tampan. “Kenapa menatap saya seperti itu?” tanya Arsya tanpa menoleh. Aku berdehem. “Tidak. Saya hanya ingin memastikan bahwa kamu memang orang yang dapat dipercaya. Tentang kontrak perjanjian kita, saya harap kamu tidak melanggarnya." Arsya tersenyum. “Tenang saja. Saya adalah orang yang bisa dipercaya, makanya saya bisa menjadi direktur di usia muda." “Kamu terlalu jemawa," cibirku. “Semuanya akan lebih mudah kalau saat itu kamu hanya meminjamkan uang pada saya, tanpa meminta saya menandatangani kontrak menyebalkan itu." “Saya sudah bilang kalau saya hanya meminjamkan uang padamu, maka tidak ada keuntungannya bagi saya.
Arsya masih sibuk berkutat dengan pekerjaannya siang itu meski sudah jam makan siang. PT, Vibrant Indo Manufacture, perusahaan yang dipimpinnya telah dipercaya sebagai pemasok alat berat bagi pembangunan jalan tol di Sumatera Barat yang akan dikerjakan oleh Mahawira Contractors. Perusahaan konstruksi swasta itu adalah milik Azkaa, kerabat jauhnya. Mereka sudah bertemu untuk membicarakan kerja sama yang telah mereka sepakati. Proyek baru saja dimulai dan Arsya masih terus mempelajari konsep pembangunan jalan tol itu sebagai penyesuaian data untuk menentukan alat berat yang dibutuhkan. Juga memikirkan risiko jika alat berat yang direncanakan terkendala, perusahaannya harus menyediakan alternatif. Sebagai perusahaan manufaktur yang sudah dikenal namanya, tentu saja Arsya tak ingin PT. Vibrant Indo Manufacture salah perhitungan. “Pak, ada tamu yang ingin bertemu. Namanya Pak Derry Laksmana.” Sekretaris Arsya menelepon. Arsya berdecak pelan, namun ia tetap mempers
Rinai hujan semakin deras di luar sana, namun lalu lintas di bawahnya tetap terlihat padat. Kendaraan di jalan raya penuh sesak dan tampak tak bergerak. Aku memandangi semua itu dari jendela kaca apartemenku. Kupikir malam ini Arsya tak akan datang. Macet dan hujan, sudah pasti menjadi alasan bagi orang-orang yang telah lelah bekerja seharian ingin segera sampai di kediaman mereka untuk beristirahat. Namun ternyata aku salah. Setengah jam kemudian Arsya datang, dengan senyum dan binar di wajahnya. Seolah ada yang ingin dia sampaikan. Seperti biasa, dia akan mengajakku makan sebelum memulai obrolan. Menurutnya, suasana hatiku selalu lebih baik saat perutku kenyang. Padahal saat ini aku sedang tidak lapar karena sudah makan malam tadi. Tapi aku tak bisa menolak harum ramyeon yang kami pesan secara delivery. “Saya baca status kamu di aplikasi chat itu tadi siang.” Arsya membuka obrolan setelah kami selesai makan dan duduk di sofa sambil menonton TV. “Lalu?” “Ayo, kita pergi naik flyin
Hello, MELODI ABELIA readers! Thank you so much for reading love story of Abelia and Arsya. Hope you like it. Cerita ini memang bukan tema populer, tapi aku menyukainya. Tema novel ini memang sedikit dark dengan mengangkat isu kesehatan mental dan konflik keluarga yang pelik. Di sini hampir setiap tokohnya melakukan kesalahan, tidak ada yang sempurna. Masing-masing memiliki sisi baik dan buruk, juga memiliki keterikatan dengan masa lalu. Masing-masing tokoh juga mengalami perkembangan karakter.Terlepas dari kelebihan dan kekurangan dari novel ini, semoga kamu bisa mengambil pelajaran di dalamnya, ya. Semoga juga bisa menjadi bacaan yang menghibur dan berkesan. That's it. Thank you and see you. With Love,Author Remahan Croissant NOTE: JANGAN MENJIPLAK KARYA INI SEBAGIAN ATAUPUN SELURUHNYA. SANK
Sekian tahun berlalu. Abelia terbangun di pagi hari karena sinar mentari yang mengintip dari sela tirai jendela kaca. Segera ia beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya, ia melihat kalender. Ia tak akan pernah lupa pada tanggal itu. Hari ulang tahun Arsya, pria yang sangat dan akan selalu ia cintai. Perlahan Abelia menghela napas. Sambil menyunggingkan senyum, ia beranjak ke kamar anaknya. Putranya yang bernama Abizhar, berumur 5 tahun. Putrinya yang bernama Aubrie, berumur 3 tahun. Abelia segera membangunkan mereka untuk mandi dan bersiap-siap. Karena mereka sulit sekali dibangunkan, Abelia menciumi pipi mereka hingga terbangun. "Ayo, bangun. Hari ini ulang tahun papa," ucap Abelia. Abizhar dan Aubrie segera bangkit dari ranjang mungil mereka masing-masing. "Oh, ya. Hari ini ulang tahun papa!" seru mereka. "Apakah kita akan menemui papa hari ini, Ma?" tanya Abizhar. "Tentu saja, Sayang. Makanya mandi, biar cepat bertemu papa." Abelia tersenyum. "Ayo, mandi, M
Penantian Arsya berakhir sudah. Hari bahagianya bersama Abelia yang sempat tertunda kini telah terwujud. Sebuah hari bahagia di mana ia dan sang kekasih akhirnya mengucap ikrar suci dan janji untuk saling setia dalam ikatan pernikahan. Mereka mengikuti semua prosesi pernikahan yang sakral dalam suasana syahdu. Para tamu yang hadir pun ikut terlarut. Ijab kabul dan prosesi adat telah selesai dilakukan. Sekarang saatnya mereka bersanding di pelaminan mengebakan sepasang gaun pengantin hasil rancangan desainer ternama. Arsya terlihat semakin tampan dalam balutan tuxedo berwarna putih, sedangkan Abelia mengenakan gaun panjang sederhana berwarna putih yang terlihat mewah dengan taburan payet di bagian dada. Para tamu mengagumi keelokan penampilan mereka. Ditambah dengan dekorasi pernikahan yang didominasi dengan warna putih semakin membuat suasana pesta pernikahan itu begitu agung. Arsya menoleh pada Abelia, wanita yang sudah sah menjadi istrinya. Keel
Kebekuan melingkupi Abelia dan Arsya sepanjang perjalanan. Setibanya di apartemen Abelia pun mereka masih saling berdiam diri tanpa sepatah kata terucap. Sambil menahan air mata, Abelia menatap Arsya. Mereka saling menatap dalam diam dengan pandangan yang redup. Suasana yang dingin pun tercipta. Semua kebahagiaan yang terjadi pada mereka belakangan ini seolah lenyap begitu saja. Abelia merasa dia harus kembali mengulang masa-masa sakit, tetapi kali ini lebih perih. Masa lalu yang kelam kembali datang menghampiri. Membuat luka yang sudah hampir sembuh kini menganga kembali. "Arsya," panggil Abelia pelan. "Lebih baik kita akhiri hubungan ini." Perlahan Abelia melepaskan cincin tunangan yang melekat di jari manisnya. Melihat itu, Arsya menahannya dan menggeleng. "Aku tidak mau, Abelia." "Lalu maumu bagaimana? Tetap menjalani hubungan sampai ke pernikahan setelah semua fakta itu?" cecar Abelia. Sejenak Arsya terdiam, lantas mengangguk. "Bagaimana mungkin aku bisa menikah dengan seora
Suasana bahagia masih meliputi hati Abelia dan Arsya sejak hari pertunangan mereka kemarin. Mereka tak bisa menyembunyikan kelegaan akan hubungan mereka yang sudah masuk ke jenjang yang lebih serius. Kedua pihak keluarga juga sudah membicarakan persiapan pernikahan mereka yang rencananya akan dilaksanakan dalam beberapa bulan ke depan. Hanya tinggal selangkah lagi untuk benar-benar saling memiliki.Kini Abelia bisa sedikit lebih fokus pada outlet barunya yang sudah dibuka dan beroperasi. Ia sudah mempekerjakan beberapa orang karyawan yang didapatnya dari rekomendasi supplier produk jualannya. Hari-hari yang sibuk akan segera dimulai. Abelia harus membagi waktu antara mengurusi bisnis dan mempersiapkan pernikahan.Namun, Abelia tak merasakan masalah berarti karena ada Arsya yang selalu mendukungnya. Hari itu Arsya menemani Abelia mengunjungi outlet-nya yang dinamakan Abelia Mode. Selain menjual kain, Abelia juga berencana untuk memproduksi pakaian berbahan d
Hari pertunangan Abelia dan Arsya secara resmi tengah berlangsung. Mereka memilih tema garden party sebagai dekorasi. Lantunan musik romantis terdengar dari sebuah band akustik yang berada di salah satu sudut taman. Nada dan melodi yang merdu itu seakan membuat para tamu terhanyut dalam kesyahduan. Keluarga dari kedua belah pihak telah datang. Abelia datang hanya bersama keluarga intinya yang sempat menginap semalam di hotel. Sementara dari pihak keluarga Arsya tidak hanya dihadiri oleh keluarga inti, tetapi juga kerabat dekat termasuk Derry dan Delisha. Semua tamu tampak menikmati suasana pesta yang hangat itu. Arsya dan Abelia berdiri berdampingan di depan sebuah dekorasi hiasan bunga bertuliskan inisial nama keduanya. Mereka mengobrol dengan para kerabat yang sebaya. Setelah para kerabat itu berlalu, Delisha berjalan mendekati Arsya dan Abelia yang tampak sibuk bercanda satu sama lain. Melihat itu, Dikta menyusul karena merasa khawatir Delisha akan membuat
Ini pertama kalinya aku berlibur ke Kupang, Nusa Tenggara Timur. Memang tak salah kalau Arsya ingin mengajak liburan ke sini karena begitu banyak wisata alam yang indah dan memanjakan mata. Kalau sudah mengeksplor keindahan alam biasanya kepenatan akan hilang dan tergantikan dengan ketenangan dan tentu saja munculnya ide-ide baru. Setelah semalaman berisitirahat di hotel, hari pertama kami berkunjung ke Gua Kristal dengan waktu tempuh sekitar 30 menit dari kota Kupang. Awalnya aku ragu untuk masuk karena sebelumnya aku belum pernah mengunjungi gua atau sejenisnya. Namun, setelah akhirnya turun, tak ayal aku mengagumi keindahan Gua Kristal. Di dalamya terdapat air yang berwarna biru kehijauan, sangat unik. Aku dan Arsya mengambil beberapa foto dari berbagai sisi yang memberikan efek berbeda di setiap sudut pengambilan gambar karena perbedaan cahaya. Puas menikmati keindahan Gua Kristal, kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Lasiana yang tak kalah indah.
Hari sudah gelap ketika Abelia dan Arsya tiba di kediaman Hadinata. Rumah besar itu terlihat sepi. Masih dengan perasaan cemas, Abelia mengikuti langkah Arsya masuk ke dalam rumah. Yunita sudah menunggu di ruang tamu dengan penampilannya yang elegan bak putri keraton, seperti biasa.Namun, kali ini ada senyuman di wajah wanita paruh baya itu. Tiba-tiba Abelia merasa tak enak hati karena ia dan Arsya datang dengan tangan kosong. Abelia memang sama sekali tak membawa buah tangan dari Lampung karena ia tak berpikir akan bertemu dengan Arsya kembali, apalagi bertemu Yunita."Lama tidak berjumpa, Abelia," sapa Yunita membuyarkan lamunan Abelia."Ya, Tante," sahut Abelia pelan.Walaupun Yunita bersikap ramah, Abelia masih bisa melihat kesan kaku pada sikap mama Arsya itu. Abelia berkesimpulan bahwa memang begitu watak Yunita karena pada Arsya pun begitu sikapnya. Melihat Abelia masih berdiri di tempatnya, Arsya membimbing wanita itu untu
Setahun mengurusi online shop di Lampung, begitu banyak perkembangan yang patut aku syukuri. Sejak delapan bulan lalu, aku sudah mendirikan sebuah outlet tak jauh dari rumahku. Sengaja aku membuatnya agar aku juga bisa menjual produk secara offline dan mempekerjakan penduduk setempat sebagai karyawan.Aku sudah memiliki beberapa orang karyawan untuk mengurusi usahaku secara online dan offline. Selain itu, aku juga menambah produk jualanku berupa kain tapis (kain tenun Lampung) yang bisa bernilai mahal. Kini penjualanku mulai merambah ke negara tetangga. Hal yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya.Ibu sangat bahagia melihat keberhasilanku. Di sela bekerja, aku juga sering mengisi seminar yang masih berhubungan dengan UMKM. Karena banyak tawaran seminar yang berasal dari Jakarta dan akupun berniat membuka cabang outlet di sana secara serius, maka aku memutuskan untuk kembali menetap di ibu kota negara tersebut.Awalnya ibu berat melepasku kemba