Melalui dinding kaca ruangan kantornya, Arsya memandangi langit yang terlihat begitu cerah. Sudah jam makan siang, namun Arsya belum beranjak dari kursinya. Pikirannya melayang lagi pada Abelia. Penampilan wanita itu tidak terlihat misterius seperti yang terlintas dalam pikirannya sebelum mereka bertemu. Abelia cantik dan berpenampilan menarik, seperti banyak wanita yang ia temui. Tubuh wanita itu mungil dan wajahnya terlihat lebih muda dari usianya.
Rasa penasaran yang sudah singgah di sudut hati Arsya saat pertama kali mengenal Abelia melalui situs kencan online semakin kuat saat mereka bertemu. Dari dua kali pertemuan mereka, Arsya tetap melihat ada keanehan atau ada hal yang disembunyikan oleh Abelia meski wanita itu tak terlihat misterius. Dan entah kenapa, Abelia selalu mengingatkan Arsya pada masa kecilnya. Hal itu yang membuat Arsya ingin mengenal wanita itu lebih jauh.
Lamunan Arsya terhenti ketika ponselnya berdering. Sebuah nomor yang tak dikenalnya. Ia berpikir itu dari koleganya, tapi ternyata bukan.
“Halo, Mas Arsya.” Suara lembut seorang gadis terdengar di seberang sana ketika Arsya mengangkat telepon.
“Mas, Ini Delisha. Aku sudah sampai, ya. Aku tunggu Mas Arsya di sini,” lanjut gadis itu lagi.
“Ya, sebentar lagi saya ke sana,” jawab Arsya.
Arsya baru ingat bahwa ia ada janji makan siang dengan Delisha di sebuah kafe dekat kantornya. Nomor baru gadis itu bahkan belum disimpannya. Delisha baru saja kembali dari Balikpapan. Ia ingin berjumpa dengan Arsya dengan alasan ingin bertukar pikiran soal pekerjaan karena selanjutnya ia akan kembali menetap di Jakarta. Sebenarnya Arsya enggan menemuinya. Tapi Delisha juga menelepon Yunita, sehingga Yunita pun meminta Arsya untuk menemui gadis itu. Arsya menuruti mamanya. Tentu saja karena ia tak ingin ada drama kalau ia menolak. Lagi pula ini hanya sebuah makan siang biasa, pikir Arsya.
Delisha tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arah Arsya yang sedang berjalan menuju mejanya. Arsya hanya membalasnya dengan senyum tipis. Mereka kemudian duduk berhadapan dan saling berdiam diri untuk beberapa saat. Bahkan saat memesan makanan pun Arsya tak berbasa-basi kepadanya. Delisha bersungut dalam hati.
Apa pria itu akan selalu bersikap dingin padanya? Seharusnya Arsya menanyakan kabarnya karena mereka sudah lama tak bertemu. Tapi apa yang diharapkannya? Arsya sepertinya memang tak pernah menganggapnya. Delisha pun mengalah untuk menanyakan kabar Arsya terlebih dahulu, meski yang didapatnya hanya jawaban singkat dari pria itu.
“Perusahaan yang Mas pimpin sekarang makin berkembang, ya.” Delisha mencoba membuka obrolan.
Kembali Arsya hanya tersenyum tipis menanggapinya.
“Mas Arsya hebat banget. Sudah menjadi direktur di perusahaan besar, punya bisnis beberapa brand terkenal juga.”
Kali ini Arsya tertawa kecil mendengar komentar Delisha. Selanjutnya mereka tak banyak bicara saat pesanan mereka sudah terhidang. Sambil menikmati makanannya, Delisha memandangi wajah Arsya. Setelah beberapa tahun tak bersua, Arsya terlihat semakin tampan di matanya. Jantungnya berdegup. Delisha kini sudah menjadi wanita dewasa. Perasaannya mulai tak menentu saat menatap pria yang sudah dikaguminya sejak dulu itu.
“Aku sebenarnya ingin bekerja di PT. Vibrant Indo Manufacture supaya aku bisa kerja di bawah pimpinan Mas Arsya, tapi Mas bilang sedang tidak ada lowongan. Jadi untuk sementara, aku bekerja di perusahaan papa sambil mempelajari perkembangan bisnis di Jakarta saat ini, sebelum coba apply lamaran
ke perusahaan lain.” Delisha menjelaskan. “Menurut Mas Arsya bagaimana?”“Bagus juga begitu. Lagi pula, perusahaan papa kamu kan juga sudah mulai berkembang.” Arsya mencoba menanggapi.
Delisha tertawa. “PT. Laksmana Abadi hanya perusahaan kecil, Mas. Banyak orang mungkin tidak pernah mendengar nama perusahaan papa itu. Keinginanku adalah bekerja di perusahaan besar.”
Arsya mengangguk-angguk mendengar penjelasan Delisha. Mereka kembali saling tak bicara. Delisha sedikit merasa kesal pada Arsya yang bersikap dingin padanya, hanya menanggapi sesekali dan tak pernah mencoba memulai obrolan. Namun, Delisha berusaha memaklumi karena ia sudah sejak dulu mengetahui sifat Arsya. Tiba-tiba tebersit di hatinya untuk menyinggung soal perjodohan mereka di masa kecil.
“Mas Arsya ingat tidak kita pernah dijodohkan semasa kecil?” Meski awalnya ragu, akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari bibir Delisha setelah mereka selesai makan.
Lagi, hanya anggukan yang diberikan oleh pria itu.
Mata Delisha menerawang. “Aku masih ingat bagaimana kita dulu bermain bareng Mas Arsen sewaktu kecil. Mas Arsen suka usil sama aku, tapi Mas Arsya selalu membelaku.”
Senyum mengembang di bibir gadis itu menceritakan kenangan masa kecilnya bersama Arsya dan Arsen, kakak Arsya. Ia tak peduli Arsya menanggapi perkataannya atau tidak. Ia hanya berusaha membangun komunikasi lebih intens dengan Arsya. Kalau memang pria di hadapannya itu sangat sulit membuka hati, maka ia akan memulai lebih dulu. Tak ada salahnya jika wanita memulai, kan?
“Apa Mas Arsya pernah terpikir untuk mungkin kita menjalani hubungan di saat dewasa? Maksudku walaupun perjodohan itu hanya di masa kecil, bukan berarti setelah dewasa kita tidak bisa menjalin hubungan, kan?”
Raut wajah Arsya berubah mendengar perkataan Delisha. Sebelumnya, di setiap pertemuan mereka beberapa tahun lalu, Delisha sama sekali tak pernah menyinggung soal perjodohan masa kecil itu, apalagi mencoba mengajaknya menjalin hubungan. Sementara itu, Delisha hanya tersenyum melihat perubahan raut wajah pria yang duduk berseberangan dengannya itu.
“Maaf, Delisha. Saya tidak pernah memikirkan tentang hal itu.” Arsya membuka suara. “Bagi saya perjodohan masa kecil itu hanya gurauan antara kedua orang tua kita yang bersahabat. Bukan suatu hal yang sungguh-sungguh.”
Kini giliran raut wajah Delisha yang berubah, sedikit tak suka mendengar perkataan Arsya. Gurauan? Arsya menganggap perjodohan masa kecil mereka hanya sebagai gurauan? Delisha tersenyum pahit. Namun ia tahu bahwa ia tak akan menyerah.
“Memangnya sekarang Mas Arsya sudah punya pacar, ya?” tanya Delisha.
Arsya hanya menggeleng. Hening sesaat ketika pramusaji datang mengangkati peralatan makan mereka. Arsya segera membayar bill.
“Kenapa Mas Arsya sampai saat ini belum terpikir untuk mencari pendamping? Kalau boleh tahu, bagaimana kriteria wanita idaman Mas Arsya?” cecar Delisha lagi.
“Saya tidak punya kriteria wanita idaman. Kalau sudah bertemu dengan wanita yang tepat, berarti dialah pendamping hidup saya. Tapi saat ini saya belum menemukannya. Lagi pula, saya masih sangat sibuk dengan pekerjaan saya,” jelas Arsya.
Arsya berharap Delisha mengerti dan tak lagi membicarakan tentang wanita seperti apa yang diinginkan olehnya. Sebuah notifikasi pesan mengalihkan pikiran Arsya. Ia membuka pesan dari seseorang yang ditunggunya sejak beberapa hari lalu, lantas tersenyum ketika membaca sederet kata dalam pesan itu. Weird woman. Arsya tak sabar menelepon wanita itu—untuk memastikan isi pesan—ketika ia sudah berada di kantornya nanti.
“Kalau begitu—”
“Maaf, Delisha. Saya harus kembali ke kantor sekarang.” Arsya menyela ucapan Delisha. Ia menoleh sekilas, lalu bangkit dari kursinya dan beranjak meninggalkan gadis itu yang masih membuka mulutnya.
Delisha menghela napas kasar. Bisa-bisanya Arsya meninggalkan gadis cantik sepertinya begitu saja, bahkan saat ia belum sempat menyelesaikan perkataannya. Ia berusaha menyabarkan hatinya sambil memandangi punggung Arsya yang berlalu. Kemudian ia mengalihkan pandangannya. Ia memang merasa kesal pada Arsya, namun ia belum bisa menghilangkan perasaannya pada pria itu.
Sungguh Delisha tak percaya bahwa ia bisa sangat menginginkan Arsya hingga kini. Sebagai seorang gadis muda yang cantik, bukan tak banyak pria yang mendekatinya. Termasuk si pengusaha batu bara, bos perusahaan tempatnya bekerja di Balikpapan kemarin. Namun entah kenapa ia selalu berharap pada Arsya. Pria itu adalah gambaran suami idamannya dari berbagai sisi. Seharusnya perjodohan masa kecil itu memudahkan mereka untuk bersama saat dewasa. Namun ternyata tidak dan Delisha benci kenyataan itu.
***
Gelap. Kubiarkan mataku terpejam dan untuk menambah pekat, aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Berharap kegelapan ini dapat menelanku. Tapi aku tahu itu tak mungkin. Sepertinya aku memang harus menghadapi problematika hidup ini. Rasanya aku ingin menjadi tokoh dalam cerita romance yang permasalahannya hanya seputar cinta dan hal picisan lainnya. Tidak sepertiku yang harus menghadapi pelik karena masalah finansial. Tawaran dari Arsya sudah terlanjur menerima. Namun, aku memilih sebutan perjanjian kami ini sebagai Relationship Contract dan Arsya menyetujuinya. Kami sudah berjanji untuk bertemu besok di restoran tempat dua pertemuan kami sebelumnya. Aku menghela napas sambil memikirkan apa yang harus kupersiapkan agar pria itu tak menjebakku nantinya. Ah, benar. Kontrak! Aku harus membuat kontrak. Kontrak perjanjian kubuat ke dalam dua lembar kertas berukuran A4. Lembar pertama berisi penjelasan tentang pelaku kontrak. Lembar kedua berisi poin-poin ketentuan dariku. Sungguh a
Abelia tak punya pilihan lain. Ia sudah terlanjur menandatangani kontrak perjanjian menjadi sugar baby tersebut. Maka ia pun terpaksa mengikuti permainan Arsya. Hari itu Pak Luki—sopir keluarga sekaligus orang kepercayaan Arsya—datang membantu Abelia pindah dari indekos ke apartemen baru yang disediakan oleh Arsya di kawasan Sudirman, Jakarta. Sepeninggalan Pak Luki, Abelia mulai menyusun barang-barang di apartemen barunya. Apartemen itu memiliki satu kamar tidur all in dilengkapi kamar mandi dan dapur mini, serta area ruangan untuk menonton TV yang dibatasi dengan partisi berupa lemari sebagai pemisah dengan area tempat tidur. Meski hanya berupa apartemen studio, Abelia tahu harga unit apartemen itu sangat mahal karena berada di salah satu kawasan pusat bisnis ibu kota. Selesai berkemas, sore itu Abelia memutuskan untuk tidur sebentar. Malam nanti, Arsya sudah bilang akan datang menemuinya. Kebetulan ada beberapa hal yang ingin Abelia diskusikan, salah satunya adalah nominal uang bu
Kala itu aku masih berumur 6 tahun dan kakakku, Ruben, berumur 10 tahun. Kami sedang bermain di taman dekat rumah dengan anak-anak lainnya. Lelah bermain, Ruben mengajakku pulang. Ibu sedang tak ada di rumah, ia pergi selama beberapa hari ke rumah kerabat yang sedang mengadakan pesta, dengan membawa serta adikku, Dikta. Seharusnya hanya ada ayah di rumah. Tapi siang itu ayah tak sendiri.Setelah memasuki pagar yang tak terkunci, aku dan Ruben seperti mendengar suara-suara aneh. Kami menajamkan pendengaran, ternyata berasal dari kamar ayah dan ibu yang berada di bagian depan rumah. Ruben pun mengajakku mendekati kamar ayah dan ibu untuk memastikan. Dari balik tanaman hias yang mulai meninggi, kami mengintip melalui jendela kaca yang tirainya sedikit terbuka. Ayah sedang bersama seorang wanita, tapi bukan ibu.Ayah dan wanita itu bergumul di atas ranjang dengan desahan-desahan yang terdengar menjijikkan di telingaku. Saat itu, aku tak tahu persis apa yang mereka lakukan,
Jalanan ibu kota tak terlalu padat di akhir pekan. Arsya melajukan mobilnya dengan kecepatan lumayan tinggi, namun tak terburu-buru. Kami sama-sama mengenakan pakaian kasual hari ini. Meski berpakaian kasual, Arsya tetap terlihat seperti orang berada. Aku memandangi wajah pria di sampingku itu. Walaupun dia menyebalkan, aku harus mengakui bahwa dia memang sangat tampan. “Kenapa menatap saya seperti itu?” tanya Arsya tanpa menoleh. Aku berdehem. “Tidak. Saya hanya ingin memastikan bahwa kamu memang orang yang dapat dipercaya. Tentang kontrak perjanjian kita, saya harap kamu tidak melanggarnya." Arsya tersenyum. “Tenang saja. Saya adalah orang yang bisa dipercaya, makanya saya bisa menjadi direktur di usia muda." “Kamu terlalu jemawa," cibirku. “Semuanya akan lebih mudah kalau saat itu kamu hanya meminjamkan uang pada saya, tanpa meminta saya menandatangani kontrak menyebalkan itu." “Saya sudah bilang kalau saya hanya meminjamkan uang padamu, maka tidak ada keuntungannya bagi saya.
Arsya masih sibuk berkutat dengan pekerjaannya siang itu meski sudah jam makan siang. PT, Vibrant Indo Manufacture, perusahaan yang dipimpinnya telah dipercaya sebagai pemasok alat berat bagi pembangunan jalan tol di Sumatera Barat yang akan dikerjakan oleh Mahawira Contractors. Perusahaan konstruksi swasta itu adalah milik Azkaa, kerabat jauhnya. Mereka sudah bertemu untuk membicarakan kerja sama yang telah mereka sepakati. Proyek baru saja dimulai dan Arsya masih terus mempelajari konsep pembangunan jalan tol itu sebagai penyesuaian data untuk menentukan alat berat yang dibutuhkan. Juga memikirkan risiko jika alat berat yang direncanakan terkendala, perusahaannya harus menyediakan alternatif. Sebagai perusahaan manufaktur yang sudah dikenal namanya, tentu saja Arsya tak ingin PT. Vibrant Indo Manufacture salah perhitungan. “Pak, ada tamu yang ingin bertemu. Namanya Pak Derry Laksmana.” Sekretaris Arsya menelepon. Arsya berdecak pelan, namun ia tetap mempers
Rinai hujan semakin deras di luar sana, namun lalu lintas di bawahnya tetap terlihat padat. Kendaraan di jalan raya penuh sesak dan tampak tak bergerak. Aku memandangi semua itu dari jendela kaca apartemenku. Kupikir malam ini Arsya tak akan datang. Macet dan hujan, sudah pasti menjadi alasan bagi orang-orang yang telah lelah bekerja seharian ingin segera sampai di kediaman mereka untuk beristirahat. Namun ternyata aku salah. Setengah jam kemudian Arsya datang, dengan senyum dan binar di wajahnya. Seolah ada yang ingin dia sampaikan. Seperti biasa, dia akan mengajakku makan sebelum memulai obrolan. Menurutnya, suasana hatiku selalu lebih baik saat perutku kenyang. Padahal saat ini aku sedang tidak lapar karena sudah makan malam tadi. Tapi aku tak bisa menolak harum ramyeon yang kami pesan secara delivery. “Saya baca status kamu di aplikasi chat itu tadi siang.” Arsya membuka obrolan setelah kami selesai makan dan duduk di sofa sambil menonton TV. “Lalu?” “Ayo, kita pergi naik flyin
Deluxe room dengan twin bed di hotel ini terlihat cukup nyaman, meski tak terlalu mewah. Tetapi berdasarkan review di internet, ini adalah salah satu hotel terbaik di Puncak, Bogor. Aku mendesah. Tak pernah kusangka seumur hidupku aku akan berada dalam satu kamar hotel dengan seorang pria yang belum lama kukenal, meski dengan ranjang terpisah. Kupersilakan Arsya untuk mandi terlebih dahulu selama aku membereskan barang-barangku. Untung saja aku membawa baju ganti, underwear, dan handuk dalam tasku. Hal itu selalu kupersiapkan jika bepergian ke luar kota—meski tak berencana menginap—untuk mengantisipasi hal-hal tak terduga seperti ini. Aku tak suka memakai handuk yang disediakan oleh hotel, lebih suka memakai handuk yang kubawa sendiri. Seandainya membawa bed sheet tak cukup merepotkan, mungkin aku pun akan membawa bed sheet milikku sendiri. Aku menoleh sekilas pada Arsya yang sudah selesai mandi dan berganti baju, langsung merebahkan diri di salah satu ranjang. Berge
Seorang wanita muda berjalan dengan penuh percaya diri memasuki gedung kantor PT. Vibrant Indo Manufacture. Kemeja body fit dan rok span yang dikenakannya semakin menampakkan lekuk tubuhnya yang berisi. Sepasang high heels hitam di kakinya menghasilkan irama beraturan setiap kali ia menjejakkan kaki jenjangnya ke lantai.Binar di mata wanita itu menunjukkan bahwa ia sedang dalam suasana hati yang baik dan bersemangat. Ia mengulum senyum. Kalau dengan cara pendekatan personal ia tak bisa meluluhkan pria yang dikaguminya, maka ia akan menggunakan pekerjaan sebagai sarana untuk mendekati sang pujaan hati.Setelah berbicara sebentar dengan resepsionis di lobi, ia pun menaiki lift untuk mencapai lantai tempat di mana ruangan Direktur Utama berada. Saat akan memasuki ruangan tersebut, langkahnya terhenti karena sekretaris direktur memanggilnya. Wanita itu menghela napas. Sungguh ia malas untuk melakukan percakapan bertele-tele sekadar sebagai formalitas.Sementara itu
Hello, MELODI ABELIA readers! Thank you so much for reading love story of Abelia and Arsya. Hope you like it. Cerita ini memang bukan tema populer, tapi aku menyukainya. Tema novel ini memang sedikit dark dengan mengangkat isu kesehatan mental dan konflik keluarga yang pelik. Di sini hampir setiap tokohnya melakukan kesalahan, tidak ada yang sempurna. Masing-masing memiliki sisi baik dan buruk, juga memiliki keterikatan dengan masa lalu. Masing-masing tokoh juga mengalami perkembangan karakter.Terlepas dari kelebihan dan kekurangan dari novel ini, semoga kamu bisa mengambil pelajaran di dalamnya, ya. Semoga juga bisa menjadi bacaan yang menghibur dan berkesan. That's it. Thank you and see you. With Love,Author Remahan Croissant NOTE: JANGAN MENJIPLAK KARYA INI SEBAGIAN ATAUPUN SELURUHNYA. SANK
Sekian tahun berlalu. Abelia terbangun di pagi hari karena sinar mentari yang mengintip dari sela tirai jendela kaca. Segera ia beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya, ia melihat kalender. Ia tak akan pernah lupa pada tanggal itu. Hari ulang tahun Arsya, pria yang sangat dan akan selalu ia cintai. Perlahan Abelia menghela napas. Sambil menyunggingkan senyum, ia beranjak ke kamar anaknya. Putranya yang bernama Abizhar, berumur 5 tahun. Putrinya yang bernama Aubrie, berumur 3 tahun. Abelia segera membangunkan mereka untuk mandi dan bersiap-siap. Karena mereka sulit sekali dibangunkan, Abelia menciumi pipi mereka hingga terbangun. "Ayo, bangun. Hari ini ulang tahun papa," ucap Abelia. Abizhar dan Aubrie segera bangkit dari ranjang mungil mereka masing-masing. "Oh, ya. Hari ini ulang tahun papa!" seru mereka. "Apakah kita akan menemui papa hari ini, Ma?" tanya Abizhar. "Tentu saja, Sayang. Makanya mandi, biar cepat bertemu papa." Abelia tersenyum. "Ayo, mandi, M
Penantian Arsya berakhir sudah. Hari bahagianya bersama Abelia yang sempat tertunda kini telah terwujud. Sebuah hari bahagia di mana ia dan sang kekasih akhirnya mengucap ikrar suci dan janji untuk saling setia dalam ikatan pernikahan. Mereka mengikuti semua prosesi pernikahan yang sakral dalam suasana syahdu. Para tamu yang hadir pun ikut terlarut. Ijab kabul dan prosesi adat telah selesai dilakukan. Sekarang saatnya mereka bersanding di pelaminan mengebakan sepasang gaun pengantin hasil rancangan desainer ternama. Arsya terlihat semakin tampan dalam balutan tuxedo berwarna putih, sedangkan Abelia mengenakan gaun panjang sederhana berwarna putih yang terlihat mewah dengan taburan payet di bagian dada. Para tamu mengagumi keelokan penampilan mereka. Ditambah dengan dekorasi pernikahan yang didominasi dengan warna putih semakin membuat suasana pesta pernikahan itu begitu agung. Arsya menoleh pada Abelia, wanita yang sudah sah menjadi istrinya. Keel
Kebekuan melingkupi Abelia dan Arsya sepanjang perjalanan. Setibanya di apartemen Abelia pun mereka masih saling berdiam diri tanpa sepatah kata terucap. Sambil menahan air mata, Abelia menatap Arsya. Mereka saling menatap dalam diam dengan pandangan yang redup. Suasana yang dingin pun tercipta. Semua kebahagiaan yang terjadi pada mereka belakangan ini seolah lenyap begitu saja. Abelia merasa dia harus kembali mengulang masa-masa sakit, tetapi kali ini lebih perih. Masa lalu yang kelam kembali datang menghampiri. Membuat luka yang sudah hampir sembuh kini menganga kembali. "Arsya," panggil Abelia pelan. "Lebih baik kita akhiri hubungan ini." Perlahan Abelia melepaskan cincin tunangan yang melekat di jari manisnya. Melihat itu, Arsya menahannya dan menggeleng. "Aku tidak mau, Abelia." "Lalu maumu bagaimana? Tetap menjalani hubungan sampai ke pernikahan setelah semua fakta itu?" cecar Abelia. Sejenak Arsya terdiam, lantas mengangguk. "Bagaimana mungkin aku bisa menikah dengan seora
Suasana bahagia masih meliputi hati Abelia dan Arsya sejak hari pertunangan mereka kemarin. Mereka tak bisa menyembunyikan kelegaan akan hubungan mereka yang sudah masuk ke jenjang yang lebih serius. Kedua pihak keluarga juga sudah membicarakan persiapan pernikahan mereka yang rencananya akan dilaksanakan dalam beberapa bulan ke depan. Hanya tinggal selangkah lagi untuk benar-benar saling memiliki.Kini Abelia bisa sedikit lebih fokus pada outlet barunya yang sudah dibuka dan beroperasi. Ia sudah mempekerjakan beberapa orang karyawan yang didapatnya dari rekomendasi supplier produk jualannya. Hari-hari yang sibuk akan segera dimulai. Abelia harus membagi waktu antara mengurusi bisnis dan mempersiapkan pernikahan.Namun, Abelia tak merasakan masalah berarti karena ada Arsya yang selalu mendukungnya. Hari itu Arsya menemani Abelia mengunjungi outlet-nya yang dinamakan Abelia Mode. Selain menjual kain, Abelia juga berencana untuk memproduksi pakaian berbahan d
Hari pertunangan Abelia dan Arsya secara resmi tengah berlangsung. Mereka memilih tema garden party sebagai dekorasi. Lantunan musik romantis terdengar dari sebuah band akustik yang berada di salah satu sudut taman. Nada dan melodi yang merdu itu seakan membuat para tamu terhanyut dalam kesyahduan. Keluarga dari kedua belah pihak telah datang. Abelia datang hanya bersama keluarga intinya yang sempat menginap semalam di hotel. Sementara dari pihak keluarga Arsya tidak hanya dihadiri oleh keluarga inti, tetapi juga kerabat dekat termasuk Derry dan Delisha. Semua tamu tampak menikmati suasana pesta yang hangat itu. Arsya dan Abelia berdiri berdampingan di depan sebuah dekorasi hiasan bunga bertuliskan inisial nama keduanya. Mereka mengobrol dengan para kerabat yang sebaya. Setelah para kerabat itu berlalu, Delisha berjalan mendekati Arsya dan Abelia yang tampak sibuk bercanda satu sama lain. Melihat itu, Dikta menyusul karena merasa khawatir Delisha akan membuat
Ini pertama kalinya aku berlibur ke Kupang, Nusa Tenggara Timur. Memang tak salah kalau Arsya ingin mengajak liburan ke sini karena begitu banyak wisata alam yang indah dan memanjakan mata. Kalau sudah mengeksplor keindahan alam biasanya kepenatan akan hilang dan tergantikan dengan ketenangan dan tentu saja munculnya ide-ide baru. Setelah semalaman berisitirahat di hotel, hari pertama kami berkunjung ke Gua Kristal dengan waktu tempuh sekitar 30 menit dari kota Kupang. Awalnya aku ragu untuk masuk karena sebelumnya aku belum pernah mengunjungi gua atau sejenisnya. Namun, setelah akhirnya turun, tak ayal aku mengagumi keindahan Gua Kristal. Di dalamya terdapat air yang berwarna biru kehijauan, sangat unik. Aku dan Arsya mengambil beberapa foto dari berbagai sisi yang memberikan efek berbeda di setiap sudut pengambilan gambar karena perbedaan cahaya. Puas menikmati keindahan Gua Kristal, kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Lasiana yang tak kalah indah.
Hari sudah gelap ketika Abelia dan Arsya tiba di kediaman Hadinata. Rumah besar itu terlihat sepi. Masih dengan perasaan cemas, Abelia mengikuti langkah Arsya masuk ke dalam rumah. Yunita sudah menunggu di ruang tamu dengan penampilannya yang elegan bak putri keraton, seperti biasa.Namun, kali ini ada senyuman di wajah wanita paruh baya itu. Tiba-tiba Abelia merasa tak enak hati karena ia dan Arsya datang dengan tangan kosong. Abelia memang sama sekali tak membawa buah tangan dari Lampung karena ia tak berpikir akan bertemu dengan Arsya kembali, apalagi bertemu Yunita."Lama tidak berjumpa, Abelia," sapa Yunita membuyarkan lamunan Abelia."Ya, Tante," sahut Abelia pelan.Walaupun Yunita bersikap ramah, Abelia masih bisa melihat kesan kaku pada sikap mama Arsya itu. Abelia berkesimpulan bahwa memang begitu watak Yunita karena pada Arsya pun begitu sikapnya. Melihat Abelia masih berdiri di tempatnya, Arsya membimbing wanita itu untu
Setahun mengurusi online shop di Lampung, begitu banyak perkembangan yang patut aku syukuri. Sejak delapan bulan lalu, aku sudah mendirikan sebuah outlet tak jauh dari rumahku. Sengaja aku membuatnya agar aku juga bisa menjual produk secara offline dan mempekerjakan penduduk setempat sebagai karyawan.Aku sudah memiliki beberapa orang karyawan untuk mengurusi usahaku secara online dan offline. Selain itu, aku juga menambah produk jualanku berupa kain tapis (kain tenun Lampung) yang bisa bernilai mahal. Kini penjualanku mulai merambah ke negara tetangga. Hal yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya.Ibu sangat bahagia melihat keberhasilanku. Di sela bekerja, aku juga sering mengisi seminar yang masih berhubungan dengan UMKM. Karena banyak tawaran seminar yang berasal dari Jakarta dan akupun berniat membuka cabang outlet di sana secara serius, maka aku memutuskan untuk kembali menetap di ibu kota negara tersebut.Awalnya ibu berat melepasku kemba