Arsya masih sibuk berkutat dengan pekerjaannya siang itu meski sudah jam makan siang. PT, Vibrant Indo Manufacture, perusahaan yang dipimpinnya telah dipercaya sebagai pemasok alat berat bagi pembangunan jalan tol di Sumatera Barat yang akan dikerjakan oleh Mahawira Contractors. Perusahaan konstruksi swasta itu adalah milik Azkaa, kerabat jauhnya. Mereka sudah bertemu untuk membicarakan kerja sama yang telah mereka sepakati.
Proyek baru saja dimulai dan Arsya masih terus mempelajari konsep pembangunan jalan tol itu sebagai penyesuaian data untuk menentukan alat berat yang dibutuhkan. Juga memikirkan risiko jika alat berat yang direncanakan terkendala, perusahaannya harus menyediakan alternatif. Sebagai perusahaan manufaktur yang sudah dikenal namanya, tentu saja Arsya tak ingin PT. Vibrant Indo Manufacture salah perhitungan.
“Pak, ada tamu yang ingin bertemu. Namanya Pak Derry Laksmana.” Sekretaris Arsya menelepon.
Arsya berdecak pelan, namun ia tetap mempersilakan tamunya masuk. Sebenarnya Arsya sedang tak ingin diganggu karena banyaknya pekerjaan. Ia bahkan tak berniat makan siang. Namun ia segan menolak tamunya karena Derry Laksmana adalah juga kerabat dari ibunya sekaligus ayah dari Delisha. Arsya tersenyum tipis ketika pria paruh baya itu memasuki ruangannya. Ia mempersilakan Derry duduk dengan isyarat tangan.
“Sepertinya saya mengganggu kamu, Arsya. Kamu terlihat sangat sibuk,” sapa Derry.
“Ya, sedang banyak pekerjaan. Tapi tidak apa-apa, Pak.” Arsya kembali tersenyum.
“Masih saja kamu panggil saya Bapak. Panggil saja Om atau kalau kamu mau memanggil saya Papa seperti Delisha juga tidak apa-apa.” Derry berusaha terlihat akrab untuk mencairkan suasana.
Arsya tertawa kecil. “Baik, Om Derry. Ada yang saya bisa bantu, Om? Sepertinya Om ada perlu sehingga menyempatkan diri singgah ke sini di hari kerja.”
Derry berdehem. “Ya, memang ada perlu. Ada hal yang ingin saya bicarakan tapi bukan tentang pekerjaan.”
“Lalu?” Arsya mengernyit.
“Tentang Delisha.”
“Ada apa dengan Delisha?” tanya Arsya sambil kembali menatap layar laptopnya.
“Delisha bilang kamu menganggap perjodohan masa kecilmu dengannya hanya gurauan.”
Mendengar itu, Arsya menoleh. Namun dia tak mengatakan apa-apa. Apa perlu membicarakan hal-hal pribadi di kantor? Lagi pula itu pembicaraannya dengan Delisha, pembicaraan anak muda. Kenapa pula Derry mencampurinya
“Delisha bersedih karena kamu mengatakan hal itu, menolak untuk menjalin hubungan dengannya, juga karena kamu bersikap dingin padanya. Dia sangat menyukaimu, Arsya. Meski banyak lelaki yang menginginkannya, dia tetap memilih kamu,” lanjut Derry.
Tak tahu harus menjawab apa, Arsya masih dalam kediamannya.
Mata Derry menerawang. “Delisha adalah putri saya satu-satunya. Bagi saya kebahagiaan Delisha adalah kebahagiaan terbesar saya. Saya tidak ingin melihatnya kecewa, apalagi sejak kepergian ibunya beberapa tahun lalu.”
Arsya menghela napas. Rasanya ia ingin menggaruk kepalanya karena bingung harus menanggapi apa. Derry terlihat begitu melankolis menceritakan tentang Delisha seolah Arsya sudah menyakiti putrinya itu.
“Maaf, Om. Saya rasa pembicaraan antara saya dan Delisha biar menjadi urusan kami saja. Juga tentang saya yang bersikap dingin pada Delisha, itu tidak saya sengaja. Dan tentang saya menolak ajakan Delisha untuk menjalin hubungan, saya rasa juga tidak perlu dibicarakan karena itu urusan personal saya,” ujar Arsya.
“Tapi ini menyangkut Delisha. Tentu saja menjadi urusan saya juga,” tukas Derry.
Kening Arsya berkerut. “Tapi saya tidak pernah menyakiti Delisha karena saya tidak pernah memberikan harapan apa-apa padanya,” tegasnya.
“Memang kamu tidak memberikan harapan apa-apa padanya. Namun kamu menoreh luka di hatinya karena kamu mengatakan bahwa perjodohan itu adalah gurauan.” Derry tak mau kalah.
Arsya membuka mulutnya, namun mengatupkannya lagi. Ia mengalihkan pandangannya sambil memegangi keningnya, begitu bingung dengan logika berpikir lelaki paruh baya di hadapannya itu. Lebih baik ia diamkan saja.
“Sebenarnya saya ke sini juga ingin memberikanmu penawaran,” tutur Derry lagi.
“Penawaran apa, Om?” tanya Arsya sekadar untuk terlihat sopan.
“Bagaimana kalau kamu menikah dengan Delisha?”
Kembali Arsya menghela napas dan mengalihkan pandangannya. Namun beberapa saat kemudian ia berusaha tersenyum kepada kerabatya itu.
“Saat ini saya belum siap untuk menikah, Om.”
Derry mengangguk. “Tidak apa-apa. Kamu dan Delisha saling melakukan pendekatan saja dulu.”
Arsya mengunci suaranya lagi, kehabisan kata-kata.
“Kamu ingat saya pernah meminjam uang dalam jumlah yang cukup besar padamu dulu untuk mendirikan perusahaan saya?” tanya Derry yang hanya dijawab anggukan oleh Arsya.
PT. Laksmana Abadi, perusahaan oursourcing swasta milik Derry yang baru saja berdiri saat itu membutuhkan dana untuk tambahan modal. Derry meminjam uang pada Arsya. Dengan alasan kerabat dan Arsya juga mampu, maka Arsya meminjamkannya. Berkat uang pinjaman dari Arsya itu, PT. Laksmana Abadi kini mulai berkembang meski masih terbilang perusahaan kecil.
“Saya belum sanggup untuk melunasi semua utang saya padamu, Arsya. Maka dari itu, sebagai gantinya, saya ingin menikahkan Delisha denganmu.”
Sambil kembali menatap layar laptopnya, Arsya tertawa kecil. “Tidak apa-apa kalau Om belum bisa melunasinya. Jangan jadikan anak Om tebusan untuk membayar utang-utang Om.”
“Saya tidak menjadikan Delisha sebagai tebusan!” tukas Derry. “Kamu pikir saya seperti orang tua di drama-drama itu menjodohkan anaknya karena utang? Saya menawarkan kamu untuk menikahi Delisha karena Delisha juga menyukai kamu. Saya bukan orang tua yang sadis!”
Kini Arsya tak kuasa untuk tak menggaruk kepalanya. Sungguh Arsya bingung. Bukankah orang tua ini sendiri tadi yang mengatakan bahwa ia ingin menikahkan anaknya dengan Arsya karena ia tak mampu melunasi utang? Kenapa sekarang ia berkelit?
“Maaf kalau saya salah bicara, Om.” Arsya memilih mengalah. “Tapi tentang menikahi Delisha, mohon maaf saya tidak bisa. Dan tentang utang Om, kalau Om belum bisa melunasi saat ini, tidak apa-apa.”
“Kenapa kamu tidak bisa menikahi Delisha?” cecar Derry.
“Karena saya tidak memiliki perasaan padanya.”
“Kalau soal perasaan, nanti setelah menikah juga kalian bisa saling mencintai.”
“Ini bukan di drama-drama, Om. Perasaan tidak bisa dipaksa,” balas Arsya menyindir perkataan Derry tadi.
“Tentu saja bisa kalau terbiasa. Kamu tidak akan menyesal jika menikahi Delisha.” Derry bersikeras.
Arsya menembuskan napas kasar. “Sebaiknya saya jujur saja pada Om bahwa saya sudah punya pacar.”
Orang yang dimaksud oleh Arsya sebagai pacar itu adalah Abelia. Meski bukan pacarnya, paling tidak Abelia adalah wanita yang sedang didekatinya saat ini. Arsya terpaksa sedikit berbohong untuk menghentikan desakan Derry agar ia menikahi Delisha.
“Pacar? Sejak kapan?” Derry mengernyit.
“Om tidak perlu tahu karena bukan urusan Om,” sahut Arsya.
Derry tersenyum sinis. “Memangnya seperti apa pacar kamu itu?”
“Sudah saya bilang bukan urusan Om.”
“Bukannya apa-apa, Arsya. Wanita sekarang banyak yang menjadi gold-digger, sukanya menguras harta pria kaya sepertimu. Sangat langka wanita yang memiliki tabiat baik di zaman sekarang ini, salah satunya adalah putri saya Delisha. Dia adalah gadis yang santun, tulus, dan memegang kuat adat ketimuran. Kamu akan merasa rugi jika tidak memilihnya sebagai istri.” Derry menasihati.
Arsya berdehem. “Terima kasih atas petuahnya, Om,” sindirnya. “Apakah Om ada keperluan lain? Kalau tidak ada, mohon beri saya waktu untuk melanjutkan pekerjaan saya.” Ia menyunggingkan senyumnya.
Mendengar ucapan Arsya, raut ketidaksukaan muncul di wajah Derry.
“Baik, saya akan segera pergi. Saya juga banyak pekerjaan. Permisi,” ujarnya seraya bangkit dan beranjak meninggalkan ruangan Arsya begitu saja.
Sepeninggalan pria paruh baya itu, Arsya menyandarkan tubuhnya di kursi sambil mengembuskan napas kasar. Buyar sudah konsentrasinya untuk bekerja. Ia telah menghabiskan waktunya yang sangat berharga untuk mendengarkan omong kosong yang berputar-putar. Arsya geleng-geleng kepala.
Sekilas, ia menoleh pada layar laptopnya. Lebih baik dilanjutkan nanti saja karena kini perutnya pun sudah terasa lapar. Ia menutup laptopnya dan bermaksud pergi makan siang. Namun sebelum beranjak, ia mengambil ponselnya. Sesaat ia terpaku membaca status di aplikasi chat dari gadis yang dijulukinya Weird Woman.
[Pengen naik flying fox tapi takut.]
Senyum mengembang di bibirnya. Mengingat Abelia selalu bisa membuat suasana hatinya menjadi baik lagi. Wanita itu ingin naik flying fox? Kebetulan sekali. Kemarin Arsya berencana ingin mengajaknya bepergian di akhir pekan nanti tapi dia belum mendapat ide ke mana atau melakukan apa. Namun sekarang Arsya sudah tahu jawabannya.
***
Rinai hujan semakin deras di luar sana, namun lalu lintas di bawahnya tetap terlihat padat. Kendaraan di jalan raya penuh sesak dan tampak tak bergerak. Aku memandangi semua itu dari jendela kaca apartemenku. Kupikir malam ini Arsya tak akan datang. Macet dan hujan, sudah pasti menjadi alasan bagi orang-orang yang telah lelah bekerja seharian ingin segera sampai di kediaman mereka untuk beristirahat. Namun ternyata aku salah. Setengah jam kemudian Arsya datang, dengan senyum dan binar di wajahnya. Seolah ada yang ingin dia sampaikan. Seperti biasa, dia akan mengajakku makan sebelum memulai obrolan. Menurutnya, suasana hatiku selalu lebih baik saat perutku kenyang. Padahal saat ini aku sedang tidak lapar karena sudah makan malam tadi. Tapi aku tak bisa menolak harum ramyeon yang kami pesan secara delivery. “Saya baca status kamu di aplikasi chat itu tadi siang.” Arsya membuka obrolan setelah kami selesai makan dan duduk di sofa sambil menonton TV. “Lalu?” “Ayo, kita pergi naik flyin
Deluxe room dengan twin bed di hotel ini terlihat cukup nyaman, meski tak terlalu mewah. Tetapi berdasarkan review di internet, ini adalah salah satu hotel terbaik di Puncak, Bogor. Aku mendesah. Tak pernah kusangka seumur hidupku aku akan berada dalam satu kamar hotel dengan seorang pria yang belum lama kukenal, meski dengan ranjang terpisah. Kupersilakan Arsya untuk mandi terlebih dahulu selama aku membereskan barang-barangku. Untung saja aku membawa baju ganti, underwear, dan handuk dalam tasku. Hal itu selalu kupersiapkan jika bepergian ke luar kota—meski tak berencana menginap—untuk mengantisipasi hal-hal tak terduga seperti ini. Aku tak suka memakai handuk yang disediakan oleh hotel, lebih suka memakai handuk yang kubawa sendiri. Seandainya membawa bed sheet tak cukup merepotkan, mungkin aku pun akan membawa bed sheet milikku sendiri. Aku menoleh sekilas pada Arsya yang sudah selesai mandi dan berganti baju, langsung merebahkan diri di salah satu ranjang. Berge
Seorang wanita muda berjalan dengan penuh percaya diri memasuki gedung kantor PT. Vibrant Indo Manufacture. Kemeja body fit dan rok span yang dikenakannya semakin menampakkan lekuk tubuhnya yang berisi. Sepasang high heels hitam di kakinya menghasilkan irama beraturan setiap kali ia menjejakkan kaki jenjangnya ke lantai.Binar di mata wanita itu menunjukkan bahwa ia sedang dalam suasana hati yang baik dan bersemangat. Ia mengulum senyum. Kalau dengan cara pendekatan personal ia tak bisa meluluhkan pria yang dikaguminya, maka ia akan menggunakan pekerjaan sebagai sarana untuk mendekati sang pujaan hati.Setelah berbicara sebentar dengan resepsionis di lobi, ia pun menaiki lift untuk mencapai lantai tempat di mana ruangan Direktur Utama berada. Saat akan memasuki ruangan tersebut, langkahnya terhenti karena sekretaris direktur memanggilnya. Wanita itu menghela napas. Sungguh ia malas untuk melakukan percakapan bertele-tele sekadar sebagai formalitas.Sementara itu
Jika cermin di depanku ini bisa bicara, aku akan bertanya padanya. Apakah aku sudah terlihat cantik? Sekali lagi aku mematut penampilanku. Dari pantulan cermin kulihat dress selutut berwarna maroon dengan kerah sabrina membalut tubuhku. Lalu riasan wajah natural dan rambut sebahuku yang kubiarkan tergerai. Mungkin bukan penampilan yang sempurna untuk sebuah kencan, tetapi setidaknya bisa membuatku merasa percaya diri. Sore tadi Arsya meneleponku. Dia bilang akan menjemputku malam ini untuk makan malam di sebuah restoran fine dining. Katanya sudah lama dia ingin mengajakku berkencan. Dan aku tak merasa perlu menolak kencan yang hanya berupa makan malam bersama. Selama Arsya masih mengajakku ke tempat umum, maka tak ada masalah. Lagi pula, sudah lama aku tidak makan di restoran mahal. Setelah mengenakan high heels, aku duduk di sofa menunggunya. Sesekali aku bersenandung untuk menghilangkan bosan. Tak berapa lama, Arsya datang menjemputku. Aku bangkit seraya mengambil tas yang kuletakk
Secercah sinar masuk, memberi penglihatan di sepasang mata bening yang mulai terbuka. Dengan pandangan samar, Abelia berusaha menguasai dirinya. Tepat di atasnya, ia melihat rahang tegas pria itu. Abelia mencoba melihat ke sekeliling. Sekian detik kemudian, ia menyadari bahwa Arsya tengah menggendong tubuhnya dan mereka masih berada di atas rooftop hotel. Tampaknya ia pingsan hanya sekejap tadi.Mau ke mana Arsya membawanya? Jantung Abelia berdegup memikirkan kemungkinan bahwa pria itu akan membawanya ke salah satu kamar hotel. Ia memang pernah tidur sekamar dengan Arsya, tapi waktu itu dalam keadaan terdesak dan mereka tidur di ranjang terpisah. Kali ini bisa saja Arsya akan macam-macam padanya. Menyadari hal tersebut, Abelia pun memberontak.“Lepaskan saya, Arsya! Turunkan saya!”Arsya tersentak mendengar suara dari wanita yang digendongnya. Seulas senyum terukir di di wajah pria itu. Ia pun menghentikan langkah.“Kamu sudah sadar, Abe
Memulai usaha ternyata tak semudah yang dikatakan oleh para motivator dalam sebuah seminar. Bisnis online saat ini sudah menjamur, berbagai jenis barang bisa ditemukan pada e-commerce. Kalau menjual barang yang pasaran, maka akan kalah bersaing dengan para produsen yang kerap kali menjual produk mereka dengan harga murah di marketplace. Aku harus mencari produk yang unik untuk kujual. Namun sampai sekarang aku belum menemukan ide ingin menjual apa. Saat aku tengah sibuk menjelajah internet untuk mencari inspirasi, ada pesan masuk dari Arsya mengatakan bahwa ia akan datang. Aku memperbolehkannya. Sebenarnya aku sedang tak ingin bertemu siapa pun. Namun kontrak yang mengikat di antara kami kadang membuatku tak enak untuk menolak kedatangannya. Setengah jam kemudian Arsya tiba. Seperti biasa, dia mengajakku makan bersama setelah memesan makanan secara delivery. “Abelia, Selasa nanti mama saya ulang tahun,” ujar Arsya. “Lalu?” “Bagaimana kalau hari ini ka
Suara bising televisi yang menyala di ruang tengah tak mengganggu dua anak laki-laki yang sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Mata Arsen tak beralih dari konsol game di tangannya, sementara Arsya masih fokus membaca komik Detective Conan sambil bersandar di sofa. Seorang asisten rumah tangga datang membersihkan remah-remah sisa camilan mereka, lalu kembali ke dapur setelah mematikan televisi. Bosan bermain game, Arsen menguap sambil meletakkan konsol game begitu saja ke atas karpet. Dengan senyum usil di bibir, ia meraih sebuah mobil-mobilan berukuran mini dan melemparkannya ke arah Arsya. Sang adik tak membalas, hanya memandang kakaknya dengan raut wajah kesal kemudian lanjut membaca. Arsen terbahak melihat kekesalan Arsya. “Arsya, main di luar, yuk.” Arsen berkata sambil mengunyah camilan yang masih tersisa di atas meja. “Main ke mana?” tanya Arsya acuh tak acuh. “Mama bilang di rumah saja. Banyak penculik di luar.” Arsen terbahak lagi. “Man
Memiliki teman, kerabat, sekaligus rekan bisnis yang sebaya merupakan suatu hal yang menyenangkan, apalagi jika sefrekuensi. Setidaknya itulah pertemanan yang terjadi antara Arsya dan Azkaa. Mereka memang tak bisa dibilang cukup dekat, tetapi saat bertemu biasanya mereka bisa membicarakan apa saja termasuk soal pekerjaan hingga hal personal. Mereka sering kali sepemikiran dan sepemahaman. Hari itu Azkaa mengajak Arsya bertemu di sela jam makan siang. Sebagai sesama penyuka kopi, tentu saja mereka memilih coffee shop sebagai tempat bersua. Azkaa bermaksud membicarakan beberapa hal, termasuk soal tindakan Delisha yang menemui Arsya beberapa waktu lalu. Meski sudah meminta maaf pada Arsya lewat telepon, Azkaa ingin menjumpai temannya itu sekalian bercengkerama. “Siang, Pak Bos,” sapa Arsya pada Azkaa yang telah duduk menunggunya. Azkaa yang tadi menatap layar ponsel menoleh, lantas tertawa. “Sendirinya juga bos.” Arsya balas tertawa seraya duduk di kursi
Hello, MELODI ABELIA readers! Thank you so much for reading love story of Abelia and Arsya. Hope you like it. Cerita ini memang bukan tema populer, tapi aku menyukainya. Tema novel ini memang sedikit dark dengan mengangkat isu kesehatan mental dan konflik keluarga yang pelik. Di sini hampir setiap tokohnya melakukan kesalahan, tidak ada yang sempurna. Masing-masing memiliki sisi baik dan buruk, juga memiliki keterikatan dengan masa lalu. Masing-masing tokoh juga mengalami perkembangan karakter.Terlepas dari kelebihan dan kekurangan dari novel ini, semoga kamu bisa mengambil pelajaran di dalamnya, ya. Semoga juga bisa menjadi bacaan yang menghibur dan berkesan. That's it. Thank you and see you. With Love,Author Remahan Croissant NOTE: JANGAN MENJIPLAK KARYA INI SEBAGIAN ATAUPUN SELURUHNYA. SANK
Sekian tahun berlalu. Abelia terbangun di pagi hari karena sinar mentari yang mengintip dari sela tirai jendela kaca. Segera ia beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya, ia melihat kalender. Ia tak akan pernah lupa pada tanggal itu. Hari ulang tahun Arsya, pria yang sangat dan akan selalu ia cintai. Perlahan Abelia menghela napas. Sambil menyunggingkan senyum, ia beranjak ke kamar anaknya. Putranya yang bernama Abizhar, berumur 5 tahun. Putrinya yang bernama Aubrie, berumur 3 tahun. Abelia segera membangunkan mereka untuk mandi dan bersiap-siap. Karena mereka sulit sekali dibangunkan, Abelia menciumi pipi mereka hingga terbangun. "Ayo, bangun. Hari ini ulang tahun papa," ucap Abelia. Abizhar dan Aubrie segera bangkit dari ranjang mungil mereka masing-masing. "Oh, ya. Hari ini ulang tahun papa!" seru mereka. "Apakah kita akan menemui papa hari ini, Ma?" tanya Abizhar. "Tentu saja, Sayang. Makanya mandi, biar cepat bertemu papa." Abelia tersenyum. "Ayo, mandi, M
Penantian Arsya berakhir sudah. Hari bahagianya bersama Abelia yang sempat tertunda kini telah terwujud. Sebuah hari bahagia di mana ia dan sang kekasih akhirnya mengucap ikrar suci dan janji untuk saling setia dalam ikatan pernikahan. Mereka mengikuti semua prosesi pernikahan yang sakral dalam suasana syahdu. Para tamu yang hadir pun ikut terlarut. Ijab kabul dan prosesi adat telah selesai dilakukan. Sekarang saatnya mereka bersanding di pelaminan mengebakan sepasang gaun pengantin hasil rancangan desainer ternama. Arsya terlihat semakin tampan dalam balutan tuxedo berwarna putih, sedangkan Abelia mengenakan gaun panjang sederhana berwarna putih yang terlihat mewah dengan taburan payet di bagian dada. Para tamu mengagumi keelokan penampilan mereka. Ditambah dengan dekorasi pernikahan yang didominasi dengan warna putih semakin membuat suasana pesta pernikahan itu begitu agung. Arsya menoleh pada Abelia, wanita yang sudah sah menjadi istrinya. Keel
Kebekuan melingkupi Abelia dan Arsya sepanjang perjalanan. Setibanya di apartemen Abelia pun mereka masih saling berdiam diri tanpa sepatah kata terucap. Sambil menahan air mata, Abelia menatap Arsya. Mereka saling menatap dalam diam dengan pandangan yang redup. Suasana yang dingin pun tercipta. Semua kebahagiaan yang terjadi pada mereka belakangan ini seolah lenyap begitu saja. Abelia merasa dia harus kembali mengulang masa-masa sakit, tetapi kali ini lebih perih. Masa lalu yang kelam kembali datang menghampiri. Membuat luka yang sudah hampir sembuh kini menganga kembali. "Arsya," panggil Abelia pelan. "Lebih baik kita akhiri hubungan ini." Perlahan Abelia melepaskan cincin tunangan yang melekat di jari manisnya. Melihat itu, Arsya menahannya dan menggeleng. "Aku tidak mau, Abelia." "Lalu maumu bagaimana? Tetap menjalani hubungan sampai ke pernikahan setelah semua fakta itu?" cecar Abelia. Sejenak Arsya terdiam, lantas mengangguk. "Bagaimana mungkin aku bisa menikah dengan seora
Suasana bahagia masih meliputi hati Abelia dan Arsya sejak hari pertunangan mereka kemarin. Mereka tak bisa menyembunyikan kelegaan akan hubungan mereka yang sudah masuk ke jenjang yang lebih serius. Kedua pihak keluarga juga sudah membicarakan persiapan pernikahan mereka yang rencananya akan dilaksanakan dalam beberapa bulan ke depan. Hanya tinggal selangkah lagi untuk benar-benar saling memiliki.Kini Abelia bisa sedikit lebih fokus pada outlet barunya yang sudah dibuka dan beroperasi. Ia sudah mempekerjakan beberapa orang karyawan yang didapatnya dari rekomendasi supplier produk jualannya. Hari-hari yang sibuk akan segera dimulai. Abelia harus membagi waktu antara mengurusi bisnis dan mempersiapkan pernikahan.Namun, Abelia tak merasakan masalah berarti karena ada Arsya yang selalu mendukungnya. Hari itu Arsya menemani Abelia mengunjungi outlet-nya yang dinamakan Abelia Mode. Selain menjual kain, Abelia juga berencana untuk memproduksi pakaian berbahan d
Hari pertunangan Abelia dan Arsya secara resmi tengah berlangsung. Mereka memilih tema garden party sebagai dekorasi. Lantunan musik romantis terdengar dari sebuah band akustik yang berada di salah satu sudut taman. Nada dan melodi yang merdu itu seakan membuat para tamu terhanyut dalam kesyahduan. Keluarga dari kedua belah pihak telah datang. Abelia datang hanya bersama keluarga intinya yang sempat menginap semalam di hotel. Sementara dari pihak keluarga Arsya tidak hanya dihadiri oleh keluarga inti, tetapi juga kerabat dekat termasuk Derry dan Delisha. Semua tamu tampak menikmati suasana pesta yang hangat itu. Arsya dan Abelia berdiri berdampingan di depan sebuah dekorasi hiasan bunga bertuliskan inisial nama keduanya. Mereka mengobrol dengan para kerabat yang sebaya. Setelah para kerabat itu berlalu, Delisha berjalan mendekati Arsya dan Abelia yang tampak sibuk bercanda satu sama lain. Melihat itu, Dikta menyusul karena merasa khawatir Delisha akan membuat
Ini pertama kalinya aku berlibur ke Kupang, Nusa Tenggara Timur. Memang tak salah kalau Arsya ingin mengajak liburan ke sini karena begitu banyak wisata alam yang indah dan memanjakan mata. Kalau sudah mengeksplor keindahan alam biasanya kepenatan akan hilang dan tergantikan dengan ketenangan dan tentu saja munculnya ide-ide baru. Setelah semalaman berisitirahat di hotel, hari pertama kami berkunjung ke Gua Kristal dengan waktu tempuh sekitar 30 menit dari kota Kupang. Awalnya aku ragu untuk masuk karena sebelumnya aku belum pernah mengunjungi gua atau sejenisnya. Namun, setelah akhirnya turun, tak ayal aku mengagumi keindahan Gua Kristal. Di dalamya terdapat air yang berwarna biru kehijauan, sangat unik. Aku dan Arsya mengambil beberapa foto dari berbagai sisi yang memberikan efek berbeda di setiap sudut pengambilan gambar karena perbedaan cahaya. Puas menikmati keindahan Gua Kristal, kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Lasiana yang tak kalah indah.
Hari sudah gelap ketika Abelia dan Arsya tiba di kediaman Hadinata. Rumah besar itu terlihat sepi. Masih dengan perasaan cemas, Abelia mengikuti langkah Arsya masuk ke dalam rumah. Yunita sudah menunggu di ruang tamu dengan penampilannya yang elegan bak putri keraton, seperti biasa.Namun, kali ini ada senyuman di wajah wanita paruh baya itu. Tiba-tiba Abelia merasa tak enak hati karena ia dan Arsya datang dengan tangan kosong. Abelia memang sama sekali tak membawa buah tangan dari Lampung karena ia tak berpikir akan bertemu dengan Arsya kembali, apalagi bertemu Yunita."Lama tidak berjumpa, Abelia," sapa Yunita membuyarkan lamunan Abelia."Ya, Tante," sahut Abelia pelan.Walaupun Yunita bersikap ramah, Abelia masih bisa melihat kesan kaku pada sikap mama Arsya itu. Abelia berkesimpulan bahwa memang begitu watak Yunita karena pada Arsya pun begitu sikapnya. Melihat Abelia masih berdiri di tempatnya, Arsya membimbing wanita itu untu
Setahun mengurusi online shop di Lampung, begitu banyak perkembangan yang patut aku syukuri. Sejak delapan bulan lalu, aku sudah mendirikan sebuah outlet tak jauh dari rumahku. Sengaja aku membuatnya agar aku juga bisa menjual produk secara offline dan mempekerjakan penduduk setempat sebagai karyawan.Aku sudah memiliki beberapa orang karyawan untuk mengurusi usahaku secara online dan offline. Selain itu, aku juga menambah produk jualanku berupa kain tapis (kain tenun Lampung) yang bisa bernilai mahal. Kini penjualanku mulai merambah ke negara tetangga. Hal yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya.Ibu sangat bahagia melihat keberhasilanku. Di sela bekerja, aku juga sering mengisi seminar yang masih berhubungan dengan UMKM. Karena banyak tawaran seminar yang berasal dari Jakarta dan akupun berniat membuka cabang outlet di sana secara serius, maka aku memutuskan untuk kembali menetap di ibu kota negara tersebut.Awalnya ibu berat melepasku kemba