Kenangan masa laluku tiba-tiba memenuhi pikiranku. Seperti sebuah kaset yang diputar ulang. Aku melihat kembali saat malam terakhir dimana aku melihat ibuku. Dia menyuruhku berlari dengan cepat dan tanpa berpikir apapun aku berlari sekuat tenaga. Aku segera menoleh kearahnya saat kudengar suara teriakan ibuku yang menjerit kesakitan. Dan saat itu juga kulihat jantung ibuku di tangan Rogue itu. Mereka menariknya keluar dengan paksa dan menghancurkannya. Malam itu malam yang paling mengerikan dalam hidupku. Kenapa ingatan ini kembali berputar di otakku?
Aku menangis dan berteriak memanggil Ibuku. Semuanya terlihat gelap, satu cahaya membuatku mendongak. Namun tiba-tiba wajah Kelly dan puterinya muncul di hadapanku. Mereka menyeringai jahat sambil membawa cambuk yang biasa mereka gunakan untuk menyiksaku. Rasa sakit langsung menyebar ke seluruh tubuhku. Aku bisa dengar suara cambukan itu dengan keras dan lagi-lagi punggungku di dera kesakitan. Aku duduk dengan pasrah, masih dengan air mata yang berlinang. Pandanganku sempat memburam. Tiba tiba aku merasakan tangan besar mendekap tubuhku. Suara serak milik Jack terdengar dibalik tubuhku. Membuat tubuhku bergetar saat bibirnya yang terasa basah menciumi leherku. Laki-laki itu membisikkan sesuatu di telingaku, ”Kau milikku hari ini”. Dan tubuhku langsung tersentak.Aku terbangun dengan keringat dingin mengalir dari seluruh pori-pori tubuhku. Mataku masih terpejam, aku mulai panik saat tak bisa membukanya. Seperti ada sesuatu yang sengaja dipasang seseorang untuk menutup mataku. Ditengah rasa panik yang melandaku, aku segera menyadari aroma asing yang memenuhi indra penciumanku. Aroma aneh yang membuatku sejenak melupakan segala rasa panikku. Baunya seperti bau rerumputan dan bunga lavender yang sangat harum. Begitu memabukkan, membuatku tak tak pernah merasa cukup menghirup aromanya. Masih dalam kondisi berbaring, aku berusaha untuk tetap tenang. Aku bisa rasakan alas tidurku yang terasa empuk dan hangat, berbeda dengan lantai dingin tempatku biasa berbaring. Aku kembali ke ingatan terakhirku, saat aku melompat ke jurang. Kupikir aku akan mati, tapi nyatanya sekarang aku masih diberi kesempatan untuk bernapas. Kurasa aku masih hidup sekarang. Tentang mataku, kupikir aku sudah kehilangan penglihatanku saat terjatuh dalam jurang. Merasakan tak ada sedikit pun ancaman, perlahan kugerakkan jari jemariku, mengelus alas tenpatku berbaring yang terasa lembut. “Kau sudah sadar?” Suara bariton itu terdengar cemas sekaligus lega. Menyadari seseorang berada di sampingku membuatku tersentak. Seolah mengenal suaranya, serigala dalam kepalaku segera berteriak. Memanggil pria asing itu untuk pertama kalinya.“Mate!” teriak Lucy keras di kepalaku. Membuatku segera menyadari dan mengenali pria asing itu hanya dari aromanya. Pantas saja aromanya berbeda dengan werewolf lainnya. Aku mengerang saat kepalaku mendadak terasa sakit. Ingatanku tentang mimpi yang baru saja aku lihat terputar kembali di otakku. Semua terasa mengerikan ditambah kegelapan yang melingkupiku. Aku tak tau apa yang terjadi pada tubuhku. Dadaku terasa begitu sesak dan napasku tercekat. Dengan cepat aku bangkit, mengerang pelan merasakan kepalaku yang berdenyut hebat.“Tenanglah! Atur napasmu pelan-pelan!” Suara bariton itu terdengar panik. Aku bisa merasakan sisi ranjangku yang melesak sebelum sebuah tangan besar meraih tubuhku. Aroma lavender yang memabukkan memenuhi penciumanku. Pria itu berusaha memelukku dengan hati-hati, namun aku justru semakin panik saat merasakan gerakannya yang semakin mendekat. Aku tahu pria itu mungkin tak ada niatan jahat padaku. Namun apa yang dilakukannya sama sekali tidak membantu. Aku yakin dia hanya berusaha menenangkanku, tapi pelukannya justru mengingatkanku pada Jack yang berusaha melecehkanku. Aku berusaha meronta, melepaskan diri dari pelukannya. Dadaku terasa sangat sesak seperti tak ada oksigen yang mau masuk dalam paru-paruku. Tanganku mulai bergerak, memukul-mukul dadaku dengan keras. Berharap dengan begitu udara mau mengisi rongga dalam dadaku.“Hei, jangan sakiti dirimu seperti ini!” Suara pria itu semakin panik. Tangan besarnya yang hangat terasa melingkari kedua tanganku. Bisa kurasakan percikan-percikan aneh saat kulit kami bersentuhan secara langsung. Namun itu tak membantuku mengurangi rasa sesak di dadaku. Aku masih berusaha melanjutkan aksiku dan cengkraman tangan pria itu semakin erat di pergelangan tanganku.“Ada apa Dave?” Suara lembut wanita diiringi suara langkah kaki terdengar mendekat. Menyadari kehadiran sosok lain membuatku jantungku semakin berdetak tak normal. Apa dia datang untuk menyiksaku. Sekelebat pemikiran buruk membuat dadaku semakin sesak.“Dia menjadi seperti ini setelah dia bangun,” jawab pria itu masih berusaha menenangkanku. Aku masih berusaha meronta, meraung kesakitan dan berusaha melepaskan cengkraman tangannya. Aku merasa begitu bingung dan panik. Rasa sesak dalam dadaku juga sama sekali belum berkurang. Sebuah tangan yang mendarat di atas kepalaku membuatku sejenak terdiam. Aku mulai merasa sedikit tenang saat tangan itu mengusap kepalaku perlahan. Itu adalah usapan yang sangat lembut dan penuh kasih sayang. Merasakannya membuatku lebih tenang. Secara perlahan udara mulai masuk ke rongga dadaku. Tangannya yang terasa hangat dan nyaman membuat kesadaranku kian menghilang. Akhirnya tubuhku mulai melemas dan aku kembali terlelap. Mimpi buruk sebelumnya kini berganti dengan mimpi indah.***“Kurasa sebentar lagi dia akan sadar.” Samar-samar kudengar suara seorang wanita yang begitu lembut. Tidak terlalu jelas, karena kesadaranku belum terkumpul seutuhnya.“Tapi ... dia begitu ketakutan tadi. Apa reaksinya akan seperti itu lagi?” Suara bariton itu terdengar .... Membuaku segera mengingat dan merasakan aroma memabukkan miliknya. Sekali lagi serigalaku berteriak memanggilnya, “Mate!” Dan kesadaranku segera terkumpul sepenuhnya. Aku bisa merasakan Lucy, serigala itu melompat-lompat senang di dalam sana.Gelap .... Sejenak aku lupa bahwa aku tidak bisa membuka mata. Ku ulurkan salah satu tanganku, memberitahu bahwa aku sudah terjaga. Aku terkejut saat sebuah tangan yang cukup besar menarik tangaanku dan menggenggamnya erat. “Kau sudah bangun?” tanya suara itu terdengar senang. Bisa kurasakan percikan percikan itu muncul saat tangan hangatnya menyentuh tanganku. Harusnya aku merasa nyaman, namun dengan cepat kutarik kembali tanganku dan beringsut menjauh. Tidak ada tanda-tanda ancaman bahaya, tapi aku masih terlalu takut untuk mempercayai siapapun saat ini. Benar, aku tidak boleh mengulangi kesalahanku lagi. Setelah tertipu dengan kata-kata manis Kelly, akhirnya aku berakhir di tempat seperti neraka. Aku tidak ingin mengulang hal itu lagi. Aku tidak akan mudah percaya lagi. Walaupun aku tahu pria yang bersamaku saat ini adalah orang yang dipanggil Mate oleh Lucy. Aku belum bisa mempercayainya. Aku belum tahu orang seperti apakah dia. Ditambah lagi keadaanku yang tidak bisa melihat. Aku bisa jadi sasaran empuk untuk dipermainkan.“Bodoh, kenapa kau menarik tanganmu dari mate kita?!” Protes Lucy menggeram kesal. Namun, kuabaikan seperti biasanya. Sebenarnya hubunganku dengan serigalaku memang tidak baik. Sifat kami sangat berbeda seperti dua sisi mata koin. Kami adalah dua hal berbeda yang berada dalam satu wadah. Meskipun begitu, aku tak akan pernah mau berbagi wadah dengan serigalaku. Hanya sekali aku pernah berganti shift dengannya, yaitu saat pertemuan pertama kami. Setelah itu, aku tak sudi lagi membagi tubuh ini dengannya.“Tenanglah sayang, kami tak akan menyakitimu. Kau aman sekarang.” Sebuah tangan mengusap kepalaku lembut, bersamaan dengan penuturan halus dari wanita yang sebelumnya menenangkanku. Tubuhku mulai rileks. Sentuhan wanita ini membuatku seperti kembali merasakan kasih sayang seorang ibu. Aku mengangguk samar tanpa berpikir panjang. Entah kenapa aku merasa bisa percaya padanya sepenuhnya. Seolah aku lupa pengalaman burukku dengan Kelly. Bisa kudengar helaan napas lega dari wanita itu dan aku hanya diam sambil menikmati usapan tangannya di kepalaku. Ya, kuyakin jika Ibuku masih hidup, dia juga akan mengusap kepalaku seperti yang dilakukan wanita yang bersamaku saat ini.“Jadi, siapa namamu?” tanya wanita itu tanpa melepaskan usapan kepalanya. Aku terdiam sejenak, menimbang-nimbang haruskah aku menjawab pertanyaan wanita itu sekarang? Aku memang mempercayainya, tapi apa tidak apa-apa? Aku ingin membuka mulutku untuk bersuara. Namun, sebelum itu terjadi bisa kurasakan tenggorokanku yang terasa begitu kering. Astaga, aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali aku membasahi tenggorokanku.“Minumlah,” kata laki-laki itu yang sepertinya tau apa yang tengah kurasakan. Dingin dari mulut gelas menyentuh bibirku. Menuntunku untuk meneguk habis isi dari gelas itu. Kurasa aku benar-benar kehausan.“Bisa kutau namamu sekarang, sayang?” tanya wanita itu kembali setelah aku selesai menghabiskan minumanku. Dengan suara lirih dan ragu aku menjawabnya, “Le ... Levia Fransia.”“Jadi, apa aku bisa memanggilmu Levi?” tanya wanita itu terdengar senang. Mengangguk setuju, kudengar wanita itu tertawa.
“Namaku Flora, aku adalah dokter yang merawatmu dan ... lebih dari itu ... Aku juga calon ibu mertuamu. Jadi, kau bisa memanggilku mama mulai dari sekarang,” ujar wanita itu membuatku membeku. Dia bilang calon ibu mertua? Mama? Apa itu artinya dia adalah ibu dari laki-laki yang dipanggil mate oleh Lucy?“Levia ... ” panggil laki-laki itu seraya menggenggam tanganku. Mendapat sentuhannya lagi-lagi membuatku tersentak. Dengan spontan aku segera menarik tanganku. Rasa bersalah menggelayutiku setelah itu. Apalagi kurasakan Lucy menggeram marah saat kulakukan itu. Akhirnya kutaruh kembali tanganku, kali ini berusaha menahan diri untuk tidak menariknya lagi saat laki-laki itu berusaha menggenggamnya kembali. Kurasakan usapan wanita itu berhenti kemudian kudengar suara langkah kakinya menjauh dari sini. Aku berusaha duduk dengan tenang. Kurasa hanya tinggal aku dan laki-laki itu disini. Aku pastikan itu, karena hanya ada aromanya saja yang bisa memenuhi ruangan ini. Aku tak bisa mencium aroma wolf lain selain aromanya yang begitu memabukkan disini. Kemampuan seorang werewolf adalah penciuman dan pendengaran yang tajam. Jadi meskipun saat ini aku tak bisa melihat, aku masih bisa mengetahui keberadaan wolf lain disekitarku hanya dengan mencium aroma mereka. Setiap werewolf memiliki aroma yang berbeda beda. Jadi, dengan begitu aku juga bisa menentukan ada berapa wolf yang ada di sekitarku hanya dengan mencium seberapa banyak aroma dari mereka. Tapi , baru kali ini aku mencium aroma yang sangat berbeda. Aromanya begitu harum dan memabukkan. Membuatku kecanduan untuk terus menghirup aroma ini sebanyak-banyaknya. Apalagi Lucy langsung berteriak bahwa pemilik aroma ini adalah mateku, orang yang ditakdirkan oleh Moon goddes untuk menjadi pasangan abadiku.Keheningan menyemuti ruangan ini untuk sesaat, sebelum akhirnya laki-laki yang bisa kusebut sebagai mateku itu kembali bersuara. “Kau lapar?” tanyanya membuatku mengingat bagimana kondisi perutku. Mengangguk pelan, aku sedikit menunduk merasakan rasa hangat yang menjalar di wajahku.Rasanya sudah sangat lama ada seseorang yang bertanya seperti itu. Seakan tahu sedang diperhatikan, perutku mulai meneriakan suaranya. Cukup keras untuk membuatku semakin malu. Entah berapa lama aku tidak makan. Tapi, perutku terasa sangat kosong sekarang.
“Tunggu sebentar,” katanya, melepaskan genggaman tangannya dan suara langkah kakinya yang mulai menjauh. Ada sedikit rasa sedih saat dia menarik kembali tangannya. Namun tak lama kemudian, langkahnya kembali mendekat.“Sekarang buka mulutmu, Sia.” Aku terdiam mendengar permintanya yang lembut. Sedikit tertegun saat mendengar bagaimana dia memanggilku. Sia? Kudengar tadi dia memanggilku Sia? Itu terdengar seperti panggilan kesayangan. Bisa kudengar Lucy yang langsung berteriak girang dalam kepalaku. Aku terdiam sejenak. Kemudian dengan ragu akhirnya aku menuruti kata-katanya. Kubuka mulutku dan dia mulai menyuapiku. Dia terus menyuapiku dengan bubur yang terasa hambar di lidahku, hingga aku yakin semua bubur itu telah masuk seluruhnya ke dalam perutku.“Kau masih lapar?” tanyanya setelah membantuku minum. Aku segera menggeleng, makanan yang diberikannya sudah lebih dari cukup untukku. Tak mungkin jika aku meminta lebih. Tubuhku sedikit menegang saat tangannya yang terasa hangat kembali menggenggam tanganku. Ruangan ini begitu hening sekarang. Tak ada dari kami yang bicara. Laki-laki itu juga sangat diam dari sebelumnya. Membuat suasana berubah sedikit tidak nyaman. Aku jadi merasa seperti gadis yang tak tahu diri. Laki-laki itu sudah menunjukan banyak kebaikannya, tapi aku bahkan sama sekali tak menunjukkan keramahan.“Te ... terimakasih,” ucapku lirih sedikit memberanikan diri. Suaraku cukup lirih, mungkin seperti sebuah bisikan, namun kuyakin dia masih bisa mendengarnya. Laki-laki itu terdiam cukup lama, namun dia menjawabku pada akhirnya.“Untuk apa?” jawabnya atau lebih tepatnya memberiku pertannyaan.“Untuk semuanya” jawabku pelan. Aku sedikit terkejut saat tiba-tiba dia menarik tubuhku dalam pelukannya. Dia memelukku dengan hati-hati kemudian mengusap kepalaku dengan perlahan. Awalnya tubuhku sedikit menegang saat dia mulai memelukku. Tapi tak perlu waktu lama aku mulai merasa tenang dan nyaman. Ya, rasanya sangat nyaman dan aku juga ... merasa aman dalam pelukannya. Dengan jarak yang seperti ini, aku bisa menghirup aromanya yang begitu harum dan memabukkan. Kemudian tanpa sadar aku sudah membenamkan wajahku ke dalam dada bidangnya. Suara geraman yang tertahan membuatku tersadar. Aku cukup terkejut dan buru-buru menjauhkan tubuhku dari mateku. Ya, kurasa sekarang aku akan mulai memanggilnya mateku.“Ma ... maaf,” bisikku sambil menunduk. Merasa malu dengan tindakan bodoh yang baru aku lakukan. Aku baru saja membuat kesalahan. Aku mulai beringsut mundur, menjauhkan tubuhku dari mateku. Namun hal tak terduga terjadi, dia justru semakin mengeratkan pelukannya. Sedikit menarik tubuhku hingga membuatku kembali menabrak dadanya. “Sshh .... Dengar, aku adalah matemu. Kau berhak atas diriku. Dan kau adalah mateku. Aku tidak akan membiarkan siapapun melukaimu, Sia” ucapnya dengan lembut, seperti sebuah janji yang tidak akan dia khianati. Perasaan hangat menyentuh hatiku. Aku tidak tau apakah aku bisa percaya perkataannya. Tapi kata-katanya begitu manis untuk kudengar. Membuat hatiku sejenak luluh karenanya. Aku masih tetap diam. Kubiarkan dia menenggelamkan wajahnya pada leherku dan menghirup aromaku. Namun aku segera memekik tertahan dengan apa yang dia lakukannya tiba-tiba. Dia mencium leherku. Secara spontan aku langsung mendorong tubuhnya menjauh. Tubuhku mulai bergetar, ingatan tentang bagaimana Jack mengecupi leherku dan melecehkanku terulang di kepalaku. Aku ingat jelas bagaimana cara laki-laki brengsek itu menatapku dengan penuh nafsu di matanya. “Kau gila! Kau sudah mendorong mate kita!” teriak Lucy kesal dalam pikiranku. Namun lagi-lagi aku hanya tak menggubrisnya. Aku lebih peduli pada rasa takutku yang mulai memuncak. Aku takut, mungkin dia sedang menatapku dengan tatapan penuh nafsu sekarang. Tatapan yang sama seperti bagaiamana Jack menatapku. Mungkin dia dan Jack sama saja. Mungkin benar dia mateku, tapi mungkin dia juga tidak benar-benar tulus padaku. Tidak mungkin dia akan mencintai gadis yang sudah hancur sepertiku. Apalagi dalam waktu yang sesingkat ini. Dia pasti hanya ingin bermain dengan tubuhku saja. Tidak, bahkan aku tidak tau orang seperti apa dia, dan apa yang ada dalam fikirannya. Gelap, bahkan aku tak bisa melihat apa-apa.“Hei tenangkan dirimu! Jangan samakan mate kita dengan si Jack brengsek itu!” teriak Lucy mengerti apa yang berputar dalam pikiranku. Menghentikan racauan dari kepanikanku. Aku diam terpaku dan mulai mendengarkan perkataan Lucy.“Dia mate kita. Ingat, dia adalah mate kita. Dia tidak akan menyakiti kita,” ucap Lucy berusaha meyakinkanku. Aku hanya terdiam memikirkan setiap kata-katanya. Sebuah usapan lembut di kepalaku membuatku sedikit terkejut untuk sesaat. Menyadarkanku dan menenangkanku saat aromanya bisa kuhirup kembali secara perlahan. “Lihat, dia sangatlah lembut. Ayolah, percayalah pada mate kita!” seru Lucy kesekian kalinya untuk meyakinkanku. Memang benar dia memperlakukanku dengan sangat baik dan lembut. Bahkan usapan tangannya di kepalaku bisa membuatku merasa tenang dan nyaman. Tubuhku sudah merasa rileks sekarang. Kemudian dengan perlahan dia menarik tubuhku kembali ke dalam pelukannya. Aku tak menolaknya, kali ini aku pasrah dan memilih menyamankan diriku disana.“Emm ... Lucy?” panggilku ragu-ragu pada serigalaku. Dia tak menjawabnya, tapi aku yakin jika dia mendengarnya.“Apa aku bisa percaya padanya?” tanyaku pada serigalaku tanpa menunggu Lucy menyahut panggilanku sebelumnya.
“Kau bicara padaku?” sindir Lucy sinis membuatku mendengus kesal. Ya, memang ini pertama kalinya aku bicara pada Lucy setelah sekian lama aku tak pernah menggubrisnya. Seperti yang kukatakan sebelumnya, hubungan kami tidaklah baik. Tapi tidak terlalu buruk juga. Aku hanya masih belum bisa berdamai dengannya atas masalah yang Lucy ciptakan di masalalu.“Tentu saja, siapa lagi yang bernama Lucy di sini,” jawabku dengan nada yang kesal. Ini pertama kalinya aku menunjukkan kekesalanku secara terang-terangan pada serigalaku.“Akhirnya kau bicara juga padaku. Emm ... Tentang mate kita, kau bisa percaya sepenuhnya padanya,” jawab Lucy dengan enteng tanpa ada keraguan sedikit pun.“Kau yakin?” tanyaku memastikan sekali lagi. Dan bisa kurasakan Lucy sedang mendengus kesal padaku. “Berapa kali lagi aku harus mengulang kata-kataku?!” serunya dengan kesal membuatku tak berani bertanya padanya lagi. Senyum kecil terulas di bibirku. Tanpa ragu aku mulai menenggelamkan wajahku di dada mateku dan menghirup aromanya dalam-dalam. Aromanya sangat menenangkan membuatku tak bisa berhenti untuk menghirupnya. Tak lama setelah itu, rasa kantuk menyergapku dengan cepat. Aku berakhir terlelap dalam pelukannya.***Aku kembali terbangun mendengar suara seorang gadis yang sedang bersanandung pelan. Aku berusaha bangkit dari tidurku dan kudengar langkah kaki gadis itu mendekat ke arahku.“Adik ipar sudah bangun?” tanyanya seraya membantuku untuk duduk. Aku sedikit tertegun mendengar dia baru saja memanggilku adik ipar? Tunggu, apa maksudnya?!“Ah ya, namaku Alena Steward. Aku kakaknya Dave,” ucapnya memperkenalkan diri sekaligus menjawab pertanyaan yang bermunculan di otakku. Dia kakak prempuan Dave? Tunggu, tapi siapa itu Dave?!“Dia matemu, bodoh,” seru Lucy bersungut-sungut di dalam kepalaku. Menyadarkanku satu hal penting yang terlewatkan olehku.“Mate? jadi Dave ya namanya?” tanyaku sekali lagi seperti orang bodoh. Lucy tak menanggapinya. Ah, aku lupa jika Lucy benci mengulang kata-katanya. Ok, itu tak jadi masalah. Yang jelas sekarang aku sudah tau n
Kubuka mataku saat kurasakan paparan sinar matahari yang hangat menyentuh wajahku. Aku langsung bangkit begitu menyadari jika ini kamar ini begitu asing bagiku. Dan aku baru sadar setelah mencium aroma yang sangat familiar ini. Ini adalah kamar Dave. Suara langkah kaki yang mendekat membuat jantungku ikut berdetak cepat. Aku langsung menarik selimutku dan meremasnya kuat-kuat saat melihat seseorang yang membuka pintu kamar. Genggaman tanganku mulai mengendur setelah melihat siapa yang datang. Dia adalah Dave. Kulihat dia berjalan kearahku sambil membawa nampan yang berisi makanan.“Selamat pagi,” sapanya sambil menurunkan nampan yang dibawanya di meja. Dia tersenyum dan menatapku hangat.“Pa ... pagi,” jawabku lirih berusaha mengalihkan pandanganku ke arah lain. Bahkan sampai sekarang aku masih belum berani menatapnya lama.“Apa kau masih merasa takut padaku?” tanyanya tiba-tiba membatku langsung
Aku berjalan hendak keluar dari kamarku, dan aku sedikit terkejut melihat gadis kecil itu masih berdiri di depan pintu kamarku. Dia tersenyum saat melihatku membuka pintu lebar. Kurasa gadis itu menungguiku sejak tadi. Aku berjongkok untuk menyamakan tinggiku dengan gadis itu.“Apa kau menungguku dari tadi?” tanyaku lembut dan langsung dibalas dengan anggukan oleh gadis itu. Mendengar jawabannya membuatku merasa begitu bersalah.“Emm ... jadi siapa namamu? tanyaku sambil mengusap lembut kepala gadis itu.“Lily,” jawabnya singkat kembali merekahkan senyum di wajahnya.“Ya. Jadi, kenapa kau menungguku, Lily?”, tanyaku dengan lembut tanpa melepas usapan di kepalanya. Dia kelihatan menyukai apa yang aku lakukan.“Tante Alena menyuruhku mengajak Luna berkeliling kastil,” jawab Lily dengan polos. Aku terkekeh pelan melihat betapa menggemaskan ekspresinya.&ld
Kini kami tengah duduk di sofa kamar kami, tempat dimana Dave setiap malam tidur. Dia sedang mengelus kepalaku dan menciumi rambutku juga keningku dengan penuh kasih sayang dan aku hanya diam masih memikirkan dua anak malang itu. Stiff dan Maro, tidak kusangka anak sekecil mereka sudah harus merasakan sakitnya rasa kehilangan. Aku masih ingat wajah sedih mereka yang begitu terluka, tapi setelah Dave membisikkan sesuatu pada mereka senyum mereka langsung merekah dan kesedihan mereka sirna begitu saja. Sebenarnya apa yang sudah Dave katakan pada mereka? Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku membuatku tak tahan untuk tidak menanyakannya pada Dave. “Dave? ... ” panggilku lirih dan dia mulai menghentikan aktivitasnya. Dia hanya diam tak menjawabku, mungkin menungguku untuk bicara. “Sebenarnya apa yang sudah kau bisikkan pada mereka tadi?” tanyaku tak tahan dengan rasa penasaranku. Dave menatapku dan mulai menyeringai, “Jadi kau penasaran tentang itu?” Aku lang
Aku keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri. Kejadian yang baru saja terjadi tentu saja belum bisa lepas dari pikiranku. Aku tidak tau harus bersikap bagaimana lagi saat nanti bertatap muka dengan Dave. “Adik Ipar! ... umm ... tidak tapi ... Luna!” Panggil Alena yang entah sejak kapan berada di kamarku. Aku sedikit mengerutkan keningku menatap gadis itu dari atas sampai bawah. Alena memang sangat cantik. Bahkan aku mengakui hal itu saat pertama kali melihatnya. Namun kali ini penampilannya sangat berbeda. Gadis itu terlihat sangat anggun dan lebih cantik dengan polesan make up tipis dan gaun warna hijau yang jatuh menjuntai sampai menutup mata kakinya. “Aku membawakan gaun yang akan kau gunakan nanti, dan aku juga akan mendandanimu. Aku yakin mereka semua pasti akan memandangmu dengan kagum nanti. Pokoknya serahkan semuanya padaku,” ucap Alena langsung menarik tanganku dan memilihkan aku gaun yang sudah dibawanya. Mengabaikan aku yang kebingungan deng
Dave menarikku dalam pelukannya dan menenggelamkan wajahnya dalam lekukan leherku. Seusai pesta itu kami menghabiskan waktu di dalam kamar. Aku masih memakai gaun warna putih yang kupakai tadi dan Dave hanya memakai kemeja putihnya. Kami berdiri berhadapan, dengan posisi kami yang kurasa sedikit kurang nyaman. Dave menghirupi aromaku dengan rakus dan aku hanya bisa diam dan menggigit bibir bawahku. Menahan suara aneh yang bisa saja keluar dari mulutku. Hembusan napasnya bisa kurasakan dengan jelas di leherku, menimbulkan efek geli dan berbagai percikan di sana.Aku memekik terkejut saat Dave mulai memainkan lidahnya di leherku. Membuatku langsung mendorongnya. Ingatan buruk terlintas di kepalaku. Jantungku berdetak ketakutan. Dave terlihat begitu terkejut dengan reaksiku. Dan aku langsung merutuki tindakan bodohku itu. Dave mungkin tersinggung dengan perbuatanku. Kudengar Lucy terus berteriak memprotes tindakanku barusan.“Ma ... maaf aku hanya ....”
Aku memutuskan untuk segera kembali ke taman. Perasaanku tidak enak karena meninggalkan anak-anak itu sendiri dalam keadaan terlelap di tempat terbuka. Namun, masih beberapa langkah aku ingin kembali tiba-tiba sebuah sapu tangan diikuti tangan besar membekap mulutku dengan kasar. Mataku segera melebar melihat siapa orang yang melakukan ini semua. Orang yang kupikir sudah lepas dari kehidupanku, ternyata dia kembali untuk menangkapku. “Jack!” Lucy berseru dalam pikiranku. Aku berusaha meronta dan memberontak saat tangan besarnya menarik tubuhku dan menyeretnya pergi. Tapi, apalah daya kekuatanku sama sekali tak berpengaruh padanya. Rasa kantuk yang tiba-tiba menyergapku membuat kegelapan mau tak mau harus menelanku. *** Mataku terasa berat untuk terbuka ditambah kepalaku yang sedikit terasa pening. Apa yang baru saja terjadi? Ingatan terakhirku masih terasa kabur. Namun sebuah suara langsung membuatku tersadar dan mengingat semua dengan jelas
Aku terbangun merasakan rasa sakit di sekujur tubuhku. Mataku melebar menatap sekelilingku. Ingatanku terputar kembali pada kejadian beberapa saat yang lalu. Aku berusaha bangkit dan aku langsung sadar tubuh polosku tak tertutup oleh apapun. Segera kutarik selimut yang ada ranjang milik Kelly dan langsung kubungkus tubuhku dengan selimut itu. Bau anyir memenuhi indra penciumanku. Darah yang masih sangat segar berceceran di lantai bahkan menempel di tubuhku. Air mataku sudah mengalir deras dan hanya suara isak tangisku yang bisa kudengar di ruangan ini. Sulit bagiku mempercayai semua kenyataan ini. Kenyataan bahwa aku sudah membunuh mereka semua dengan kedua tanganku sendiri. Kueratkan pelukanku pada selimut yang membungkus tubuhku dan aku hanya bisa meringkuk di sudut ruangan, di dalam bayang-bayang. “Sia! ... Sia! ... Dimana kau?!” Bisa kudengar dengan jelas suara yang begitu familiar untukku, diikuti suara langkah kaki yang semakin mendekat ke tempatku. Tak s
“Mama, aku ingin bermain keluar! Aku akan pulang sebelum petang!” Teriak seorang bocah laki-laki yang berusia lima tahun yang tampak mengganti kaosnya dengan tergesa.“David, Mama melarangmu pergi! Sudah berkali-kali kuperingtkan jangan bermain ke dalam hutan itu lagi!” teriak seorang wanita dari arah dapur, namun sama sekali tidak di gubris oleh David, nama bocah laki-laki itu.“Aku akan baik-baik saja! Aku sayang Mama dan tante Alena!” teriak David yang sudah berlari keluar dari rumah sederhana miliknya, mengabaikan suara teriakan Ibunya yang terus memanggil namanya.“Dasar, anak itu sama sekali tak mendengarkanku!” Keluh Levia kesal melihat putera semata wayangnya yang tak pernah menurut padanya. Sedang Alena, satu-satunya orang yang sedang bersamanya hanya terkekeh melihat kekesalan adik iparnya.“Sudah biarkan saja. Dia masih pada masa kejayaannya. Jangan terlalu overprotektif padan
Langit tampak cerah dan matahari bersinar terik. Titik-titik peluh mulai menetes dari keningku. Menyirami tanaman bukanlah pekerjaan yang berat, tapi karena usia kandunganku yang sudah tua membuatku cepat kelelahan. Kuhela napas lelahku setelah berhasil duduk di sebuah kursi kayu yang berada di teras depan rumah. Akhirnya setelah sekian lama terlunta-lunta di antara hutan, berpindah dari tempat satu ke tempat lainya, akhirnya kami memutuskan untuk menetap dan berbaur dengan manusia. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat. Setelah hari-hari buruk itu kami akhirnya menemukan tempat yang cukup aman sehingga kami bisa tinggal sedikit lebih lama di sana. Kami menemukan sebuah perkampungan kecil, dimana adat istiadat dan kesederhanaan sangat dijunjung tinggi. Tempat yang dihuni oleh ras manusia dan jauh dari ras werewolf, tentu ini adalah tempat yang paling aman untuk tinggal. Penduduk kampung di sini juga sangat baik dan ramah, mungkin karena itulah aku dan Alena cukup m
Kulitku seperti mati rasa, tak lagi bisa merasakan dingin saat tubuhku berkali-kali menembus kabut dan juga melawan dinginnya angin malam. Aku hanya memejamkan mata sambil mengeratkan pegangan tanganku pada tubuh serigala milik Alena. Seperti apa yang dikatakan Forel, maid yang datang ke pondok kami tadi pagi, kami memutuskan untuk segera meninggalkan tempat persembunyian kami dan segera mencari tempat baru untuk melanjutkan hidup. Tubuhku terasa sangat lelah. Tapi aku tahu Alena jauh lebih lelah dibandingkan dengan diriku. Entah sudah berapa lama dan sejauh apa Alena berlari membawaku. Tapi sejauh ini, belum sekalipun Alena mengeluh ataupun beristirahat sejenak sejak kami meninggalkan pondok itu. Suara Forel masih menggema dalam pikiranku. Jawaban wanita itu terus menghantui kepalaku. Hatiku terasa kosong, dan perasaanku yang sudah hancur kini sudah tidak berbentuk. Hari ini aku sudah kehilangan segalanya. Packku, keluargaku, Putera angkatku, dan juga ... Mateku ...
Langit-langit coklat menjadi pemandangan pertama saat aku membuka mataku. Aroma tanah basah dan juga tumbuhan hijau memenuhi indra penciumanku. Membuatku langsung mengingat dimana tempatku berada. Perlahan aku bangun dan menatap selimut merah yang membukus tubuhku. Dibalik selimut itu pakaianku sudah berganti, bukan lagi pakaian yang kukenakan kemarin. Dan aku juga menemukan lengan kananku yang sudah dibungkus dengan perban. Kurasa Alena yang melakukannya. Kutatap sekelilingku, mencari keberadaan gadis itu. Namun aku tak menemukannya di ruangan ini. “Kak Lena.” Langkahku terhenti saat melihat gadis itu sedang berdiri di depan lemari kayu yang ada di dapur. Pakaian yang dia kenakan sudah berganti lebih baik dari kain lusuh yang sebelumnya. Mendengar panggilanku Alena berbalik, menatapku dengan senyuman khas miliknya. Membuatku tertegun saat melihat senyum di wajah gadis itu. “Kau sudah bangun? Lebih baik kita sarapan sekarang. Ada beberapa buah yang bisa kita makan. M
Mataku membulat, Jantungku terasa berhenti sejenak dan napasku tercekat. Air mataku mengalir deras, mulutku tak mampu bersuara bahkan isak tangisku sama sekali tak terdengar. Semua indraku seolah mati rasa. Kegelapan melingkupiku, mataku tak bisa beralih dari sosok yang bersimbah darah di bawah tangan kotor iblis itu. Hening, aku tak bisa mendengar apapun bahkan detak jantungku sendiri. Karena memang jantungku seperti berhenti berdetak untuk sekarang. Otot-otot sendiku terasa sangat lemas, hingga aku tak memiliki daya sedikit pun untuk bergerak satu senti saja dari tempatku. Kutatap tajam pria itu dengan kedua mataku yang kuyakin sudah gelap seluruhnya. Amarah mengusaiku dan kurasakan Lucy yang semakin liar berusaha mengambil alih tubuhku. Hanya kebencian serta rasa murka yang teramat besar yang mengisi ruang kosong dalam hatiku. “Iblis itu harus mati!” Kalimat itu terus berdengung dalam kepalaku. Rasa murkaku perlahan mengikis logika dan aka
Matanya yang berwarna merah menatapku tajam. Bagai api yang berkobar, hanya dengan tatapannya saja seolah aku sudah hangus terbakar. Dadaku menyempit, paru-paruku terasa terhimpit saat tangan pria berambut perak itu mulai menekan tenggorokanku kuat, mengangkat tubuhku perlahan hingga kakiku mengambang di udara. Pandanganku kian mengabur seiring menipisnya udara yang ada dalam paru-paruku. Air mataku mengumpul di kelopak mata, tak kuat menahan sakit yang menggerogoti tubuhku. Semua terjadi dengan cepat, bahkan sebelum otakku bisa mencerna semuanya. Dobrakan keras sebelumnya mengantarkan seorang pria asing yang memiliki aura yang sangat kuat. Tatapan matanya bagai elang yang mencengkram mangsanya. Kemudian dalam sekejap tubuhku sudah dibawah kendalinya. Tubuhku terasa lemas, sudah berkali kali aku memberontak tapi yang kulakukan hanya menguras tenaga saja. Pria itu menyeringai, mengejek ketidakberdayaanku ditangannya. Sudah terlambat untuk menyelamatkan diri sekarang.
Mataku segera terbuka saat merasakan pergerakan kecil pada tubuhku. Kurasa sesorang seseorang berusaha memindahkan tanganku. Namun aku segera memeluk tubuh Dave kembali setelah orang itu berhasil menyingkirkan tanganku. “Sia, aku membangunkanmu?” suara Dave berbisik pelan. Sepertinya orang yang berusaha menyingkirkan tanganku adalah Dave. Aku mendongakkan kepalaku, menatap wajahnya setelah mengerjapkan mataku beberapa kali “Tidurlah kembali.” Mintanya setelah mengecup keningku sekilas kemudian kembali melingkarkan tangannya di sekeliling tubuhku. Aku melirik kearah jam dinding sekilas. Waktu belum menunjukkan pagi tiba. Tapi kurasa Dave ingin segera melepaskan diri dariku. “Apa aku memelukmu terlalu erat?” tanyaku, memastikan alasan Dave ingin melepaskan diri dariku. “Tidak, bukan begitu,” jawab Dave masih dengan suara yang pelan. “Lalu, kau ingin pergi?” tanyaku kembali, berusaha tetap bernada setenang mungkin. Meskipun rasa takut terus mengg
Mataku perlahan terbuka saat mencium bau tanah yang basah. Hal yang pertama kali kulihat adalah langit mendung yang tertutup oleh daun daun yang lebat. Mataku melebar dan aku segera bangkit saat menyadari tempat ini bukanlah kamarku. Ku abaikan rasa pusing di kepalaku. Dengan panik kuedarkan pandanganku ke segala penjuru. Banyak sekali pohon-pohon besar yang menjulang tinggi di sekitarku. Kemudian aku bisa memastikan bahwa diriku berada di tengah-tengah hutan yang sangat asing untukku. Aku mulai bangkit. Suasana begitu sepi seperti tak ada makhluk hidup lain yang tinggal di sini selain aku dan juga pohon-pohon ini. Kufokuskan indra penciumanku, berusaha mencari bau makhluk lain dihutan ini. Namun tak ada bau apapun yang tercium selain bau khas tanah basah dan juga bau tumbuh tumbuhan yang menyegarkan. Hingga akhirnya samar-samar aku mencium bau yang sangat familiar untukku. Aroma lavender samar-samar tertangkap indra penciumanku. Membuatku langsung mengetahui siapa p
Aku duduk bersandar di kepala ranjang sambil menatap lurus ke depan. Hanya suara jarum jam yang terus beretik yang terdengar di ruangan ini. Jarum jam terus berputar, namun nyatanya waktu berjalan sangat lama. Alice sudah pergi sejak setengah jam yang lalu, meninggalkanku dalam kekacauan di otakku. Apa yang dikatakan Alice masih terus berputar dalam kepalaku. Membuatku merasa kacau sekaligus membuatku menyadari sesuatu. Menyadari seberapa egoisnya diriku. Pintu kamarku terbuka, kulihat gadis bernetra hazel menatapku dengan waspada. Aku hanya melihatnya sekilas, sebelum akhirnya kembali menatap kosong kearah jam dinding yang berada lurus dengan pandanganku. Alena mulai mendekat, dia terlihat khawatir dan juga gelisah. “Apa yang sudah dikatakan Alice?” tanya Alena tanpa berbasa-basi. Aku menatap gadis itu tanpa menjawab pertanyaannya. “Kenapa kalian tidak memberitahuku?” Tanyaku balik, menatapnya dengan tatapan terluka. “Apa yang terjadi di pack? Apa ya