Aku kembali terbangun mendengar suara seorang gadis yang sedang bersanandung pelan. Aku berusaha bangkit dari tidurku dan kudengar langkah kaki gadis itu mendekat ke arahku.
“Adik ipar sudah bangun?” tanyanya seraya membantuku untuk duduk. Aku sedikit tertegun mendengar dia baru saja memanggilku adik ipar? Tunggu, apa maksudnya?! “Ah ya, namaku Alena Steward. Aku kakaknya Dave,” ucapnya memperkenalkan diri sekaligus menjawab pertanyaan yang bermunculan di otakku. Dia kakak prempuan Dave? Tunggu, tapi siapa itu Dave?!“Dia matemu, bodoh,” seru Lucy bersungut-sungut di dalam kepalaku. Menyadarkanku satu hal penting yang terlewatkan olehku. “Mate? jadi Dave ya namanya?” tanyaku sekali lagi seperti orang bodoh. Lucy tak menanggapinya. Ah, aku lupa jika Lucy benci mengulang kata-katanya. Ok, itu tak jadi masalah. Yang jelas sekarang aku sudah tau namanya. “Dave baru saja keluar sekitar satu jam yang lalu. Dia sedang menghadiri pertemuan dengan pack lain. Awalnya dia bersikeras untuk tetap menemanimu disini. Tapi, yah dia tidak bisa meninggalkan tugasnya begitu sajakan? Menjadi seorang Alpha memang tidaklah mudah,” tutur gadis yang baru kuketahui namanya Alena itu membuatku tertegun. Dia baru saja mengatakan bahwa Dave seorang Alpha? Itu artinya mateku seorang alpha?! “Alpha?” gumamku lirih namun masih bisa di dengar Alena. “Kau tidak tau? Dave adalah seorang Alpha di pack kami. Dan ... kau adalah calon Luna kami,” jawab Alena dengan semangat. Aku sedikit terkejut dengan jawaban Alena. Luna?! aku adalah mate seorang Alpha?! Itu jadi sebuah kejutan yang begitu mengejutkan untukku. Dan itu kenyataan yang semakin mengecilkanku. Gadis yang lemah sepertiku tak pantas menjadi pendamping seorang Alpha. Aku bukanlah orang yang tepat ntuk posisi itu. Aku jadi merasa kasihan pada packnya karena mendapat seorang Luna yang payah sepertiku. Begitu juga dengan mateku, mungkin aku hanya akan menjadi aib baginya.“Jangan merasa sedih seperti itu. Kau harus tau, Dave sangat mencintaimu tanpa memandang fisik ataupun kelebihan yang ada pada dirimu. Dave menyukai semua yang ada pada dirimu. Jadi percayalah padanya,” tuturnya seakan tau apa yang ada di pikiraanku. Aku hanya diam dan mengangguk lemah. “Sekarang, aku akan mengobati luka di punggungmu. Cepat lepaskan bajumu dan berbaliklah,” minta Alena padaku. Namun tak segera kulakukan. Aku masih terdiam, ragu melakukan permintaannya.“Tidak apa-apa. Tidak ada orang disini. Aku hanya ingin mengobati lukamu,” kata Alena meyakinkanku. Dan akhirnya aku menuruti permintaannya. Kubuka bajuku dengan hati-hati. Kemudian aku berbalik memunggunginya. Sempat kudengar Alena memekik pelan saat aku menunjukkan punggungku padanya. Aku tidak akan terkejut dengan reaksinya, karena siapapun yang melihatnya pasti juga akan menunjukkan reaksi yang serupa. Aku yakin, bilur-bilur luka baik yang masih merah maupun yang sudah keunguan memenuhi seluruh kulit punggungku. “Apakah sakit?” tanya Alena lirih seraya meraba pelan luka di punggungku. Dari suaranya, aku bisa tau dia pasti merasa prihatin dengan keadaan punggungku. Aku menggeleng dengan cepat dan menjawab dengan pelan, “Tidak, untuk saat ini.”“Aku tidak tau apa yang sudah kau alami selama ini. Tapi semuanya mengkhawatirkanmu,” kata Alena sambil mengobati punggungku dengan hati-hati. Aku masih diam dan menundukkan kepalaku. Aku tak tau harus mengatakan apa pada Alena. Entahlah, aku masih merasa ragu untuk mempercayainya meskipun aku juga merasa nyaman di dekatnya.“Apapun yang terjadi di masalalumu, kuharap suatu saat nanti kau mau menceritakannya pada kami. Kau bisa cerita padaku, pada ibu, dan juga pada Dave. Kami semua pasti akan mendengar semua ceritamu,” tutur gadis dengan lembut dan kujawab dengan anggukan. Sekarang aku merasa bisa sepenuhnya percaya pada gadis itu. Namun, untuk menceritakan semuanya, kurasa aku masih belum siap.Tiba-tiba kudengar suara geraman dari seseorang, tak lama setelah kudengar suara pintu yang dibuka keras. Aku langsung memegang erat pakaianku yang kugunakan untuk menutup dadaku. Mengingat bagaimana keadaanku sekarang. Alena masih mengoleskan obat di punggungku dan tentu saja aku masih tak mengenakan atasan sekarang.“Siapa yang melakukannya?”, tanya laki-laki itu dengan geram. Dia terdengar begitu marah sekarang. Kutundukkan kepalaku dalam-dalam dan semakin erat memeluk pakaianku yang menutup dadaku. Jantungku memompa keras.“Dave, kau membuatnya takut.”Suara Alena yang berbisik terdengar olehku. Kurasa dia berbicara pada laki-laki itu yang tak lain adalah mateku. helaan napas panjang terdengar sebelum akhirnya suaranya kembali melembut.“Maafkan aku, aku tidak bermaksud membuatmu takut. Aku hanya merasa sangat marah pada orang yang sudah berani melukaimu seperti ini,” kata Dave sambil mengusap kepalaku. Sepertinya dia sudah tau betul bagaimana cara membuatku kembali tenang. Aku masih menunduk dan mematung di tempatku. Aku tau dia mungkin menungguku untuk mengatakan sesuatu padanya. Tapi, kurasa aku masih belum siap untuk berbicara lebih banyak padanya. “Kau bisa berbicara masalah apapun padaku dan kapanpun kau mau,” ucap Dave lagi. Meskipun aku tak tahu ekspresi apa yang ditunjukkan wajahnya sekarang, tapi aku menangkap adanya sedikit rasa kecewa dari suaranya. Tentu saja, dia pasti kecewa padaku. Tapi aku memang belum siap menceritakan segalanya. Rasanya semuanya masih terlalu menyakitkan untuk diingat ulang. Aku hanya mengangguk dan dia melepaskan tangannya dari kepalaku. “Emm ... aku akan kesini lagi nanti, setelah Alena selesai mengobatimu,” kata Dave sebelum kudengar langkah kakinya menjauh pergi bersama aromanya yang perlahan hilang. Aku terkejut saat tiba-tiba suara tawa Alena pecah. Setelah kepergian Dave, tiba-tiba saja gadis itu tertawa keras. Aku menoleh kearahnya yang berada di belakangku. Aku bisa dengar dia yang berusaha menghentikan tawanya. Mungkin setelah sadar aku sedang menoleh kearahnya. “Ah, astaga. Kau harusnya lihat wajah Dave yang terakhir tadi. Andai saja perban itu tidak menutupi matamu, pasti kau akan lihat seberapa merah wajahnya. Apalagi saat aku menangkap basah dia saat diam-diam melirik ke arah dadamu. Tak kusangka adik kecilku itu sudah jadi orang yang mesum sejak bertemu matenya,” ucap Alena sambil tertawa di sela-sela perkataannya. Tak perlu waktu lama pipiku memanas mendengar perkataan Alena. Mungkin sekarang justru wajahku yang memerah. Dan benar saja, tawa Alena kembali pecah mungkin setelah melihat reaksiku.“Ah, astaga sekarang wajah adik ipar yang memerah. Apa itu karena Dave?” tanya Alena dengan nada yang menggoda. Aku segera menggeleng dengan cepat dan menundukkan wajahku. Astaga, ini memalukan! Kuharap ia tak melihat wajahku yang makin memerah seperti tomat. Namun kurasa terlambat, tawanya kembali memenuhi ruangan.Alena adalah orang yang baik. Dia ramah dan sangat bersahabat, bahkan dia masih terus bicara padaku meski aku tak banyak menanggapi ucapannya. Dari gadis itulah aku mengetahui banyak hal. Alena paling banyak menceritakan sosok Dave padaku. Karena tak bisa melihat rupanya, Alena hanya terus menceritakan ciri-ciri fisik Dave padaku. Sayangnya, meski berkali-kali Alena menceritakannya, aku sama sekali tidak memiliki gambaran apapun tentang Dave. Bagiku mengenal suara dan aromanya untuk saat ini sudah cukup bagiku.Aku adalah orang yang sangat membosankan jika dibandingkan dengan Alena. Aku merasa sangat bersyukur karena gadis itu sering mengunjungiku dan mengajakku bicara. Bahkan selama aku dirawat di tempat ini, Alena selalu menemaniku saat Dave tidak ada. Alena tak pernah membiarkan aku sendirian. Dia selalu bisa membuatku nyaman saat bersamanya. Meskipun baru mengenal, tapi Alena sudah memperlakukanku seolah kami adalah sahabat yang sudah mengenal lama.Alena sering menceritakan tentang masa kecilnya bersama Dave, hal konyol yang pernah dilakukan Dave, dan hampir semuanya tentang Dave. Ya, aku tahu Alena sedang berusaha mendekatkanku dengan Dave. Karena jujur saja, aku masih saja merasa asing walaupun sudah beberapa kali Dave menemaniku dan mengajakku bicara. Mungkin akan memakan waktu yang agak lama agar bisa terbiasa dengannya. Aku masih belum berani berbicara banyak padanya. Mungkin aku hanya akan mengangguk atau menggeleng dan sesekali mengatakan beberapa kata yang singkat. Aku bersyukur Dave begitu pengertian padaku. Dia tak pernah menuntut apapun dariku dan selalu memperlakukanku dengan hati-hati dan lembut.***Hari ini dokter Flora menemuiku. Maksudku ... Mama? Astaga, rasanya aku belum bisa memanggilnya Mama. Padahal dokter Flora sendiri yang memintanya. Aku merasa tidak pantas dan merasa sedikit malu. Hingga sekarang aku masih memanggilnya dokter. Aku bersyukur dokter Flora tak pernah menuntut ataupun memaksakan permintaannya itu padaku. Tapi aku juga merasa sedikit bersalah. Kuharap suatu saat nanti aku bisa memangilnya Mama tanpa merasa malu dan kaku sedikit pun. Bagaimana pun kurasa kenyataan ini terlalu cepat untuk diterimaDokter Flora menyampaikan banyak kabar baik padaku. Salah satunya kepulanganku setelah kurang lebih satu minggu dirawat di rumah sakit pack ini. Sebelumnya Alena bilang tiga hari aku tak sadarkan diri setelah Dave membawaku ke rumah sakit pack. Aku hampir tak mempercayainya, karena bagiku aku hanya tertidur beberapa jam dengan mimpi buruk itu. Sudahlah, yang jelas aku merasa senang saat Dokter Flora sudah mengijinkanku keluar dari rumah sakit pack ini.Tapi, sebelum itu ada hal yang lebih membuatku senang lagi. Selain kepulanganku, dokter Flora juga mengatakan sesuatu tentang mataku. Hari ini perban yang menutup mataku bisa dibuka. Dokter Flora sudah berada di ruanganku sekarang. Aku juga bisa mencium banyak aroma lainnya di ruangan ini. Salah satunya aroma lavender milik Dave yang menyenangkan. Membuatku merasa sedikit tenang saat tangan dokter Flora dengan terampil membuka perban yang menutup mataku. Apa setelah ini aku bisa melihat lagi? Pertanyaan itu muncul ke permukaan begitu saja. Awalnya aku pikir aku akan buta setelah jatuh dari jurang. Tapi, dokter Flora mengatakan jika mataku hanya mengalami cedera ringan. Rasa lega melingkupiku seketika. Nyatanya Dewi masih berbaik hati karena aku masih diberi kesempatan untuk bisa melihat bagaimana wajah mateku dan juga orang-orang yang sudah menyelamatkanku.“Kau bisa buka matamu perlahan sayang,” suara dokter Flora berkata dengan lembut. Rasa gugup dan cemas mendadak melingkupiku. Rasanya sudah lama sekali aku hidup dalam kegelapan. Mungkin karena itulah aku merasa sedikit takut saat benar-benar bisa melihat mereka semua. Apa mereka akan menatapku marah? Atau mereka akan segera mengusirku?Berusaha menenangkan diri, mengesampingkan pikiran-pikiran negatif dari kepalaku. Aku menuruti perkataan dokter Flora. Kubuka mataku perlahan. Terasa sedikit berat, mungkin karena mataku cukup lama terpejam. Cahaya yang sangat terang membuat mataku kembali terpejam. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali untuk menyesuaikan itensitas cahaya di ruangan ini. Dan yang pertama kali ditangkap oleh mataku adalah sepasang mata berwarna abu-abu gelap yang kini tengah menatapku dengan tatapan yang sangat dalam. Aku menatapnya cukup lama, entah bagaimana saat pertama kali melihatnya aku sudah yakin jika dia adalah mateku. Aku juga bisa dengar Lucy yang terus berteriak memanggil mateku di dalam pikiranku.Aku langsung menunduk saat menyadari banyak pasang mata yang tengah menatap lurus ke arahku. Rasa gugup dan takut segera menyelimutiku. Kegenggam erat selimutku, merasa tak nyaman ditatap oleh banyak orang di sekitarku.“Tolong tinggalkan kami sendiri,” minta laki-laki bermata abu-abu gelap itu pada semua orang di ruangan ini. Seperti mengetahui rasa tidak nyamanku di situasi ini. Tanpa suara, satu persatu dari mereka mulai keluar dari ruangan ini. Akhirnya menyisakan kami berdua di dalam. Sedikit memberanikan diri, aku mengangkat kepalaku perlahan agar bisa melihatnya. Dari suaranya aku tahu bahwa itu adalah dia. Dia tersenyum kepadaku dan senyuman itu sungguh senyum yang paling indah yang pernah aku lihat.Kurasakan wajahku mulai memerah. Aku kembali menunduk, tak berani terlalu lama menatap matanya. Mungkin jantungku akan meledak jika aku terus menatapnya. Aku kembali mendongakkan kepalaku saat tangannya jatuh di kepalaku dan mengusapnya dengan lembut seperti yang biasa dilakukannya. Ya, aku yakin dia benar-benar Daveku.“Sia ...” panggilnya membuatku mau tak mau kembali menatap matanya. Dia tengah menatapku lama. Tangannya yang hangat menangkup kedua pipiku. Dewi, dia sungguh sangat sempurna. Dia memiliki rambut hitam legam, kedua alis yang sedikit lebih tebal, mata abu-abu gelap yang tajam tapi menenangkan, rahang yang kokoh, dan bibir yang ... emm ... seksi. Kurasa dia adalah makhluk yang paling sempurna yang pernah aku lihat. Dia mulai mendekatkan wajahnya ke wajahku. Mengikis jarak diantara kami. Tubuhku menegang saat sadar jarak diantara kami kian menipis. Kututup mataku rapat-rapat dan menunggu apa yang akan dilakukannya. Namun tak terjadi apapun. Kemudian, saat kubuka mataku aku sudah berada dalam pelukannya.***Aku hanya diam saat seorang gadis berambut coklat membantuku mengganti pakaianku dan membantuku bersiap karena ini hari terakhirku berada di rumah sakit ini. Aku terus memperhatikannya yang terus bicara. Hanya dari suara aku sudah bisa mengenalnya. Dia adalah Alena, kakak Dave yang selalu menemaniku selama dirawat di sini. Dia adalah gadis yang ramah. Aku sudah tahu itu sejak aku belum bisa melihat wajahnya. Tapi sekarang tak hanya itu. Alena, selain baik dia juga cantik. Dia memiliki mata hazel yang indah, bulu mata yang panjang, dan bentuk bibir yang terlihat pas dengan wajahnya. Tubuhnya pun juga bagus. Tidak terlalu kurus ataupun gemuk. Dia adalah gadis yang paling sempurna yang pernah aku lihat. Sangat berlawanan dengan kondisiku sekarang. Berada di dekat Alena membuatku merasa seperti sebutir debu jika dibandingkan dengan dirinya.Aku hanya menghabiskan waktuku untuk tidur saat di perjalanan pulang. Awalnya aku kebingungan karena aku tak tahu harus pergi kemana saat aku sudah benar-benar keluar. Tapi Alena mengatakan padaku tentang rumah dan tinggal bersama. Membuatku merasa sedikit lega. Setidaknya aku bisa memiliki tempat berteduh malam ini, dan kuharap untuk malam-malam seterusnya juga. Sore ini Dave menjemput kami dengan kereta kuda. Aku duduk di samping Dave dengan kepalaku yang besandar di bahunya. Dave memintaku untuk istirahat dan tak butuh waktu lama aku bisa terlelap di sampingnya.***Aku terbangun saat merasakan tubuhku yang diangkat. Aku langsung memekik setelah sadar Dave tengah menggendongku ke kamarnya dengan gaya seperti menggendong tuan putri. Dia menoleh ke arahku dan senyum mengembang di bibirnya. Pipiku sedikit memanas. Kami terlalu dekat!“Tu ... turunkan aku” mintaku dengan takut bercampur malu. Dan dia dengan cepat menolaknya.“Tidak, kita sudah hampir sampai ke kamar kita,” jawabnya kemudian menatap lurus ke depan. Aku hanya diam, tak berani membantah. Memilih mengalungkan tanganku ke lehernya. Bisa kurasakan percikan-percikan aneh itu muncul saat kulit kami bersentuhan. Rasanya sedikit menggelikan, tapi juga nyaman. Aku menatap wajahnya, dia terlihat begitu senang dan senyumannya belum hilang dari bibirnya. Dave membuka pintu kamar dan meletakanku pelan-pelan ke atas kasurnya. Dia mengusap kepalaku dengan lembut kan menatapku dengan penuh kasih sayang.“Tidurlah, aku akan menjagamu di sini. Tidak akan yang bisa melukaimu lagi, Sia” bisik Dave lembut sebelum akhirnya kututup mataku dan kembali terlelap dalam tidurku. Kurasa sekarang aku sudah mempercayai Dave karena mulai terbiasa dengannya. Rasanya tak ada yang perlu ku khawatiran selama aku bersamanya.***Di tengah malam aku terbangun dan pertama kali yang kulakukan adalah mencari sosok Dave di sekitar kamarku, maksudku kamar kami. Dan aku menemukannya, dia tengah tidur di sofa yang tak jauh dari tempat dimana aku tidur. Kutatap wajahnya yang begitu tenang saat tertidur. Aku jadi merasa bersalah membuatnya tidur di sofa. Tapi aku juga bersyukur karena dia tak memintaku tidur satu ranjang dengannya. Bukannya aku tidak mau, hanya saja aku masih belum siap untuk itu.Kuperhatikan seluruh penjuru kamar. Kamar ini begitu luas dengan tempat tidur king size yang kutempati saat ini. Terasa sangat hangat dan nyaman mengingat dulu aku tidur di gudang tanpa alas atau pun selimut apapun. Terlebih lagi kamar ini dipenuhi oleh aroma Dave yang sangat kuat. Dan aroma ini adalah aroma yang membuatku sangat kecanduan, aroma paling wangi dan juga membuatku merasa tenang.***Kubuka mataku saat kurasakan paparan sinar matahari yang hangat menyentuh wajahku. Aku langsung bangkit begitu menyadari jika ini kamar ini begitu asing bagiku. Dan aku baru sadar setelah mencium aroma yang sangat familiar ini. Ini adalah kamar Dave. Suara langkah kaki yang mendekat membuat jantungku ikut berdetak cepat. Aku langsung menarik selimutku dan meremasnya kuat-kuat saat melihat seseorang yang membuka pintu kamar. Genggaman tanganku mulai mengendur setelah melihat siapa yang datang. Dia adalah Dave. Kulihat dia berjalan kearahku sambil membawa nampan yang berisi makanan.“Selamat pagi,” sapanya sambil menurunkan nampan yang dibawanya di meja. Dia tersenyum dan menatapku hangat.“Pa ... pagi,” jawabku lirih berusaha mengalihkan pandanganku ke arah lain. Bahkan sampai sekarang aku masih belum berani menatapnya lama.“Apa kau masih merasa takut padaku?” tanyanya tiba-tiba membatku langsung
Aku berjalan hendak keluar dari kamarku, dan aku sedikit terkejut melihat gadis kecil itu masih berdiri di depan pintu kamarku. Dia tersenyum saat melihatku membuka pintu lebar. Kurasa gadis itu menungguiku sejak tadi. Aku berjongkok untuk menyamakan tinggiku dengan gadis itu.“Apa kau menungguku dari tadi?” tanyaku lembut dan langsung dibalas dengan anggukan oleh gadis itu. Mendengar jawabannya membuatku merasa begitu bersalah.“Emm ... jadi siapa namamu? tanyaku sambil mengusap lembut kepala gadis itu.“Lily,” jawabnya singkat kembali merekahkan senyum di wajahnya.“Ya. Jadi, kenapa kau menungguku, Lily?”, tanyaku dengan lembut tanpa melepas usapan di kepalanya. Dia kelihatan menyukai apa yang aku lakukan.“Tante Alena menyuruhku mengajak Luna berkeliling kastil,” jawab Lily dengan polos. Aku terkekeh pelan melihat betapa menggemaskan ekspresinya.&ld
Kini kami tengah duduk di sofa kamar kami, tempat dimana Dave setiap malam tidur. Dia sedang mengelus kepalaku dan menciumi rambutku juga keningku dengan penuh kasih sayang dan aku hanya diam masih memikirkan dua anak malang itu. Stiff dan Maro, tidak kusangka anak sekecil mereka sudah harus merasakan sakitnya rasa kehilangan. Aku masih ingat wajah sedih mereka yang begitu terluka, tapi setelah Dave membisikkan sesuatu pada mereka senyum mereka langsung merekah dan kesedihan mereka sirna begitu saja. Sebenarnya apa yang sudah Dave katakan pada mereka? Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku membuatku tak tahan untuk tidak menanyakannya pada Dave. “Dave? ... ” panggilku lirih dan dia mulai menghentikan aktivitasnya. Dia hanya diam tak menjawabku, mungkin menungguku untuk bicara. “Sebenarnya apa yang sudah kau bisikkan pada mereka tadi?” tanyaku tak tahan dengan rasa penasaranku. Dave menatapku dan mulai menyeringai, “Jadi kau penasaran tentang itu?” Aku lang
Aku keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri. Kejadian yang baru saja terjadi tentu saja belum bisa lepas dari pikiranku. Aku tidak tau harus bersikap bagaimana lagi saat nanti bertatap muka dengan Dave. “Adik Ipar! ... umm ... tidak tapi ... Luna!” Panggil Alena yang entah sejak kapan berada di kamarku. Aku sedikit mengerutkan keningku menatap gadis itu dari atas sampai bawah. Alena memang sangat cantik. Bahkan aku mengakui hal itu saat pertama kali melihatnya. Namun kali ini penampilannya sangat berbeda. Gadis itu terlihat sangat anggun dan lebih cantik dengan polesan make up tipis dan gaun warna hijau yang jatuh menjuntai sampai menutup mata kakinya. “Aku membawakan gaun yang akan kau gunakan nanti, dan aku juga akan mendandanimu. Aku yakin mereka semua pasti akan memandangmu dengan kagum nanti. Pokoknya serahkan semuanya padaku,” ucap Alena langsung menarik tanganku dan memilihkan aku gaun yang sudah dibawanya. Mengabaikan aku yang kebingungan deng
Dave menarikku dalam pelukannya dan menenggelamkan wajahnya dalam lekukan leherku. Seusai pesta itu kami menghabiskan waktu di dalam kamar. Aku masih memakai gaun warna putih yang kupakai tadi dan Dave hanya memakai kemeja putihnya. Kami berdiri berhadapan, dengan posisi kami yang kurasa sedikit kurang nyaman. Dave menghirupi aromaku dengan rakus dan aku hanya bisa diam dan menggigit bibir bawahku. Menahan suara aneh yang bisa saja keluar dari mulutku. Hembusan napasnya bisa kurasakan dengan jelas di leherku, menimbulkan efek geli dan berbagai percikan di sana.Aku memekik terkejut saat Dave mulai memainkan lidahnya di leherku. Membuatku langsung mendorongnya. Ingatan buruk terlintas di kepalaku. Jantungku berdetak ketakutan. Dave terlihat begitu terkejut dengan reaksiku. Dan aku langsung merutuki tindakan bodohku itu. Dave mungkin tersinggung dengan perbuatanku. Kudengar Lucy terus berteriak memprotes tindakanku barusan.“Ma ... maaf aku hanya ....”
Aku memutuskan untuk segera kembali ke taman. Perasaanku tidak enak karena meninggalkan anak-anak itu sendiri dalam keadaan terlelap di tempat terbuka. Namun, masih beberapa langkah aku ingin kembali tiba-tiba sebuah sapu tangan diikuti tangan besar membekap mulutku dengan kasar. Mataku segera melebar melihat siapa orang yang melakukan ini semua. Orang yang kupikir sudah lepas dari kehidupanku, ternyata dia kembali untuk menangkapku. “Jack!” Lucy berseru dalam pikiranku. Aku berusaha meronta dan memberontak saat tangan besarnya menarik tubuhku dan menyeretnya pergi. Tapi, apalah daya kekuatanku sama sekali tak berpengaruh padanya. Rasa kantuk yang tiba-tiba menyergapku membuat kegelapan mau tak mau harus menelanku. *** Mataku terasa berat untuk terbuka ditambah kepalaku yang sedikit terasa pening. Apa yang baru saja terjadi? Ingatan terakhirku masih terasa kabur. Namun sebuah suara langsung membuatku tersadar dan mengingat semua dengan jelas
Aku terbangun merasakan rasa sakit di sekujur tubuhku. Mataku melebar menatap sekelilingku. Ingatanku terputar kembali pada kejadian beberapa saat yang lalu. Aku berusaha bangkit dan aku langsung sadar tubuh polosku tak tertutup oleh apapun. Segera kutarik selimut yang ada ranjang milik Kelly dan langsung kubungkus tubuhku dengan selimut itu. Bau anyir memenuhi indra penciumanku. Darah yang masih sangat segar berceceran di lantai bahkan menempel di tubuhku. Air mataku sudah mengalir deras dan hanya suara isak tangisku yang bisa kudengar di ruangan ini. Sulit bagiku mempercayai semua kenyataan ini. Kenyataan bahwa aku sudah membunuh mereka semua dengan kedua tanganku sendiri. Kueratkan pelukanku pada selimut yang membungkus tubuhku dan aku hanya bisa meringkuk di sudut ruangan, di dalam bayang-bayang. “Sia! ... Sia! ... Dimana kau?!” Bisa kudengar dengan jelas suara yang begitu familiar untukku, diikuti suara langkah kaki yang semakin mendekat ke tempatku. Tak s
Aku melihatnya ... lagi. Seorang gadis berambut pirang yang muncul dari kegelapan datang menghampiriku. Banyak noda darah yang menempel di tubuhnya dan di tangan kanannya sudah terdapat sebuah cambuk yang terlihat sangat familiar di mataku. Gadis itu terus mendekat hingga wajahnya berada tepat di depan wajahku. Tubuhku gemetar. Aku merasa begitu ketakutan, namun anehnya aku tak bisa melakukan apapun selain diam di tempatku berdiri sekarang. “Kembalikan ibuku, dasar pembunuh!” teriak gadis itu dengan suaranya yang melengking. Seketika kurasakan lantai yang kupijak bergetar hebat dan gadis di hadapanku terlihat sedang menyeringai seperti seoarang iblis keji. Aku menutup mataku rapat-rapat, berusaha menghilangkan wajah Jessy yang terus menghantui pikiranku. Perlahan aku kembali membuka mataku saat merasa Jessy sudah menghilang dari hadapanku. Dan benar saja, saat kubuka mataku sosok Jessy sudah menghilang meninggalkanku sendirian dalam ruang yang entah aku sendiri tak t
“Mama, aku ingin bermain keluar! Aku akan pulang sebelum petang!” Teriak seorang bocah laki-laki yang berusia lima tahun yang tampak mengganti kaosnya dengan tergesa.“David, Mama melarangmu pergi! Sudah berkali-kali kuperingtkan jangan bermain ke dalam hutan itu lagi!” teriak seorang wanita dari arah dapur, namun sama sekali tidak di gubris oleh David, nama bocah laki-laki itu.“Aku akan baik-baik saja! Aku sayang Mama dan tante Alena!” teriak David yang sudah berlari keluar dari rumah sederhana miliknya, mengabaikan suara teriakan Ibunya yang terus memanggil namanya.“Dasar, anak itu sama sekali tak mendengarkanku!” Keluh Levia kesal melihat putera semata wayangnya yang tak pernah menurut padanya. Sedang Alena, satu-satunya orang yang sedang bersamanya hanya terkekeh melihat kekesalan adik iparnya.“Sudah biarkan saja. Dia masih pada masa kejayaannya. Jangan terlalu overprotektif padan
Langit tampak cerah dan matahari bersinar terik. Titik-titik peluh mulai menetes dari keningku. Menyirami tanaman bukanlah pekerjaan yang berat, tapi karena usia kandunganku yang sudah tua membuatku cepat kelelahan. Kuhela napas lelahku setelah berhasil duduk di sebuah kursi kayu yang berada di teras depan rumah. Akhirnya setelah sekian lama terlunta-lunta di antara hutan, berpindah dari tempat satu ke tempat lainya, akhirnya kami memutuskan untuk menetap dan berbaur dengan manusia. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat. Setelah hari-hari buruk itu kami akhirnya menemukan tempat yang cukup aman sehingga kami bisa tinggal sedikit lebih lama di sana. Kami menemukan sebuah perkampungan kecil, dimana adat istiadat dan kesederhanaan sangat dijunjung tinggi. Tempat yang dihuni oleh ras manusia dan jauh dari ras werewolf, tentu ini adalah tempat yang paling aman untuk tinggal. Penduduk kampung di sini juga sangat baik dan ramah, mungkin karena itulah aku dan Alena cukup m
Kulitku seperti mati rasa, tak lagi bisa merasakan dingin saat tubuhku berkali-kali menembus kabut dan juga melawan dinginnya angin malam. Aku hanya memejamkan mata sambil mengeratkan pegangan tanganku pada tubuh serigala milik Alena. Seperti apa yang dikatakan Forel, maid yang datang ke pondok kami tadi pagi, kami memutuskan untuk segera meninggalkan tempat persembunyian kami dan segera mencari tempat baru untuk melanjutkan hidup. Tubuhku terasa sangat lelah. Tapi aku tahu Alena jauh lebih lelah dibandingkan dengan diriku. Entah sudah berapa lama dan sejauh apa Alena berlari membawaku. Tapi sejauh ini, belum sekalipun Alena mengeluh ataupun beristirahat sejenak sejak kami meninggalkan pondok itu. Suara Forel masih menggema dalam pikiranku. Jawaban wanita itu terus menghantui kepalaku. Hatiku terasa kosong, dan perasaanku yang sudah hancur kini sudah tidak berbentuk. Hari ini aku sudah kehilangan segalanya. Packku, keluargaku, Putera angkatku, dan juga ... Mateku ...
Langit-langit coklat menjadi pemandangan pertama saat aku membuka mataku. Aroma tanah basah dan juga tumbuhan hijau memenuhi indra penciumanku. Membuatku langsung mengingat dimana tempatku berada. Perlahan aku bangun dan menatap selimut merah yang membukus tubuhku. Dibalik selimut itu pakaianku sudah berganti, bukan lagi pakaian yang kukenakan kemarin. Dan aku juga menemukan lengan kananku yang sudah dibungkus dengan perban. Kurasa Alena yang melakukannya. Kutatap sekelilingku, mencari keberadaan gadis itu. Namun aku tak menemukannya di ruangan ini. “Kak Lena.” Langkahku terhenti saat melihat gadis itu sedang berdiri di depan lemari kayu yang ada di dapur. Pakaian yang dia kenakan sudah berganti lebih baik dari kain lusuh yang sebelumnya. Mendengar panggilanku Alena berbalik, menatapku dengan senyuman khas miliknya. Membuatku tertegun saat melihat senyum di wajah gadis itu. “Kau sudah bangun? Lebih baik kita sarapan sekarang. Ada beberapa buah yang bisa kita makan. M
Mataku membulat, Jantungku terasa berhenti sejenak dan napasku tercekat. Air mataku mengalir deras, mulutku tak mampu bersuara bahkan isak tangisku sama sekali tak terdengar. Semua indraku seolah mati rasa. Kegelapan melingkupiku, mataku tak bisa beralih dari sosok yang bersimbah darah di bawah tangan kotor iblis itu. Hening, aku tak bisa mendengar apapun bahkan detak jantungku sendiri. Karena memang jantungku seperti berhenti berdetak untuk sekarang. Otot-otot sendiku terasa sangat lemas, hingga aku tak memiliki daya sedikit pun untuk bergerak satu senti saja dari tempatku. Kutatap tajam pria itu dengan kedua mataku yang kuyakin sudah gelap seluruhnya. Amarah mengusaiku dan kurasakan Lucy yang semakin liar berusaha mengambil alih tubuhku. Hanya kebencian serta rasa murka yang teramat besar yang mengisi ruang kosong dalam hatiku. “Iblis itu harus mati!” Kalimat itu terus berdengung dalam kepalaku. Rasa murkaku perlahan mengikis logika dan aka
Matanya yang berwarna merah menatapku tajam. Bagai api yang berkobar, hanya dengan tatapannya saja seolah aku sudah hangus terbakar. Dadaku menyempit, paru-paruku terasa terhimpit saat tangan pria berambut perak itu mulai menekan tenggorokanku kuat, mengangkat tubuhku perlahan hingga kakiku mengambang di udara. Pandanganku kian mengabur seiring menipisnya udara yang ada dalam paru-paruku. Air mataku mengumpul di kelopak mata, tak kuat menahan sakit yang menggerogoti tubuhku. Semua terjadi dengan cepat, bahkan sebelum otakku bisa mencerna semuanya. Dobrakan keras sebelumnya mengantarkan seorang pria asing yang memiliki aura yang sangat kuat. Tatapan matanya bagai elang yang mencengkram mangsanya. Kemudian dalam sekejap tubuhku sudah dibawah kendalinya. Tubuhku terasa lemas, sudah berkali kali aku memberontak tapi yang kulakukan hanya menguras tenaga saja. Pria itu menyeringai, mengejek ketidakberdayaanku ditangannya. Sudah terlambat untuk menyelamatkan diri sekarang.
Mataku segera terbuka saat merasakan pergerakan kecil pada tubuhku. Kurasa sesorang seseorang berusaha memindahkan tanganku. Namun aku segera memeluk tubuh Dave kembali setelah orang itu berhasil menyingkirkan tanganku. “Sia, aku membangunkanmu?” suara Dave berbisik pelan. Sepertinya orang yang berusaha menyingkirkan tanganku adalah Dave. Aku mendongakkan kepalaku, menatap wajahnya setelah mengerjapkan mataku beberapa kali “Tidurlah kembali.” Mintanya setelah mengecup keningku sekilas kemudian kembali melingkarkan tangannya di sekeliling tubuhku. Aku melirik kearah jam dinding sekilas. Waktu belum menunjukkan pagi tiba. Tapi kurasa Dave ingin segera melepaskan diri dariku. “Apa aku memelukmu terlalu erat?” tanyaku, memastikan alasan Dave ingin melepaskan diri dariku. “Tidak, bukan begitu,” jawab Dave masih dengan suara yang pelan. “Lalu, kau ingin pergi?” tanyaku kembali, berusaha tetap bernada setenang mungkin. Meskipun rasa takut terus mengg
Mataku perlahan terbuka saat mencium bau tanah yang basah. Hal yang pertama kali kulihat adalah langit mendung yang tertutup oleh daun daun yang lebat. Mataku melebar dan aku segera bangkit saat menyadari tempat ini bukanlah kamarku. Ku abaikan rasa pusing di kepalaku. Dengan panik kuedarkan pandanganku ke segala penjuru. Banyak sekali pohon-pohon besar yang menjulang tinggi di sekitarku. Kemudian aku bisa memastikan bahwa diriku berada di tengah-tengah hutan yang sangat asing untukku. Aku mulai bangkit. Suasana begitu sepi seperti tak ada makhluk hidup lain yang tinggal di sini selain aku dan juga pohon-pohon ini. Kufokuskan indra penciumanku, berusaha mencari bau makhluk lain dihutan ini. Namun tak ada bau apapun yang tercium selain bau khas tanah basah dan juga bau tumbuh tumbuhan yang menyegarkan. Hingga akhirnya samar-samar aku mencium bau yang sangat familiar untukku. Aroma lavender samar-samar tertangkap indra penciumanku. Membuatku langsung mengetahui siapa p
Aku duduk bersandar di kepala ranjang sambil menatap lurus ke depan. Hanya suara jarum jam yang terus beretik yang terdengar di ruangan ini. Jarum jam terus berputar, namun nyatanya waktu berjalan sangat lama. Alice sudah pergi sejak setengah jam yang lalu, meninggalkanku dalam kekacauan di otakku. Apa yang dikatakan Alice masih terus berputar dalam kepalaku. Membuatku merasa kacau sekaligus membuatku menyadari sesuatu. Menyadari seberapa egoisnya diriku. Pintu kamarku terbuka, kulihat gadis bernetra hazel menatapku dengan waspada. Aku hanya melihatnya sekilas, sebelum akhirnya kembali menatap kosong kearah jam dinding yang berada lurus dengan pandanganku. Alena mulai mendekat, dia terlihat khawatir dan juga gelisah. “Apa yang sudah dikatakan Alice?” tanya Alena tanpa berbasa-basi. Aku menatap gadis itu tanpa menjawab pertanyaannya. “Kenapa kalian tidak memberitahuku?” Tanyaku balik, menatapnya dengan tatapan terluka. “Apa yang terjadi di pack? Apa ya