Dave menarikku dalam pelukannya dan menenggelamkan wajahnya dalam lekukan leherku. Seusai pesta itu kami menghabiskan waktu di dalam kamar. Aku masih memakai gaun warna putih yang kupakai tadi dan Dave hanya memakai kemeja putihnya. Kami berdiri berhadapan, dengan posisi kami yang kurasa sedikit kurang nyaman. Dave menghirupi aromaku dengan rakus dan aku hanya bisa diam dan menggigit bibir bawahku. Menahan suara aneh yang bisa saja keluar dari mulutku. Hembusan napasnya bisa kurasakan dengan jelas di leherku, menimbulkan efek geli dan berbagai percikan di sana.
Aku memekik terkejut saat Dave mulai memainkan lidahnya di leherku. Membuatku langsung mendorongnya. Ingatan buruk terlintas di kepalaku. Jantungku berdetak ketakutan. Dave terlihat begitu terkejut dengan reaksiku. Dan aku langsung merutuki tindakan bodohku itu. Dave mungkin tersinggung dengan perbuatanku. Kudengar Lucy terus berteriak memprotes tindakanku barusan.
“Ma ... maaf aku hanya ....”
Aku memutuskan untuk segera kembali ke taman. Perasaanku tidak enak karena meninggalkan anak-anak itu sendiri dalam keadaan terlelap di tempat terbuka. Namun, masih beberapa langkah aku ingin kembali tiba-tiba sebuah sapu tangan diikuti tangan besar membekap mulutku dengan kasar. Mataku segera melebar melihat siapa orang yang melakukan ini semua. Orang yang kupikir sudah lepas dari kehidupanku, ternyata dia kembali untuk menangkapku. “Jack!” Lucy berseru dalam pikiranku. Aku berusaha meronta dan memberontak saat tangan besarnya menarik tubuhku dan menyeretnya pergi. Tapi, apalah daya kekuatanku sama sekali tak berpengaruh padanya. Rasa kantuk yang tiba-tiba menyergapku membuat kegelapan mau tak mau harus menelanku. *** Mataku terasa berat untuk terbuka ditambah kepalaku yang sedikit terasa pening. Apa yang baru saja terjadi? Ingatan terakhirku masih terasa kabur. Namun sebuah suara langsung membuatku tersadar dan mengingat semua dengan jelas
Aku terbangun merasakan rasa sakit di sekujur tubuhku. Mataku melebar menatap sekelilingku. Ingatanku terputar kembali pada kejadian beberapa saat yang lalu. Aku berusaha bangkit dan aku langsung sadar tubuh polosku tak tertutup oleh apapun. Segera kutarik selimut yang ada ranjang milik Kelly dan langsung kubungkus tubuhku dengan selimut itu. Bau anyir memenuhi indra penciumanku. Darah yang masih sangat segar berceceran di lantai bahkan menempel di tubuhku. Air mataku sudah mengalir deras dan hanya suara isak tangisku yang bisa kudengar di ruangan ini. Sulit bagiku mempercayai semua kenyataan ini. Kenyataan bahwa aku sudah membunuh mereka semua dengan kedua tanganku sendiri. Kueratkan pelukanku pada selimut yang membungkus tubuhku dan aku hanya bisa meringkuk di sudut ruangan, di dalam bayang-bayang. “Sia! ... Sia! ... Dimana kau?!” Bisa kudengar dengan jelas suara yang begitu familiar untukku, diikuti suara langkah kaki yang semakin mendekat ke tempatku. Tak s
Aku melihatnya ... lagi. Seorang gadis berambut pirang yang muncul dari kegelapan datang menghampiriku. Banyak noda darah yang menempel di tubuhnya dan di tangan kanannya sudah terdapat sebuah cambuk yang terlihat sangat familiar di mataku. Gadis itu terus mendekat hingga wajahnya berada tepat di depan wajahku. Tubuhku gemetar. Aku merasa begitu ketakutan, namun anehnya aku tak bisa melakukan apapun selain diam di tempatku berdiri sekarang. “Kembalikan ibuku, dasar pembunuh!” teriak gadis itu dengan suaranya yang melengking. Seketika kurasakan lantai yang kupijak bergetar hebat dan gadis di hadapanku terlihat sedang menyeringai seperti seoarang iblis keji. Aku menutup mataku rapat-rapat, berusaha menghilangkan wajah Jessy yang terus menghantui pikiranku. Perlahan aku kembali membuka mataku saat merasa Jessy sudah menghilang dari hadapanku. Dan benar saja, saat kubuka mataku sosok Jessy sudah menghilang meninggalkanku sendirian dalam ruang yang entah aku sendiri tak t
Kejadian yang sangat tiba-tiba ini benar-benar membuatku merasa bingung, terlebih sampai saat ini Alena masih belum memberi penjelasan apapun kepadaku. Aku masih belum tau apa tujuan Alena membawaku ke sebuah pondok kecil di tengah hutan yang saat ini sedang kami tempati. Dia sama sekali tak memberiku penjelasan apa-apa setelah kami sampai di pondok ini. Alena justru sibuk membereskan ruangan di pondok kecil ini yang memang terlihat kurang terawat.Dari luar pondok ini terlihat seperti sebuah tempat rahasia. Setidaknya itulah kesanku saat pertama kali melihat pondok ini. Pondok kecil ini seperti bersembunyi dan menyatu dengan alam. Hampir seluruh permukaan temboknya tertutup oleh lumut hijau bahkan beberapa tumbuhan sulur sudah tumbuh subur di temboknya. Seolah-olah alam sendiri yang ingin menyembunyikan keberadaan pondok ini.“Kak Lena ....” Panggilku dengan ragu memperhatikan gadis yang masih sibuk membersihkan beberapa benda yang ada di ruang tengah. Aku
Aku berusaha mengatur napasku dan mengendalikan deru jantungku yang masih tidak beraturan. Aku sudah kembali dalam wujud manusiaku, begitu pula Alena. Bisa kucium banyak sekali aroma wolf ditempat ini, dengan itu aku yakin bahwa kami memang sudah sangat dekat dengan tempat tujuan kami.“Aku yakin kita sudah sangat dekat,” ucap Alena pelan dengan mimik wajah yang serius. Aku mengangguk menyetujui ucapan Alena. Kuedarkan pandanganku pada sekelilingku, memastikan tidak ada wolf lain yang menyadari keberadaan kami disini. Kami segera bergerak perlahan, berpindah dari pohon satu dan pohon lain. Berusaha bersembunyi dan tidak menarik perhatian wolf lain.Kututup mataku perlahan dan berusaha memusatkan pikiranku pada aroma yang aku terima. Aku hanya perlu memfokuskan indra penciumanku untuk mencari aroma milik Dave di sini. Aku segera membuka mataku saat bau lavender yang memabukkan sudah terdeteksi penciumanku dan aku segera mengikuti a
Bisa kurasakan rasa sakit di sekujur tubuhku disertai hawa dingin yang terasa menusuk kulitku. Kesadaranku mulai terkumpul namun aku tak bisa membuka mataku. Ada sesuatu yang diikat dikepalaku dan menutupi pandanganku. Tubuhku terasa sangat lemas, namun posisiku saat ini memaksaku untuk tetap berdiri tegak. Tanganku terasa perih dan panas terlilit oleh besi logam yang dingin dan aku yakin jika aku sudah tergantung di posisi ini dalam waktu yang cukup lama.Tubuhku menegang, aku terkesiap saat mendengar suara pintu dan langkah kaki yang mendekat. Aku bisa langsung mencium aroma wolf yang sangat tidak asing bagiku. Aroma terakhir yang kuingat sebelum gelap mengambil kesadaranku.“Kau sudah sadar, sweety?” Tanya Eros dengan suara yang terdengar menjijikkan di telingaku. Aku hanya memalingkan muka tanpa membalas ucapan pria itu. Memori terakhirku kembali terputar dalam pikiranku, mengingat hal terakhir sebelum diriku berakhir di tangan pria in
Eros tampak sangat terkejut melihat kedatangan Dave yang begitu tiba-tiba. Tak hanya dia, bahkan aku dan Lucy juga terkejut melihatnya. Terlebih dengan aura yang dipancarkannya, dia seperti Dave yang berbeda. Tanpa aba-aba Dave langsung menerjang tubuh Eros, membuat pria berambut coklat itu tumbang sebelum menyadari sepenuhnya apa yang terjadi. Bisa kudengar Eros yang mengumpat beberapa kali saat Dave dengan mudah menancapkan cakar ke tubuhnya sebelum pria itu sempat menghindari serangan Dave yang begitu tiba-tiba. Dave terus menyerang Eros bertubi-tubi, tak memberikan musuhnya waktu untuk menyerang balik.Aku hanya terpaku di tempatku, tak melakukan apapun selain menyaksikan aksi brutal yang dilakukan Dave. Bibirku terkatup rapat dan suaraku seakan hilang. Mata yang dilumuri amarah itu seakan menyedot habis keberanianku. Aku tak ingin pertumpahan darah terjadi kembali, namun kurasa itu sangat mustahil untuk dihindari saat ini, melihat bagaimana Dave yang datang bagai b
Aku langsung menoleh ke arah pintu saat mendengar suara pintu kamar yang dibuka. Bibirku langsung tertarik keatas saat melihat siapa yang datang. Alena berdiri disana dengan wajah yang terlihat agak pucat dan mata yang bengkak. Gadis itu langsung menghambur ke arahku dan langsung memeluk tubuhku erat. Aku sempat terkejut saat mendengar suara isak tangis pelan gadis itu. Tubuhnya sedikit bergetar dan pelukan tangannya semakin erat.“Aku baik-baik saja,” bisikku pelan mengelus punggung Alena, berpikir itu bisa menghentikan tangisannya. Tapi tangisannya justru semakin menjadi setelah itu.“Hei, sudahlah aku tidak apa-apa,” ucapku lebih keras dari sebelumnya. Alena mulai melepaskan pelukannya dan aku bisa lihat wajahnya yang sangat berantakan.“Berhentilah menangis. Kau terlihat sangat buruk saat ini, kau tau?” ucapku sambil mengelap pipinya yang basah.“Buruk? Bercerminlah dulu, nona. Kau bahkan terlihat lebih buruk
“Mama, aku ingin bermain keluar! Aku akan pulang sebelum petang!” Teriak seorang bocah laki-laki yang berusia lima tahun yang tampak mengganti kaosnya dengan tergesa.“David, Mama melarangmu pergi! Sudah berkali-kali kuperingtkan jangan bermain ke dalam hutan itu lagi!” teriak seorang wanita dari arah dapur, namun sama sekali tidak di gubris oleh David, nama bocah laki-laki itu.“Aku akan baik-baik saja! Aku sayang Mama dan tante Alena!” teriak David yang sudah berlari keluar dari rumah sederhana miliknya, mengabaikan suara teriakan Ibunya yang terus memanggil namanya.“Dasar, anak itu sama sekali tak mendengarkanku!” Keluh Levia kesal melihat putera semata wayangnya yang tak pernah menurut padanya. Sedang Alena, satu-satunya orang yang sedang bersamanya hanya terkekeh melihat kekesalan adik iparnya.“Sudah biarkan saja. Dia masih pada masa kejayaannya. Jangan terlalu overprotektif padan
Langit tampak cerah dan matahari bersinar terik. Titik-titik peluh mulai menetes dari keningku. Menyirami tanaman bukanlah pekerjaan yang berat, tapi karena usia kandunganku yang sudah tua membuatku cepat kelelahan. Kuhela napas lelahku setelah berhasil duduk di sebuah kursi kayu yang berada di teras depan rumah. Akhirnya setelah sekian lama terlunta-lunta di antara hutan, berpindah dari tempat satu ke tempat lainya, akhirnya kami memutuskan untuk menetap dan berbaur dengan manusia. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat. Setelah hari-hari buruk itu kami akhirnya menemukan tempat yang cukup aman sehingga kami bisa tinggal sedikit lebih lama di sana. Kami menemukan sebuah perkampungan kecil, dimana adat istiadat dan kesederhanaan sangat dijunjung tinggi. Tempat yang dihuni oleh ras manusia dan jauh dari ras werewolf, tentu ini adalah tempat yang paling aman untuk tinggal. Penduduk kampung di sini juga sangat baik dan ramah, mungkin karena itulah aku dan Alena cukup m
Kulitku seperti mati rasa, tak lagi bisa merasakan dingin saat tubuhku berkali-kali menembus kabut dan juga melawan dinginnya angin malam. Aku hanya memejamkan mata sambil mengeratkan pegangan tanganku pada tubuh serigala milik Alena. Seperti apa yang dikatakan Forel, maid yang datang ke pondok kami tadi pagi, kami memutuskan untuk segera meninggalkan tempat persembunyian kami dan segera mencari tempat baru untuk melanjutkan hidup. Tubuhku terasa sangat lelah. Tapi aku tahu Alena jauh lebih lelah dibandingkan dengan diriku. Entah sudah berapa lama dan sejauh apa Alena berlari membawaku. Tapi sejauh ini, belum sekalipun Alena mengeluh ataupun beristirahat sejenak sejak kami meninggalkan pondok itu. Suara Forel masih menggema dalam pikiranku. Jawaban wanita itu terus menghantui kepalaku. Hatiku terasa kosong, dan perasaanku yang sudah hancur kini sudah tidak berbentuk. Hari ini aku sudah kehilangan segalanya. Packku, keluargaku, Putera angkatku, dan juga ... Mateku ...
Langit-langit coklat menjadi pemandangan pertama saat aku membuka mataku. Aroma tanah basah dan juga tumbuhan hijau memenuhi indra penciumanku. Membuatku langsung mengingat dimana tempatku berada. Perlahan aku bangun dan menatap selimut merah yang membukus tubuhku. Dibalik selimut itu pakaianku sudah berganti, bukan lagi pakaian yang kukenakan kemarin. Dan aku juga menemukan lengan kananku yang sudah dibungkus dengan perban. Kurasa Alena yang melakukannya. Kutatap sekelilingku, mencari keberadaan gadis itu. Namun aku tak menemukannya di ruangan ini. “Kak Lena.” Langkahku terhenti saat melihat gadis itu sedang berdiri di depan lemari kayu yang ada di dapur. Pakaian yang dia kenakan sudah berganti lebih baik dari kain lusuh yang sebelumnya. Mendengar panggilanku Alena berbalik, menatapku dengan senyuman khas miliknya. Membuatku tertegun saat melihat senyum di wajah gadis itu. “Kau sudah bangun? Lebih baik kita sarapan sekarang. Ada beberapa buah yang bisa kita makan. M
Mataku membulat, Jantungku terasa berhenti sejenak dan napasku tercekat. Air mataku mengalir deras, mulutku tak mampu bersuara bahkan isak tangisku sama sekali tak terdengar. Semua indraku seolah mati rasa. Kegelapan melingkupiku, mataku tak bisa beralih dari sosok yang bersimbah darah di bawah tangan kotor iblis itu. Hening, aku tak bisa mendengar apapun bahkan detak jantungku sendiri. Karena memang jantungku seperti berhenti berdetak untuk sekarang. Otot-otot sendiku terasa sangat lemas, hingga aku tak memiliki daya sedikit pun untuk bergerak satu senti saja dari tempatku. Kutatap tajam pria itu dengan kedua mataku yang kuyakin sudah gelap seluruhnya. Amarah mengusaiku dan kurasakan Lucy yang semakin liar berusaha mengambil alih tubuhku. Hanya kebencian serta rasa murka yang teramat besar yang mengisi ruang kosong dalam hatiku. “Iblis itu harus mati!” Kalimat itu terus berdengung dalam kepalaku. Rasa murkaku perlahan mengikis logika dan aka
Matanya yang berwarna merah menatapku tajam. Bagai api yang berkobar, hanya dengan tatapannya saja seolah aku sudah hangus terbakar. Dadaku menyempit, paru-paruku terasa terhimpit saat tangan pria berambut perak itu mulai menekan tenggorokanku kuat, mengangkat tubuhku perlahan hingga kakiku mengambang di udara. Pandanganku kian mengabur seiring menipisnya udara yang ada dalam paru-paruku. Air mataku mengumpul di kelopak mata, tak kuat menahan sakit yang menggerogoti tubuhku. Semua terjadi dengan cepat, bahkan sebelum otakku bisa mencerna semuanya. Dobrakan keras sebelumnya mengantarkan seorang pria asing yang memiliki aura yang sangat kuat. Tatapan matanya bagai elang yang mencengkram mangsanya. Kemudian dalam sekejap tubuhku sudah dibawah kendalinya. Tubuhku terasa lemas, sudah berkali kali aku memberontak tapi yang kulakukan hanya menguras tenaga saja. Pria itu menyeringai, mengejek ketidakberdayaanku ditangannya. Sudah terlambat untuk menyelamatkan diri sekarang.
Mataku segera terbuka saat merasakan pergerakan kecil pada tubuhku. Kurasa sesorang seseorang berusaha memindahkan tanganku. Namun aku segera memeluk tubuh Dave kembali setelah orang itu berhasil menyingkirkan tanganku. “Sia, aku membangunkanmu?” suara Dave berbisik pelan. Sepertinya orang yang berusaha menyingkirkan tanganku adalah Dave. Aku mendongakkan kepalaku, menatap wajahnya setelah mengerjapkan mataku beberapa kali “Tidurlah kembali.” Mintanya setelah mengecup keningku sekilas kemudian kembali melingkarkan tangannya di sekeliling tubuhku. Aku melirik kearah jam dinding sekilas. Waktu belum menunjukkan pagi tiba. Tapi kurasa Dave ingin segera melepaskan diri dariku. “Apa aku memelukmu terlalu erat?” tanyaku, memastikan alasan Dave ingin melepaskan diri dariku. “Tidak, bukan begitu,” jawab Dave masih dengan suara yang pelan. “Lalu, kau ingin pergi?” tanyaku kembali, berusaha tetap bernada setenang mungkin. Meskipun rasa takut terus mengg
Mataku perlahan terbuka saat mencium bau tanah yang basah. Hal yang pertama kali kulihat adalah langit mendung yang tertutup oleh daun daun yang lebat. Mataku melebar dan aku segera bangkit saat menyadari tempat ini bukanlah kamarku. Ku abaikan rasa pusing di kepalaku. Dengan panik kuedarkan pandanganku ke segala penjuru. Banyak sekali pohon-pohon besar yang menjulang tinggi di sekitarku. Kemudian aku bisa memastikan bahwa diriku berada di tengah-tengah hutan yang sangat asing untukku. Aku mulai bangkit. Suasana begitu sepi seperti tak ada makhluk hidup lain yang tinggal di sini selain aku dan juga pohon-pohon ini. Kufokuskan indra penciumanku, berusaha mencari bau makhluk lain dihutan ini. Namun tak ada bau apapun yang tercium selain bau khas tanah basah dan juga bau tumbuh tumbuhan yang menyegarkan. Hingga akhirnya samar-samar aku mencium bau yang sangat familiar untukku. Aroma lavender samar-samar tertangkap indra penciumanku. Membuatku langsung mengetahui siapa p
Aku duduk bersandar di kepala ranjang sambil menatap lurus ke depan. Hanya suara jarum jam yang terus beretik yang terdengar di ruangan ini. Jarum jam terus berputar, namun nyatanya waktu berjalan sangat lama. Alice sudah pergi sejak setengah jam yang lalu, meninggalkanku dalam kekacauan di otakku. Apa yang dikatakan Alice masih terus berputar dalam kepalaku. Membuatku merasa kacau sekaligus membuatku menyadari sesuatu. Menyadari seberapa egoisnya diriku. Pintu kamarku terbuka, kulihat gadis bernetra hazel menatapku dengan waspada. Aku hanya melihatnya sekilas, sebelum akhirnya kembali menatap kosong kearah jam dinding yang berada lurus dengan pandanganku. Alena mulai mendekat, dia terlihat khawatir dan juga gelisah. “Apa yang sudah dikatakan Alice?” tanya Alena tanpa berbasa-basi. Aku menatap gadis itu tanpa menjawab pertanyaannya. “Kenapa kalian tidak memberitahuku?” Tanyaku balik, menatapnya dengan tatapan terluka. “Apa yang terjadi di pack? Apa ya