Kubuka mataku saat kurasakan paparan sinar matahari yang hangat menyentuh wajahku. Aku langsung bangkit begitu menyadari jika ini kamar ini begitu asing bagiku. Dan aku baru sadar setelah mencium aroma yang sangat familiar ini. Ini adalah kamar Dave. Suara langkah kaki yang mendekat membuat jantungku ikut berdetak cepat. Aku langsung menarik selimutku dan meremasnya kuat-kuat saat melihat seseorang yang membuka pintu kamar. Genggaman tanganku mulai mengendur setelah melihat siapa yang datang. Dia adalah Dave. Kulihat dia berjalan kearahku sambil membawa nampan yang berisi makanan.
“Selamat pagi,” sapanya sambil menurunkan nampan yang dibawanya di meja. Dia tersenyum dan menatapku hangat.“Pa ... pagi,” jawabku lirih berusaha mengalihkan pandanganku ke arah lain. Bahkan sampai sekarang aku masih belum berani menatapnya lama.“Apa kau masih merasa takut padaku?” tanyanya tiba-tiba membatku langsung menatapnya dan menggeleng dengan cepat. Takut? Bagaimana bisa aku takut pada sikap lembut yang selalu dia berikan?!“Tidak bisakah kau berhenti menggeleng ataupun menganggukkan kepalamu? Lihat bahkan matemu sendiri berpikir kau takut padanya,” cicit Lucy dikepalaku dengan kesal. “Dia matemu juga, Lucy.” Jawabku dengan nada jengkel mengingat Lucy yang selalu menyalahkanku.Tubuhku sedikit menegang saat dia menarikku secara tiba-tiba dalam pelukannya. Ini bukan pertama kalinya dia melakukan hal ini. Tapi tetap saja aku belum terbiasa. Kemudian dia meneggelamkan wajahnya di lekukan leherku, membuatku sedikit terkejut dan hampir memekik namun kutahan kuat-kuat. Aku tak ingin membuatnya merasa tidak nyaman. Aku hanya diam mematung kaku, membiarkan dia menghirup aromaku dan memeluk tubuhku.“Sia ...” Panggilnya setengah berbisik dan aku hanya diam mendengarkan apa yang akan dikatakannya selanjutnya. “Aku mencintaimu ... sangat ...” bisiknya tepat di telingaku dan bisa kurasakan tubuhku langsung menegang mendengarnya. Jantungku memompa lebih cepat dari biasanya dan kurasa Lucy menari nari di dalam sana.“Hei jangan diam saja, bodoh! Cepat katakan bahwa kau juga mencintai dia!” teriak Lucy di dalam kepalaku namun aku tetap mempertahankan kebisuanku.
“Jujur, aku tak tahan melihatmu terus seperti ini. Kau selalu membuatku khawatir setiap saat. Aku ingin membuatmu merasa aman dan nyaman saat bersamaku. Tapi, aku bahkan tak mengerti apa yang kau pikirkan dan apa yang kau rasakan,” ucap Dave yang terdengar begitu frustasi. Aku merasa sedih mendengar suaranya yang parau. Tak kusangka secara tidak langsung aku sudah membuatnya sedih.“Maafkan aku,” gumamku pelan membuatnya menarik tubuhnya dan menatap wajahku.
“Aku tak akan membuatmu khawatir lagi,” ucapku memberanikan diri menatap langsung matanya cukup lama. Dia terkekeh pelan kemudian mengusap kepalaku dengan gemas. Ralat, bukan mengusap kepalaku tapi lebih tepatnya mengacak rambutku. Aku langsung mendengus kesal dan memegang kepalaku. Apa yang membuatku terlihat lucu? Dia malah tertawa setelah itu dan aku justru menatapnya tanpa berkedip sedikitpun. Ini pertama kalinya aku melihat Dave tertawa lepas. Itupun saat dia bersamaku. Dave terlihat sangat manis saat tertawa, bahkan Lucy juga mengakuinya.“Kenapa kau terus menatapku seperti itu, sweetheart?” tanya Dave membuatku sadar telah terlalu lama menatapnya.“Tidak, hanya saja kau membuatku ingat pada kakakku,” jawabku jujur. Aku memang ingat dengan kakak laki-lakiku. Dulu kami sering tertawa bersama dan dia juga sering mengacak-acak rambutku.“Kakak? Jadi kau punya kakak?” tanya Dave yang terlihat takjub sekaligus penasaran. Aku mengangguk memberi jawaban.“Dulu dia sering mengejekku dan juga mengacak-acak rambutku. Kemudian aku akan marah padanya dan mengadukannya pada Ibuku. Tapi dia justru mentertawakanku dan ibu malah membelanya. Dan saat kuadukan Ayahku, ayah malah ikut mentertawakanku. Mereka bilang aku terlihat lucu saat marah,” kataku dengan bersungut-sungut kesal mengingatnya. Aku menoleh ke arah Dave yang tiba-tiba tertawa mendengar perkataanku. “Wajahmu memang sangat lucu saat marah, Sia.” Kata Dave di sela-sela tawanya. Astaga, bahkan mateku sendiri juga mengatakannya. Dengan kesal kucubiti perutnya dan dia langsung menghentikan tawanya. Sejenak aku bisa lihat mata kelabunya yang tampak terkejut sebelum akhirnya mengaduh pelan.“Kalian semua sama-sama menyebalkan,” kataku datar sambil membuang muka berpura-pura masih kesal padanya. Astaga, apa yang sebenarnya aku lakukan?! Entahlah, tapi kami baru saja berbicara dengan normal. Ya, ini pertama kalinya kami bisa bicara dengan lancar. Tapi, kenapa aku harus bersikap kekanakan seperti ini?! Aku ingin segera berbalik dan mengakhiri tingkahku ini. Namun perutku tiba-tiba berbunyi. Membuatku mau tak mau aku menutup wajahku karena malu. Aku benar-benar sudah lapar. Aku segera menunduk dan kudengar Dave kambali tertawa.“Maaf, sekarang aku membuat perutmu marah.” Godanya tapi aku hanya mendiamkannya. Kulihat dia mengambil piring yang ada di nampan yang dibawanya tadi dan memberikannya padaku. Aku menatapnya sebentar kemudian menerima piring itu. Aku mulai menyuapkan makanan yang ada di dalam piring itu ke dalam mulutku dan makan dalam diam. Sedangkan Dave hanya memperhatikan aku yang sedang makan.Semua isi di piring itu sudah masuk kedalam mulutku seluruhnya. Sungguh rasanya sangat lama sekali aku tidak memakan makanan seperti ini. Biasanya mereka hanya akan memberiku makanan sisa yang mungkin sudah setengah basi. Dave terkekeh pelan saat melihatku selesai makan. Entahlah, kurasa hari ini dia lebih banyak tertawa diabandingkan biasanya. Aku hanya menatapnya bingung dan tangannya langsung meraih pipiku.“Ada nasi di pipimu,” katanya sambil menunjukkan sebutir nasi yang dia ambil dari pipiku. Aku langsung menunduk malu dan suara tawanya kembali terdengar setelah keheningan yang cukup lama.“Hei, jangan sembunyikan wajahmu. Kau sangat lucu, kau tau?” Tangan Dave mengangkat daguku perlahan. Membuat mataku segera terkunci dalam manik kelabu miliknya. Jantungku mulai berdetak tak karuan karena aromanya yang sangat dekat dan memabukkan.“Sia ...” Panggilnya dengan suara yang lembut. Tanpa sadar aku menahan napas, menunggunya untuk mengatakan apa yang ingin dikatakannya. Menatapnya tanpa berkedip. Sempat kulihat senyum samar di bibirnya.“Kau ... bau,” katanya dengan nada datar, berhasil membuat mataku membulat sempurna. Tawanya kembali pecah saat aku memalingkan wajahku darinya dan meringsut menjauh darinya. Tentu saja aku sangat malu. Wanita mana pun pasti juga akan merasakan hal yang sama jika tiba-tiba orang lain, terlebih orang yang disukainya mengatakan dirinya bau. Apalagi aku juga belum mandi. Jadi mau tak mau aku percaya ucapan mateku begitu saja.“Hei, aku hanya bercanda,” ucapnya setelah tawanya reda namun aku malah semakin menjauh darinya.“Pergilah, aku ingin mandi sekarang.” Kataku masih menyembunyikan wajahku. Kurasakan dia ingin mendekat ke arahku tapi dengan cepat kutahan.“Pergilah! aku ingin mandi sekarang juga. Jika kau belum ingin pergi juga aku akan ... akan ...” kata-kataku terhenti. Aku berniat mengancamnya namun aku bingung apa yang harus kukatakan agar dia mau pergi sekarang.“Akan?” Dave kembali menggodaku membuatku semakin malu.“Aku tidak akan mau kau peluk lagi!” Seruku dengan spontan. Entah dari mana, kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Dan aku langsung merutuki diriku sendiri setelah mengatakan hal yang memalukan itu. Kudengar Dave hanya terkekeh pelan dan suara langkah kakinya semakin menjauhiku. Aku menoleh ke arah pintu dan melihatnya berdiri di sana sambil menatap ke arahku.“Itu artinya aku boleh memelukmu sepuasnya,” ucapnya dengan seringaian senang sebelum akhirnya menutup pintu kamar kami. Pipiku mulai memanas. Itu tadi sangat memalukan. Tapi juga menyenangkan. Bisa kurasakan Lucy juga merasa begitu bahagia karena kami bisa semakin dekat.“Wow, kau baru saja menggodanya,” kata Lucy dengan nada yang mengejek. Namun aku tak menanggapinya. Aku malah menjatuhkan tubuhku di atas kasur dan berguling-guling di sana. Sungguh, aku merasa begitu senang dan juga malu. Kututup wajahku menggunakan bantal dan senyumku mengembang di dalam sana. Aku benar-benar seperti orang gila sekarang. Aku segera bangkit saat mendengar pintu kamarku yang diketuk dari luar. Dave baru saja keluar dan kurasa Dave tidak akan mengetuk pintu terlebih dahulu untuk masuk ke dalam kamarnya. Dengan ragu aku melangkah ke depan pintu. Kuhembuskan napasku perlahan sebelum memutar knop pintu. Berusaha mengatur ekspresi wajahku dan juga jantungku. Kuharap itu benar-benar bukan Dave. Aku tak tau lagi bagaimana keadaan jantungku jika itu memang benar dia. Dan saat pintu kamarku sudah terbuka, kulihat seorang gadis kecil yang menatapku dengan kedua mata birunya yang lebar dan menggemaskan. Ia menatapku seperti ingin mengatakan sesuatu padaku. Tapi untuk beberapa lama dia masih diam dan meremas kain yang ada dalam pelukannya.“Emm ... Lu ... luna?” ucap gadis kecil itu yang terlihat begitu gugup dan bingung. Aku terkekeh pelan melihat tingkah gadis kecil itu yang membuatku tak tahan ingin mencubit pipi tembamnya. Mendengar kekehanku ia langsung menatapku dengan pandangan yang ... kagum? Entahlah, tapi matanya terlihat berbinar. “Ada apa, gadis manis?” tanyaku dengan lembut seraya merekahkan senyum di wajahku. Kulihat gadis itu sedikit terkejut, menatapku seperti baru saja melihat sebuah berlian. Namun, tak lama setelah itu senyum langsung merekah di wajahnya. “Tante Alena menyuruhku memberikan ini pada Luna.” Tangan mungil gadis kecil itu terulur, memberikan kain yang sedari tadi dipeluknya. Itu adalah sebuah baju. Dengan ragu aku mengambilnya. “Emm ... terimakasih,” kataku sambil menepuk kepala gadis kecil itu lembut dan segera masuk kembali ke kamarku. Aku segera bergegas menuju ke kamar mandi dan membersihkan diri. Aku tidak ingin Dave mengataiku bau lagi. Aku berkutat di depan cermin dan menatap pantulan diriku dengan dress polos biru muda yang panjangnya selutut. Ini adalah baju yang diberikan gadis kecil itu padaku dan aku yakin baju ini adalah milik Alena. Baju ini terlihat sedikit kebesaran untukku, karena tubuhku lebih kurus dari Alena. Kurasa aku harus menaikkan sedikit berat badanku, aku terlihat begitu menyedihkan saat ini. Terkadang aku merasa kasihan pada diriku sendiri, terlebih Dave karena sudah memiliki mate sepertiku. Aku merasa dia tak pantas bersanding denganku. Dia begitu sempurna untukku. Sedangkan aku, aku sangat jauh dari kata sempurna. Aku tidak pernah merawat diri dengan baik, tubuhku terlalu kurus dan tinggiku hanya sebatas dadanya. Aku begitu mungil jika disandingkan dengan dia yang begitu tinggi dan gagah. Aku juga sama sekali tidak cantik, aku tidak memiliki apapun yang bisa dibanggakan. Kadang aku merasa jika Dave lebih baik menolakku dan mencari wanita yang lebih pantas untuk menjadi Lunanya.***Aku berjalan hendak keluar dari kamarku, dan aku sedikit terkejut melihat gadis kecil itu masih berdiri di depan pintu kamarku. Dia tersenyum saat melihatku membuka pintu lebar. Kurasa gadis itu menungguiku sejak tadi. Aku berjongkok untuk menyamakan tinggiku dengan gadis itu.“Apa kau menungguku dari tadi?” tanyaku lembut dan langsung dibalas dengan anggukan oleh gadis itu. Mendengar jawabannya membuatku merasa begitu bersalah.“Emm ... jadi siapa namamu? tanyaku sambil mengusap lembut kepala gadis itu.“Lily,” jawabnya singkat kembali merekahkan senyum di wajahnya.“Ya. Jadi, kenapa kau menungguku, Lily?”, tanyaku dengan lembut tanpa melepas usapan di kepalanya. Dia kelihatan menyukai apa yang aku lakukan.“Tante Alena menyuruhku mengajak Luna berkeliling kastil,” jawab Lily dengan polos. Aku terkekeh pelan melihat betapa menggemaskan ekspresinya.&ld
Kini kami tengah duduk di sofa kamar kami, tempat dimana Dave setiap malam tidur. Dia sedang mengelus kepalaku dan menciumi rambutku juga keningku dengan penuh kasih sayang dan aku hanya diam masih memikirkan dua anak malang itu. Stiff dan Maro, tidak kusangka anak sekecil mereka sudah harus merasakan sakitnya rasa kehilangan. Aku masih ingat wajah sedih mereka yang begitu terluka, tapi setelah Dave membisikkan sesuatu pada mereka senyum mereka langsung merekah dan kesedihan mereka sirna begitu saja. Sebenarnya apa yang sudah Dave katakan pada mereka? Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku membuatku tak tahan untuk tidak menanyakannya pada Dave. “Dave? ... ” panggilku lirih dan dia mulai menghentikan aktivitasnya. Dia hanya diam tak menjawabku, mungkin menungguku untuk bicara. “Sebenarnya apa yang sudah kau bisikkan pada mereka tadi?” tanyaku tak tahan dengan rasa penasaranku. Dave menatapku dan mulai menyeringai, “Jadi kau penasaran tentang itu?” Aku lang
Aku keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri. Kejadian yang baru saja terjadi tentu saja belum bisa lepas dari pikiranku. Aku tidak tau harus bersikap bagaimana lagi saat nanti bertatap muka dengan Dave. “Adik Ipar! ... umm ... tidak tapi ... Luna!” Panggil Alena yang entah sejak kapan berada di kamarku. Aku sedikit mengerutkan keningku menatap gadis itu dari atas sampai bawah. Alena memang sangat cantik. Bahkan aku mengakui hal itu saat pertama kali melihatnya. Namun kali ini penampilannya sangat berbeda. Gadis itu terlihat sangat anggun dan lebih cantik dengan polesan make up tipis dan gaun warna hijau yang jatuh menjuntai sampai menutup mata kakinya. “Aku membawakan gaun yang akan kau gunakan nanti, dan aku juga akan mendandanimu. Aku yakin mereka semua pasti akan memandangmu dengan kagum nanti. Pokoknya serahkan semuanya padaku,” ucap Alena langsung menarik tanganku dan memilihkan aku gaun yang sudah dibawanya. Mengabaikan aku yang kebingungan deng
Dave menarikku dalam pelukannya dan menenggelamkan wajahnya dalam lekukan leherku. Seusai pesta itu kami menghabiskan waktu di dalam kamar. Aku masih memakai gaun warna putih yang kupakai tadi dan Dave hanya memakai kemeja putihnya. Kami berdiri berhadapan, dengan posisi kami yang kurasa sedikit kurang nyaman. Dave menghirupi aromaku dengan rakus dan aku hanya bisa diam dan menggigit bibir bawahku. Menahan suara aneh yang bisa saja keluar dari mulutku. Hembusan napasnya bisa kurasakan dengan jelas di leherku, menimbulkan efek geli dan berbagai percikan di sana.Aku memekik terkejut saat Dave mulai memainkan lidahnya di leherku. Membuatku langsung mendorongnya. Ingatan buruk terlintas di kepalaku. Jantungku berdetak ketakutan. Dave terlihat begitu terkejut dengan reaksiku. Dan aku langsung merutuki tindakan bodohku itu. Dave mungkin tersinggung dengan perbuatanku. Kudengar Lucy terus berteriak memprotes tindakanku barusan.“Ma ... maaf aku hanya ....”
Aku memutuskan untuk segera kembali ke taman. Perasaanku tidak enak karena meninggalkan anak-anak itu sendiri dalam keadaan terlelap di tempat terbuka. Namun, masih beberapa langkah aku ingin kembali tiba-tiba sebuah sapu tangan diikuti tangan besar membekap mulutku dengan kasar. Mataku segera melebar melihat siapa orang yang melakukan ini semua. Orang yang kupikir sudah lepas dari kehidupanku, ternyata dia kembali untuk menangkapku. “Jack!” Lucy berseru dalam pikiranku. Aku berusaha meronta dan memberontak saat tangan besarnya menarik tubuhku dan menyeretnya pergi. Tapi, apalah daya kekuatanku sama sekali tak berpengaruh padanya. Rasa kantuk yang tiba-tiba menyergapku membuat kegelapan mau tak mau harus menelanku. *** Mataku terasa berat untuk terbuka ditambah kepalaku yang sedikit terasa pening. Apa yang baru saja terjadi? Ingatan terakhirku masih terasa kabur. Namun sebuah suara langsung membuatku tersadar dan mengingat semua dengan jelas
Aku terbangun merasakan rasa sakit di sekujur tubuhku. Mataku melebar menatap sekelilingku. Ingatanku terputar kembali pada kejadian beberapa saat yang lalu. Aku berusaha bangkit dan aku langsung sadar tubuh polosku tak tertutup oleh apapun. Segera kutarik selimut yang ada ranjang milik Kelly dan langsung kubungkus tubuhku dengan selimut itu. Bau anyir memenuhi indra penciumanku. Darah yang masih sangat segar berceceran di lantai bahkan menempel di tubuhku. Air mataku sudah mengalir deras dan hanya suara isak tangisku yang bisa kudengar di ruangan ini. Sulit bagiku mempercayai semua kenyataan ini. Kenyataan bahwa aku sudah membunuh mereka semua dengan kedua tanganku sendiri. Kueratkan pelukanku pada selimut yang membungkus tubuhku dan aku hanya bisa meringkuk di sudut ruangan, di dalam bayang-bayang. “Sia! ... Sia! ... Dimana kau?!” Bisa kudengar dengan jelas suara yang begitu familiar untukku, diikuti suara langkah kaki yang semakin mendekat ke tempatku. Tak s
Aku melihatnya ... lagi. Seorang gadis berambut pirang yang muncul dari kegelapan datang menghampiriku. Banyak noda darah yang menempel di tubuhnya dan di tangan kanannya sudah terdapat sebuah cambuk yang terlihat sangat familiar di mataku. Gadis itu terus mendekat hingga wajahnya berada tepat di depan wajahku. Tubuhku gemetar. Aku merasa begitu ketakutan, namun anehnya aku tak bisa melakukan apapun selain diam di tempatku berdiri sekarang. “Kembalikan ibuku, dasar pembunuh!” teriak gadis itu dengan suaranya yang melengking. Seketika kurasakan lantai yang kupijak bergetar hebat dan gadis di hadapanku terlihat sedang menyeringai seperti seoarang iblis keji. Aku menutup mataku rapat-rapat, berusaha menghilangkan wajah Jessy yang terus menghantui pikiranku. Perlahan aku kembali membuka mataku saat merasa Jessy sudah menghilang dari hadapanku. Dan benar saja, saat kubuka mataku sosok Jessy sudah menghilang meninggalkanku sendirian dalam ruang yang entah aku sendiri tak t
Kejadian yang sangat tiba-tiba ini benar-benar membuatku merasa bingung, terlebih sampai saat ini Alena masih belum memberi penjelasan apapun kepadaku. Aku masih belum tau apa tujuan Alena membawaku ke sebuah pondok kecil di tengah hutan yang saat ini sedang kami tempati. Dia sama sekali tak memberiku penjelasan apa-apa setelah kami sampai di pondok ini. Alena justru sibuk membereskan ruangan di pondok kecil ini yang memang terlihat kurang terawat.Dari luar pondok ini terlihat seperti sebuah tempat rahasia. Setidaknya itulah kesanku saat pertama kali melihat pondok ini. Pondok kecil ini seperti bersembunyi dan menyatu dengan alam. Hampir seluruh permukaan temboknya tertutup oleh lumut hijau bahkan beberapa tumbuhan sulur sudah tumbuh subur di temboknya. Seolah-olah alam sendiri yang ingin menyembunyikan keberadaan pondok ini.“Kak Lena ....” Panggilku dengan ragu memperhatikan gadis yang masih sibuk membersihkan beberapa benda yang ada di ruang tengah. Aku
“Mama, aku ingin bermain keluar! Aku akan pulang sebelum petang!” Teriak seorang bocah laki-laki yang berusia lima tahun yang tampak mengganti kaosnya dengan tergesa.“David, Mama melarangmu pergi! Sudah berkali-kali kuperingtkan jangan bermain ke dalam hutan itu lagi!” teriak seorang wanita dari arah dapur, namun sama sekali tidak di gubris oleh David, nama bocah laki-laki itu.“Aku akan baik-baik saja! Aku sayang Mama dan tante Alena!” teriak David yang sudah berlari keluar dari rumah sederhana miliknya, mengabaikan suara teriakan Ibunya yang terus memanggil namanya.“Dasar, anak itu sama sekali tak mendengarkanku!” Keluh Levia kesal melihat putera semata wayangnya yang tak pernah menurut padanya. Sedang Alena, satu-satunya orang yang sedang bersamanya hanya terkekeh melihat kekesalan adik iparnya.“Sudah biarkan saja. Dia masih pada masa kejayaannya. Jangan terlalu overprotektif padan
Langit tampak cerah dan matahari bersinar terik. Titik-titik peluh mulai menetes dari keningku. Menyirami tanaman bukanlah pekerjaan yang berat, tapi karena usia kandunganku yang sudah tua membuatku cepat kelelahan. Kuhela napas lelahku setelah berhasil duduk di sebuah kursi kayu yang berada di teras depan rumah. Akhirnya setelah sekian lama terlunta-lunta di antara hutan, berpindah dari tempat satu ke tempat lainya, akhirnya kami memutuskan untuk menetap dan berbaur dengan manusia. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat. Setelah hari-hari buruk itu kami akhirnya menemukan tempat yang cukup aman sehingga kami bisa tinggal sedikit lebih lama di sana. Kami menemukan sebuah perkampungan kecil, dimana adat istiadat dan kesederhanaan sangat dijunjung tinggi. Tempat yang dihuni oleh ras manusia dan jauh dari ras werewolf, tentu ini adalah tempat yang paling aman untuk tinggal. Penduduk kampung di sini juga sangat baik dan ramah, mungkin karena itulah aku dan Alena cukup m
Kulitku seperti mati rasa, tak lagi bisa merasakan dingin saat tubuhku berkali-kali menembus kabut dan juga melawan dinginnya angin malam. Aku hanya memejamkan mata sambil mengeratkan pegangan tanganku pada tubuh serigala milik Alena. Seperti apa yang dikatakan Forel, maid yang datang ke pondok kami tadi pagi, kami memutuskan untuk segera meninggalkan tempat persembunyian kami dan segera mencari tempat baru untuk melanjutkan hidup. Tubuhku terasa sangat lelah. Tapi aku tahu Alena jauh lebih lelah dibandingkan dengan diriku. Entah sudah berapa lama dan sejauh apa Alena berlari membawaku. Tapi sejauh ini, belum sekalipun Alena mengeluh ataupun beristirahat sejenak sejak kami meninggalkan pondok itu. Suara Forel masih menggema dalam pikiranku. Jawaban wanita itu terus menghantui kepalaku. Hatiku terasa kosong, dan perasaanku yang sudah hancur kini sudah tidak berbentuk. Hari ini aku sudah kehilangan segalanya. Packku, keluargaku, Putera angkatku, dan juga ... Mateku ...
Langit-langit coklat menjadi pemandangan pertama saat aku membuka mataku. Aroma tanah basah dan juga tumbuhan hijau memenuhi indra penciumanku. Membuatku langsung mengingat dimana tempatku berada. Perlahan aku bangun dan menatap selimut merah yang membukus tubuhku. Dibalik selimut itu pakaianku sudah berganti, bukan lagi pakaian yang kukenakan kemarin. Dan aku juga menemukan lengan kananku yang sudah dibungkus dengan perban. Kurasa Alena yang melakukannya. Kutatap sekelilingku, mencari keberadaan gadis itu. Namun aku tak menemukannya di ruangan ini. “Kak Lena.” Langkahku terhenti saat melihat gadis itu sedang berdiri di depan lemari kayu yang ada di dapur. Pakaian yang dia kenakan sudah berganti lebih baik dari kain lusuh yang sebelumnya. Mendengar panggilanku Alena berbalik, menatapku dengan senyuman khas miliknya. Membuatku tertegun saat melihat senyum di wajah gadis itu. “Kau sudah bangun? Lebih baik kita sarapan sekarang. Ada beberapa buah yang bisa kita makan. M
Mataku membulat, Jantungku terasa berhenti sejenak dan napasku tercekat. Air mataku mengalir deras, mulutku tak mampu bersuara bahkan isak tangisku sama sekali tak terdengar. Semua indraku seolah mati rasa. Kegelapan melingkupiku, mataku tak bisa beralih dari sosok yang bersimbah darah di bawah tangan kotor iblis itu. Hening, aku tak bisa mendengar apapun bahkan detak jantungku sendiri. Karena memang jantungku seperti berhenti berdetak untuk sekarang. Otot-otot sendiku terasa sangat lemas, hingga aku tak memiliki daya sedikit pun untuk bergerak satu senti saja dari tempatku. Kutatap tajam pria itu dengan kedua mataku yang kuyakin sudah gelap seluruhnya. Amarah mengusaiku dan kurasakan Lucy yang semakin liar berusaha mengambil alih tubuhku. Hanya kebencian serta rasa murka yang teramat besar yang mengisi ruang kosong dalam hatiku. “Iblis itu harus mati!” Kalimat itu terus berdengung dalam kepalaku. Rasa murkaku perlahan mengikis logika dan aka
Matanya yang berwarna merah menatapku tajam. Bagai api yang berkobar, hanya dengan tatapannya saja seolah aku sudah hangus terbakar. Dadaku menyempit, paru-paruku terasa terhimpit saat tangan pria berambut perak itu mulai menekan tenggorokanku kuat, mengangkat tubuhku perlahan hingga kakiku mengambang di udara. Pandanganku kian mengabur seiring menipisnya udara yang ada dalam paru-paruku. Air mataku mengumpul di kelopak mata, tak kuat menahan sakit yang menggerogoti tubuhku. Semua terjadi dengan cepat, bahkan sebelum otakku bisa mencerna semuanya. Dobrakan keras sebelumnya mengantarkan seorang pria asing yang memiliki aura yang sangat kuat. Tatapan matanya bagai elang yang mencengkram mangsanya. Kemudian dalam sekejap tubuhku sudah dibawah kendalinya. Tubuhku terasa lemas, sudah berkali kali aku memberontak tapi yang kulakukan hanya menguras tenaga saja. Pria itu menyeringai, mengejek ketidakberdayaanku ditangannya. Sudah terlambat untuk menyelamatkan diri sekarang.
Mataku segera terbuka saat merasakan pergerakan kecil pada tubuhku. Kurasa sesorang seseorang berusaha memindahkan tanganku. Namun aku segera memeluk tubuh Dave kembali setelah orang itu berhasil menyingkirkan tanganku. “Sia, aku membangunkanmu?” suara Dave berbisik pelan. Sepertinya orang yang berusaha menyingkirkan tanganku adalah Dave. Aku mendongakkan kepalaku, menatap wajahnya setelah mengerjapkan mataku beberapa kali “Tidurlah kembali.” Mintanya setelah mengecup keningku sekilas kemudian kembali melingkarkan tangannya di sekeliling tubuhku. Aku melirik kearah jam dinding sekilas. Waktu belum menunjukkan pagi tiba. Tapi kurasa Dave ingin segera melepaskan diri dariku. “Apa aku memelukmu terlalu erat?” tanyaku, memastikan alasan Dave ingin melepaskan diri dariku. “Tidak, bukan begitu,” jawab Dave masih dengan suara yang pelan. “Lalu, kau ingin pergi?” tanyaku kembali, berusaha tetap bernada setenang mungkin. Meskipun rasa takut terus mengg
Mataku perlahan terbuka saat mencium bau tanah yang basah. Hal yang pertama kali kulihat adalah langit mendung yang tertutup oleh daun daun yang lebat. Mataku melebar dan aku segera bangkit saat menyadari tempat ini bukanlah kamarku. Ku abaikan rasa pusing di kepalaku. Dengan panik kuedarkan pandanganku ke segala penjuru. Banyak sekali pohon-pohon besar yang menjulang tinggi di sekitarku. Kemudian aku bisa memastikan bahwa diriku berada di tengah-tengah hutan yang sangat asing untukku. Aku mulai bangkit. Suasana begitu sepi seperti tak ada makhluk hidup lain yang tinggal di sini selain aku dan juga pohon-pohon ini. Kufokuskan indra penciumanku, berusaha mencari bau makhluk lain dihutan ini. Namun tak ada bau apapun yang tercium selain bau khas tanah basah dan juga bau tumbuh tumbuhan yang menyegarkan. Hingga akhirnya samar-samar aku mencium bau yang sangat familiar untukku. Aroma lavender samar-samar tertangkap indra penciumanku. Membuatku langsung mengetahui siapa p
Aku duduk bersandar di kepala ranjang sambil menatap lurus ke depan. Hanya suara jarum jam yang terus beretik yang terdengar di ruangan ini. Jarum jam terus berputar, namun nyatanya waktu berjalan sangat lama. Alice sudah pergi sejak setengah jam yang lalu, meninggalkanku dalam kekacauan di otakku. Apa yang dikatakan Alice masih terus berputar dalam kepalaku. Membuatku merasa kacau sekaligus membuatku menyadari sesuatu. Menyadari seberapa egoisnya diriku. Pintu kamarku terbuka, kulihat gadis bernetra hazel menatapku dengan waspada. Aku hanya melihatnya sekilas, sebelum akhirnya kembali menatap kosong kearah jam dinding yang berada lurus dengan pandanganku. Alena mulai mendekat, dia terlihat khawatir dan juga gelisah. “Apa yang sudah dikatakan Alice?” tanya Alena tanpa berbasa-basi. Aku menatap gadis itu tanpa menjawab pertanyaannya. “Kenapa kalian tidak memberitahuku?” Tanyaku balik, menatapnya dengan tatapan terluka. “Apa yang terjadi di pack? Apa ya