Kini kami tengah duduk di sofa kamar kami, tempat dimana Dave setiap malam tidur. Dia sedang mengelus kepalaku dan menciumi rambutku juga keningku dengan penuh kasih sayang dan aku hanya diam masih memikirkan dua anak malang itu. Stiff dan Maro, tidak kusangka anak sekecil mereka sudah harus merasakan sakitnya rasa kehilangan. Aku masih ingat wajah sedih mereka yang begitu terluka, tapi setelah Dave membisikkan sesuatu pada mereka senyum mereka langsung merekah dan kesedihan mereka sirna begitu saja. Sebenarnya apa yang sudah Dave katakan pada mereka?
Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku membuatku tak tahan untuk tidak menanyakannya pada Dave.
“Dave? ... ” panggilku lirih dan dia mulai menghentikan aktivitasnya. Dia hanya diam tak menjawabku, mungkin menungguku untuk bicara.
“Sebenarnya apa yang sudah kau bisikkan pada mereka tadi?” tanyaku tak tahan dengan rasa penasaranku. Dave menatapku dan mulai menyeringai, “Jadi kau penasaran tentang itu?” Aku langsung mengangguk mengiyakan pertanyaanya.
“Apa ya? Ah tidak, itu rahasia diantara kami bertiga.” Aku mendengus kesal mendengar jawabannya. Kudengar dia terkekeh pelan dan mengacak rambutku dengan gemas. Aku memegangi rambutku dan semakin mengerucutkan bibirku. Dia tertawa renyah dan aku hanya mendiamkannya.
“Kau terlihat sangat menyukai mereka,” ujarnya setelah tawanya mereda. Aku menoleh ke arahnya dan mengangguk dengan antusias. Senyuman terulas di bibirku, aku memang sangat senang bertemu dengan anak anak yang menggemaskan itu.
“Kau tidak takut pada mereka?” tanyanya dengan hati-hati. Kukerutkan keningku mencerna maksud kata-katanya. Wajahnya terlihat begitu serius membuatku semakin bingung dengan maksud kata-katanya. Kenapa harus takut? Pada makluk menggemaskan itu?
“Maksudku, kau selalu merasa takut dengan orang yang baru kau kenal. Ya, bahkan ... awalnya kau juga takut padaku. Tapi anak-anak itu ... kau dengan sangat mudah mengambil hati mereka,” ujarnya kurang nyaman. Kurasa itu memang benar, bahkan sampai saat ini aku belum tau bagaimana perasaanku pada mateku. Yang jelas aku merasa aman dan nyaman bersama dengannya.
“Dulu aku sering main bersama anak kecil yang tinggal di sebelah rumahku, jadi aku sudah biasa menangani mereka. Aku juga menyukai mereka, bagiku mereka adalah makhluk polos yang sangat menggemaskan,” jawabku setelah terdiam cukup lama. Jawabanku mungkin terdengar konyol, tapi Dave masih diam dan terus memperhatikanku.
“Pasti rasanya sangat berat bagi mereka saat kehilangan kedua orangtuanya di usia yang masih sangat kecil,” gumamku lirih sambil meremas ujung pakaianku. Aku menatap sedih ke arah lantai yang kupijak. Apa yang dialami kedua anak itu tidak beda jauh dengan apa yang aku alami. Aku mengerti betul bagaimana perasaan mereka.
“Aku mengerti, tapi aku tak ingin melihatmu sedih seperti ini,” ujar Dave pelan menarikku dalam pelukannya dan mengelus kepalaku.
“Maaf, aku hanya tak tahan melihat mereka. Apa yang mereka alami tak jauh berbeda denganku. Aku tahu persis bagaimana rasanya kehilangan keluarga yang menjadi satu-satunya sumber kehidupanku,” ujarku dengan pandangan yang setengah kosong. Aku menyandarkan kepalaku di dada Dave tanpa berpikir sama sekali. Pikiranku sedikit kacau karena memoriku tentang orang tuaku yang terbunuh malam itu kini terputar kembali dalam otakku.
“Pasti sangat berat ya? Apa kau mau membaginya denganku? Aku juga ingin merasakan beban itu bersamamu. Jadi, bagilah rasa sakit itu bersamaku” Dave memejamkan matanya sangat aku mendongak untuk menatapnya. Wajahnya terlihat begitu berharap dan hatiku mulai bimbang apakah aku harus menceritakan kejadian malam itu kepada Dave?
“Dia mate kita, Levi. Dia berhak tau semuanya tentang diri kita,” ujar Lucy meyakinkanku.
“Aku akan menceritakannya,” jawabku hampir seperti sebuah bisikan. Aku mengambil napasku dan berusaha menenangkan hatiku. Mungkin ini akan terasa menyakitkan karena apa yang aku lakukan seperti menggores pisau pada lukaku yang dulu, membuatku mengingat rasa sakitnya.
“Aku memiliki sebuah keluarga kecil yang bahagia yang merupakan bagian sebuah pack kecil bernama Goldmoon Pack yang berada jauh dari aktivitas manusia. Pack kami lebih suka bersembunyi dari pada berusaha berbaur dengan manusia. Yang kami inginkan hanyalah kedamaian. Tapi malam itu, tepatnya lima tahun yang lalu pack kami dibantai oleh para Rogue. Semua anggota packku gugur, hampir tak tersisa. Ayahku yang menjabat sebagai Alpha pun mereka bunuh dengan keji. Begitu pula dengan kakakku, mereka membunuhnya. Lalu Ibuku ... dia membawaku lari”, aku terhenti dan napasku tercekat. Rasanya aku tak sangup melanjutkannya, isakan kecil lolos dari mulutku bersama air mata yang mulai membanjiri wajahku.
“Jangan lanjutkan,” ucap Dave dengan suara yang sedikit serak namun aku langsung menggeleng kuat. Selama ini Dave tak pernah memaksaku untuk menceritakan apapun tentang diriku, tapi kali ini tak akan kubiarkan lagi dia bersabar lebih lama untuk menungguku berbicara. Kuhembuskan napas beberapa kali dan pelukan Dave semakin erat.
“Disaat Ibuku membawaku berlari, tiba-tiba beberapa Rogue menyerang kami dan Ibuku melawannya sendirian. Ia menyuruhku melarikan diri ... dan dengan bodohnya aku mengikuti kata-katanya. Aku ... membiarkan para Rogue itu ... mengoyak tubuh Ibuku! Mereka ... mereka membunuhnya! .... Mereka membunuh Ibuku! ... tepat di depan mataku!” Tangisku pecah dan luka itu terasa membakar hatiku kembali. Aku meraung raung dan Dave semakin memeluk tubuhku dengan erat, menenggelamkanku ke dalam dada bidangnya dan membiarkanku menghirup aromanya. Aku memeluk pinggangnya dan meremas kaos yang dipakainya kuat kuat, aku menangis dan terisak dalam pelukannya.
***
Aku mulai menggeliat dan merasakan sesuatu yang berat menimpa pinggangku, membuatku tak bisa bergerak sekaligus merasa aman. Mataku masih terasa berat apalagi mencium bau yang begitu kuat ini. Tiba-tiba ingatanku tertuju pada hal terakhir apa yang aku lakukan sebelum ditelan kegelapan ini. Aku menangis terisak dalam pelukan Dave. Oh astaga! aku bahkan memeluknya tanpa ragu sedikit pun. Mengingat hal itu aku langsung membuka mataku dan langsung tersentak kaget mendapati wajah Dave yang begitu dekat denganku. Napasku tercekat begitu sadar bagaimana posisi kami sekarang. Kami tidur dalam satu ranjang dengan posisi tanganku yang memeluk pinggangnya begitu pula tangannya yang berada di pinggangku, tubuh kami sangat dekat begitu pula wajah tampannya. Tidak, kami terlalu dekat! Dengan spontan tanganku langsung mendorong dadanya agar menjauh dari tubuhku. Tubuhnya menjauh beberpa senti dan matanya mulai terbuka dengan paksa.
“Kau sudah bangun?” tanyanya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur, berusaha mengumpulkan kesadarannya. Sedangkan aku melotot kearahnya dan bibirku hanya bisa membuka menutup seakan suara yang ingin kukeluarkan hanya bisa sampai di tenggorokan saja.
“D ... dave ....” Akhirnya suaraku yang keluar seperti orang yang tercekik. Mendengarku memanggil namanya kesadarannya langsung terkumpul dan mata dark greynya menatapku terkejut sekaligus bingung.
Jantungku terus berpacu dengan cepat dan mataku tak lepas dari mata dark greynya. Oh, aku tak tau lagi bagaimana wajahku saat ini! Pipiku memanas dan napasku tertahan. Ini pertama kalinya aku begitu dekat dengan laki-laki selain Ayah dan kakak laki-lakiku. Emm ... dan Jack ... dia tak termasuk dalam hitunganku. Ah bodoh! bagaiamana bisa aku mengingat pria brengsek itu lagi.
“Sia?” panggil Dave seraya mendekatkan wajahnya padaku. Mengabaikan doronganku barusan. Aku yang dilanda rasa panik tanpa pikir panjang langsung beringsut menjauh. Aku merasa sedikit menyesal saat melihat Dave yang tampak begitu terkejut dengan reaksiku.
‘Kenapa kau menjauh dari mate kita, bodoh?! Lihat kau membuatnya terkejut dengan tingkah bodohmu itu!’ Lucy mengomel dalam pikiranku, membuatku semakin merasa bersalah.
Aku kembali menatap Dave. Mata dark greynya tampak redup. Juga raut wajahnya berubah murung. Dave memposisikan tubuhnya duduk menyender di kepala ranjang dan memalingkan wajahnya ke arah lain. Dia tak lagi menatapku. Entah mengapa, tapi melihatnya yang seperti ini membuat hatiku sedikit sakit. Dan aku menyadarinya .... Aku tidak suka melihatnya sedih.
“Kau benar Lucy, aku memang bodoh. Tapi ... apa yang harus kulakukan sekarang?” tanyaku sungguh tak paham. Biasanya aku akan minta maaf dan memohon ampun saat membuat orang lain marah. Namun, aku tak tahu harus melakukan apa saat membuat orang lain bersedih. Lucy hanya mendengus kesal dan tak mau menjawabku. Aku menghembuskan napasku panjang. Aku benar-benar tidak suka situasi seperti ini.
“Kau selalu saja mengabaikanku. Sebelum kau meminta maaf pada mate kita, maka aku tidak akan mau bicara padamu lagi!” ancam Lucy yang akhirnya mau menjawabku.
“M ... maaf ....” Ucapku sangat lirih tapi aku yakin dia pasti bisa mendengarnya. Aku hanya menunduk, belum berani menoleh kearahnya. Kurasakan tangannya yang hangat menyentuh daguku, membuatku mau tak mau menghadap wajahnya langsung. Bibirnya menyunggingkan senyum kearahku dan matanya menatapku seolah mengatakan ‘tidak apa-apa’.
“Jangan meminta maaf lagi, karena kau tidak pernah melakukan kesalahan,” ujarnya lembut masih mempertahankan senyum di bibirnya. Ibu jarinya perlahan mengelus pipiku, membuat pipiku sedikit merona. Ia terkekeh pelan membuatku sadar dan langsung memalingkan wajahku. Tanpa sadar aku sedah menatapnya lama hampir tak berkedip. Ah, lagi-lagi aku melakukan hal yang bodoh.
“Lebih baik kau membersihkan diri kemudian turun untuk makan malam,” ujar Dave melepaskan tangannya dari wajahku kemudian keluar dari kamar kami.
***
Aku keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri. Kejadian yang baru saja terjadi tentu saja belum bisa lepas dari pikiranku. Aku tidak tau harus bersikap bagaimana lagi saat nanti bertatap muka dengan Dave. “Adik Ipar! ... umm ... tidak tapi ... Luna!” Panggil Alena yang entah sejak kapan berada di kamarku. Aku sedikit mengerutkan keningku menatap gadis itu dari atas sampai bawah. Alena memang sangat cantik. Bahkan aku mengakui hal itu saat pertama kali melihatnya. Namun kali ini penampilannya sangat berbeda. Gadis itu terlihat sangat anggun dan lebih cantik dengan polesan make up tipis dan gaun warna hijau yang jatuh menjuntai sampai menutup mata kakinya. “Aku membawakan gaun yang akan kau gunakan nanti, dan aku juga akan mendandanimu. Aku yakin mereka semua pasti akan memandangmu dengan kagum nanti. Pokoknya serahkan semuanya padaku,” ucap Alena langsung menarik tanganku dan memilihkan aku gaun yang sudah dibawanya. Mengabaikan aku yang kebingungan deng
Dave menarikku dalam pelukannya dan menenggelamkan wajahnya dalam lekukan leherku. Seusai pesta itu kami menghabiskan waktu di dalam kamar. Aku masih memakai gaun warna putih yang kupakai tadi dan Dave hanya memakai kemeja putihnya. Kami berdiri berhadapan, dengan posisi kami yang kurasa sedikit kurang nyaman. Dave menghirupi aromaku dengan rakus dan aku hanya bisa diam dan menggigit bibir bawahku. Menahan suara aneh yang bisa saja keluar dari mulutku. Hembusan napasnya bisa kurasakan dengan jelas di leherku, menimbulkan efek geli dan berbagai percikan di sana.Aku memekik terkejut saat Dave mulai memainkan lidahnya di leherku. Membuatku langsung mendorongnya. Ingatan buruk terlintas di kepalaku. Jantungku berdetak ketakutan. Dave terlihat begitu terkejut dengan reaksiku. Dan aku langsung merutuki tindakan bodohku itu. Dave mungkin tersinggung dengan perbuatanku. Kudengar Lucy terus berteriak memprotes tindakanku barusan.“Ma ... maaf aku hanya ....”
Aku memutuskan untuk segera kembali ke taman. Perasaanku tidak enak karena meninggalkan anak-anak itu sendiri dalam keadaan terlelap di tempat terbuka. Namun, masih beberapa langkah aku ingin kembali tiba-tiba sebuah sapu tangan diikuti tangan besar membekap mulutku dengan kasar. Mataku segera melebar melihat siapa orang yang melakukan ini semua. Orang yang kupikir sudah lepas dari kehidupanku, ternyata dia kembali untuk menangkapku. “Jack!” Lucy berseru dalam pikiranku. Aku berusaha meronta dan memberontak saat tangan besarnya menarik tubuhku dan menyeretnya pergi. Tapi, apalah daya kekuatanku sama sekali tak berpengaruh padanya. Rasa kantuk yang tiba-tiba menyergapku membuat kegelapan mau tak mau harus menelanku. *** Mataku terasa berat untuk terbuka ditambah kepalaku yang sedikit terasa pening. Apa yang baru saja terjadi? Ingatan terakhirku masih terasa kabur. Namun sebuah suara langsung membuatku tersadar dan mengingat semua dengan jelas
Aku terbangun merasakan rasa sakit di sekujur tubuhku. Mataku melebar menatap sekelilingku. Ingatanku terputar kembali pada kejadian beberapa saat yang lalu. Aku berusaha bangkit dan aku langsung sadar tubuh polosku tak tertutup oleh apapun. Segera kutarik selimut yang ada ranjang milik Kelly dan langsung kubungkus tubuhku dengan selimut itu. Bau anyir memenuhi indra penciumanku. Darah yang masih sangat segar berceceran di lantai bahkan menempel di tubuhku. Air mataku sudah mengalir deras dan hanya suara isak tangisku yang bisa kudengar di ruangan ini. Sulit bagiku mempercayai semua kenyataan ini. Kenyataan bahwa aku sudah membunuh mereka semua dengan kedua tanganku sendiri. Kueratkan pelukanku pada selimut yang membungkus tubuhku dan aku hanya bisa meringkuk di sudut ruangan, di dalam bayang-bayang. “Sia! ... Sia! ... Dimana kau?!” Bisa kudengar dengan jelas suara yang begitu familiar untukku, diikuti suara langkah kaki yang semakin mendekat ke tempatku. Tak s
Aku melihatnya ... lagi. Seorang gadis berambut pirang yang muncul dari kegelapan datang menghampiriku. Banyak noda darah yang menempel di tubuhnya dan di tangan kanannya sudah terdapat sebuah cambuk yang terlihat sangat familiar di mataku. Gadis itu terus mendekat hingga wajahnya berada tepat di depan wajahku. Tubuhku gemetar. Aku merasa begitu ketakutan, namun anehnya aku tak bisa melakukan apapun selain diam di tempatku berdiri sekarang. “Kembalikan ibuku, dasar pembunuh!” teriak gadis itu dengan suaranya yang melengking. Seketika kurasakan lantai yang kupijak bergetar hebat dan gadis di hadapanku terlihat sedang menyeringai seperti seoarang iblis keji. Aku menutup mataku rapat-rapat, berusaha menghilangkan wajah Jessy yang terus menghantui pikiranku. Perlahan aku kembali membuka mataku saat merasa Jessy sudah menghilang dari hadapanku. Dan benar saja, saat kubuka mataku sosok Jessy sudah menghilang meninggalkanku sendirian dalam ruang yang entah aku sendiri tak t
Kejadian yang sangat tiba-tiba ini benar-benar membuatku merasa bingung, terlebih sampai saat ini Alena masih belum memberi penjelasan apapun kepadaku. Aku masih belum tau apa tujuan Alena membawaku ke sebuah pondok kecil di tengah hutan yang saat ini sedang kami tempati. Dia sama sekali tak memberiku penjelasan apa-apa setelah kami sampai di pondok ini. Alena justru sibuk membereskan ruangan di pondok kecil ini yang memang terlihat kurang terawat.Dari luar pondok ini terlihat seperti sebuah tempat rahasia. Setidaknya itulah kesanku saat pertama kali melihat pondok ini. Pondok kecil ini seperti bersembunyi dan menyatu dengan alam. Hampir seluruh permukaan temboknya tertutup oleh lumut hijau bahkan beberapa tumbuhan sulur sudah tumbuh subur di temboknya. Seolah-olah alam sendiri yang ingin menyembunyikan keberadaan pondok ini.“Kak Lena ....” Panggilku dengan ragu memperhatikan gadis yang masih sibuk membersihkan beberapa benda yang ada di ruang tengah. Aku
Aku berusaha mengatur napasku dan mengendalikan deru jantungku yang masih tidak beraturan. Aku sudah kembali dalam wujud manusiaku, begitu pula Alena. Bisa kucium banyak sekali aroma wolf ditempat ini, dengan itu aku yakin bahwa kami memang sudah sangat dekat dengan tempat tujuan kami.“Aku yakin kita sudah sangat dekat,” ucap Alena pelan dengan mimik wajah yang serius. Aku mengangguk menyetujui ucapan Alena. Kuedarkan pandanganku pada sekelilingku, memastikan tidak ada wolf lain yang menyadari keberadaan kami disini. Kami segera bergerak perlahan, berpindah dari pohon satu dan pohon lain. Berusaha bersembunyi dan tidak menarik perhatian wolf lain.Kututup mataku perlahan dan berusaha memusatkan pikiranku pada aroma yang aku terima. Aku hanya perlu memfokuskan indra penciumanku untuk mencari aroma milik Dave di sini. Aku segera membuka mataku saat bau lavender yang memabukkan sudah terdeteksi penciumanku dan aku segera mengikuti a
Bisa kurasakan rasa sakit di sekujur tubuhku disertai hawa dingin yang terasa menusuk kulitku. Kesadaranku mulai terkumpul namun aku tak bisa membuka mataku. Ada sesuatu yang diikat dikepalaku dan menutupi pandanganku. Tubuhku terasa sangat lemas, namun posisiku saat ini memaksaku untuk tetap berdiri tegak. Tanganku terasa perih dan panas terlilit oleh besi logam yang dingin dan aku yakin jika aku sudah tergantung di posisi ini dalam waktu yang cukup lama.Tubuhku menegang, aku terkesiap saat mendengar suara pintu dan langkah kaki yang mendekat. Aku bisa langsung mencium aroma wolf yang sangat tidak asing bagiku. Aroma terakhir yang kuingat sebelum gelap mengambil kesadaranku.“Kau sudah sadar, sweety?” Tanya Eros dengan suara yang terdengar menjijikkan di telingaku. Aku hanya memalingkan muka tanpa membalas ucapan pria itu. Memori terakhirku kembali terputar dalam pikiranku, mengingat hal terakhir sebelum diriku berakhir di tangan pria in
“Mama, aku ingin bermain keluar! Aku akan pulang sebelum petang!” Teriak seorang bocah laki-laki yang berusia lima tahun yang tampak mengganti kaosnya dengan tergesa.“David, Mama melarangmu pergi! Sudah berkali-kali kuperingtkan jangan bermain ke dalam hutan itu lagi!” teriak seorang wanita dari arah dapur, namun sama sekali tidak di gubris oleh David, nama bocah laki-laki itu.“Aku akan baik-baik saja! Aku sayang Mama dan tante Alena!” teriak David yang sudah berlari keluar dari rumah sederhana miliknya, mengabaikan suara teriakan Ibunya yang terus memanggil namanya.“Dasar, anak itu sama sekali tak mendengarkanku!” Keluh Levia kesal melihat putera semata wayangnya yang tak pernah menurut padanya. Sedang Alena, satu-satunya orang yang sedang bersamanya hanya terkekeh melihat kekesalan adik iparnya.“Sudah biarkan saja. Dia masih pada masa kejayaannya. Jangan terlalu overprotektif padan
Langit tampak cerah dan matahari bersinar terik. Titik-titik peluh mulai menetes dari keningku. Menyirami tanaman bukanlah pekerjaan yang berat, tapi karena usia kandunganku yang sudah tua membuatku cepat kelelahan. Kuhela napas lelahku setelah berhasil duduk di sebuah kursi kayu yang berada di teras depan rumah. Akhirnya setelah sekian lama terlunta-lunta di antara hutan, berpindah dari tempat satu ke tempat lainya, akhirnya kami memutuskan untuk menetap dan berbaur dengan manusia. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat. Setelah hari-hari buruk itu kami akhirnya menemukan tempat yang cukup aman sehingga kami bisa tinggal sedikit lebih lama di sana. Kami menemukan sebuah perkampungan kecil, dimana adat istiadat dan kesederhanaan sangat dijunjung tinggi. Tempat yang dihuni oleh ras manusia dan jauh dari ras werewolf, tentu ini adalah tempat yang paling aman untuk tinggal. Penduduk kampung di sini juga sangat baik dan ramah, mungkin karena itulah aku dan Alena cukup m
Kulitku seperti mati rasa, tak lagi bisa merasakan dingin saat tubuhku berkali-kali menembus kabut dan juga melawan dinginnya angin malam. Aku hanya memejamkan mata sambil mengeratkan pegangan tanganku pada tubuh serigala milik Alena. Seperti apa yang dikatakan Forel, maid yang datang ke pondok kami tadi pagi, kami memutuskan untuk segera meninggalkan tempat persembunyian kami dan segera mencari tempat baru untuk melanjutkan hidup. Tubuhku terasa sangat lelah. Tapi aku tahu Alena jauh lebih lelah dibandingkan dengan diriku. Entah sudah berapa lama dan sejauh apa Alena berlari membawaku. Tapi sejauh ini, belum sekalipun Alena mengeluh ataupun beristirahat sejenak sejak kami meninggalkan pondok itu. Suara Forel masih menggema dalam pikiranku. Jawaban wanita itu terus menghantui kepalaku. Hatiku terasa kosong, dan perasaanku yang sudah hancur kini sudah tidak berbentuk. Hari ini aku sudah kehilangan segalanya. Packku, keluargaku, Putera angkatku, dan juga ... Mateku ...
Langit-langit coklat menjadi pemandangan pertama saat aku membuka mataku. Aroma tanah basah dan juga tumbuhan hijau memenuhi indra penciumanku. Membuatku langsung mengingat dimana tempatku berada. Perlahan aku bangun dan menatap selimut merah yang membukus tubuhku. Dibalik selimut itu pakaianku sudah berganti, bukan lagi pakaian yang kukenakan kemarin. Dan aku juga menemukan lengan kananku yang sudah dibungkus dengan perban. Kurasa Alena yang melakukannya. Kutatap sekelilingku, mencari keberadaan gadis itu. Namun aku tak menemukannya di ruangan ini. “Kak Lena.” Langkahku terhenti saat melihat gadis itu sedang berdiri di depan lemari kayu yang ada di dapur. Pakaian yang dia kenakan sudah berganti lebih baik dari kain lusuh yang sebelumnya. Mendengar panggilanku Alena berbalik, menatapku dengan senyuman khas miliknya. Membuatku tertegun saat melihat senyum di wajah gadis itu. “Kau sudah bangun? Lebih baik kita sarapan sekarang. Ada beberapa buah yang bisa kita makan. M
Mataku membulat, Jantungku terasa berhenti sejenak dan napasku tercekat. Air mataku mengalir deras, mulutku tak mampu bersuara bahkan isak tangisku sama sekali tak terdengar. Semua indraku seolah mati rasa. Kegelapan melingkupiku, mataku tak bisa beralih dari sosok yang bersimbah darah di bawah tangan kotor iblis itu. Hening, aku tak bisa mendengar apapun bahkan detak jantungku sendiri. Karena memang jantungku seperti berhenti berdetak untuk sekarang. Otot-otot sendiku terasa sangat lemas, hingga aku tak memiliki daya sedikit pun untuk bergerak satu senti saja dari tempatku. Kutatap tajam pria itu dengan kedua mataku yang kuyakin sudah gelap seluruhnya. Amarah mengusaiku dan kurasakan Lucy yang semakin liar berusaha mengambil alih tubuhku. Hanya kebencian serta rasa murka yang teramat besar yang mengisi ruang kosong dalam hatiku. “Iblis itu harus mati!” Kalimat itu terus berdengung dalam kepalaku. Rasa murkaku perlahan mengikis logika dan aka
Matanya yang berwarna merah menatapku tajam. Bagai api yang berkobar, hanya dengan tatapannya saja seolah aku sudah hangus terbakar. Dadaku menyempit, paru-paruku terasa terhimpit saat tangan pria berambut perak itu mulai menekan tenggorokanku kuat, mengangkat tubuhku perlahan hingga kakiku mengambang di udara. Pandanganku kian mengabur seiring menipisnya udara yang ada dalam paru-paruku. Air mataku mengumpul di kelopak mata, tak kuat menahan sakit yang menggerogoti tubuhku. Semua terjadi dengan cepat, bahkan sebelum otakku bisa mencerna semuanya. Dobrakan keras sebelumnya mengantarkan seorang pria asing yang memiliki aura yang sangat kuat. Tatapan matanya bagai elang yang mencengkram mangsanya. Kemudian dalam sekejap tubuhku sudah dibawah kendalinya. Tubuhku terasa lemas, sudah berkali kali aku memberontak tapi yang kulakukan hanya menguras tenaga saja. Pria itu menyeringai, mengejek ketidakberdayaanku ditangannya. Sudah terlambat untuk menyelamatkan diri sekarang.
Mataku segera terbuka saat merasakan pergerakan kecil pada tubuhku. Kurasa sesorang seseorang berusaha memindahkan tanganku. Namun aku segera memeluk tubuh Dave kembali setelah orang itu berhasil menyingkirkan tanganku. “Sia, aku membangunkanmu?” suara Dave berbisik pelan. Sepertinya orang yang berusaha menyingkirkan tanganku adalah Dave. Aku mendongakkan kepalaku, menatap wajahnya setelah mengerjapkan mataku beberapa kali “Tidurlah kembali.” Mintanya setelah mengecup keningku sekilas kemudian kembali melingkarkan tangannya di sekeliling tubuhku. Aku melirik kearah jam dinding sekilas. Waktu belum menunjukkan pagi tiba. Tapi kurasa Dave ingin segera melepaskan diri dariku. “Apa aku memelukmu terlalu erat?” tanyaku, memastikan alasan Dave ingin melepaskan diri dariku. “Tidak, bukan begitu,” jawab Dave masih dengan suara yang pelan. “Lalu, kau ingin pergi?” tanyaku kembali, berusaha tetap bernada setenang mungkin. Meskipun rasa takut terus mengg
Mataku perlahan terbuka saat mencium bau tanah yang basah. Hal yang pertama kali kulihat adalah langit mendung yang tertutup oleh daun daun yang lebat. Mataku melebar dan aku segera bangkit saat menyadari tempat ini bukanlah kamarku. Ku abaikan rasa pusing di kepalaku. Dengan panik kuedarkan pandanganku ke segala penjuru. Banyak sekali pohon-pohon besar yang menjulang tinggi di sekitarku. Kemudian aku bisa memastikan bahwa diriku berada di tengah-tengah hutan yang sangat asing untukku. Aku mulai bangkit. Suasana begitu sepi seperti tak ada makhluk hidup lain yang tinggal di sini selain aku dan juga pohon-pohon ini. Kufokuskan indra penciumanku, berusaha mencari bau makhluk lain dihutan ini. Namun tak ada bau apapun yang tercium selain bau khas tanah basah dan juga bau tumbuh tumbuhan yang menyegarkan. Hingga akhirnya samar-samar aku mencium bau yang sangat familiar untukku. Aroma lavender samar-samar tertangkap indra penciumanku. Membuatku langsung mengetahui siapa p
Aku duduk bersandar di kepala ranjang sambil menatap lurus ke depan. Hanya suara jarum jam yang terus beretik yang terdengar di ruangan ini. Jarum jam terus berputar, namun nyatanya waktu berjalan sangat lama. Alice sudah pergi sejak setengah jam yang lalu, meninggalkanku dalam kekacauan di otakku. Apa yang dikatakan Alice masih terus berputar dalam kepalaku. Membuatku merasa kacau sekaligus membuatku menyadari sesuatu. Menyadari seberapa egoisnya diriku. Pintu kamarku terbuka, kulihat gadis bernetra hazel menatapku dengan waspada. Aku hanya melihatnya sekilas, sebelum akhirnya kembali menatap kosong kearah jam dinding yang berada lurus dengan pandanganku. Alena mulai mendekat, dia terlihat khawatir dan juga gelisah. “Apa yang sudah dikatakan Alice?” tanya Alena tanpa berbasa-basi. Aku menatap gadis itu tanpa menjawab pertanyaannya. “Kenapa kalian tidak memberitahuku?” Tanyaku balik, menatapnya dengan tatapan terluka. “Apa yang terjadi di pack? Apa ya