Disaat hampir semua teman perempuannya tidak bisa membaca g****e maps, Naileen benar-benar bisa membacanya. Bukan karena dia pintar dan ingin tahu. Tetapi, rasa takutnya melebihi rasa ingin tahunya akan jalan.
Nilam mungkin ibu yang sabar dengan kelakuan Naileen. Tapi tidak dengan cara gadis itu membaca maps saat pertama kali saat mereka berencana ke Madiun yang membuat mereka bablas sampai Surabaya karena tidak berbelok. Salah siapa? Tentu saja Naileen.
Sejak saat itu, dia bertekad untuk bisa membaca maps agar ibunya tidak berubah menjadi nenek lampir yang sangat jahat yang menguasai semua ilmu sihir hitam di dunia ini. Okay, itu terlalu hiperbola. Tetapi kemarahan dan kekesalan Nilam saat itu benar-benar membuat Naileen tak bisa berkutik sama sekali. Bahkan Cakra yang tadinya beristirahat di bangku tengah langsung terbangun dengan wajah bodohnya.
"Ma, kayaknya bener deh disini."
"Iya. Bentar, ada satpamnya. Kok glowing banget kayak bodyguard."
Mobil mereka berhenti di gerbang pemeriksaan. Seorang satpam dengan seragam hitam menghormat sopan, "Permisi, Bu. Ada keperluan apa?"
"Saya mau jemput cucu saya, Pak. Dia lagi main sama temennya."
Satpam tadi mengangguk mengerti, "Atas nama siapa dan blok apa, Ibu?" Tanyanya sopan. Naileen melirik isi ruang obrolannya dengan Dewa sekilas, "Blok Emerald nomor sepuluh, Pak. Rumahnya Om Arlo Gideon." Jawab Naileen.
Seorang satpam lain yang berjaga di dalam pos pun akhirnya mengasih kode pada satpam tadi untuk membiarkan mereka masuk ke dalam Crystal townhouse. Nilam pun melanjutkan mobilnya mencari blok emerald yang sebenarnya sangat mudah ditemukan karena townhouse seperti ini tidak memiliki banyak rumah. Meskipun begitu, terdapat banyak fasilitas mewah yang mereka lewati. Salah satunya adalah taman bermain yang luas dan indah untuk berpiknik.
"Ah, bener. Ini rumahnya."
"Huh. Akhirnya."
Naileen dan Nilam turun dari dalam mobil dan menekan bell di dekat pagar rumah milik teman si kembar ini. Tak butuh waktu lama, pagar khusus pejalan kaki terbuka. Seorang wanita kisaran 30-an tersenyum ramah dengan seragam khas suster.
"Selamat siang. Ada keperluan apa, Bu?"
Nilam tersenyum, "Saya mau jemput si kembar, Sus. Bapaknya sendiri yang minta tolong ke saya."
"Ah begitu... masuk dulu, Bu. Kebetulan di dalam juga ada Nyonya lagi nemenin mereka bermain."
"Makasih, Sus."
Nilam mengikuti langkah ART di depannya. Sedangkan Naileen malah berhenti di ruang tamu dengan mata terpesona dan bibir terbuka lebar. Alih-alih merasa bersyukur dan kaya dengan apa yang dimiliki keluarganya, Naileen malah merasa sangat miskin setelah memasuki rumah ini.
"Padahal dari depan kelihatan minimalis. Siapa sangka kalau bakalan semewah tapi nggak kampungan kayak gini?" Gumam Naileen. Dia berjalan menghampiri meja panjang sebagai alas untuk beberapa bingkai foto berukuran kecil dan beberapa vas bunga dengan bunga asli. Di sebelah meja itu dan setiap sudut rumah ini terdapat guci tinggi sebagai hiasan.
Cantik banget. Pikir Naileen.
Naileen memegang bingkai foto yang berisikan keluarga kecil. Dia tersenyum kecil, "Imut." Gumamnya pelan.
"KAK NAI!" kejut Raja tiba-tiba berteriak di dekatnya. Naileen yang terkejut pun berteriak ketakutan. Tanpa sengaja menjatuhkan bingkai tadi karena spontan menutup kedua telinganya.
PRANGGGG!!!
Bunyi suara pecahan yang keras itu membuat semua orang di dalam rumah ini berlari tergopoh-gopoh dengan wajah terkejut bercampur cemas. Sedangkan si pelaku satu dan dua malah berdiri seperti orang linglung setelah mundur beberapa langkah dari tempat mereka berdiri barusan. Keduanya menganga terkejut dengan saling menatap satu sama lain.
"Naileen ..." suara rendah sang ibu sukses membuat alarm siaga tiga di kepalanya berbunyi kencang. Dia menatap wajah Nilam yang sudah tersenyum dengan mata menyipit yang siap melaser wajahnya. "Mau sampe umur berapa tangan kamu usil, hm?" Tanya Nilam lembut. Sangat lembut sampai membuat dia merasa terancam.
Lily yang merasa kondisi disekitarnya mencekam pun buru-buru menghangatkan suasananya. Dia memanggil ART nya untuk membereskan pecahan beling yang tidak seberapa itu lalu tersenyum ke arah Naileen.
"Kakak umurnya berapa? Cantik banget sih anaknya Bu Nilam ini."
Nilam mendengus, "Cantik sih cantik, Bu. Tapi malesnya minta ampun." Sindirnya terang-terangan. Naileen cemberut ke arah ibunya, "Aku baru 21 tahun, Tan."
"Pasti seru ya, Bu, punya anak gadis. Ibunya masih muda, anaknya juga udah bisa diajak shopping."
"Oh jelas, Tan. Mama itu sangat bahagia. Kalau mau minta duit tambahan ke Papa aja lewat aku." Celetuk Naileen membongkar salah satu kartu AS milik Nilam. Nilam hanya tersenyum malu sambil menatap Naileen sinis.
Lily tertawa pelan.
"Ah kalau itu mah biasa. Tante juga sewaktu seumuran kamu sering kongkalingkong sama maminya Tante."
"Dengerin tuh."
"Apasih, Mama?" Naileen beralih memegang lengan Lily dengan wajah memelas, "Aku minta maaf ya, Tan. Tadi nggak sengaja jatuhin karena dikagetin sama Raja."
"Udah gede masih aja nyalahin anak kecil. Salahmu sendiri, Nai. Kok dikagetin sampe begitu."
"Kok Mama sensi banget sih?"
"Enggak tuh," Nilam mengibaskan rambut tebalnya yang baru dia coloring di salon lalu menggandeng tangan Raja dan Ratu, "Ayo guys kita pulang. Tinggalin Kakak Nai aja."
Naileen menganga kecil melihat sang ibu yang sangat kekanakan. Berbeda dengan Lily yang sudah tertawa geli melihat interaksi ibu dan anak yang baru dia kenal.
"Bu, saya balik dulu ya." Pamit Nilam. Lily tersenyum, "Kakak jangan panggil aku ibu lah. Panggil aja Lily."
"Iya deh, Lily."
"See you soon, Kak Nilam." Ujar Lily sambil melambaikan tangannya. Nilam menekan klaksonnya bersamaan dengan Ratu, Raja, dan Naileen yang ikut melambaikan tangan ke arah Lily dan Leo dalam gendongan sang ibu.
Begitu mobil mereka keluar dari townhouse elit itu, semuanya sepakat untuk makan siang di richeese factory. Terutama Raja dan Ratu yang sangat ingin memesan pink lava dan tambahan saus keju yang banyak.
"Kamu bisa makan sendiri nggak, Raja?" Tanya Naileen yang datang dengan satu nampan berisi minuman mereka. Disusul oleh Nilam yang juga membawa satu nampan lainnya, "Adek bisa makan sendiri nggak?"
"Bisa lah."
"Enggak."
Nilam mengangkat kedua alisnya saat pertanyaan untuk Ratu malah dijawab juga oleh Naileen. Sadar akan kebodohannya, Naileen menyengir. Dia sudah terbiasa dipanggil adik oleh ibunya.
"Kok Kak Nai juga jawab sih?" Komentar Raja. Nilam terkekeh, "Kakak Nai juga suka Oma panggil adek di rumah, Raja."
"Oh ..."
"Selamat makan~"
Nilam pun menyuapi Ratu yang sedang manja. Sebenarnya dia tahu bahwa Ratu sudah bisa makan sendiri. Tetapi, sepertinya hari ini Ratu memang sedang ingin bermanja. Beberapa saat lalu ketika masih di kediaman keluarga Gideon, Ratu membisik pelan di telinga Nilam bahwa dia ingin mempunyai ibu seperti Lily. Kontan saja hal itu membuat perasaan Nilam terkejut dan sedih.
•••
"Raja, besok mau nonton nggak? Ada film baru di bioskop."
Raja yang duduk di ayunan sebelah Naileen mengangguk, "Boleh. Nanti aku bilang ke Papi supaya dikasih jajan." Cengirnya.
Naileen terkekeh sambil menggeleng.
"Nggak usah. Kakak punya uang kok kalau cuma buat ngajak Raja sama Ratu jalan atau makan."
"Tapi kata Papi, kita itu nggak miskin. Jadi kalau mau jalan-jalan bilang aja, nanti Papi kasih uang." Celetuk Ratu polos dalam pangkuan Naileen. Raja mengangguk mengiyakan, "Bener, Kak. Kita pernah ikut keluarga Leo jalan-jalan ke Japan. Papi langsung transfer Sus Tari buat jajan kita bertiga."
"Tapi akhirnya nggak kepake karena Aunt Lily yang bayar semuanya."
"Terus kata Leo, Papi akhirnya transfer ke Aunt Lily dua kali lipat."
Naileen melongo, "Masa? Kok kamu tahu?" Sahut Naileen memasang wajah bodohnya; setengah percaya pada cerita Raja dan Ratu.
Ratu menyentuh dagunya dengan jari telunjuk mungilnya. Dia mengangkat kedua bahunya bingung, "Leo yang cerita ke kita."
"Soalnya Leo bilang, dia dibeliin Macbook sama Ipad baru sama Aunt Lily dari uang Papi," timpal Raja. Ratu kembali mengangguk, "Aunt Lily sama Uncle Arlo nggak tahu uang itu mau diapain karena sebenernya mereka biasa aja kalau biayain perjalanan kami ke Japan waktu itu."
Naileen bersumpah dia tidak pernah kekurangan sejak kecil. Bahkan kemauannya selalu dituruti oleh kedua orangtuanya, termasuk nenek kakeknya dari kedua belah pihak. Tetapi, mendengar cerita anak kembar ini dia benar-benar shock. Dirinya seketika menyadari bahwa dia tidak sebanding dengan Dewa.
"Ah sial... kalau gini, gue harus kerja keras supaya sanggup jadi ibu mereka." Gumam Naileen sangat pelan.
Dia benar-benar tak habis pikir. Bagaimana bisa ada orang seperti Dewa dan Lily? Pihak satu memiliki rasa tidak enak dan mengembalikan apa yang sudah anaknya nikmati, pihak lainnya merasa biasa saja malah senang. Tetapi karena uangnya diganti kembali, mereka sampai bingung mau dipakai untuk apa sehingga berakhir membelikan apa yang anaknya mau.
Sepertinya memang dia harus kerja keras agar bisa menjadi ibu yang luar biasa kelak bagi mereka. Pikiran konyol Naileen membuat dirinya sendiri tersenyum geli.
Naileen memotret beberapa gambar Raja dan Ratu yang asyik bermain gelembung di taman komplek bersama anak-anak seumurannya. Nilam di sebelahnya tampak santai berjemur di atas karpet yang mereka bawa."Ma, ini matahari sore, bukan pagi.""So what? I love this."Naileen memutar bolamatanya, "Ma, jadi seorang ibu itu berat nggak sih?" Tanya Naileen tiba-tiba. Nilam melirik anaknya sekilas lalu berdehem, "Mudah aja sebenernya. Tapi karena Mama dapet anaknya modelan kamu, itu susah banget.""Dih?""Petakilan, boros, pundungan. Susah banget disuruh beberes rumah.""Jahat banget."Nilam terkekeh pelan, "Nai, menjadi orangtua itu nggak semudah yang dipikirin kebanyakan kaum muda-mudi. Tapi juga nggak sesusah yang kalian bayangin. Ada saatnya kalian bahagia banget, ada saatnya juga kalian sedih, stres, bahkan marah," Nilam merubah posisinya menjadi miring sambil menatap anak tunggalnya. "Semua fase hidup ini kan selalu beragam macam perasaan. Entah saat kamu jadi seorang anak, remaja, dewasa,
Pagi ini di kediaman Bimantara terlihat begitu ramai karena ada si kembar yang ikut duduk sarapan bersama mereka di meja makan. Cakra membantu Raja memotong sandwich isi omelette kesukaannya. Sedangkan Nilam menyuapi Ratu yang lebih memilih nasi goreng sebagai menu sarapan paginya."Kak Nai udah bangun belum sih?" Tanya Nilam. Raja mengangguk, "Udah kok, Oma. Habis mandiin Ratu baru Kakak Nai yang mandi." Jawabnya tenang."Aku liatin Kak Nai dulu ya, Oma." Usul Ratu langsung kabur menuju lantai atas sebelum mendengar jawaban dari Nilam.Nilam hanya menggelengkan kepalanya pelan. Cakra menyesap kopi hitam panas miliknya, "Papa suka banget kalau rame gini, Ma.""Nggak ada si kembar aja rumah kita udah rame, Pa.""Bener juga sih."Ratu membuka pintu kamar lalu menyengir ketika melihat Naileen sedang berdandan di depan meja rias. Bocah berusia 4 tahun itu mendekati Naileen."Lho? Ratu udah sarapan?"Ratu mengangguk, "Lagi disuapin Oma. Tapi aku naik karena mau liat Kak Nai udah selesai ma
"AAAA PAPIII!!!" BRAKKK!!!Naileen terjatuh dari motornya ketika dia menarik rem mendadak. Dia meringis kesakitan sambil mendirikan motornya kembali. Matanya membulat ketika melihat sepasang anak kecil terjatuh tak jauh darinya. Matanya menyipit sebentar untuk memfokuskan pandangannya. Begitu sadar, dia langsung menghampiri mereka."Raja? Ratu?" Naileen membantu menarik sepeda berwarna merah yang meniban tubuh bocah lucu dengan rambut tebal berwarna cokelat itu. "Kamu nggak papa?" Tanya Naileen berjongkok di depan Raja yang sudah terduduk sambil menekuk lututnya yang terluka. Di sebelahnya, Ratu masih menangis kencang dengan lengan yang lecet karena tergores. Naileen mengangkat Ratu ke pangkuannya, "Nggak papa, Ratu... jangan nangis. Sakit banget ya?"Ratu menggeleng, "Abang kasihan."Naileen menganga sebentar lalu berdehem, "Ssstt, jangan nangis lagi. Raja aja kuat tuh nggak nangis, iya kan?""Bener, Ratu. Jangan nangis. Masa gitu aja cengeng, kalau nangis nanti kita nggak boleh m
Naileen mengerang pelan saat suara alarm ponselnya berdering. Dengan malas dia membuka matanya lalu duduk di tepi kasur. Setelah melakukan beberapa peregangan kecil, dia segera masuk ke dalam kamar mandi. Tak lupa dia menyalakan bluetooth speaker di kamarnya untuk menemaninya berendam di dalam bath-up. Suara lembut member EXO itu memenuhi seisi kamar mandi. Sambil memainkan busa di dalam bath-up, bibirnya ikut bersenandung dalam musik. "Hah... bubur depan supermarket atau smoothie aja ya?" Gumam Naileen memikirkan sarapannya pagi ini. Ditengah-tengah ketentraman yang dia rasakan, di rumah sebelahnya malah heboh tak karuan karena teriakan Ratu. Teriakan gadis kecil itu sukses membangunkan seisi rumah yang masih terlelap pulas, tadinya. Dewa berlari menuju kamar anaknya dengan raut wajah cemas. Namun, saat masuk ke dalam kamar, bukannya sang anak yang membuatnya cemas malah keadaan kamar yang membuatnya ingin mengumpat. Keadaan kamar begitu sangat berantakan. Ditambah dua anaknya
"Wajib sarapan, antar sekolah kalau Om Dewa harus berangkat lebih pagi, pulang sekolah dijemput setengah jam lebih awal ..." Naileen menyebutkan semua keseharian Sus Tari ketika mengasuh si kembar. Dia menahan helaan nafas beratnya agar tidak terlihat sangat terkejut dengan list di tangannya. "... tidur jam sembilan malam, perhatian rutinitas sebelum tidur seperti cuci muka, gosok gigi, dan dibacakan buku dongeng.""Maaf banget, Nai. Kelihatannya banyak banget dan bikin lelah. Tapi kamu tenang aja, si kembar itu nggak nakal kok. Mereka gampang dinasihatin dan nurut. Nggak akan selelah kelihatannya." Ringis Sus Tari sebentar.Naileen mengangguk, "Okay, Sus. Santai aja. Kalo aku kesusahan, ada Mama kok. Aku yakin Mama mau bantu, apalagi Mama suka banget sama si kembar."Sus Tari tersenyum lega. Keduanya berdiri saat mendengar bunyi klakson mobil. Sus Tari memeluk Naileen erat saat keduanya berdiri di samping mobil rental yang sudah dipesankan oleh Dewa beserta supirnya. "Sekali lagi ak
Pagi ini di kediaman Bimantara terlihat begitu ramai karena ada si kembar yang ikut duduk sarapan bersama mereka di meja makan. Cakra membantu Raja memotong sandwich isi omelette kesukaannya. Sedangkan Nilam menyuapi Ratu yang lebih memilih nasi goreng sebagai menu sarapan paginya."Kak Nai udah bangun belum sih?" Tanya Nilam. Raja mengangguk, "Udah kok, Oma. Habis mandiin Ratu baru Kakak Nai yang mandi." Jawabnya tenang."Aku liatin Kak Nai dulu ya, Oma." Usul Ratu langsung kabur menuju lantai atas sebelum mendengar jawaban dari Nilam.Nilam hanya menggelengkan kepalanya pelan. Cakra menyesap kopi hitam panas miliknya, "Papa suka banget kalau rame gini, Ma.""Nggak ada si kembar aja rumah kita udah rame, Pa.""Bener juga sih."Ratu membuka pintu kamar lalu menyengir ketika melihat Naileen sedang berdandan di depan meja rias. Bocah berusia 4 tahun itu mendekati Naileen."Lho? Ratu udah sarapan?"Ratu mengangguk, "Lagi disuapin Oma. Tapi aku naik karena mau liat Kak Nai udah selesai ma
Naileen memotret beberapa gambar Raja dan Ratu yang asyik bermain gelembung di taman komplek bersama anak-anak seumurannya. Nilam di sebelahnya tampak santai berjemur di atas karpet yang mereka bawa."Ma, ini matahari sore, bukan pagi.""So what? I love this."Naileen memutar bolamatanya, "Ma, jadi seorang ibu itu berat nggak sih?" Tanya Naileen tiba-tiba. Nilam melirik anaknya sekilas lalu berdehem, "Mudah aja sebenernya. Tapi karena Mama dapet anaknya modelan kamu, itu susah banget.""Dih?""Petakilan, boros, pundungan. Susah banget disuruh beberes rumah.""Jahat banget."Nilam terkekeh pelan, "Nai, menjadi orangtua itu nggak semudah yang dipikirin kebanyakan kaum muda-mudi. Tapi juga nggak sesusah yang kalian bayangin. Ada saatnya kalian bahagia banget, ada saatnya juga kalian sedih, stres, bahkan marah," Nilam merubah posisinya menjadi miring sambil menatap anak tunggalnya. "Semua fase hidup ini kan selalu beragam macam perasaan. Entah saat kamu jadi seorang anak, remaja, dewasa,
Disaat hampir semua teman perempuannya tidak bisa membaca google maps, Naileen benar-benar bisa membacanya. Bukan karena dia pintar dan ingin tahu. Tetapi, rasa takutnya melebihi rasa ingin tahunya akan jalan. Nilam mungkin ibu yang sabar dengan kelakuan Naileen. Tapi tidak dengan cara gadis itu membaca maps saat pertama kali saat mereka berencana ke Madiun yang membuat mereka bablas sampai Surabaya karena tidak berbelok. Salah siapa? Tentu saja Naileen. Sejak saat itu, dia bertekad untuk bisa membaca maps agar ibunya tidak berubah menjadi nenek lampir yang sangat jahat yang menguasai semua ilmu sihir hitam di dunia ini. Okay, itu terlalu hiperbola. Tetapi kemarahan dan kekesalan Nilam saat itu benar-benar membuat Naileen tak bisa berkutik sama sekali. Bahkan Cakra yang tadinya beristirahat di bangku tengah langsung terbangun dengan wajah bodohnya."Ma, kayaknya bener deh disini.""Iya. Bentar, ada satpamnya. Kok glowing banget kayak bodyguard."Mobil mereka berhenti di gerbang peme
"Wajib sarapan, antar sekolah kalau Om Dewa harus berangkat lebih pagi, pulang sekolah dijemput setengah jam lebih awal ..." Naileen menyebutkan semua keseharian Sus Tari ketika mengasuh si kembar. Dia menahan helaan nafas beratnya agar tidak terlihat sangat terkejut dengan list di tangannya. "... tidur jam sembilan malam, perhatian rutinitas sebelum tidur seperti cuci muka, gosok gigi, dan dibacakan buku dongeng.""Maaf banget, Nai. Kelihatannya banyak banget dan bikin lelah. Tapi kamu tenang aja, si kembar itu nggak nakal kok. Mereka gampang dinasihatin dan nurut. Nggak akan selelah kelihatannya." Ringis Sus Tari sebentar.Naileen mengangguk, "Okay, Sus. Santai aja. Kalo aku kesusahan, ada Mama kok. Aku yakin Mama mau bantu, apalagi Mama suka banget sama si kembar."Sus Tari tersenyum lega. Keduanya berdiri saat mendengar bunyi klakson mobil. Sus Tari memeluk Naileen erat saat keduanya berdiri di samping mobil rental yang sudah dipesankan oleh Dewa beserta supirnya. "Sekali lagi ak
Naileen mengerang pelan saat suara alarm ponselnya berdering. Dengan malas dia membuka matanya lalu duduk di tepi kasur. Setelah melakukan beberapa peregangan kecil, dia segera masuk ke dalam kamar mandi. Tak lupa dia menyalakan bluetooth speaker di kamarnya untuk menemaninya berendam di dalam bath-up. Suara lembut member EXO itu memenuhi seisi kamar mandi. Sambil memainkan busa di dalam bath-up, bibirnya ikut bersenandung dalam musik. "Hah... bubur depan supermarket atau smoothie aja ya?" Gumam Naileen memikirkan sarapannya pagi ini. Ditengah-tengah ketentraman yang dia rasakan, di rumah sebelahnya malah heboh tak karuan karena teriakan Ratu. Teriakan gadis kecil itu sukses membangunkan seisi rumah yang masih terlelap pulas, tadinya. Dewa berlari menuju kamar anaknya dengan raut wajah cemas. Namun, saat masuk ke dalam kamar, bukannya sang anak yang membuatnya cemas malah keadaan kamar yang membuatnya ingin mengumpat. Keadaan kamar begitu sangat berantakan. Ditambah dua anaknya
"AAAA PAPIII!!!" BRAKKK!!!Naileen terjatuh dari motornya ketika dia menarik rem mendadak. Dia meringis kesakitan sambil mendirikan motornya kembali. Matanya membulat ketika melihat sepasang anak kecil terjatuh tak jauh darinya. Matanya menyipit sebentar untuk memfokuskan pandangannya. Begitu sadar, dia langsung menghampiri mereka."Raja? Ratu?" Naileen membantu menarik sepeda berwarna merah yang meniban tubuh bocah lucu dengan rambut tebal berwarna cokelat itu. "Kamu nggak papa?" Tanya Naileen berjongkok di depan Raja yang sudah terduduk sambil menekuk lututnya yang terluka. Di sebelahnya, Ratu masih menangis kencang dengan lengan yang lecet karena tergores. Naileen mengangkat Ratu ke pangkuannya, "Nggak papa, Ratu... jangan nangis. Sakit banget ya?"Ratu menggeleng, "Abang kasihan."Naileen menganga sebentar lalu berdehem, "Ssstt, jangan nangis lagi. Raja aja kuat tuh nggak nangis, iya kan?""Bener, Ratu. Jangan nangis. Masa gitu aja cengeng, kalau nangis nanti kita nggak boleh m