"AAAA PAPIII!!!"
BRAKKK!!!
Naileen terjatuh dari motornya ketika dia menarik rem mendadak. Dia meringis kesakitan sambil mendirikan motornya kembali. Matanya membulat ketika melihat sepasang anak kecil terjatuh tak jauh darinya.
Matanya menyipit sebentar untuk memfokuskan pandangannya. Begitu sadar, dia langsung menghampiri mereka.
"Raja? Ratu?" Naileen membantu menarik sepeda berwarna merah yang meniban tubuh bocah lucu dengan rambut tebal berwarna cokelat itu.
"Kamu nggak papa?" Tanya Naileen berjongkok di depan Raja yang sudah terduduk sambil menekuk lututnya yang terluka. Di sebelahnya, Ratu masih menangis kencang dengan lengan yang lecet karena tergores. Naileen mengangkat Ratu ke pangkuannya, "Nggak papa, Ratu... jangan nangis. Sakit banget ya?"
Ratu menggeleng, "Abang kasihan."
Naileen menganga sebentar lalu berdehem, "Ssstt, jangan nangis lagi. Raja aja kuat tuh nggak nangis, iya kan?"
"Bener, Ratu. Jangan nangis. Masa gitu aja cengeng, kalau nangis nanti kita nggak boleh main sepeda lagi sama Papi."
Ratu mengangguk sambil berusaha menghentikan tangisnya. Raja pun tersenyum lucu, "Nah, hebat."
"Kalian ikut Kakak aja, biar sepedanya tinggal disini. Kita bersihin dulu luka kalian di rumah Kakak ya?" Ajak Naileen. Mereka pun mengangguk kecil.
Naileen naik ke atas motor maticnya dengan Raja yang duduk di belakangnya dan Ratu berdiri di depan. Dia pun melajukan motornya dengan hati-hati.
"Sus Tari memangnya kemana?" Tanya Naileen.
"Masak untuk makan malam. Tadi Ratu nangis mau naik sepeda, jadi aku izin ke Sus terus dibolehin main sendiri asal nggak jauh dan cuma di sekitar blok rumah."
"Tapi kok malah sampe taman? Blok rumah kita kan jauh kalau ke taman."
Raja cengengesan, "Jangan bilang bilang Sus ya, Kak Naileen."
"Dasar. Oke deh, tapi besok besok nggak boleh gitu lho. Harus nurut apa kata Sus."
"Siap, Kak!"
Motor Naileen parkir di carport rumahnya yang kosong karena ayah dan ibunya sedang diluar. Mereka bertiga masuk ke dalam rumah. Naileen menyuruh Raja dan Ratu menunggu di ruang keluarga sambil menonton TV selagi Naileen menyiapkan air hangat, handuk kecil, dan P3K untuk kedua anak itu.
"Kak Nai, aku boleh makan ini nggak?" Tanya Ratu menghampiri Naileen di dapur yang sedang mengisi baskom berukuran sedang dengan air hangat. Naileen mengangguk, "Boleh kok. Semua camilan yang ada di meja depan TV kalau mau, ambil aja."
"Asyiiiikkk!!!"
Naileen terkekeh pelan. Rasanya menyenangkan melihat Raja dan Ratu berada di rumahnya.
"Dah cocok jadi bunda mereka nggak sih gue?" Gumamnya kelewat senang.
Naileen menaruh baskom dan kotak P3K di atas meja dengan hati-hati. Dia pun membersihkan luka kedua anak itu dengan air hangat yang sudah disiapkan tadi.
"Raja duluan ya."
Naileen mengeringkan luka Raja yang baru saja dibasuh air tadi secara perlahan dengan tissue. Selanjutnya, dia juga menyemprotkan cairan antiseptik dengan kandungan polihexanide agar tidak menimbulkan rasa perih. Dia juga menutup luka Raja dengan kasa steril.
"Sekarang Adik." Kata Raja. Ratu langsung menggeser duduknya, kepalanya menggeleng. Naileen tertawa pelan, "Nggak perih sama sekali kok, Ratu. Sini dikeringkan dulu bekas basuhan tadi."
"Beneran?"
"Bener kok." Angguk Naileen. Dia pun tersenyum lega saat Ratu mau diobati.
Baru saja selesai mengobati Raja dan Ratu, ibu Naileen— Nilam Prameswari datang dan terkejut melihat dua anak sedang menonton TV di rumahnya sambil memakan wafer.
"Raja? Astaga kalian ternyata disini. Sus Tari pusing nyari kalian sampai lapor pak satpam lho." Ujar Nilam duduk di sofa seberang. Naileen yang baru kembali dari dapur menaikan alisnya sebelah, "Memangnya kenapa, Ma?"
"Kenapa kenapa!" Sewot Nilam. "Ya Sus Tari pusing lah, orang cuma ada sepeda mereka di dekat taman."
"Kita tadi jatuh, Oma. Makanya diobatin sama Kak Nai." Cengir Ratu.
"Jatuh dari sepeda?" Tanya Nilam khawatir. Ratu mengangguk, "Abang ngebut, Oma! Terus motor Kak Nai lewat, untung Kak Nai ngerem. Kalau enggak, kita udah kelindes ban motor!"
Naileen menahan tawanya mendengarkan Ratu bercerita sedangkan kakaknya hanya mengangguk-angguk mengiyakan. Tak ingin mengganggu waktu bercerita mereka, Naileen berjalan keluar rumah untuk mencari Sus Tari.
"Sus!"
"Nai! Kamu lihat Raja atau Ratu nggak? Saya tadi ke pos satpam nanyain, tapi katanya Raja sama Ratu nggak keluar kompleks. Apalagi pintu masuk sama keluar kan cuma satu itu aja. Haduh, gimana ini. Bisa-bisa saya dipecat terus dipenja-"
"Mereka ada di rumah aku, Sus." Sela Naileen cepat. Wajah Sus Tari seketika cerah, "Betulan?"
"Bener. Mereka tadi main sepeda sampai ke arah taman. Hampir ketabrak sama aku," ringis Naileen, "Tapi untungnya aku ngerem meskipun ikut jatuh. Mereka udah aku obatin lukanya."
Sus Tari menghela nafas lega. Dia tersenyum, "Sekarang mereka lagi apa? Raja itu huh, udah tak bilangin padahal mainnya di blok ini aja." Tanyanya sambil menggerutu gemas. Naileen terkekeh, "Lagi sesi curhat sama Mama, Sus. Mau dijemput sekarang?"
"Kalau masih pada suka main disana dan nggak ngerepotin, nantian aja saya jemput. Mungkin mereka juga bosan di rumah terus."
"Biasanya kan jalan, Sus."
"Lha ya itu, biasanya jalan toh. Tapi Bapak sebulan ini sibuk terus karena ada pembukaan cabang baru, jadi pulang cuma untuk melihat keadaan si kembar," balas Sus Tari, "Kamu gimana? Kata Bu Nilam masukin lamaran ke Skyland Kindergarten?"
"Betul! Aku cari yang nggak jauh-jauh banget dari rumah, Sus."
"Ya nggak apa. Itu kan sekolah elit, gajimu pasti besar." Sus Tari terkekeh. Naileen mengangguk, "Semoga aja lolos, Sus."
"Pasti lolos kok, Nai. Apalagi kamu lulusan terbaik di kampusmu."
Naileen hanya tersenyum malu. Sus Tari pun meminta tolong Naileen untuk menampung Raja dan Ratu dulu sementara dia melanjutkan beberes rumah. Tentu saja Naileen menerima dengan senang hati memomong calon anaknya itu. Ups.
•••
Naileen termenung di bangku kayu yang dia letakan di balkon kamarnya sambil menatap lurus ke depan. Kamar Dewa terlihat masih gelap dengan gorden masih terbuka. Suara vokalis boyband korea kesukaan terdengar begitu kencang di telinganya yang tersumpal airpods.
TOK TOK TOK!
"NAI! MAKAN MALAM!"
"Nai? Tidur kah?" Ragu Nilam. Dia membuka pintu kamar sang anak. Helaan nafas jengah terdengar. Dengan gemas Nilam menghampiri sang anak yang sibuk menyumpal telinganya. Bibirnya tersenyum miring. Dia menarik nafas pelan untuk mengejutkan Naileen.
"Aku nggak bakalan kaget, Ma," ujar Naileen sambil menoleh. Dia melepaskan airpodsnya. Tatapannya begitu datar, berbeda dengan Nilam yang terpekik kaget. "Aku masih mau ngerjain bahan ajar buat microteaching. Mama duluan aja sama Papa." Sambungnya.
Nilam menatap anaknya penuh penasaran. Langkahnya mengikuti Naileen yang berjalan menuju meja belajarnya.
"Are you okay, Nai?" Tanya Nilam lembut sambil mengusap kepala sang anak. Naileen mendongak lalu menggeleng. "Ada masalah di sekolah?"
"Enggak."
"Lalu?"
"Disini, Ma, masalahnya." Jawab Naileen polos menyentuh dadanya dengan raut wajah frustasi. Nilam menganga tak percaya lalu mendengus, "Kalau mau bahas Dewa, Mama undur diri dulu. Kamu mending pikirin bahan ajar daripada duda itu."
Naileen berdecak.
"Mama tuh kenapa sih nggak suka banget sama Om Dewa?" Tanya Naileen sebal. "Giliran sama Raja Ratu aja, baiknya minta ampun kayak bunda peri." Gumamnya jengah.
"Suka-suka Mama dong? Kok kamu yang repot. Dah ah, Mama laper."
"Yayayaya."
Nilam keluar dari kamar anaknya tanpa menutup pintu kamarnya kembali yang sukses membuat Naileen berteriak merengek karena kejahilan sang ibu. Sedangkan Nilam malah tertawa geli sambil menuruni anak tangga di rumahnya.
"Lho? Nai mana, Ma?" Tanya Cakra.
"Nanti dia nyusul katanya, Pa," jawab Nilam menarik kursi di depan sang suami. "Lagi sibuk ngerjain bahan ajar buat microteaching. Semoga aja anak itu keterima, bosen Mama liat muka beler dia tiap pagi di depan TV."
Cakra tertawa geli, "Ah begitu... oke deh."
"Mau pake sambel kentang juga nggak?"
"Mau dong. Masakan istri enak gini masa Ayah tolak?"
Nilam hanya tersenyum geli mendengar gombalan dari suaminya itu. Mereka menikmati makan malam lebih dulu ketimbang anak tunggal mereka yang sibuk di kamarnya.
Naileen Bimantara. Gadis berusia 21 tahun yang baru saja lulus dari universitas kesayangannya. Menjadi calon guru muda di salah satu TK elit tak jauh dari daerah perumahannya. Sebagai anak tunggal dari pasangan Nilam dan Cakra, Naileen sukses dibuat jengah secara mental karena harus menyaksikan keromantisan kedua orangtuanya yang membuatnya mual itu.
Sejak masa sekolah, Naileen menyukai pria yang jauh lebih dewasa darinya. Meski begitu, dia memendam itu semuanya. Tentu saja dia tidak mau menjadi pelakor muda. Alih-alih menjadi pelakor, dia memilih untuk menjadi penggemar rahasia.
Namanya Sadewa Pradikta. Pria yang sudah berkepala tiga itu mempunyai dua anak dari istrinya yang sudah meninggal setelah melahirkan. Mereka adalah Raja Darren Pradikta dan Ratu Sharren Pradikta yang baru duduk di bangku TK.
Seakan ingin mengabulkan permohonan Naileen untuk lebih dekat dengan keluarga Pradikta itu, saudara kembar Pradikta juga bersekolah di TK tempat Naileen mengajar. Skyland Kindergarten.
"Om duda lagi ngapain ya? Kayaknya udah pulang deh. Tadi denger bunyi mobilnya." Gumam Naileen berjalan mendekati balkon kamarnya sambil membawa mug kosong.
Dia tidak bisa menahan senyumannya saat melihat mobil sport itu terparkir di carport rumah seberangnya. Naileen berdehem pelan, berpura-pura menyesap sesuatu meski tatapan matanya lurus ke arah jendela yang tepat menjadi kamar Dewa.
Oh! Kamarnya udah nyala. Batin Naileen berseru girang.
Naileen membekap mulutnya ketika melihat Dewa yang bertelanjang dada berjalan ke arah jendela dan menutup gorden kamarnya. Gadis yang sedang memakai piyama itu cegukan tiba-tiba. Pipinya memerah karena melihat jelas perut six pack duda tampan tetangga sebelah rumahnya. Bentuk tubuhnya sangat menggiurkan untuk diterkam.
Pasti enak dipeluk sama dia. Atau malah sesek?
"Astaga! Mikir apa sih gue!" Rutuk Naileen pada dirinya sendiri sambil menggeleng. Buru-buru dia masuk ke dalam kamar dan mematikan lampu kamarnya. Lebih baik dia tidur daripada harus menghalu duda itu.
Tanpa Naileen sadari, Dewa yang tadi menutup gorden itu juga sempat melihat Naileen yang langsung membalikan tubuhnya barusan. Pria itu mengendikan bahu acuh lalu memakai kaos santainya kemudian segera turun ke ruang makan untuk makan malam bersama dua anaknya. Meskipun sudah menjalani kehidupan yang sangat sibuk, sebisa mungkin dia akan pulang untuk makan bersama kedua anaknya atau sekadar menemani mereka tidur. Walaupun setelahnya dia akan pergi ke kelab malam atau lembur di kantornya.
Naileen mengerang pelan saat suara alarm ponselnya berdering. Dengan malas dia membuka matanya lalu duduk di tepi kasur. Setelah melakukan beberapa peregangan kecil, dia segera masuk ke dalam kamar mandi. Tak lupa dia menyalakan bluetooth speaker di kamarnya untuk menemaninya berendam di dalam bath-up. Suara lembut member EXO itu memenuhi seisi kamar mandi. Sambil memainkan busa di dalam bath-up, bibirnya ikut bersenandung dalam musik. "Hah... bubur depan supermarket atau smoothie aja ya?" Gumam Naileen memikirkan sarapannya pagi ini. Ditengah-tengah ketentraman yang dia rasakan, di rumah sebelahnya malah heboh tak karuan karena teriakan Ratu. Teriakan gadis kecil itu sukses membangunkan seisi rumah yang masih terlelap pulas, tadinya. Dewa berlari menuju kamar anaknya dengan raut wajah cemas. Namun, saat masuk ke dalam kamar, bukannya sang anak yang membuatnya cemas malah keadaan kamar yang membuatnya ingin mengumpat. Keadaan kamar begitu sangat berantakan. Ditambah dua anaknya
"Wajib sarapan, antar sekolah kalau Om Dewa harus berangkat lebih pagi, pulang sekolah dijemput setengah jam lebih awal ..." Naileen menyebutkan semua keseharian Sus Tari ketika mengasuh si kembar. Dia menahan helaan nafas beratnya agar tidak terlihat sangat terkejut dengan list di tangannya. "... tidur jam sembilan malam, perhatian rutinitas sebelum tidur seperti cuci muka, gosok gigi, dan dibacakan buku dongeng.""Maaf banget, Nai. Kelihatannya banyak banget dan bikin lelah. Tapi kamu tenang aja, si kembar itu nggak nakal kok. Mereka gampang dinasihatin dan nurut. Nggak akan selelah kelihatannya." Ringis Sus Tari sebentar.Naileen mengangguk, "Okay, Sus. Santai aja. Kalo aku kesusahan, ada Mama kok. Aku yakin Mama mau bantu, apalagi Mama suka banget sama si kembar."Sus Tari tersenyum lega. Keduanya berdiri saat mendengar bunyi klakson mobil. Sus Tari memeluk Naileen erat saat keduanya berdiri di samping mobil rental yang sudah dipesankan oleh Dewa beserta supirnya. "Sekali lagi ak
Disaat hampir semua teman perempuannya tidak bisa membaca google maps, Naileen benar-benar bisa membacanya. Bukan karena dia pintar dan ingin tahu. Tetapi, rasa takutnya melebihi rasa ingin tahunya akan jalan. Nilam mungkin ibu yang sabar dengan kelakuan Naileen. Tapi tidak dengan cara gadis itu membaca maps saat pertama kali saat mereka berencana ke Madiun yang membuat mereka bablas sampai Surabaya karena tidak berbelok. Salah siapa? Tentu saja Naileen. Sejak saat itu, dia bertekad untuk bisa membaca maps agar ibunya tidak berubah menjadi nenek lampir yang sangat jahat yang menguasai semua ilmu sihir hitam di dunia ini. Okay, itu terlalu hiperbola. Tetapi kemarahan dan kekesalan Nilam saat itu benar-benar membuat Naileen tak bisa berkutik sama sekali. Bahkan Cakra yang tadinya beristirahat di bangku tengah langsung terbangun dengan wajah bodohnya."Ma, kayaknya bener deh disini.""Iya. Bentar, ada satpamnya. Kok glowing banget kayak bodyguard."Mobil mereka berhenti di gerbang peme
Naileen memotret beberapa gambar Raja dan Ratu yang asyik bermain gelembung di taman komplek bersama anak-anak seumurannya. Nilam di sebelahnya tampak santai berjemur di atas karpet yang mereka bawa."Ma, ini matahari sore, bukan pagi.""So what? I love this."Naileen memutar bolamatanya, "Ma, jadi seorang ibu itu berat nggak sih?" Tanya Naileen tiba-tiba. Nilam melirik anaknya sekilas lalu berdehem, "Mudah aja sebenernya. Tapi karena Mama dapet anaknya modelan kamu, itu susah banget.""Dih?""Petakilan, boros, pundungan. Susah banget disuruh beberes rumah.""Jahat banget."Nilam terkekeh pelan, "Nai, menjadi orangtua itu nggak semudah yang dipikirin kebanyakan kaum muda-mudi. Tapi juga nggak sesusah yang kalian bayangin. Ada saatnya kalian bahagia banget, ada saatnya juga kalian sedih, stres, bahkan marah," Nilam merubah posisinya menjadi miring sambil menatap anak tunggalnya. "Semua fase hidup ini kan selalu beragam macam perasaan. Entah saat kamu jadi seorang anak, remaja, dewasa,
Pagi ini di kediaman Bimantara terlihat begitu ramai karena ada si kembar yang ikut duduk sarapan bersama mereka di meja makan. Cakra membantu Raja memotong sandwich isi omelette kesukaannya. Sedangkan Nilam menyuapi Ratu yang lebih memilih nasi goreng sebagai menu sarapan paginya."Kak Nai udah bangun belum sih?" Tanya Nilam. Raja mengangguk, "Udah kok, Oma. Habis mandiin Ratu baru Kakak Nai yang mandi." Jawabnya tenang."Aku liatin Kak Nai dulu ya, Oma." Usul Ratu langsung kabur menuju lantai atas sebelum mendengar jawaban dari Nilam.Nilam hanya menggelengkan kepalanya pelan. Cakra menyesap kopi hitam panas miliknya, "Papa suka banget kalau rame gini, Ma.""Nggak ada si kembar aja rumah kita udah rame, Pa.""Bener juga sih."Ratu membuka pintu kamar lalu menyengir ketika melihat Naileen sedang berdandan di depan meja rias. Bocah berusia 4 tahun itu mendekati Naileen."Lho? Ratu udah sarapan?"Ratu mengangguk, "Lagi disuapin Oma. Tapi aku naik karena mau liat Kak Nai udah selesai ma
Pagi ini di kediaman Bimantara terlihat begitu ramai karena ada si kembar yang ikut duduk sarapan bersama mereka di meja makan. Cakra membantu Raja memotong sandwich isi omelette kesukaannya. Sedangkan Nilam menyuapi Ratu yang lebih memilih nasi goreng sebagai menu sarapan paginya."Kak Nai udah bangun belum sih?" Tanya Nilam. Raja mengangguk, "Udah kok, Oma. Habis mandiin Ratu baru Kakak Nai yang mandi." Jawabnya tenang."Aku liatin Kak Nai dulu ya, Oma." Usul Ratu langsung kabur menuju lantai atas sebelum mendengar jawaban dari Nilam.Nilam hanya menggelengkan kepalanya pelan. Cakra menyesap kopi hitam panas miliknya, "Papa suka banget kalau rame gini, Ma.""Nggak ada si kembar aja rumah kita udah rame, Pa.""Bener juga sih."Ratu membuka pintu kamar lalu menyengir ketika melihat Naileen sedang berdandan di depan meja rias. Bocah berusia 4 tahun itu mendekati Naileen."Lho? Ratu udah sarapan?"Ratu mengangguk, "Lagi disuapin Oma. Tapi aku naik karena mau liat Kak Nai udah selesai ma
Naileen memotret beberapa gambar Raja dan Ratu yang asyik bermain gelembung di taman komplek bersama anak-anak seumurannya. Nilam di sebelahnya tampak santai berjemur di atas karpet yang mereka bawa."Ma, ini matahari sore, bukan pagi.""So what? I love this."Naileen memutar bolamatanya, "Ma, jadi seorang ibu itu berat nggak sih?" Tanya Naileen tiba-tiba. Nilam melirik anaknya sekilas lalu berdehem, "Mudah aja sebenernya. Tapi karena Mama dapet anaknya modelan kamu, itu susah banget.""Dih?""Petakilan, boros, pundungan. Susah banget disuruh beberes rumah.""Jahat banget."Nilam terkekeh pelan, "Nai, menjadi orangtua itu nggak semudah yang dipikirin kebanyakan kaum muda-mudi. Tapi juga nggak sesusah yang kalian bayangin. Ada saatnya kalian bahagia banget, ada saatnya juga kalian sedih, stres, bahkan marah," Nilam merubah posisinya menjadi miring sambil menatap anak tunggalnya. "Semua fase hidup ini kan selalu beragam macam perasaan. Entah saat kamu jadi seorang anak, remaja, dewasa,
Disaat hampir semua teman perempuannya tidak bisa membaca google maps, Naileen benar-benar bisa membacanya. Bukan karena dia pintar dan ingin tahu. Tetapi, rasa takutnya melebihi rasa ingin tahunya akan jalan. Nilam mungkin ibu yang sabar dengan kelakuan Naileen. Tapi tidak dengan cara gadis itu membaca maps saat pertama kali saat mereka berencana ke Madiun yang membuat mereka bablas sampai Surabaya karena tidak berbelok. Salah siapa? Tentu saja Naileen. Sejak saat itu, dia bertekad untuk bisa membaca maps agar ibunya tidak berubah menjadi nenek lampir yang sangat jahat yang menguasai semua ilmu sihir hitam di dunia ini. Okay, itu terlalu hiperbola. Tetapi kemarahan dan kekesalan Nilam saat itu benar-benar membuat Naileen tak bisa berkutik sama sekali. Bahkan Cakra yang tadinya beristirahat di bangku tengah langsung terbangun dengan wajah bodohnya."Ma, kayaknya bener deh disini.""Iya. Bentar, ada satpamnya. Kok glowing banget kayak bodyguard."Mobil mereka berhenti di gerbang peme
"Wajib sarapan, antar sekolah kalau Om Dewa harus berangkat lebih pagi, pulang sekolah dijemput setengah jam lebih awal ..." Naileen menyebutkan semua keseharian Sus Tari ketika mengasuh si kembar. Dia menahan helaan nafas beratnya agar tidak terlihat sangat terkejut dengan list di tangannya. "... tidur jam sembilan malam, perhatian rutinitas sebelum tidur seperti cuci muka, gosok gigi, dan dibacakan buku dongeng.""Maaf banget, Nai. Kelihatannya banyak banget dan bikin lelah. Tapi kamu tenang aja, si kembar itu nggak nakal kok. Mereka gampang dinasihatin dan nurut. Nggak akan selelah kelihatannya." Ringis Sus Tari sebentar.Naileen mengangguk, "Okay, Sus. Santai aja. Kalo aku kesusahan, ada Mama kok. Aku yakin Mama mau bantu, apalagi Mama suka banget sama si kembar."Sus Tari tersenyum lega. Keduanya berdiri saat mendengar bunyi klakson mobil. Sus Tari memeluk Naileen erat saat keduanya berdiri di samping mobil rental yang sudah dipesankan oleh Dewa beserta supirnya. "Sekali lagi ak
Naileen mengerang pelan saat suara alarm ponselnya berdering. Dengan malas dia membuka matanya lalu duduk di tepi kasur. Setelah melakukan beberapa peregangan kecil, dia segera masuk ke dalam kamar mandi. Tak lupa dia menyalakan bluetooth speaker di kamarnya untuk menemaninya berendam di dalam bath-up. Suara lembut member EXO itu memenuhi seisi kamar mandi. Sambil memainkan busa di dalam bath-up, bibirnya ikut bersenandung dalam musik. "Hah... bubur depan supermarket atau smoothie aja ya?" Gumam Naileen memikirkan sarapannya pagi ini. Ditengah-tengah ketentraman yang dia rasakan, di rumah sebelahnya malah heboh tak karuan karena teriakan Ratu. Teriakan gadis kecil itu sukses membangunkan seisi rumah yang masih terlelap pulas, tadinya. Dewa berlari menuju kamar anaknya dengan raut wajah cemas. Namun, saat masuk ke dalam kamar, bukannya sang anak yang membuatnya cemas malah keadaan kamar yang membuatnya ingin mengumpat. Keadaan kamar begitu sangat berantakan. Ditambah dua anaknya
"AAAA PAPIII!!!" BRAKKK!!!Naileen terjatuh dari motornya ketika dia menarik rem mendadak. Dia meringis kesakitan sambil mendirikan motornya kembali. Matanya membulat ketika melihat sepasang anak kecil terjatuh tak jauh darinya. Matanya menyipit sebentar untuk memfokuskan pandangannya. Begitu sadar, dia langsung menghampiri mereka."Raja? Ratu?" Naileen membantu menarik sepeda berwarna merah yang meniban tubuh bocah lucu dengan rambut tebal berwarna cokelat itu. "Kamu nggak papa?" Tanya Naileen berjongkok di depan Raja yang sudah terduduk sambil menekuk lututnya yang terluka. Di sebelahnya, Ratu masih menangis kencang dengan lengan yang lecet karena tergores. Naileen mengangkat Ratu ke pangkuannya, "Nggak papa, Ratu... jangan nangis. Sakit banget ya?"Ratu menggeleng, "Abang kasihan."Naileen menganga sebentar lalu berdehem, "Ssstt, jangan nangis lagi. Raja aja kuat tuh nggak nangis, iya kan?""Bener, Ratu. Jangan nangis. Masa gitu aja cengeng, kalau nangis nanti kita nggak boleh m