Naileen mengerang pelan saat suara alarm ponselnya berdering. Dengan malas dia membuka matanya lalu duduk di tepi kasur. Setelah melakukan beberapa peregangan kecil, dia segera masuk ke dalam kamar mandi.
Tak lupa dia menyalakan bluetooth speaker di kamarnya untuk menemaninya berendam di dalam bath-up. Suara lembut member EXO itu memenuhi seisi kamar mandi. Sambil memainkan busa di dalam bath-up, bibirnya ikut bersenandung dalam musik.
"Hah... bubur depan supermarket atau smoothie aja ya?" Gumam Naileen memikirkan sarapannya pagi ini.
Ditengah-tengah ketentraman yang dia rasakan, di rumah sebelahnya malah heboh tak karuan karena teriakan Ratu. Teriakan gadis kecil itu sukses membangunkan seisi rumah yang masih terlelap pulas, tadinya.
Dewa berlari menuju kamar anaknya dengan raut wajah cemas. Namun, saat masuk ke dalam kamar, bukannya sang anak yang membuatnya cemas malah keadaan kamar yang membuatnya ingin mengumpat.
Keadaan kamar begitu sangat berantakan. Ditambah dua anaknya sedang saling memandang dengan emosi yang menggebu-gebu. Ratu memegang boneka unicornnya sedangkan Raja memegang pedang mainannya.
"Apa ini?"
Sus Tari lari tergopoh-gopoh dari kamarnya, "Bapak, anak-anak ken– gusti!"
Wanita beranak satu itu menghampir dua anak majikannya dengan wajah terkejut. Dia mengambil mainan mereka.
"Tari, kamu siapkan sarapan aja. Biar saya yang bicara sama mereka."
"Baik, Pak." Angguk Sus Tari patuh.
Setelah Sus Tari keluar dari kamar si kembar, Dewa mendekati kedua anaknya lalu menggendong mereka ke atas kasur. Ketiganya duduk bersila saling berhadapan. Bibir Dewa bergetar pelan karena menahan tawa. Dua anaknya tampak masih saling bertatapan sinis.
"Abang, ada apa? Kenapa Adik menangis seperti tadi?"
"Adik nakal."
"Aku nggak nakal! Abang yang pelit!"
"Bukan pelit! Tapi kamu kan punya mainan sendiri."
"Kalian. Ini masih pagi lho, berantem karena mainan?"
Keduanya mengangguk. Ratu cemberut menggemaskan sambil memainkan ujung piyamanya. Dewa menghela nafas panjang lalu mengusap kepala sang putri.
"Abang, masih inget apa yang Daddy bilang?"
Raja mengangguk.
"Apa?"
"Jangan pernah pukul perempuan. Apalagi Adik."
"Tapi Abang mukul aku!" Sewot Ratu melotot seram. Raja mendelik, "Aku cuma dorong Adik!"
"Bohong!"
"Adik yang lebay!"
"Kok aku?! Abang yang dorong aku!"
Dewa menaikan kedua alisnya lalu tertawa geli mendengar ucapan Ratu barusan. Tak terkecuali Raja yang malah menyengir sambil menunjuk adik kembarnya. Sedangkan Ratu sebagai pelaku yang tadinya memasang raut wajah kesal berubah menjadi tersenyum manis sambil cengengesan.
"Bener kan, aku nggak mukul."
"Adik... nggak boleh bohong lagi ya? Adik tahu nggak kalau itu fatal?"
"Kenapa fatal?"
"Bisa aja aku kena omel! Gitu aja nanya."
Ratu hanya meledek sang kakak. Dewa hanya bisa tertawa melihat betapa heboh dan pintarnya si kembar dalam berbicara. Duda anak dua itu menggendong kedua anaknya lalu membawanya ke ruang makan.
"Sudah sudah, lebih baik kita sarapan dulu. Kalian harus pergi ke sekolah hari ini, kan?"
"I'm so lazy, Papi."
"Why? Bukannya banyak teman disana?"
Ratu cemberut, "Benar. Tapi pacarku pindah sekolah." Jawabnya tenang. Dewa nyaris mengumpat ketika mendengar hal itu keluar dari mulut putri kesayangannya.
"Nggak boleh!"
"Apa yang nggak boleh?"
"Kamu. Ratu nggak boleh pacaran dulu sampai nanti selesai kuliah." Mana mungkin gue ngebiarinin dia deket sama cowok cowok?! Dengus Dewa dalam hati.
"Kenapa?"
Raja menggeleng pelan, "Ish ish ish... tak patut tak patut tak patut." Katanya mengikuti nada upin ipin. Ratu malah melotot sebal, "Diem aja kamu. Berisik."
"Kamu tuh!"
"Abang!"
"Adik!"
"Stop!" Dewa menaikan sedikit intonasi suaranya yang membuat saudara kembar itu terdiam menunduk. Keduanya tetap saja saling melemparkan tatapan tajam satu sama lain. "Kalian ini masih pagi, jangan bertengkar atau Papi bawa salah satu dari kalian ke rumah Granny. Mau?"
Keduanya sontak menggeleng sambil menyilangkan dua tangan mereka, "No, Papi, no."
"Kalau begitu baikan sekarang juga. Sesama saudara itu jangan sering bertengkar. Giliran sendirian, nanti kesepian."
"Seperti Papi." Celetuk Ratu menunjuk sang ayah. Dewa menautkan dua alisnya, "Seperti Papi?"
"Papi kan sendirian tanpa Mami. Pasti kesepian."
Raut muka Dewa berubah seperkian detik. Bibirnya tersenyum manis, "Kenapa Papi kesepian? Papi punya kalian berdua yang selalu ngerusuhin rumah ini, kan?"
Ratu dan Raja menyengir. Mereka mengangguk antusias, "We love you, Papi."
"I love you guys."
•••
Naileen sudah siap memakai sepatu larinya. Dia sedang melakukan peregangan otot sebelum lari pagi keliling komplek. Nilam yang sedang mengurus tanaman hiasnya di taman depan hanya mendengus geli melihat anaknya.
"Tumben banget lari pagi. Mau caper ke siapa kamu?" Tanya Nilam sudah menebak jalan pikiran putri tunggalnya. Naileen melirik ibunya sinia, "Penyihir galak diem aja. Otaknya negatifan mulu sama anak."
"Kurangajar kamu."
"Emang bener," Naileen mengerucutkan bibirnya. "Aku ni mau lari pagi sekalian mampir di warung bubur ayam depan komplek."
"Mama kan masak nasi goreng."
"Ma, aku lagi diet."
Nilam menyemprotkan air selang ke arah Naileen yang berhasil dihindari gadis itu. Wajahnya mendelik sinis, "Bedanya nasi goreng sama bubur ayam apa kalau buat diet, hah?! Sama-sama nasi gitu kok!"
"Oh iya, bener juga, Mama. Tapi nggak apa, aku lagi mau bubur ayam. Sorry ya, bos."
Naileen memberi hormat seperti upacara bendera ke arah sang ibu lalu memasang airpodsnya dan berlari santai keluar halaman rumah. Sebisa mungkin dia meminimalisir rasa lelahnya karena bila dia lelah, dia akan mogok seminggu.
Suara Taylor Swift memenuhi pendengarannya. Bibirnya sesekali ikut bersenandung. Setelah menyelesaikan lari pagi kurang lebih satu jam berkeliling kompleknya, dia berjalan tenang menuju tukang bubur di dekat komplek.
Tin tin!
"Kak Naiiii!!!"
Naileen menoleh. Dia tersenyum lebar sambil melambaikan tangan pada Ratu yang sedang tersenyum lebar di dalam mobil. Mobil sedan hitam itu berhenti.
"Kak Nai mau kemana? Bareng kita aja." Ajak Raja. Naileen terkekeh lalu menggeleng, "Cuma ke depan kok. Kalian mau berangkat ke sekolah kan?"
"Iya! Kakak abis lari?"
"Iya. Lari pagi biar sehat."
Ratu memiringkan kepalanya sambil menyentuh dagunya bingung, "Tapi ini udah hampir jam delapan. Bukannya udah kesiangan?"
"Kakak dari jam setengah tujuh udah lari, Ratu."
"Oh begitu."
"Sudah? Kalian bisa buat Papi terlambat ke kantor lho."
Ratu dan Raja menyengir lalu melambaikan tangannya ke arah Naileen, "Dadah, Kak Naii!!! Nanti siang aku main ke rumah Kakak ya!"
Naileen mengangguk. Kaca jendela di pintu tengah pun tertutup kembali seiring mobil itu melaju meninggalkan komplek. Setelah mobil milik Dewa sudah berbelok keluar gerbang komplek, Naileen menjerit keras sangking girangnya melihat wajah tampan duda favoritnya itu.
Tak hanya itu, dia berjalan sambil menari bak penari profesional. Sayangnya kekurangan bahan. Bibirnya tak berhenti tersenyum, apalagi mengingat wajah Dewa tadi yang tersenyum tipis ke arahnya. Ralat, sangat tipis. Namun Naileen bersumpah dia bisa melihat senyuman itu.
"Ah enaknya punya doi tetanggaan~"
Naileen duduk di bangku kayu panjang. Tukang bubur ayam tidak terlalu ramai saat ini. Hanya ada dua sampai empat orang, termasuk dirinya. Sambil menunggu mangkuk bubur ayamnya, dia sibuk men-scroll tiktok dengan sate usus di tangan kirinya.
"Ck, cakep banget. Beli nggak ya?" Gumam Naileen. Tak lama dia mendesah berat, "Ah... udah nggak bisa. Coba cek toko oren deh."
Setelah memesan online baju formal yang dia inginkan, Naileen segera menghabiskan buburnya sambil mengamati jalan raya yang semakin padat.
Ponselnya bergetar.
Mata Naileen membulat terkejut ketika melihat pesan singkat dari Sus Tari masuk ke ponselnya. Tak ingin mengada-ada rasa bahagianya, dia langsung menghubungi Sus Tari.
"Halo, Sus?"
"Nai... aku minta tolong banget ya buat titip anak-anak sebentar. Baru aja aku dapet telfon dari kampung kalo anakku masuk rumah sakit. Jadi jam sembilan ini aku berangkat."
Naileen berdehem, "Aku mau aja sih, Sus. Apalagi ada Mama juga di rumah. Tapi gimana sama Om Dewa?"
"Saya udah bilang Bapak. Awalnya beliau nolak karena nggak enak kalau harus nitipin si kembar ke orang lain. Tapi mau gimana lagi? Beliau juga lagi sibuk. Kedua orangtuanya di Surabaya juga nggak bisa dateng karena masih harus bolak-balik rumah sakit," Sus Tari menghembuskan nafas panjang. "Aku juga nggak mungkin pulang pas anakku sakit. Jadi beliau setuju. Nanti beliau sendiri katanya yang ngabarin Bu Nilam."
Senyuman di wajah Naileen benar-benar lebar sehingga rasanya dia pegal sendiri di area wajahnya. Setelah mengobrol sebentar, sambungan panggilan pun terputus. Naileen bergegas membayar bubur ayamnya lalu berlari menuju rumah Dewa. Dia harus tahu apa saja yang harus dia perhatikan ketika memomong si kembar.
Feeling gue kok enak ya?! Om Duda!!! Akan kukejar cintamu meski harus tertatih!!! Jerit Naileen dalam hati.
"Wajib sarapan, antar sekolah kalau Om Dewa harus berangkat lebih pagi, pulang sekolah dijemput setengah jam lebih awal ..." Naileen menyebutkan semua keseharian Sus Tari ketika mengasuh si kembar. Dia menahan helaan nafas beratnya agar tidak terlihat sangat terkejut dengan list di tangannya. "... tidur jam sembilan malam, perhatian rutinitas sebelum tidur seperti cuci muka, gosok gigi, dan dibacakan buku dongeng.""Maaf banget, Nai. Kelihatannya banyak banget dan bikin lelah. Tapi kamu tenang aja, si kembar itu nggak nakal kok. Mereka gampang dinasihatin dan nurut. Nggak akan selelah kelihatannya." Ringis Sus Tari sebentar.Naileen mengangguk, "Okay, Sus. Santai aja. Kalo aku kesusahan, ada Mama kok. Aku yakin Mama mau bantu, apalagi Mama suka banget sama si kembar."Sus Tari tersenyum lega. Keduanya berdiri saat mendengar bunyi klakson mobil. Sus Tari memeluk Naileen erat saat keduanya berdiri di samping mobil rental yang sudah dipesankan oleh Dewa beserta supirnya. "Sekali lagi ak
Disaat hampir semua teman perempuannya tidak bisa membaca google maps, Naileen benar-benar bisa membacanya. Bukan karena dia pintar dan ingin tahu. Tetapi, rasa takutnya melebihi rasa ingin tahunya akan jalan. Nilam mungkin ibu yang sabar dengan kelakuan Naileen. Tapi tidak dengan cara gadis itu membaca maps saat pertama kali saat mereka berencana ke Madiun yang membuat mereka bablas sampai Surabaya karena tidak berbelok. Salah siapa? Tentu saja Naileen. Sejak saat itu, dia bertekad untuk bisa membaca maps agar ibunya tidak berubah menjadi nenek lampir yang sangat jahat yang menguasai semua ilmu sihir hitam di dunia ini. Okay, itu terlalu hiperbola. Tetapi kemarahan dan kekesalan Nilam saat itu benar-benar membuat Naileen tak bisa berkutik sama sekali. Bahkan Cakra yang tadinya beristirahat di bangku tengah langsung terbangun dengan wajah bodohnya."Ma, kayaknya bener deh disini.""Iya. Bentar, ada satpamnya. Kok glowing banget kayak bodyguard."Mobil mereka berhenti di gerbang peme
Naileen memotret beberapa gambar Raja dan Ratu yang asyik bermain gelembung di taman komplek bersama anak-anak seumurannya. Nilam di sebelahnya tampak santai berjemur di atas karpet yang mereka bawa."Ma, ini matahari sore, bukan pagi.""So what? I love this."Naileen memutar bolamatanya, "Ma, jadi seorang ibu itu berat nggak sih?" Tanya Naileen tiba-tiba. Nilam melirik anaknya sekilas lalu berdehem, "Mudah aja sebenernya. Tapi karena Mama dapet anaknya modelan kamu, itu susah banget.""Dih?""Petakilan, boros, pundungan. Susah banget disuruh beberes rumah.""Jahat banget."Nilam terkekeh pelan, "Nai, menjadi orangtua itu nggak semudah yang dipikirin kebanyakan kaum muda-mudi. Tapi juga nggak sesusah yang kalian bayangin. Ada saatnya kalian bahagia banget, ada saatnya juga kalian sedih, stres, bahkan marah," Nilam merubah posisinya menjadi miring sambil menatap anak tunggalnya. "Semua fase hidup ini kan selalu beragam macam perasaan. Entah saat kamu jadi seorang anak, remaja, dewasa,
Pagi ini di kediaman Bimantara terlihat begitu ramai karena ada si kembar yang ikut duduk sarapan bersama mereka di meja makan. Cakra membantu Raja memotong sandwich isi omelette kesukaannya. Sedangkan Nilam menyuapi Ratu yang lebih memilih nasi goreng sebagai menu sarapan paginya."Kak Nai udah bangun belum sih?" Tanya Nilam. Raja mengangguk, "Udah kok, Oma. Habis mandiin Ratu baru Kakak Nai yang mandi." Jawabnya tenang."Aku liatin Kak Nai dulu ya, Oma." Usul Ratu langsung kabur menuju lantai atas sebelum mendengar jawaban dari Nilam.Nilam hanya menggelengkan kepalanya pelan. Cakra menyesap kopi hitam panas miliknya, "Papa suka banget kalau rame gini, Ma.""Nggak ada si kembar aja rumah kita udah rame, Pa.""Bener juga sih."Ratu membuka pintu kamar lalu menyengir ketika melihat Naileen sedang berdandan di depan meja rias. Bocah berusia 4 tahun itu mendekati Naileen."Lho? Ratu udah sarapan?"Ratu mengangguk, "Lagi disuapin Oma. Tapi aku naik karena mau liat Kak Nai udah selesai ma
"AAAA PAPIII!!!" BRAKKK!!!Naileen terjatuh dari motornya ketika dia menarik rem mendadak. Dia meringis kesakitan sambil mendirikan motornya kembali. Matanya membulat ketika melihat sepasang anak kecil terjatuh tak jauh darinya. Matanya menyipit sebentar untuk memfokuskan pandangannya. Begitu sadar, dia langsung menghampiri mereka."Raja? Ratu?" Naileen membantu menarik sepeda berwarna merah yang meniban tubuh bocah lucu dengan rambut tebal berwarna cokelat itu. "Kamu nggak papa?" Tanya Naileen berjongkok di depan Raja yang sudah terduduk sambil menekuk lututnya yang terluka. Di sebelahnya, Ratu masih menangis kencang dengan lengan yang lecet karena tergores. Naileen mengangkat Ratu ke pangkuannya, "Nggak papa, Ratu... jangan nangis. Sakit banget ya?"Ratu menggeleng, "Abang kasihan."Naileen menganga sebentar lalu berdehem, "Ssstt, jangan nangis lagi. Raja aja kuat tuh nggak nangis, iya kan?""Bener, Ratu. Jangan nangis. Masa gitu aja cengeng, kalau nangis nanti kita nggak boleh m
Pagi ini di kediaman Bimantara terlihat begitu ramai karena ada si kembar yang ikut duduk sarapan bersama mereka di meja makan. Cakra membantu Raja memotong sandwich isi omelette kesukaannya. Sedangkan Nilam menyuapi Ratu yang lebih memilih nasi goreng sebagai menu sarapan paginya."Kak Nai udah bangun belum sih?" Tanya Nilam. Raja mengangguk, "Udah kok, Oma. Habis mandiin Ratu baru Kakak Nai yang mandi." Jawabnya tenang."Aku liatin Kak Nai dulu ya, Oma." Usul Ratu langsung kabur menuju lantai atas sebelum mendengar jawaban dari Nilam.Nilam hanya menggelengkan kepalanya pelan. Cakra menyesap kopi hitam panas miliknya, "Papa suka banget kalau rame gini, Ma.""Nggak ada si kembar aja rumah kita udah rame, Pa.""Bener juga sih."Ratu membuka pintu kamar lalu menyengir ketika melihat Naileen sedang berdandan di depan meja rias. Bocah berusia 4 tahun itu mendekati Naileen."Lho? Ratu udah sarapan?"Ratu mengangguk, "Lagi disuapin Oma. Tapi aku naik karena mau liat Kak Nai udah selesai ma
Naileen memotret beberapa gambar Raja dan Ratu yang asyik bermain gelembung di taman komplek bersama anak-anak seumurannya. Nilam di sebelahnya tampak santai berjemur di atas karpet yang mereka bawa."Ma, ini matahari sore, bukan pagi.""So what? I love this."Naileen memutar bolamatanya, "Ma, jadi seorang ibu itu berat nggak sih?" Tanya Naileen tiba-tiba. Nilam melirik anaknya sekilas lalu berdehem, "Mudah aja sebenernya. Tapi karena Mama dapet anaknya modelan kamu, itu susah banget.""Dih?""Petakilan, boros, pundungan. Susah banget disuruh beberes rumah.""Jahat banget."Nilam terkekeh pelan, "Nai, menjadi orangtua itu nggak semudah yang dipikirin kebanyakan kaum muda-mudi. Tapi juga nggak sesusah yang kalian bayangin. Ada saatnya kalian bahagia banget, ada saatnya juga kalian sedih, stres, bahkan marah," Nilam merubah posisinya menjadi miring sambil menatap anak tunggalnya. "Semua fase hidup ini kan selalu beragam macam perasaan. Entah saat kamu jadi seorang anak, remaja, dewasa,
Disaat hampir semua teman perempuannya tidak bisa membaca google maps, Naileen benar-benar bisa membacanya. Bukan karena dia pintar dan ingin tahu. Tetapi, rasa takutnya melebihi rasa ingin tahunya akan jalan. Nilam mungkin ibu yang sabar dengan kelakuan Naileen. Tapi tidak dengan cara gadis itu membaca maps saat pertama kali saat mereka berencana ke Madiun yang membuat mereka bablas sampai Surabaya karena tidak berbelok. Salah siapa? Tentu saja Naileen. Sejak saat itu, dia bertekad untuk bisa membaca maps agar ibunya tidak berubah menjadi nenek lampir yang sangat jahat yang menguasai semua ilmu sihir hitam di dunia ini. Okay, itu terlalu hiperbola. Tetapi kemarahan dan kekesalan Nilam saat itu benar-benar membuat Naileen tak bisa berkutik sama sekali. Bahkan Cakra yang tadinya beristirahat di bangku tengah langsung terbangun dengan wajah bodohnya."Ma, kayaknya bener deh disini.""Iya. Bentar, ada satpamnya. Kok glowing banget kayak bodyguard."Mobil mereka berhenti di gerbang peme
"Wajib sarapan, antar sekolah kalau Om Dewa harus berangkat lebih pagi, pulang sekolah dijemput setengah jam lebih awal ..." Naileen menyebutkan semua keseharian Sus Tari ketika mengasuh si kembar. Dia menahan helaan nafas beratnya agar tidak terlihat sangat terkejut dengan list di tangannya. "... tidur jam sembilan malam, perhatian rutinitas sebelum tidur seperti cuci muka, gosok gigi, dan dibacakan buku dongeng.""Maaf banget, Nai. Kelihatannya banyak banget dan bikin lelah. Tapi kamu tenang aja, si kembar itu nggak nakal kok. Mereka gampang dinasihatin dan nurut. Nggak akan selelah kelihatannya." Ringis Sus Tari sebentar.Naileen mengangguk, "Okay, Sus. Santai aja. Kalo aku kesusahan, ada Mama kok. Aku yakin Mama mau bantu, apalagi Mama suka banget sama si kembar."Sus Tari tersenyum lega. Keduanya berdiri saat mendengar bunyi klakson mobil. Sus Tari memeluk Naileen erat saat keduanya berdiri di samping mobil rental yang sudah dipesankan oleh Dewa beserta supirnya. "Sekali lagi ak
Naileen mengerang pelan saat suara alarm ponselnya berdering. Dengan malas dia membuka matanya lalu duduk di tepi kasur. Setelah melakukan beberapa peregangan kecil, dia segera masuk ke dalam kamar mandi. Tak lupa dia menyalakan bluetooth speaker di kamarnya untuk menemaninya berendam di dalam bath-up. Suara lembut member EXO itu memenuhi seisi kamar mandi. Sambil memainkan busa di dalam bath-up, bibirnya ikut bersenandung dalam musik. "Hah... bubur depan supermarket atau smoothie aja ya?" Gumam Naileen memikirkan sarapannya pagi ini. Ditengah-tengah ketentraman yang dia rasakan, di rumah sebelahnya malah heboh tak karuan karena teriakan Ratu. Teriakan gadis kecil itu sukses membangunkan seisi rumah yang masih terlelap pulas, tadinya. Dewa berlari menuju kamar anaknya dengan raut wajah cemas. Namun, saat masuk ke dalam kamar, bukannya sang anak yang membuatnya cemas malah keadaan kamar yang membuatnya ingin mengumpat. Keadaan kamar begitu sangat berantakan. Ditambah dua anaknya
"AAAA PAPIII!!!" BRAKKK!!!Naileen terjatuh dari motornya ketika dia menarik rem mendadak. Dia meringis kesakitan sambil mendirikan motornya kembali. Matanya membulat ketika melihat sepasang anak kecil terjatuh tak jauh darinya. Matanya menyipit sebentar untuk memfokuskan pandangannya. Begitu sadar, dia langsung menghampiri mereka."Raja? Ratu?" Naileen membantu menarik sepeda berwarna merah yang meniban tubuh bocah lucu dengan rambut tebal berwarna cokelat itu. "Kamu nggak papa?" Tanya Naileen berjongkok di depan Raja yang sudah terduduk sambil menekuk lututnya yang terluka. Di sebelahnya, Ratu masih menangis kencang dengan lengan yang lecet karena tergores. Naileen mengangkat Ratu ke pangkuannya, "Nggak papa, Ratu... jangan nangis. Sakit banget ya?"Ratu menggeleng, "Abang kasihan."Naileen menganga sebentar lalu berdehem, "Ssstt, jangan nangis lagi. Raja aja kuat tuh nggak nangis, iya kan?""Bener, Ratu. Jangan nangis. Masa gitu aja cengeng, kalau nangis nanti kita nggak boleh m