“Tak bisakah adek pertimbangkan dulu. Bersabarlah dulu, Sayang.” Zul mengiba didepan wanita cantik yang dua tahun lalu dihalalkannya. Wanita itu tertunduk, sesekali bulu mata lentik itu mengerjap, membuat butiran air jernih keluar mengalir membasahi pipinya yang mulus dan putih. Zul sungguh tak tahan melihat istrinya menangis. Terlebih dia menangis karena Zul. Diusapnya lembut buliran bening yang mengalir dengan penuh sayang. Nur menepis lengan Zul yang terjulur dengan kesal.
“Sampai kapan adek harus bersabar. Abang tanya sama semua wanita yang ada di muka bumi. Adek rasa tak ada satupun yang akan sanggup tinggal di hutan seperti ini dan hidup ala kadarnya”. Ujarnya disela isak tangis.
Wanita yang begitu aku cintai saat ini memohon kepadaku untuk menceraikannya, dan aku? bagaimana mungkin aku sanggup mengabulkan permohonan cerainya. Hatiku sudah sepenuhnya kuberikan padanya. Sungguh Aku bukan seorang pemalas. Aku bahkan telah berusaha bekerja keras untuk memberikan nafkah untuknya secara layak. Hingga sebelum aku menikah, aku sudah buatkan rumah yang cukup layak untuk kami tempati bersama meski letaknya ditengah perkebunan sawit yang sedang aku garap. Yah, saat usaha peternakan ayamku sedang maju pesat, aku berinvestasi dengan membeli satu setengah hektar tanah di sudut kota minyak ini untuk kemudian kubangun sebuah rumah untuk kutempati bersamanya, meski tak sebagus rumah yang sering aku lihat di televisi, namun masih termasuk dalam kategori sangat layak untuk kami huni bersama.
Dinding rumah telah terbuat dari beton yang diplester meski belum dicat dan lantai yang sudah bekeramik dan air pun tak susah lagi untuk menimba karena sudah aku buatkan sumur bor. Hanya saja letaknya memang di sudut kota dengan akses masih jalan tanah hingga agak sedikit sulit dijangkau saat musim hujan datang.
Sebulan setelah kami menikah, aku mengajak Nuraini untuk tinggal dirumah yang sudah aku persiapkan ini. Selama tinggal di sana dia terus menerus mengeluh tak betah dengan alasan sepi dan jauh dari tetangga. Padahal ada beberapa tetangga yang remahnya berhadapan langsung dengan rumah kami hanya terpisah jalan tanah saja, tapi ya sudahlah, aku berusaha memahami saja. Karena itu seminggu sekali aku selalu mengajaknya pergi ke pasar untuk berbelanja kebutuhan rumah dan membeli kebutuhannya pribadi.
Semua hasil usahaku, aku berikan kepadanya tanpa aku kurangi sepeserpun. Nominalnya pun tak sedikit, sekali panen ayam, aku bisa mengantongi hampir seratus lima puluh juta. Namun sayangnya, hal itu tak berlangsung lama.
Virus Flu Burung yang melanda membuat peternakan ayamku perlahan mulai bangkrut. Tak hanya aku, hampir semua peternak ayam potong sepertiku harus mengalami masalah yang sama. Aku kehabisan modal hingga, akhirnya harus terdampar menjadi tukang ojek. Kadang aku harus seharian di luar rumah untuk mencari nafkah dan baru pulang sore menjelang maghrib dengan hasil yang hanya cukup untuk makan.
Setiap hari sepulang mengojek, aku selalu disambut dengan keluh kesah istri cantikku ini yang menyatakan bahwa dia kesepian dan tak betah. Mendengar keluhannya aku merasa gagal sebagai seorang suami. Aku gagal untuk membahagiakannya. Akhinya demi membahagiakannya dan demi alasan keselamatan, aku memintanya untuk tinggal dirumah orang tuanya di kota selama aku mencari nafkah. Sorenya dia akan aku jemput kembali untuk pulang ke rumah kami.
Setahun kemudian, entah kenapa dia mulai menolak ku ajak pulang. Dia lebih memilih tinggal bersama orang tuanya. Sungguh Aku tak keberatan dan aku berusaha memahami alasannya. Meski tak tinggal seatap lagi, namun aku masih memberikan nafkah, hanya saja saat itu tak semua pendapatanku, kuberikan padanya. Aku ambil sedikit untuk biaya makanku dan membeli bensin motor. Sesekali aku ikut menginap di rumah mertuaku.
Bukan aku tak mau untuk tinggal bersama di rumah orang tua Nur, namun buatku rumah itu sudah terlalu ramai. Dua orang saudara laki – lakinya tinggal disana semua bersama keluarga mereka masing – masing yang kesemuanya masih menjadi tanggungan mertuaku. Aku tak mau memberati mereka lagi. Kasihan mereka.
Bukan hanya sekali Aini memaksaku untuk mencari pekerjaan lain yang lebih menghasilkan. Hal itu selalu menjadi topik pembicaraan saat aku menginap bersamanya. Dia bilang bahwa uang yang kuberikan tak cukup untuk membeli keperluannya sehari – hari. Nur perlahan mulai berubah, tak lagi lembut seperti dulu.Terkadang berbagai ucapan yang tak layak yang menghujam hati acapkali dia lontarkan kepadaku. Sakit hatikah aku? tentu saja, aku manusia dan aku lelaki yang menjunjung tinggi harga diri. Namun cintaku kepadanya terlalu besar dan hingga aku tak tega untuk meluapkan amarahku padanya. Cintaku telah meredam ego dan amarahku padanya, hal ini juga mungkin yang membuatnya besar kepala dan kelakuannya semakin hari semakin menjadi.
Demi mempertahankannya, Aku pun berusaha lebih keras lagi. Keinginanku untuk membahagiakannya dan mengembalikan Nur ku yang dulu membuatku membanting tulang dan memporsir diri. Namun apalah daya, aku hanya seorang tamatan SMK. Tak mungkin berharap pekerjaan dengan upah yang layak.
Aku menjadi kuli bangunan atau kuli panggul di pasar atau tukang gali parit, kerja apapun kulakukan asalkan halal. Aku bekerja bagaikan orang gila untuknya, namun tetap saja pendapatanku tak jua menanjak. Dan hari ini, dia datang untuk memintaku menceraikannya. Jujur saja, Sesaat tadi saat melihatnya datang tanpa ku jemput hatiku begitu berbunga - bunga. Aku mengira dia akan pulang dan kembali tinggal bersamaku disini. Namun bunga - bunga itu segera layu saat bibir merah dan ranum itu mengatakan maksud kedatangannya. Aku tak sanggup. Sungguh aku tak sanggup berpisah darinya. Aku tak mau menceraikannya.
“Bang, jika abang tak sanggup membahagiakan adek, lepaskanlah. Kasihani adek. Adek tak sanggup harus menderita terus. Adek mohon.” Direngkuhnya lenganku sembari berlutut di hadapanku.
Aku bergeming. Bagaimana denganku, dek. Aku telah berusaha semaksimal yang aku bisa untuk membahagiakanmu. Namun ucapan itu ku telan tanpa mampu kukatakan.
“Abang mohon bersabarlah dek, Abang janji akan berusaha lebih keras lagi untuk menafkahimu dan mengembalikan kehidupan kita seperti sebelumnya. Bersabarlah sayang, Allah pasti akan kasih kita rezeki yang lebih, asal adek bersabar.” Aku membelai lembut kepala yang tertutup hijab merah jambu itu.
“Abang mohon, Beri Abang waktu.”
“Bersabar sampai kapan? Sampai adek tua dan mati? Kenapa abang begitu egois. Abang hanya memikirkan diri abang sendiri. Abang tak fikirkan kehidupan adek gimana nantinya dengan abang? Seumur hidup kekurangan dan terperangkap di hutan ini. Gak bang, adek tak sanggup jika harus begini terus. Biarkan adek mencari kehidupan yang lebih baik. Lepaskanlah adek.” Tangisnya semakin deras.
Ah, saat menangis saja dia masih terlihat sangat cantik. Maafkan aku sayang, aku tak bisa melepaskanmu. lebih tepatnya, aku tak sanggup.
“Abang tak bisa dek. Abang tak sanggup pisah dari adek. Abang begitu mencintai adek. Apapun yang adek mau akan abang lakukan demi adek, tapi tolong jangan minta yang satu itu. Maafkan abang kalau sampai saat ini abang belum bisa membahagiakan adek, dan belum bisa menafkahi adek dengan cukup. Abang janji akan lebih giat lagi berusaha demi adek. Abang janji demi nyawa abang, abang akan kembalikan kehidupan kita yang dulu. Abang mohon bersabarlah.” Aku berusaha merengkuhnya kedalam pelukanku.
Dia menolak dan mendorongku menjauh, aku tercekat. Terlebih saat aku melihat sorot matanya, bengis dan penuh amarah. Aku tergugu tak percaya, tatapan mata yang dulu begitu lembut saat merayu dan bermanja, kemana perginya. Saat ini Aku hanya melihat bara kebencian yang teramat sangat. Apa salahku? Hanya karena aku belum mampu menafkahinya dengan cukup?
“Baik, kalau begitu. Kita ketemu di pengadilan.” Dia berbalik pergi meninggalkanku dengan luka menganga di hati.
"Dek, tunggu. Jangan tinggalkan Abang. Abang mohon, Dek!" Aku berusaha meraihnya, namun dia keburu masuk ke mobil dan pergi.
Malamnya, aku segera menuju ke rumah mertuaku. Semua harus diluruskan, aku tak ingin menceraikannya, aku masih begitu mencintainya. Sesampai di pagar rumahnya motor aku matikan dan aku tuntun masuk ke halaman yang rindang. Aku lalu memarkir motorku di bawah pohon sawo di sudut pekarangan rumah mertuaku, sekilas aku lihat sebuah sedan hitam terparkir di depan rumahnya. Ah, sedang ada tamu rupanya.
Setelah menimbang – nimbang akhurnya Aku masuk dan hendak mengucap salam, namun langkah kakiku terhenti satu langkah di depan pintu masuk. Disana, di sofa ruang tamu aku melihat istriku sedang bersenda gurau dengan seorang lelaki paruh baya yang tak ku kenal. Kepalanya setengah botak namun bergaya perlente sekali. Jam tangan emas yang mewah melingkar di pergelangan tangannya yang gempal dan sudah mulai keriput. Lalu mataku terpaku pada jari jemari mereka yang bertaut mesra. Aini tampak begitu bahagia, senyum yang merekah dan ku rindukan namun sudah lama tak terlihat malam ini ku lihat lagi, namun sayangnya senyum itu bukan lagi untukku. Hatiku berdarah. Bersamaku, senyum itu memudar namun dengan lelaki ini dia terlihat begitu bahagia. Benarkah yang dibilang Aini bahwa aku egois? Aku menarik nafas meredakan bara di hati dan mengucap salam.
"Assalamualaikum," Tiba – tiba suara tawa mereka terhenti dan wajah Aini nampak menegang kaget saat melihatku. Tautan jemari itu dia urai dengan tergesa. Dia berdiri menatapku, pias tak berdarah Seperti melihat hantu. Mertua lelakiku keluar dan ikut menjawab salam namun sama seperti Nur beliau pun tegang dan kaget saat melihatku. Aku tersenyum pahit melihat paras mertuaku yang memucat. Segera aku mengamit tangannya lalu kucium dengan takzim.
“Pak, Saya datang ingin melepaskan Nuraini. Saya kembalikan dia ke Bapak. Maafkan jika selama menjadi istri saya, Dia menderita karena Saya tak mampu untuk membahagiakan dia. Saya juga mohon ridho dari Bapak.” kalimat itu terlontar dari mulutku. Sungguh Hatiku gerimis dan berdarah saat mengucapkan itu. Namun Nuraini benar, aku tak akan pernah sanggup membahagiakannya. Lihatlah Nur sekarang, Dia terlihat bahagia saat bersama lelaki paruh baya itu. Akulah yang harusnya tahu diri.
"Zul, Bapak .... anu... " mertuaku terlihat bingung dan salah tingkah, bicara pun mulai terbata - bata karena terlalu gugup sementara lelaki setengah botak itu tampak mengerenyitkan alis menatap aku dan Nuraini bergantian dengan paras bingung.
Aku kembali tersenyum getir melihat wajah wanita yang dua tahun lalu aku nikahi. Sungguh aku mencintainya, dan tak menyangka jika rumah tanggaku harus berakhir sesingkat ini. namun aku tahu jika aku terus berusaha menggenggamnya ibarat menggenggam bara api. Pada akhirnya aku juga yang sakit dan berdarah. Lidahku kelu, dan tubuhku bergetar. Namun aku memaksakan diri untuk terlihaat kuat saat mengucapkan kalimat keramat yang begitu aku benci namun sangat diharapkan oleh AIni.
“Bismillah, Nuraini binti Ahmad Bukhairi engkau aku talak. Mulai hari ini, kau bukan istriku lagi dan abang bukan suamimu lagi, kau haram bagiku dan aku pun haram bagimu. Semoga kamu bahagia.” ucapku dengan suara penuh getar.
Aku melangkah keluar berusaha untuk terlihat tegar. Namun tak urung Tanganku gemetar saat Aku menyalakan motor dan mulai menjalankannya perlahan membelah jalan aspal yang hitam. Dadaku terasa penuh dan sesak seperti terhimpit sekat yang semakin merapat. Jika bisa Aku begitu ingin berteriak sekadar untuk melegakan jalur nafas yang mulai terasa amat berat. Merasa tak sanggup lagi untuk pulang, lebih tepatnya aku tak ingin rasa ini ikut terbawa pulang segera ku belokkan stang kemudi motor ke masjid dekat rumahku. Setelah memarkirkan motorku tepat di depan pintu masjid, gegas aku menuju tempat wudhu untuk berwudhu dan menenangkan hati dan fikiran yang sudah teramat sangat kalut. Aku tersungkur dihadapan Rabbku. Saat aku bersujud lingkaran kristal bening yang sedari tadi menggantung di mataku akhirnya tertumpah tanpa mampu ku bendung. Pedih dan perih bercampur baur menjadi ribuan rasa yang menyesakkan. Aku mengadu dan merintih kepada Sang Pembolak balik Hati. Ya Rabb yang maha mencinta
Acara Takziah sudah hampir usai, tradisi di kota ini biasanya tuan rumah menyediakan tempat untuk santap malam bersama. Nasi dan lauk pauknya biasanya diberi oleh jiran tetangga kemudian dinikmati bersama. Pak Darkum mengajakku bersalaman dengan tuan rumah sebelum bersantap. Aku mengekor Pak Darkum karena tak tahu yang mana yang tuan rumah. “Adjie, kapan kamu pulangnya nak? Mohon maaf tadi siang Pakde tak sempat ikut penguburan almarhum karena Pakde masih di perjalanan.” Pak Darkum menjulurkan tangan mengajak pemuda berkoko biru muda itu bersalaman.“Gak apa – apa Pakde, Doakan saja semoga Allah menerima amal ibadah ayah semasa hidupnya.” Adjie membungkuk saat menyambut tangan Pak Darkum dan menciumnya dengan takzim. “Oh iya, ini Zul, jamaah pengajian kita yang baru. Kenalin dulu,” Pak Darkum memperkenalkanku ke Adjie. Aku tersenyum dan mengulurkan tangan, “Assalamualikum.”“Waalaikumsalam, terima kasih sudah bersedia datang ke sini dan mendoakan almarhum ayah saya.” Adjie menyamb
Sebuah mobil SUV perlahan berhenti di depan rumahku saat aku baru saja kembali dari melihat keadaan kebun sawitku. Sesosok kepala berhijab menyembul dari pintu yang terbuka diiringi oleh senyum manis seorang wanita cantik dan ramah, Ririn. Dia datang bersama Adjie dan seorang wanita paruh baya yang juga mengenakan jilbab lebar seperti Ririn. Adjie menyalamiku sementara Ririn dan perempuan paruh baya yang dipanggil Bu Nah oleh Ririn menangkupkan jemarinya kepadaku dan kubalas dengan gaya yang sama. “Assalamualaikum, Bang.” Adji menyalami dan memelukku. “Waalaikumsalam warrahmatullah. Waduh.. tamu jauh ini yah. Ayo, Mari masuk. Tapi maaf lho kondisi rumahnya agak berantakan.” Aku mempersilahkan mereka masuk. Mereka mengikutiku masuk dan duduk di ruang tamu yang tak seberapa luas. Aku menyalakan lampu agar ruangan menjadi terang. “Ada angin apa rupanya yah. Ayoo, diminum dulu. Adanya Cuma air putih” aku menyajikan air mineral dingin yang ku ambil dari kulkas. “Begini Bang. Kedatan
Kedua kakiku sudah teramat sangat pegal menunggu Bang Zul lewat di depan rumahku. Begitu juga dengan Leherku karena celingukan dari tadi mengawasi ujung jalan untuk melihat Bang Zul lewat tetapi yang ditunggu tak kunjung juga muncul batang hidungnya. Bagaimana mungkin dia berubah menjadi begitu ganteng sekarang, sama seperti dulu waktu pertama kali aku mengenalnya. Hatiku pun kembali berdesir saat menghirup aroma maskulin yang menguar dari tubuh atletis miliknya saat kami berdekatan di pesta pernikahan Ririn tadi. Mataku terpaku pada garis wajahnya yang sangat tampan sekarang, begitu bersih dan meneduhkan. Ah, menyesal aku dulu meminta cerai darinya. Apalagi sekarang dia sudah terlihat sangat mapan. Dulu aku menggugat cerai darinya karena dia sudah tak punya apa – apa. Apa yang bisa ku harapkan dari seorang tukang ojek yang menyambi kerja sebagai kuli bangunan. Penghasilannya dulu bahkan tak cukup untuk membiayai skincare dan beraneka ragam produk kecantikanku. Bapak dan Emak ku pun m
Disaat kondisi ekonomi Bang Zul yang morat marit, di saat itu pula aku mengenal Bang Arman. Seorang bujang lapuk yang penampilannya tidak terlalu menarik namun dia memiliki kebun karet yang sangat luas di kampungnya, Bang Arman adalah salah satu teman Bapak memancing. Aku akhirnya memutuskan untuk kembali tinggal di rumah orang tuaku dengan alasan kesepian dan takut ditinggal sendiri saat Bang Zul mencari nafkah padahal aku sebenarnya bukan tipe perempuan penakut,. Hanya saja aku malas harus melayani Bang Zul. Toh dia juga tak bisa memberiku nafkah yang layak. Jadi buat apa aku berbakti sepenuh jiwa untuknya, sia – sia bukan. Seperti suami yang tahu diri, Bang Zul tak berkeberatan dengan hal itu. Dia mengizinkan aku untuk tinggal sementara di rumah Orang tuaku saat dia mencari nafkah di pagi hari dan kemudian dia akan menjemputku di sore hari untuk pulang ke rumah kami. Namun beberapa minggu kemudian aku memutuskan untuk tinggal kembali bersama Emak dan lagi – lagi Bang Zul mengizin
Hari ini sudah setahun lebih warung pecel lele kami berdiri. Selama itu pula aku disibukkan dengan rutinitas warung yang semakin hari semakin ramai dan itu membuat aku dan pegawai yang ada sedikit kewalahan. Rasa sambal dan lauk yang konsisten serta kebersihan warung yang selalu ku jaga, menjadikan warung pecel lele kami menjadi pecel lele favorit warga. Pembelinya pun tak hanya datang dari kotaku saja. Beberapa dari mereka adalah vlogger youtube yang mereview rasa warung pecel lele kami. Adjie menyarankan untuk merekrut karyawan baru untuk membantuku, dan atas permintaanku, karyawan yang diterima semuanya lelaki. Karena jujur saja aku kurang nyaman bekerja dengan perempuan, bukan karena aku memiliki orientasi ketertarikan yang berbeda, namun lebih sekadar ingin menjaga diri.Adjie dan Ririn sendiri memutuskan untuk menetap di Bandar Lampung setelah bulan madu mereka kemarin. Kabar yang aku dengar saat komunikasi kami terakhir bulan lalu, Ririn tengah mengandung namun karena ada kel
Matahari sudah mendekati tempat kembalinya saat mobil yang aku kemudikan memasuki pekarangan rumah yang sesuai dengan lokasi yang diberikan Adjie. Perjalanan lebih dari delapan jam harus ku tempuh dengan mengendarai mobil untuk sampai ke sini, sebenarnya aku bisa saja sampai lebih awal jika aku tidak banyak berhenti. Cuma aku malas jika harus menjamak sholatku atau men”qashar”nya selama di perjalanan meski itu diperbolehkan. Jadilah aku selalu berhenti jika mendekati waktu sholat, dan baru melanjutkan perjalanan kembali setelah imam menuntaskan doa setelah sholat. Selama dalam perjalanan, Adjie tak berhenti menelponku guna memastikan aku benar – benar sedang dalam perjalanan menuju ke sana seolah khawatir aku tak jadi datang. Demi mendengar bahwa posisiku sudah mulai memasuki kota bandar lampung barulah dia tenang. Melalui peta elektronik yang ada di salah satu mesin penjelajah internet yang paling popular saat ini aku akhirnya berhasil tiba di depan rumah Adjie dan Ririn. Demi meli
Selesai sholat maghrib berjamaah di mushola, aku segera melipir ke shaff paling belakang untuk melaksanakan sholat istikharah. Sehabis sholat istikharah aku lanjutkan dengan berzikir dan berdoa. Memohon petunjuk atas tawaran Adjie karena hatiku diliputi oleh begitu banyak keraguan.Salah satunya adalah Trauma yang di tinggalkan Nur yang masih sangat dalam membekas. Rasanya aku begitu takut jikan nandti dikhianati kembali, namun aku juga tak kuasa untuk menolak permintaan Adjie yang telah begitu banyak membantuku keluar dari keterpurukan. Selain itu ada rasa tidak pantas untuk berdampingan dengan Rania yang sarjana sementara aku hanya lulusan SMK.Melihatku yang telah selesai berdoa, Adjie menghampiriku. Dia menyalamiku lalu kemudian dduduk di sampingku berniat menungguku. Melihat Aku yang tetap meneruskan dzikirku, Diapun akhirnya membuka Mushaf Alquran lalu mulai bermurajaah.Sungguh pernikahan ini bukan hal kecil dan harus dipertimbangkan matang - matang. Kegagalan pada pernikahan k
Suara decit Ban memekakan telinga, menghentak tubuh Rania yang terbelit oleh Safety Belt ke depan hingga kepalanya hampir terantuk ke dasboard mobil. Sementara suaminya, Zul, Tergugu di balik kemudi dengan wajah pucat pasi. Hampir saja. Hampir saja Zul menabrak ibu – ibu yang tengah hamil besar yang berjalan tertatih – tatih dan tanpa melihat ke kiri dan ke kanan jalan lg dia langsung menyeberang hingga nyaris di tabrak oleh Zul. Beruntung Zul masih sempat menginjak pedal rem hingga kecelakaan itu dapat di hindari. Rania bergegas membuka pintu dan menghambur keluar menghampiri ibu hamil yang kini tengah terduduk lemas dengan wajah pucat pasi di pinggir jalan. “Kalo Jalan jangan ngebut – ngebut wooyyy!!” Bentak salah seorang pejalan kaki sembari memukul kap mobil depan Zul dengan wajah beringas. Zul hanya mengangguk dan melemparkan senyum canggung. Dia segera membuka pintu mobil dan menyusul istrinya. Itu semua bukan sepenuhnya salahnya, Ja
Pukul satu siang Pak RT diantar oleh Adit datang menemui Zul. “Gimana keadaan Nur, Pak? Apa kata dokter?” Tanya Zul berbasa basi. “Udah diperiksa semua, kata dokter gak ada sakit apa – apa Zul. Tapi kemungkinan alergi kata dokter yang memeriksanya tadi.” Terang Pak RT “Oh, Jadi dirawat atau dibawa pulang ke rumah.” Zul bertanya sembari netranya menyapu keadaan rumah Nur dari jauh. “Dibawa ke pesantren akhirnya. Paman Nur memaksa. Katanya mau di rukiyah di sana.” Terang Pak RT lagi. “Baguslah kalau begitu, Pak. Masuk dulu pak. Rania baru saja selesai masak. Kita makan siang bareng.” Zul mengajak Pak RT dan Adit masuk. Meski merasa sungkan, akhirnya Pak RT dan Adit akhirnya menuruti undangan Zul. Rania yang tak menyangka akan kedatangan tamu akhirnya kalang kabut. Untung saja Rania masak untuk sekalian makan malam. Hingga lauk yang dimasak Rania yang sejatinya untuk makan malam juga habis tak bersisa.
Malam masih mencekam, Lolongan kesakitan yang keluar dari mulut Nur yang begitu menyayat membuat suasana semakin seram. Lengkingan jerit yang keluar dari mulut Nur membuat merinding semua orang yang mendengar tak terkecuali Zul dan Rania. Meski rumah mereka berjarak sekitar seratus meter dari rumah Nur, namun lolongan tersebut masih terdengar dengan begitu jelas. “Bang, aku takut.” Zul mengetatkan pelukannya pada Rania meski sebenarnya dia sendiripun bergidik ngeri setiap kali mendengar suara lolongan kesakitan Nur. Zul tetap berusaha menenangkan Rania yang begitu gelisah dengan mendekapnya. “Baca ayat kursi atau ayat – ayat pendek lain, Dek. Biar hati tenang.” Saran Zul sembari membelai rambut legam Rania. Berkali – kali kalimat tahmid dia lafazkan, karena telah terhindar dari sihir Nur. Zul yakin, Nur tak akan berhenti sampai di sini. Akan ada serangan lain ke depannya yang mungkin lebih beringas lagi. “Pagari diri dengan doa dan murajaah
“Gimana ini, Bang? Kenapa Asep jadi begini?” Adit kebingungan bercampur takut melihat mata Asep yang tiba – tiba melotot dengan mulut yang meracau menggunakan Bahasa yang tidak mereka fahami. “Duniaku ada tiga warna… DUNNIIAAA KUUU AADDAAA TTIIIGAA WARNA… Hihihihihihi…” Ceracau Asep dengan Mata menyalak garang lalu menoleh ke Zul dengan seringai seramnya. “Aku juga gak tau ini, Dit. Coba kamu panggil Pak De Darkum aja. Suruh si Memet jemput beliau. Bawa Asep ke dalam kamar, Jangan sampe ganggu pembeli yang lagi makan.” Titah Zul yang sedang cemas bercampur takut melihat netra Asep yang terus menerus menatapnya dengan seringai yang membuat bulu kuduk berdiri. Tiba – tiba Asep terjatuh dan menggelepar di lantai, mulutnya mengeluarkan suara ngorok dari tenggorokan yang mengerikan seperti orang yang sedang mereggang nyawa. Mulutnya mengeluarkan busa air liur yang kemerahan karena bercampur darah. “Cepat angkat ke dalam.” Zul memerint
Rania tertegun di ambang pintu, netranya menangkap bayangan suaminya yang tengah didekap erat seorang wanita yang dia tak tahu itu siapa. Pemandangan yang sama sekali tak ingin dilihatnya. Jadi ini rupanya penyebab suaminya tak mengangkat telepon darinya dan membalas pesannya di applikasi hijau hingga akhirnya dia memutuskan untuk memesan ojek online untuk sampai ke kediaman suaminya. Zul menghampiri istrinya, sebelah tangannya meraih koper yang tengah dipegang Rania, sebelah lagi merangkul Rania ke dalam dekapannya. “Siapa dia?” Tanya Rania dingin, netranya tak lekang menatap Nur yang kini tersenyum sinis padanya. “Dia mantan istri Abang, Dek. Tolong jangan salah faham dulu. Semua tidak seperti yang Adek lihat.” Zul sungguh takt ahu bagaimana cara meyakinkan Rania bahwa ini bukan salahnya. “Kenapa dia kemari?” Netranya masih menatap tajam ke arah Nur yang saat ini mendekati mereka. “Jadi ini istri baru, Abang?” Nur
Setelah selesai sarapan, Zul memeriksa pembukuan yang dibuat Rapi oleh Adit. Tak lama kemudian Mereka telah terlibat dalam diskusi yang membahas tentang masalah warung, dan omset yang di dapat setelah beberapa hari ditinggalkan Zul. “Alhamdulillah, Omset kita naik ya, Dit. Bisa nih buat naikin gaji karyawan.” Zul menatap pembukuan yang dibuat Adit dengan amat sangat rapi. “Menurutku nanti dulu naikin gaji karyawannya, tunggu tahun depan aja. Saat ini fokus kita balikin modal abang aja dulu. Setelah itu baru fokus ke kesejahteraan karyawan.” Usul Adit. Zul manggut – manggut. Tepat Jam Sembilan, Zul dan Adit menyudahi pembahasan mereka tentang pendapatan warung beberapa hari ini, Adit lalu pamit untuk ke pasar berbelanja stok warung untuk berdagang sore ini. Sementara Zul memutuskan untuk pergi meninjau keadaan warung dan karyawan yang telah dia tinggalkan selama beberapa hari ini. Zul segera memeriksa gawainya. Dia lupa kalau semalam hendak menelpon Rania istrinya. Pagi ini karena t
Suara orang mengaji di mushola kecil yang jaraknya hanya lima puluh meter dari rumah Zul membangunkannya dari alam mimpi. Bergegas dia mandi dan berwudhu khawatir akan tertinggal sholat berjamaah. Sudah beberapa hari ini dia tak sholat tahajud seperti biasanya karena terlalu lelah. Hari ini pun sama, ada rasa sesal yang membuncah dalam hatinya karena telah kehilangan waktu berharga untuk bercerita kepada Sang Pemberi Rahmat. Zul melangkah tergesa menuju musholah. Sebentar lagi adzan subuh akan dikumandangkan. Dia mempercepat Langkah. Tak lama setelah Zul tiba di mushola, Pak de Darkum mengumandangkan Adzan dengan suaranya yang merdu dan menyejukkan telinga. “Weeh, manten anyar. Gak ngundang – ngundang lagi.” Goda Pak de darkum setelah kami selesai sholat dan imam menutup doa. “Iya, dadakan pakde. Maaf yah.” Zul menjawab malu. “Gak apa – apa. Barkallah fi umrik yo. Semoga ini jadi pernikahan terakhirmu.” “Amiiiin
Zul dan Nur terhenyak, bersamaan mereka segera menoleh ke asal suara. Sesosok bayangan pria pendek dengan perut menggembung seperti ikan mas koki yang kekenyangan makan melangkah tergesa ke dalam rumah Zul. “Bang, Arman?” Desis Nur dengan wajah penuh kebencian. “Bang , ini tidak seperti yang Abang Fikirkan. Tolong jangan salah faham dulu. Saya sama sekali tak pernah menggoda Nur. Sejak bercerai, saya tak pernah ada hubungan apa pun lagi dengan Nur.” Zul berusaha menjelaskan kondisi yang sebenarnya. Sementara Nur hanya diam, namun bara yang menyala di matanya cukup memperlihatkan apa yang tersimpan di dalam hatinya. “Saya tahu, Saya tahu kamu sudah tak ada hubungan apa – apa lagi dengan istriku. Hanya saja istriku terlalu gatal ingin kembali padamu padahal sejatinya statusnya masih sah sebagai istriku.” Ujar Arman dengan wajah meradang. Zul semakin salah tingkah dibuatnya. “Abang mau apa lagi kemari. Bukankah Nur sudah bilang kalau Nur sudah tak mau lagi menjadi istri abang!” Ujar
Adzan Maghrib tengah berkumandang menyeru umat untuk bersujud pada Sang Pencipta saat Zul dan Rania tiba di hotel. Tubuh dan fikiran yang penat membuat mereka hanya terdiam tanpa suara, masing – masing sibuk dengan fikirannya sendiri - sendiri. Zul menggandeng lengan Rania menuju kamar, dia menatap wajah cantik istrinya yang nampak begitu kusut dan lelah. Sesampai di dalam kamar Zul segera menyambar handuk dan ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan menunaikan ibadah sholat maghrib. Sementara Rania terbaring lesu dengan mata menerawang menatap langit – langit kamar.Setelah selesai sholat, zul menelpon layanan kamar dan memesan makan malam untuk mereka berdua lalu mendatangi istrinya yang tengah memejamkan mata. Zul membangunkan istrinya dengan mengecup pucuk kepalanya. Mata yang di aungi bulu mata yang legam dan menggeliat ke atas itu mengerjap terbuka. Segaris senyum terulas di bibir ranumnya demi melihat suaminya berada begitu dekat dengan wajahnya.“Sholat dulu, Dek. Habis itu