Acara Takziah sudah hampir usai, tradisi di kota ini biasanya tuan rumah menyediakan tempat untuk santap malam bersama. Nasi dan lauk pauknya biasanya diberi oleh jiran tetangga kemudian dinikmati bersama. Pak Darkum mengajakku bersalaman dengan tuan rumah sebelum bersantap. Aku mengekor Pak Darkum karena tak tahu yang mana yang tuan rumah.
“Adjie, kapan kamu pulangnya nak? Mohon maaf tadi siang Pakde tak sempat ikut penguburan almarhum karena Pakde masih di perjalanan.” Pak Darkum menjulurkan tangan mengajak pemuda berkoko biru muda itu bersalaman.
“Gak apa – apa Pakde, Doakan saja semoga Allah menerima amal ibadah ayah semasa hidupnya.” Adjie membungkuk saat menyambut tangan Pak Darkum dan menciumnya dengan takzim.
“Oh iya, ini Zul, jamaah pengajian kita yang baru. Kenalin dulu,” Pak Darkum memperkenalkanku ke Adjie.
Aku tersenyum dan mengulurkan tangan, “Assalamualikum.”
“Waalaikumsalam, terima kasih sudah bersedia datang ke sini dan mendoakan almarhum ayah saya.” Adjie menyambut tanganku dengan kedua belah tangannya. Salamannya erat , hangat dan bersahabat.
“Adjie ini baru pulang dari sekolah masternya di Sudan.” Pak Darkum menjelaskan.
“Wah, hebat yah.” Ujarku kagum. Anak ini berpendidikan tinggi dan akhlaknya sangat baik dengan orang yang lebih tua.
“Ah, biasa aja Bang. Pakde emang kadang suka melebih-lebihkan.” Ujarnya merendah.
Aku semakin kagum.
“Hayo, kapan ke masjid lagi. Bagi – bagi ilmunya untuk jamaah masjid kita”, Pak Darkum menepuk -nepuk pundaknya.
“Secepatnya Pakde. Mungkin besok Adjie akan sholat subuh disana.” Ucapnya sambil membungkukan badan. Wajah pemuda itu begitu bersih dan menenangkan. Senyum tak pernah lekang dari bibirnya. Caranya berinteraksi dengan tamu undangan juga sangat luwes. Sepertinya dia pandai bergaul.
“Besok kamu yang memberi Kultum yah, Harus!” Pak Darkum menodongnya.
“InshaAllah Pakde. Adjie usahakan.” Ujarnya masih dengan membungkukkan badan.
“Ya Udah, Pakde makan dulu yah.” Pak Darkum melambaikan tangan
“Iya Pakde, silahkan.” Kemudian Adjie lanjut menyalami tamu- tamu lainnya. Benar – benar anak yang baik. Sungguh beruntung orang tuanya.
Aku terhenyak, bagaimana dengan orang tuaku. Selama ini aku hanya sesekali mendoakan mereka. Terhanyut dalam buaian indahnya dunia membuatku melupakan bahwa akhirat itu pasti. Tiba – tiba hatiku berdenyut perih. Wajar jika Allah memberiku hukuman, menarik semua nikmatNya. Semua karena aku kufur terhadap apa yang telah Dia karuniakan kepadaku dan tak pernah bersyukur. Saat ini aku ingin sekali berlari ke masjid dan bersujud disana. Memohon ampun atas semua khilafku. Sungguh aku ini hamba yang tak tahu malu. Saat ini Aku malu sekali kepada Allah. Ampuni aku ya Allah. Ayah, Ibu, maafkan anakmu yang jarang sekali mendoakanmu.
Aku mengikuti Pak Darkum menuju ke meja hidang yang sudah dipersiapkan untuk para tamu. Lauk ala kadarnya pemberian tetangga sekitar. Begitulah tradisi disini. Masing – masing tetangga akan memberikan lauk semampu mereka untuk dimakan bersama – sama seusai takziah. Tuan rumah hanya perlu menyediakan air mineral. Setelah mengambil lauk dan nasi aku menuju meja kecil di sudut tempat air mineral diletakkan.
“Bang Zul,” suara perempuan yang tak asing ditelinga memanggilku
Aku menoleh, “Ririn!”
Deg, jantungku berdesir. Setelah dua tahun lebih tak bertemu Dia berubah menjadi tambah cantik dan anggun. Kulitnya yang dulu coklat sekarang telah berubah menjadi kuning langsat. Namun gigi dan lesung pipi itu tak berubah. Dia menangkupkan jemari di dadanya. Ah, iya. Dia tak bersalaman lagi sekarang. Tak seperti dulu lagi.
“Abang apa kabar?” dia tersenyum memamerkan lesung pipinya. MashaAllah cantik sekali. Astaghfirullah, aku segera membuang pandangan berpura – pura mencari tempat duduk.
“Baik dek, Ririn sendiri apa kabar? Tanyaku dengan senyum canggung. Berdekatan dengannya sungguh membuat aku minder.
“Baik juga, Bang. Dua bulan lagi abang datang kesini yah. Awas lho kalo gak!” ancamnya dengan bibir sedikit dimanyunkan. Menggemaskan!
“Lho, emang dua bulan lagi ada apa dek?” tanyaku heran
“Ririn mau nikah, Bang. Itu calon Ririn. Nanti undangannya Ririn antar ke rumah Abang yah” Dia menjelaskan sembari menunjuk ke arah Adjie.
Kupaksa bibirku untuk tetap menyunggingkan senyum. “Sama Adjie yah, Barakallah. Semoga lancar sampai hari H nya yah. InshaAllah abang datang.”
Kuucapkan itu sambil menahan gerimis dihatiku karena teringat kembali pada pernikahanku yang kandas. Aku tatap Ririn dan Adjie yang sibuk menyalami tamu - tamu yang hendak berpamitan, Mereka tampak begitu serasi. Adjie pasangan sepadan untuk Ririn. Mereka Soleh dan soleha, berpendidikan tinggi dengan budi bahasa yang santun. Wajar saja mereka berdua berjodoh. Bukankah laki – laki yang baik hanya untuk perempuan yang baik pula.
Aku duduk disebelah Pak Darkum. Dan mulai menyuap nasi dan lauk di piringku.
“Kamu kenal Ririn ya Zul?” Pak Darkum menyelidik sembari mengunyah sekerat daging rendang.
“Iya pak, Dia kan teman Nur.” Jawabku sambil menyendok soto di piringku.
“Dia anak yang baik, sopan dan berakhlak baik. Dia itu anak angkatnya almarhum Handoyo, ayahnya Adjie. Dia yatim piatu sejak SMA. Karena Handoyo dan ayahnya Ririn sudah berjanji akan menikahkan Ririn dengan Adjie. Maka Handoyo memboyong Ririn ke rumahnya untuk di sekolahkan dan diangkat anak. Ririn sudah tak punya siapa – siapa lagi. Khawatir mereka akan melakukan hal – hal yang dilarang agama jika mereka tinggal bersama dalam satu rumah, maka Handoyo mengirim Adjie ke Pesantren. Kemudian lanjut dikuliahkan di Al Azhar Mesir dan di Sudan.
Rencananya Handoyo mau menikahkan mereka dua bulan lagi. Namun takdir tak dapat ditolak. Handoyo tak sempat menyaksikan pernikahan mereka.” Pak Darkum menjelaskan panjang lebar dengan raut sedih.
Aku terpaku menatap gadis cantik yang sibuk mempersilahkan ibu – ibu untuk makan. Gamis biru laut begitu serasi dengan warna baju koko adjie. Mereka pasangan yang begitu sempurna. Hatiku semakin basah. Allah, bantu aku memperbaiki hati, jadikan hati ini hanya terpaut padamu. Ampuni aku. Bantu aku melupakan Aini ya Rabb.
Malam itu, aku tak langsung pulang. Aku meminta kunci masjid ke Pak Darkum. Aku ingin menghabiskan malam ini bersama Rabbku. Banyak sekali yang ingin aku pinta dariNya. Ampunan dan ridhoNYa. Apapun yang terjadi dimasa depanku, aku ikhlas. Saat ini, aku hanya ingin menjadi hambaNya yang diridhai.
Sebuah mobil SUV perlahan berhenti di depan rumahku saat aku baru saja kembali dari melihat keadaan kebun sawitku. Sesosok kepala berhijab menyembul dari pintu yang terbuka diiringi oleh senyum manis seorang wanita cantik dan ramah, Ririn. Dia datang bersama Adjie dan seorang wanita paruh baya yang juga mengenakan jilbab lebar seperti Ririn. Adjie menyalamiku sementara Ririn dan perempuan paruh baya yang dipanggil Bu Nah oleh Ririn menangkupkan jemarinya kepadaku dan kubalas dengan gaya yang sama. “Assalamualaikum, Bang.” Adji menyalami dan memelukku. “Waalaikumsalam warrahmatullah. Waduh.. tamu jauh ini yah. Ayo, Mari masuk. Tapi maaf lho kondisi rumahnya agak berantakan.” Aku mempersilahkan mereka masuk. Mereka mengikutiku masuk dan duduk di ruang tamu yang tak seberapa luas. Aku menyalakan lampu agar ruangan menjadi terang. “Ada angin apa rupanya yah. Ayoo, diminum dulu. Adanya Cuma air putih” aku menyajikan air mineral dingin yang ku ambil dari kulkas. “Begini Bang. Kedatan
Kedua kakiku sudah teramat sangat pegal menunggu Bang Zul lewat di depan rumahku. Begitu juga dengan Leherku karena celingukan dari tadi mengawasi ujung jalan untuk melihat Bang Zul lewat tetapi yang ditunggu tak kunjung juga muncul batang hidungnya. Bagaimana mungkin dia berubah menjadi begitu ganteng sekarang, sama seperti dulu waktu pertama kali aku mengenalnya. Hatiku pun kembali berdesir saat menghirup aroma maskulin yang menguar dari tubuh atletis miliknya saat kami berdekatan di pesta pernikahan Ririn tadi. Mataku terpaku pada garis wajahnya yang sangat tampan sekarang, begitu bersih dan meneduhkan. Ah, menyesal aku dulu meminta cerai darinya. Apalagi sekarang dia sudah terlihat sangat mapan. Dulu aku menggugat cerai darinya karena dia sudah tak punya apa – apa. Apa yang bisa ku harapkan dari seorang tukang ojek yang menyambi kerja sebagai kuli bangunan. Penghasilannya dulu bahkan tak cukup untuk membiayai skincare dan beraneka ragam produk kecantikanku. Bapak dan Emak ku pun m
Disaat kondisi ekonomi Bang Zul yang morat marit, di saat itu pula aku mengenal Bang Arman. Seorang bujang lapuk yang penampilannya tidak terlalu menarik namun dia memiliki kebun karet yang sangat luas di kampungnya, Bang Arman adalah salah satu teman Bapak memancing. Aku akhirnya memutuskan untuk kembali tinggal di rumah orang tuaku dengan alasan kesepian dan takut ditinggal sendiri saat Bang Zul mencari nafkah padahal aku sebenarnya bukan tipe perempuan penakut,. Hanya saja aku malas harus melayani Bang Zul. Toh dia juga tak bisa memberiku nafkah yang layak. Jadi buat apa aku berbakti sepenuh jiwa untuknya, sia – sia bukan. Seperti suami yang tahu diri, Bang Zul tak berkeberatan dengan hal itu. Dia mengizinkan aku untuk tinggal sementara di rumah Orang tuaku saat dia mencari nafkah di pagi hari dan kemudian dia akan menjemputku di sore hari untuk pulang ke rumah kami. Namun beberapa minggu kemudian aku memutuskan untuk tinggal kembali bersama Emak dan lagi – lagi Bang Zul mengizin
Hari ini sudah setahun lebih warung pecel lele kami berdiri. Selama itu pula aku disibukkan dengan rutinitas warung yang semakin hari semakin ramai dan itu membuat aku dan pegawai yang ada sedikit kewalahan. Rasa sambal dan lauk yang konsisten serta kebersihan warung yang selalu ku jaga, menjadikan warung pecel lele kami menjadi pecel lele favorit warga. Pembelinya pun tak hanya datang dari kotaku saja. Beberapa dari mereka adalah vlogger youtube yang mereview rasa warung pecel lele kami. Adjie menyarankan untuk merekrut karyawan baru untuk membantuku, dan atas permintaanku, karyawan yang diterima semuanya lelaki. Karena jujur saja aku kurang nyaman bekerja dengan perempuan, bukan karena aku memiliki orientasi ketertarikan yang berbeda, namun lebih sekadar ingin menjaga diri.Adjie dan Ririn sendiri memutuskan untuk menetap di Bandar Lampung setelah bulan madu mereka kemarin. Kabar yang aku dengar saat komunikasi kami terakhir bulan lalu, Ririn tengah mengandung namun karena ada kel
Matahari sudah mendekati tempat kembalinya saat mobil yang aku kemudikan memasuki pekarangan rumah yang sesuai dengan lokasi yang diberikan Adjie. Perjalanan lebih dari delapan jam harus ku tempuh dengan mengendarai mobil untuk sampai ke sini, sebenarnya aku bisa saja sampai lebih awal jika aku tidak banyak berhenti. Cuma aku malas jika harus menjamak sholatku atau men”qashar”nya selama di perjalanan meski itu diperbolehkan. Jadilah aku selalu berhenti jika mendekati waktu sholat, dan baru melanjutkan perjalanan kembali setelah imam menuntaskan doa setelah sholat. Selama dalam perjalanan, Adjie tak berhenti menelponku guna memastikan aku benar – benar sedang dalam perjalanan menuju ke sana seolah khawatir aku tak jadi datang. Demi mendengar bahwa posisiku sudah mulai memasuki kota bandar lampung barulah dia tenang. Melalui peta elektronik yang ada di salah satu mesin penjelajah internet yang paling popular saat ini aku akhirnya berhasil tiba di depan rumah Adjie dan Ririn. Demi meli
Selesai sholat maghrib berjamaah di mushola, aku segera melipir ke shaff paling belakang untuk melaksanakan sholat istikharah. Sehabis sholat istikharah aku lanjutkan dengan berzikir dan berdoa. Memohon petunjuk atas tawaran Adjie karena hatiku diliputi oleh begitu banyak keraguan.Salah satunya adalah Trauma yang di tinggalkan Nur yang masih sangat dalam membekas. Rasanya aku begitu takut jikan nandti dikhianati kembali, namun aku juga tak kuasa untuk menolak permintaan Adjie yang telah begitu banyak membantuku keluar dari keterpurukan. Selain itu ada rasa tidak pantas untuk berdampingan dengan Rania yang sarjana sementara aku hanya lulusan SMK.Melihatku yang telah selesai berdoa, Adjie menghampiriku. Dia menyalamiku lalu kemudian dduduk di sampingku berniat menungguku. Melihat Aku yang tetap meneruskan dzikirku, Diapun akhirnya membuka Mushaf Alquran lalu mulai bermurajaah.Sungguh pernikahan ini bukan hal kecil dan harus dipertimbangkan matang - matang. Kegagalan pada pernikahan k
Kita tak tahu kemana takdir akan membawa kita pergi, rezeki, maut, dan jodoh, adalah sebuah misteri yang akan terpecahkan jika waktu yang ditetapkan oleh Sang Penulis Takdir telah tiba. Seperti yang terjadi padaku saat ini. Sungguh aku tak pernah menyangka jika aku akan menggenapi takdirku untuk menikah di sini, Sebuah kota yang dulu hanya ku lihat di peta dan dengan jalan yang di luar ekspektasiku. Sungguh aku merasa sangat beruntung. Beberapa hari yang lalu, aku masih gamang berkutat dengan trauma kegagalan rumah tanggaku bersama Nur, Dan sekarang aku telah berada di halaman takdir baru yang akan menuliskan namaku dan nama Rania di dalam satu bab yang sama.Pagi itu setelah sholat subuh aku diantar Adjie ke rumah Rania untuk didandani. Mereka memakaikanku jas berwarna broken white, topi kopiah putih berhias bordiran di sekelilingnya dengan warna yang senada dengan jasku, serta kalung yang terbuat dari utaian bunga melati segar. Tubuhku yang tinggi dan atletis membuat ak
Akhirnya hari ini tiba juga, sebuah peristiwa bahagia yang selalu diimpikan oleh banyak anak dara dalam hidupnya tak terkecuali diriku, bersanding dengan lelaki yang tampan dan mapan serta mencintai Tuhan. Namun bagiku pernikahan ini kuanggap sebagai sebuah malapetaka karena aku harus menikah dengan seorang duda yang sama sekali tak ku kenal demi menyelamatkan maruah keluarga besarku yang telah tercoreng oleh fitnah keji yang sangat kejam yang dilontarkan oleh orang yang tak bertanggung jawab padaku hingga pada akhirnya fitnah itu memporak porandakan impian dan cita - citaku untuk membangun sebuah maghligai rumah tangga indah yang penuh bahagia dan berlumur cinta dengan lelaki yang telah menguasai hati dan fikiranku selama beberapa tahun ini, Faisal. Dia satu – satunya lelaki yang mampu membuat hatiku berbunga hanya dengan kerlingan mata dan senyumannya. Sopan santun dan adabnya telah menawan hatiku, kelembutannya memenjarakan cintaku hingga tak sanggup lagi untuk berpaling pada lela
Suara decit Ban memekakan telinga, menghentak tubuh Rania yang terbelit oleh Safety Belt ke depan hingga kepalanya hampir terantuk ke dasboard mobil. Sementara suaminya, Zul, Tergugu di balik kemudi dengan wajah pucat pasi. Hampir saja. Hampir saja Zul menabrak ibu – ibu yang tengah hamil besar yang berjalan tertatih – tatih dan tanpa melihat ke kiri dan ke kanan jalan lg dia langsung menyeberang hingga nyaris di tabrak oleh Zul. Beruntung Zul masih sempat menginjak pedal rem hingga kecelakaan itu dapat di hindari. Rania bergegas membuka pintu dan menghambur keluar menghampiri ibu hamil yang kini tengah terduduk lemas dengan wajah pucat pasi di pinggir jalan. “Kalo Jalan jangan ngebut – ngebut wooyyy!!” Bentak salah seorang pejalan kaki sembari memukul kap mobil depan Zul dengan wajah beringas. Zul hanya mengangguk dan melemparkan senyum canggung. Dia segera membuka pintu mobil dan menyusul istrinya. Itu semua bukan sepenuhnya salahnya, Ja
Pukul satu siang Pak RT diantar oleh Adit datang menemui Zul. “Gimana keadaan Nur, Pak? Apa kata dokter?” Tanya Zul berbasa basi. “Udah diperiksa semua, kata dokter gak ada sakit apa – apa Zul. Tapi kemungkinan alergi kata dokter yang memeriksanya tadi.” Terang Pak RT “Oh, Jadi dirawat atau dibawa pulang ke rumah.” Zul bertanya sembari netranya menyapu keadaan rumah Nur dari jauh. “Dibawa ke pesantren akhirnya. Paman Nur memaksa. Katanya mau di rukiyah di sana.” Terang Pak RT lagi. “Baguslah kalau begitu, Pak. Masuk dulu pak. Rania baru saja selesai masak. Kita makan siang bareng.” Zul mengajak Pak RT dan Adit masuk. Meski merasa sungkan, akhirnya Pak RT dan Adit akhirnya menuruti undangan Zul. Rania yang tak menyangka akan kedatangan tamu akhirnya kalang kabut. Untung saja Rania masak untuk sekalian makan malam. Hingga lauk yang dimasak Rania yang sejatinya untuk makan malam juga habis tak bersisa.
Malam masih mencekam, Lolongan kesakitan yang keluar dari mulut Nur yang begitu menyayat membuat suasana semakin seram. Lengkingan jerit yang keluar dari mulut Nur membuat merinding semua orang yang mendengar tak terkecuali Zul dan Rania. Meski rumah mereka berjarak sekitar seratus meter dari rumah Nur, namun lolongan tersebut masih terdengar dengan begitu jelas. “Bang, aku takut.” Zul mengetatkan pelukannya pada Rania meski sebenarnya dia sendiripun bergidik ngeri setiap kali mendengar suara lolongan kesakitan Nur. Zul tetap berusaha menenangkan Rania yang begitu gelisah dengan mendekapnya. “Baca ayat kursi atau ayat – ayat pendek lain, Dek. Biar hati tenang.” Saran Zul sembari membelai rambut legam Rania. Berkali – kali kalimat tahmid dia lafazkan, karena telah terhindar dari sihir Nur. Zul yakin, Nur tak akan berhenti sampai di sini. Akan ada serangan lain ke depannya yang mungkin lebih beringas lagi. “Pagari diri dengan doa dan murajaah
“Gimana ini, Bang? Kenapa Asep jadi begini?” Adit kebingungan bercampur takut melihat mata Asep yang tiba – tiba melotot dengan mulut yang meracau menggunakan Bahasa yang tidak mereka fahami. “Duniaku ada tiga warna… DUNNIIAAA KUUU AADDAAA TTIIIGAA WARNA… Hihihihihihi…” Ceracau Asep dengan Mata menyalak garang lalu menoleh ke Zul dengan seringai seramnya. “Aku juga gak tau ini, Dit. Coba kamu panggil Pak De Darkum aja. Suruh si Memet jemput beliau. Bawa Asep ke dalam kamar, Jangan sampe ganggu pembeli yang lagi makan.” Titah Zul yang sedang cemas bercampur takut melihat netra Asep yang terus menerus menatapnya dengan seringai yang membuat bulu kuduk berdiri. Tiba – tiba Asep terjatuh dan menggelepar di lantai, mulutnya mengeluarkan suara ngorok dari tenggorokan yang mengerikan seperti orang yang sedang mereggang nyawa. Mulutnya mengeluarkan busa air liur yang kemerahan karena bercampur darah. “Cepat angkat ke dalam.” Zul memerint
Rania tertegun di ambang pintu, netranya menangkap bayangan suaminya yang tengah didekap erat seorang wanita yang dia tak tahu itu siapa. Pemandangan yang sama sekali tak ingin dilihatnya. Jadi ini rupanya penyebab suaminya tak mengangkat telepon darinya dan membalas pesannya di applikasi hijau hingga akhirnya dia memutuskan untuk memesan ojek online untuk sampai ke kediaman suaminya. Zul menghampiri istrinya, sebelah tangannya meraih koper yang tengah dipegang Rania, sebelah lagi merangkul Rania ke dalam dekapannya. “Siapa dia?” Tanya Rania dingin, netranya tak lekang menatap Nur yang kini tersenyum sinis padanya. “Dia mantan istri Abang, Dek. Tolong jangan salah faham dulu. Semua tidak seperti yang Adek lihat.” Zul sungguh takt ahu bagaimana cara meyakinkan Rania bahwa ini bukan salahnya. “Kenapa dia kemari?” Netranya masih menatap tajam ke arah Nur yang saat ini mendekati mereka. “Jadi ini istri baru, Abang?” Nur
Setelah selesai sarapan, Zul memeriksa pembukuan yang dibuat Rapi oleh Adit. Tak lama kemudian Mereka telah terlibat dalam diskusi yang membahas tentang masalah warung, dan omset yang di dapat setelah beberapa hari ditinggalkan Zul. “Alhamdulillah, Omset kita naik ya, Dit. Bisa nih buat naikin gaji karyawan.” Zul menatap pembukuan yang dibuat Adit dengan amat sangat rapi. “Menurutku nanti dulu naikin gaji karyawannya, tunggu tahun depan aja. Saat ini fokus kita balikin modal abang aja dulu. Setelah itu baru fokus ke kesejahteraan karyawan.” Usul Adit. Zul manggut – manggut. Tepat Jam Sembilan, Zul dan Adit menyudahi pembahasan mereka tentang pendapatan warung beberapa hari ini, Adit lalu pamit untuk ke pasar berbelanja stok warung untuk berdagang sore ini. Sementara Zul memutuskan untuk pergi meninjau keadaan warung dan karyawan yang telah dia tinggalkan selama beberapa hari ini. Zul segera memeriksa gawainya. Dia lupa kalau semalam hendak menelpon Rania istrinya. Pagi ini karena t
Suara orang mengaji di mushola kecil yang jaraknya hanya lima puluh meter dari rumah Zul membangunkannya dari alam mimpi. Bergegas dia mandi dan berwudhu khawatir akan tertinggal sholat berjamaah. Sudah beberapa hari ini dia tak sholat tahajud seperti biasanya karena terlalu lelah. Hari ini pun sama, ada rasa sesal yang membuncah dalam hatinya karena telah kehilangan waktu berharga untuk bercerita kepada Sang Pemberi Rahmat. Zul melangkah tergesa menuju musholah. Sebentar lagi adzan subuh akan dikumandangkan. Dia mempercepat Langkah. Tak lama setelah Zul tiba di mushola, Pak de Darkum mengumandangkan Adzan dengan suaranya yang merdu dan menyejukkan telinga. “Weeh, manten anyar. Gak ngundang – ngundang lagi.” Goda Pak de darkum setelah kami selesai sholat dan imam menutup doa. “Iya, dadakan pakde. Maaf yah.” Zul menjawab malu. “Gak apa – apa. Barkallah fi umrik yo. Semoga ini jadi pernikahan terakhirmu.” “Amiiiin
Zul dan Nur terhenyak, bersamaan mereka segera menoleh ke asal suara. Sesosok bayangan pria pendek dengan perut menggembung seperti ikan mas koki yang kekenyangan makan melangkah tergesa ke dalam rumah Zul. “Bang, Arman?” Desis Nur dengan wajah penuh kebencian. “Bang , ini tidak seperti yang Abang Fikirkan. Tolong jangan salah faham dulu. Saya sama sekali tak pernah menggoda Nur. Sejak bercerai, saya tak pernah ada hubungan apa pun lagi dengan Nur.” Zul berusaha menjelaskan kondisi yang sebenarnya. Sementara Nur hanya diam, namun bara yang menyala di matanya cukup memperlihatkan apa yang tersimpan di dalam hatinya. “Saya tahu, Saya tahu kamu sudah tak ada hubungan apa – apa lagi dengan istriku. Hanya saja istriku terlalu gatal ingin kembali padamu padahal sejatinya statusnya masih sah sebagai istriku.” Ujar Arman dengan wajah meradang. Zul semakin salah tingkah dibuatnya. “Abang mau apa lagi kemari. Bukankah Nur sudah bilang kalau Nur sudah tak mau lagi menjadi istri abang!” Ujar
Adzan Maghrib tengah berkumandang menyeru umat untuk bersujud pada Sang Pencipta saat Zul dan Rania tiba di hotel. Tubuh dan fikiran yang penat membuat mereka hanya terdiam tanpa suara, masing – masing sibuk dengan fikirannya sendiri - sendiri. Zul menggandeng lengan Rania menuju kamar, dia menatap wajah cantik istrinya yang nampak begitu kusut dan lelah. Sesampai di dalam kamar Zul segera menyambar handuk dan ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan menunaikan ibadah sholat maghrib. Sementara Rania terbaring lesu dengan mata menerawang menatap langit – langit kamar.Setelah selesai sholat, zul menelpon layanan kamar dan memesan makan malam untuk mereka berdua lalu mendatangi istrinya yang tengah memejamkan mata. Zul membangunkan istrinya dengan mengecup pucuk kepalanya. Mata yang di aungi bulu mata yang legam dan menggeliat ke atas itu mengerjap terbuka. Segaris senyum terulas di bibir ranumnya demi melihat suaminya berada begitu dekat dengan wajahnya.“Sholat dulu, Dek. Habis itu