Akhirnya hari ini tiba juga, sebuah peristiwa bahagia yang selalu diimpikan oleh banyak anak dara dalam hidupnya tak terkecuali diriku, bersanding dengan lelaki yang tampan dan mapan serta mencintai Tuhan. Namun bagiku pernikahan ini kuanggap sebagai sebuah malapetaka karena aku harus menikah dengan seorang duda yang sama sekali tak ku kenal demi menyelamatkan maruah keluarga besarku yang telah tercoreng oleh fitnah keji yang sangat kejam yang dilontarkan oleh orang yang tak bertanggung jawab padaku hingga pada akhirnya fitnah itu memporak porandakan impian dan cita - citaku untuk membangun sebuah maghligai rumah tangga indah yang penuh bahagia dan berlumur cinta dengan lelaki yang telah menguasai hati dan fikiranku selama beberapa tahun ini, Faisal. Dia satu – satunya lelaki yang mampu membuat hatiku berbunga hanya dengan kerlingan mata dan senyumannya. Sopan santun dan adabnya telah menawan hatiku, kelembutannya memenjarakan cintaku hingga tak sanggup lagi untuk berpaling pada lela
Aku termenung sendiri di dalam kamar, sesekali ku hidu aroma pengharum linen yang menguar dari Gamis hijau wardahku yang sedari tadi ku timang - timang. Kepalaku begitu penuh dengan ribuan tanda tanya yang tak kunjung kutemukan jawabannya. Siapa yang telah membawa gamis ini keluar dari lemariku lalu mengembalikannya kembali melalui jasa laundry. Siapapun dia, pasti orang yang sangat dekat denganku hingga dia bisa menjebakku dengan mudah. Membuat aku tak memiliki lagi alibi untuk mengelakkan diri dari fitnah keji itu. Gamis dan hijab itu kupakai pertama dan terakhir kali saat proses lamaranku. Selain itu Faisal juga tahu kalau mustahil ada yang menyamainya karena gamis itu ku pesan khusus dari pejahit kenamaan yang merupakan teman dekatku semasa kuliah dulu sekaligus sepupu Faisal. Adalah wajar jika semua menuduhku sebagai pelaku utama di video yang membuatku mual itu. Aku memejamkan mata berusaha mengingat – ingat siapa saja yang pernah memasuki kamarku dan patut kucurigai
Pagi ini aku terbangun dengan hati resah. Sejenak rasa resah itu hilang saat aku menunaikan kewajibanku di awal fajar. Namun kini rasa gelisah itu kembali datang. Bahkan untuk bernafas pun jadi terasa begitu berat. Kuperbanyak zikir dan istighfar untuk mengurangi sedikit sesak di dada. Perlahan namun pasti rasa gelisah yang menyelinap di hati mulai sirna berganti dengan rasa damai dan lega. Hari ini, sesuai rencana yang telah aku atur bersama ibu semalam, aku akan pergi ke laundry untuk menanyakan tentang siapa yang membawa gamis itu kesana untuk di laundry. Aku keluar kamar dengan rasa malas, khawatir akan kembali bertemu dengan kerabat yang masih menginap disini atas permintaan ibu. Beliau masih sangat berharap pernikahan tetap digelar apapun yang terjadi. Aku segera menuju ke ruang makan. Nampak beberapa kerabat jauh dari ayah masih berkumpul di sekitar meja makan. Para sepuh duduk di atas meja sementara anak – anaknya yang masih muda duduk lesehan di
Jantungku berdegub dengan amat sangat kencang seolah menggedor ingin keluar dari dadaku saat aku mengekori zaffran menuju ruang control CCTV yang ada di ruangan pimpinannya. Harusnya aku tak perlu cemas, namun kenyataan bahwa sebentar lagi aku akan mengetahui makhluk yang telah berhasil memporak porandakan mimpi – mimpiku tak urung memacu adrenalinku. “Saya sudah minta izin sama papa tadi, Mbak. Dan papa gak keberatan kalo Zaff ambil rekaman CCTV nya untuk Mbak.” Lelaki yang berwajah bocah itu menjelaskan tanpa kuminta. ‘Ah… Jadi Laundry ini punya Papamu ya, Zaff.” Aku menanggapi seadanya karena sibuk menenangkan jantung yang berdetak tak terkendali.&n
Fitnah sungguh lebih kejam daripada pembunuhan, sebuah kata bijak yang sangat mengena dengan kondisi yang aku alami saat ini. Semua kehancuran yang kualami terjadi karena sebuah fitnah jahat yang ditujukan padaku. Karena fitnah itu rencana pernikahanku jadi porak poranda, hingga meninggalkan malu yang tak terperi. Karena fitnah itu juga aku dicampakkan oleh lelaki yang telah berjanji akan membersamai langkahku hingga ke surga nanti. Dan fitnah itu pula yang telah membunuh karakter dan nama baik yang selalu ku jaga dengan segenap jiwa, Saat ini dihadapanku, dengan hati yang remuk tak berbentuk aku harus menerima kenyataan bahwa calon suamiku telah memiliki pengantin penggantiku. Lebih tepatnya pengantin yang akan menggantikan posisiku di hati dan di sisi Mas Faisal. Miris bukan, dia yang seharusnya berada di garda terdepan untuk melindungiku dan menjadi sandaran bagiku di saat aku jatuh seperti saat ini, malah dengan ringannya melangkah pergi lalu menggamit perempuan lain untuk dinika
Aku tiba di rumah saat jarum jam menunjukkan angka jam dua tepat. Demi mendengar suara motorku yang memasuki garasi, ibuku segera berhambur keluar untuk menyambutku dengan mimik wajah khawatir dan cemas. “Alhamdulillah, Nduk kamu sudah pulang. Kamu kemana aja? Mas Adjiemu dari tadi nelponin ibu terus, nanyain kamu sudah sampai atau belum. Syukurlah kamu udah pulang dengan selamat. Kamu gak apa – apa kan, Nduk” Ibu memelukku dengan penuh rasa lega. Aku hanya tersenyum getir. Jiwaku masih tergoncang hebat sehabis pertemuanku dengan Mas Faisal tadi. “Rania Gak apa – apa koq, Bu. Rania baik – baik saja.” Namun buliran kristal bening yang tiba – tiba mengalir dari kedua netraku membuat ibu faham apa yang terjadi. Wanita paruh baya yang mencintaiku dengan sepenuh jiwanya itu merengkuhku ke dalam pelukannya. Pertahananku runtuh, dalam pelukan ibu aku menangis tersedu. Tangisku terhenti kala Netraku menyapu ke sekeliling ruang tamu dan terpaku saat menatap bunga – bunga plastik hiasan pe
“Ini dimana, yah? Kenapa aku bisa ada di sini? Siapa yang membawaku kemari?” aku bergumam sendiri saat mendapati diriku tengah duduk di sebuah lapangan yang amat sangat luas. Netraku menyapu keadaan sekitarku. Sejauh mata memandang yang tampak hanya hamparan rerumputan hijau yang menyejukan mata dan membuat hati damai. Semilir hembusan angin membelai wajah dan hijab putihku mengibarkannya sesaat lalu berhenti. Aku memejamkan mata menikmati tiap desiran hembusan angin di wajahku yang menghadirkan ketenangan. Tempat ini begitu nyaman dan damai. Aku suka.Aku berdiri hendak mengitari tempat yang masih terasa begitu asing bagiku. Lagi dan lagi aku terpesona dengan keindahan tempat ini.“Tempat ini cantik sekali? Ah, ternyata aku berada di tengah hutan sabana hijau. Luas sekali tempat ini,” Batinku. Sejauh mata memandang yang nampak hanya rerumputan hijau, lalu di ujung batas sabana ini, tampak bukit- bukit dengan tinggi yang beragam berwarna kebiruan mengelilingi tempat ini serupa pagar b
Aku kembali mengamati tiap inchi wajah lelaki yang fotonya ada di gawaiku itu berkali – kali, meyakinkan diri bahwa dia adalah orangnya. Lelaki yang ku temui di alam bawah sadarku saat aku koma kemarin. Begitu mirip, apa maksud ini semua, bagaimana dia bisa muncul di sana padahal aku sama sekali belum mengenalnya. “Ehem… Ganteng ya, Nduk.” Goda ibu dengan senyum di kulum. Aku tak menjawab, tapi rona merah di kedua pipiku telah cukup memberikan jawaban. “Bu, Bagaimana kalau dia menolak menikahi Rania karena termakan fitnah itu?” aku menscroll layar di gawaiku hingga foto itu tertutup dan lampu di layar gawaiku padam. “Ya seperti yang ibu bilang tadi, Nduk. Pesta akan tetap berjalan, hitung – hitung kita syukuran karena kamu selamat.” Ujar ibu ringan Aku tersenyum kecut. Terbayang sudah tatapan iba para undangan yang akan ditujukan padaku nanti. Pesta itu akan menjadi sebuah siksaan psikis bagiku karena aku harus tampil baik – baik saja sementara hatiku hancur lebur. Sorot iba dar
Suara decit Ban memekakan telinga, menghentak tubuh Rania yang terbelit oleh Safety Belt ke depan hingga kepalanya hampir terantuk ke dasboard mobil. Sementara suaminya, Zul, Tergugu di balik kemudi dengan wajah pucat pasi. Hampir saja. Hampir saja Zul menabrak ibu – ibu yang tengah hamil besar yang berjalan tertatih – tatih dan tanpa melihat ke kiri dan ke kanan jalan lg dia langsung menyeberang hingga nyaris di tabrak oleh Zul. Beruntung Zul masih sempat menginjak pedal rem hingga kecelakaan itu dapat di hindari. Rania bergegas membuka pintu dan menghambur keluar menghampiri ibu hamil yang kini tengah terduduk lemas dengan wajah pucat pasi di pinggir jalan. “Kalo Jalan jangan ngebut – ngebut wooyyy!!” Bentak salah seorang pejalan kaki sembari memukul kap mobil depan Zul dengan wajah beringas. Zul hanya mengangguk dan melemparkan senyum canggung. Dia segera membuka pintu mobil dan menyusul istrinya. Itu semua bukan sepenuhnya salahnya, Ja
Pukul satu siang Pak RT diantar oleh Adit datang menemui Zul. “Gimana keadaan Nur, Pak? Apa kata dokter?” Tanya Zul berbasa basi. “Udah diperiksa semua, kata dokter gak ada sakit apa – apa Zul. Tapi kemungkinan alergi kata dokter yang memeriksanya tadi.” Terang Pak RT “Oh, Jadi dirawat atau dibawa pulang ke rumah.” Zul bertanya sembari netranya menyapu keadaan rumah Nur dari jauh. “Dibawa ke pesantren akhirnya. Paman Nur memaksa. Katanya mau di rukiyah di sana.” Terang Pak RT lagi. “Baguslah kalau begitu, Pak. Masuk dulu pak. Rania baru saja selesai masak. Kita makan siang bareng.” Zul mengajak Pak RT dan Adit masuk. Meski merasa sungkan, akhirnya Pak RT dan Adit akhirnya menuruti undangan Zul. Rania yang tak menyangka akan kedatangan tamu akhirnya kalang kabut. Untung saja Rania masak untuk sekalian makan malam. Hingga lauk yang dimasak Rania yang sejatinya untuk makan malam juga habis tak bersisa.
Malam masih mencekam, Lolongan kesakitan yang keluar dari mulut Nur yang begitu menyayat membuat suasana semakin seram. Lengkingan jerit yang keluar dari mulut Nur membuat merinding semua orang yang mendengar tak terkecuali Zul dan Rania. Meski rumah mereka berjarak sekitar seratus meter dari rumah Nur, namun lolongan tersebut masih terdengar dengan begitu jelas. “Bang, aku takut.” Zul mengetatkan pelukannya pada Rania meski sebenarnya dia sendiripun bergidik ngeri setiap kali mendengar suara lolongan kesakitan Nur. Zul tetap berusaha menenangkan Rania yang begitu gelisah dengan mendekapnya. “Baca ayat kursi atau ayat – ayat pendek lain, Dek. Biar hati tenang.” Saran Zul sembari membelai rambut legam Rania. Berkali – kali kalimat tahmid dia lafazkan, karena telah terhindar dari sihir Nur. Zul yakin, Nur tak akan berhenti sampai di sini. Akan ada serangan lain ke depannya yang mungkin lebih beringas lagi. “Pagari diri dengan doa dan murajaah
“Gimana ini, Bang? Kenapa Asep jadi begini?” Adit kebingungan bercampur takut melihat mata Asep yang tiba – tiba melotot dengan mulut yang meracau menggunakan Bahasa yang tidak mereka fahami. “Duniaku ada tiga warna… DUNNIIAAA KUUU AADDAAA TTIIIGAA WARNA… Hihihihihihi…” Ceracau Asep dengan Mata menyalak garang lalu menoleh ke Zul dengan seringai seramnya. “Aku juga gak tau ini, Dit. Coba kamu panggil Pak De Darkum aja. Suruh si Memet jemput beliau. Bawa Asep ke dalam kamar, Jangan sampe ganggu pembeli yang lagi makan.” Titah Zul yang sedang cemas bercampur takut melihat netra Asep yang terus menerus menatapnya dengan seringai yang membuat bulu kuduk berdiri. Tiba – tiba Asep terjatuh dan menggelepar di lantai, mulutnya mengeluarkan suara ngorok dari tenggorokan yang mengerikan seperti orang yang sedang mereggang nyawa. Mulutnya mengeluarkan busa air liur yang kemerahan karena bercampur darah. “Cepat angkat ke dalam.” Zul memerint
Rania tertegun di ambang pintu, netranya menangkap bayangan suaminya yang tengah didekap erat seorang wanita yang dia tak tahu itu siapa. Pemandangan yang sama sekali tak ingin dilihatnya. Jadi ini rupanya penyebab suaminya tak mengangkat telepon darinya dan membalas pesannya di applikasi hijau hingga akhirnya dia memutuskan untuk memesan ojek online untuk sampai ke kediaman suaminya. Zul menghampiri istrinya, sebelah tangannya meraih koper yang tengah dipegang Rania, sebelah lagi merangkul Rania ke dalam dekapannya. “Siapa dia?” Tanya Rania dingin, netranya tak lekang menatap Nur yang kini tersenyum sinis padanya. “Dia mantan istri Abang, Dek. Tolong jangan salah faham dulu. Semua tidak seperti yang Adek lihat.” Zul sungguh takt ahu bagaimana cara meyakinkan Rania bahwa ini bukan salahnya. “Kenapa dia kemari?” Netranya masih menatap tajam ke arah Nur yang saat ini mendekati mereka. “Jadi ini istri baru, Abang?” Nur
Setelah selesai sarapan, Zul memeriksa pembukuan yang dibuat Rapi oleh Adit. Tak lama kemudian Mereka telah terlibat dalam diskusi yang membahas tentang masalah warung, dan omset yang di dapat setelah beberapa hari ditinggalkan Zul. “Alhamdulillah, Omset kita naik ya, Dit. Bisa nih buat naikin gaji karyawan.” Zul menatap pembukuan yang dibuat Adit dengan amat sangat rapi. “Menurutku nanti dulu naikin gaji karyawannya, tunggu tahun depan aja. Saat ini fokus kita balikin modal abang aja dulu. Setelah itu baru fokus ke kesejahteraan karyawan.” Usul Adit. Zul manggut – manggut. Tepat Jam Sembilan, Zul dan Adit menyudahi pembahasan mereka tentang pendapatan warung beberapa hari ini, Adit lalu pamit untuk ke pasar berbelanja stok warung untuk berdagang sore ini. Sementara Zul memutuskan untuk pergi meninjau keadaan warung dan karyawan yang telah dia tinggalkan selama beberapa hari ini. Zul segera memeriksa gawainya. Dia lupa kalau semalam hendak menelpon Rania istrinya. Pagi ini karena t
Suara orang mengaji di mushola kecil yang jaraknya hanya lima puluh meter dari rumah Zul membangunkannya dari alam mimpi. Bergegas dia mandi dan berwudhu khawatir akan tertinggal sholat berjamaah. Sudah beberapa hari ini dia tak sholat tahajud seperti biasanya karena terlalu lelah. Hari ini pun sama, ada rasa sesal yang membuncah dalam hatinya karena telah kehilangan waktu berharga untuk bercerita kepada Sang Pemberi Rahmat. Zul melangkah tergesa menuju musholah. Sebentar lagi adzan subuh akan dikumandangkan. Dia mempercepat Langkah. Tak lama setelah Zul tiba di mushola, Pak de Darkum mengumandangkan Adzan dengan suaranya yang merdu dan menyejukkan telinga. “Weeh, manten anyar. Gak ngundang – ngundang lagi.” Goda Pak de darkum setelah kami selesai sholat dan imam menutup doa. “Iya, dadakan pakde. Maaf yah.” Zul menjawab malu. “Gak apa – apa. Barkallah fi umrik yo. Semoga ini jadi pernikahan terakhirmu.” “Amiiiin
Zul dan Nur terhenyak, bersamaan mereka segera menoleh ke asal suara. Sesosok bayangan pria pendek dengan perut menggembung seperti ikan mas koki yang kekenyangan makan melangkah tergesa ke dalam rumah Zul. “Bang, Arman?” Desis Nur dengan wajah penuh kebencian. “Bang , ini tidak seperti yang Abang Fikirkan. Tolong jangan salah faham dulu. Saya sama sekali tak pernah menggoda Nur. Sejak bercerai, saya tak pernah ada hubungan apa pun lagi dengan Nur.” Zul berusaha menjelaskan kondisi yang sebenarnya. Sementara Nur hanya diam, namun bara yang menyala di matanya cukup memperlihatkan apa yang tersimpan di dalam hatinya. “Saya tahu, Saya tahu kamu sudah tak ada hubungan apa – apa lagi dengan istriku. Hanya saja istriku terlalu gatal ingin kembali padamu padahal sejatinya statusnya masih sah sebagai istriku.” Ujar Arman dengan wajah meradang. Zul semakin salah tingkah dibuatnya. “Abang mau apa lagi kemari. Bukankah Nur sudah bilang kalau Nur sudah tak mau lagi menjadi istri abang!” Ujar
Adzan Maghrib tengah berkumandang menyeru umat untuk bersujud pada Sang Pencipta saat Zul dan Rania tiba di hotel. Tubuh dan fikiran yang penat membuat mereka hanya terdiam tanpa suara, masing – masing sibuk dengan fikirannya sendiri - sendiri. Zul menggandeng lengan Rania menuju kamar, dia menatap wajah cantik istrinya yang nampak begitu kusut dan lelah. Sesampai di dalam kamar Zul segera menyambar handuk dan ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan menunaikan ibadah sholat maghrib. Sementara Rania terbaring lesu dengan mata menerawang menatap langit – langit kamar.Setelah selesai sholat, zul menelpon layanan kamar dan memesan makan malam untuk mereka berdua lalu mendatangi istrinya yang tengah memejamkan mata. Zul membangunkan istrinya dengan mengecup pucuk kepalanya. Mata yang di aungi bulu mata yang legam dan menggeliat ke atas itu mengerjap terbuka. Segaris senyum terulas di bibir ranumnya demi melihat suaminya berada begitu dekat dengan wajahnya.“Sholat dulu, Dek. Habis itu