Jantungku berdegub dengan amat sangat kencang seolah menggedor ingin keluar dari dadaku saat aku mengekori zaffran menuju ruang control CCTV yang ada di ruangan pimpinannya. Harusnya aku tak perlu cemas, namun kenyataan bahwa sebentar lagi aku akan mengetahui makhluk yang telah berhasil memporak porandakan mimpi – mimpiku tak urung memacu adrenalinku. “Saya sudah minta izin sama papa tadi, Mbak. Dan papa gak keberatan kalo Zaff ambil rekaman CCTV nya untuk Mbak.” Lelaki yang berwajah bocah itu menjelaskan tanpa kuminta. ‘Ah… Jadi Laundry ini punya Papamu ya, Zaff.” Aku menanggapi seadanya karena sibuk menenangkan jantung yang berdetak tak terkendali.&n
Fitnah sungguh lebih kejam daripada pembunuhan, sebuah kata bijak yang sangat mengena dengan kondisi yang aku alami saat ini. Semua kehancuran yang kualami terjadi karena sebuah fitnah jahat yang ditujukan padaku. Karena fitnah itu rencana pernikahanku jadi porak poranda, hingga meninggalkan malu yang tak terperi. Karena fitnah itu juga aku dicampakkan oleh lelaki yang telah berjanji akan membersamai langkahku hingga ke surga nanti. Dan fitnah itu pula yang telah membunuh karakter dan nama baik yang selalu ku jaga dengan segenap jiwa, Saat ini dihadapanku, dengan hati yang remuk tak berbentuk aku harus menerima kenyataan bahwa calon suamiku telah memiliki pengantin penggantiku. Lebih tepatnya pengantin yang akan menggantikan posisiku di hati dan di sisi Mas Faisal. Miris bukan, dia yang seharusnya berada di garda terdepan untuk melindungiku dan menjadi sandaran bagiku di saat aku jatuh seperti saat ini, malah dengan ringannya melangkah pergi lalu menggamit perempuan lain untuk dinika
Aku tiba di rumah saat jarum jam menunjukkan angka jam dua tepat. Demi mendengar suara motorku yang memasuki garasi, ibuku segera berhambur keluar untuk menyambutku dengan mimik wajah khawatir dan cemas. “Alhamdulillah, Nduk kamu sudah pulang. Kamu kemana aja? Mas Adjiemu dari tadi nelponin ibu terus, nanyain kamu sudah sampai atau belum. Syukurlah kamu udah pulang dengan selamat. Kamu gak apa – apa kan, Nduk” Ibu memelukku dengan penuh rasa lega. Aku hanya tersenyum getir. Jiwaku masih tergoncang hebat sehabis pertemuanku dengan Mas Faisal tadi. “Rania Gak apa – apa koq, Bu. Rania baik – baik saja.” Namun buliran kristal bening yang tiba – tiba mengalir dari kedua netraku membuat ibu faham apa yang terjadi. Wanita paruh baya yang mencintaiku dengan sepenuh jiwanya itu merengkuhku ke dalam pelukannya. Pertahananku runtuh, dalam pelukan ibu aku menangis tersedu. Tangisku terhenti kala Netraku menyapu ke sekeliling ruang tamu dan terpaku saat menatap bunga – bunga plastik hiasan pe
“Ini dimana, yah? Kenapa aku bisa ada di sini? Siapa yang membawaku kemari?” aku bergumam sendiri saat mendapati diriku tengah duduk di sebuah lapangan yang amat sangat luas. Netraku menyapu keadaan sekitarku. Sejauh mata memandang yang tampak hanya hamparan rerumputan hijau yang menyejukan mata dan membuat hati damai. Semilir hembusan angin membelai wajah dan hijab putihku mengibarkannya sesaat lalu berhenti. Aku memejamkan mata menikmati tiap desiran hembusan angin di wajahku yang menghadirkan ketenangan. Tempat ini begitu nyaman dan damai. Aku suka.Aku berdiri hendak mengitari tempat yang masih terasa begitu asing bagiku. Lagi dan lagi aku terpesona dengan keindahan tempat ini.“Tempat ini cantik sekali? Ah, ternyata aku berada di tengah hutan sabana hijau. Luas sekali tempat ini,” Batinku. Sejauh mata memandang yang nampak hanya rerumputan hijau, lalu di ujung batas sabana ini, tampak bukit- bukit dengan tinggi yang beragam berwarna kebiruan mengelilingi tempat ini serupa pagar b
Aku kembali mengamati tiap inchi wajah lelaki yang fotonya ada di gawaiku itu berkali – kali, meyakinkan diri bahwa dia adalah orangnya. Lelaki yang ku temui di alam bawah sadarku saat aku koma kemarin. Begitu mirip, apa maksud ini semua, bagaimana dia bisa muncul di sana padahal aku sama sekali belum mengenalnya. “Ehem… Ganteng ya, Nduk.” Goda ibu dengan senyum di kulum. Aku tak menjawab, tapi rona merah di kedua pipiku telah cukup memberikan jawaban. “Bu, Bagaimana kalau dia menolak menikahi Rania karena termakan fitnah itu?” aku menscroll layar di gawaiku hingga foto itu tertutup dan lampu di layar gawaiku padam. “Ya seperti yang ibu bilang tadi, Nduk. Pesta akan tetap berjalan, hitung – hitung kita syukuran karena kamu selamat.” Ujar ibu ringan Aku tersenyum kecut. Terbayang sudah tatapan iba para undangan yang akan ditujukan padaku nanti. Pesta itu akan menjadi sebuah siksaan psikis bagiku karena aku harus tampil baik – baik saja sementara hatiku hancur lebur. Sorot iba dar
Pesan salah kirim dari Miranda membuat hatiku bertanya - tanya, apa mungkin Miranda ikut terlibat dalam kasus fitnah yang menimpaku. Ah.. tidak mungkin, Dia saudaraku, kami memiliki pertalian darah yang kuat, lagi pula kami berdua saling mengasihi. Miranda selalu ada di saat aku terjatuh begitupun sebaliknya. Selain sebagai sepupu kami juga akrab sebagai sahabat. Jadi sangat tidak mungkin jika dia mengkhianatiku dengan melakukan hal yang rendah itu.Kalau begitu, apa yang terjadi pada Miranda? Apakah dia terlibat sebuah skandal? Skandal apa dan di mana? Haruskah ku tanyakan? Beribu tanya membuat fikiranku terbang menerawang.“Nduk.. Makan jangan sambil ngelamun, nanti keselek lho.” Bude Lina mengingatkan.“Pasti Mbak Rania deg – degan, Ma. Kan nanti malam mau ketemu calonnya, Cieeeeeee.” Sandra menggodaku yang akhirnya di sambut dengan riuh canda tawa kerabat yang lain hingga membuatku melupakan pesan salah kirim dari Miranda.“Orangnya ganteng lho, Nduk.” Pakde Radiman menimpali.“Pe
Lampu di gawaiku masih berkedip- kedip yang menandakan bahwa si penelpon masih berusaha untuk menghubungi. Aku memilih untuk mengabaikannya. Tak ada lagi yang harus dibahas dengan lelaki itu. Bukankah dia sendiri yang mengatakan bahwa aku adalah masa lalu yang ingin dihapusnya, lantas untuk apa dia kembali menghubungiku. Lagi – lagi lampu di gawaiku kembali berkedip. Si penelpon seolah tak bosan mencoba untuk menghubungiku. Kenapa ngotot sekali! Aku mendecih dan membanting gawaiku ke tempat tidur. Aku memilih menenangkan diriku dengan membersihkan sisa bedak di wajahku lalu mandi. Setelah mengguyur air ke seluruh tubuhku dengan air dingin aku merasa lebih segar, fikiranku lebih ringan. Ah.. benarlah adanya emak – emak sering bilang bahwa mandi adalah salah satu refreshing termurah. Sesegar itu memang. Setelah menyelesaikan mandiku dan berganti pakaian, aku melanjutkan aktifitasku dengan menyisir rambut. Tiba – tiba seseorang menghambur masuk ke da
Tepat pukul lima sore panitia segera membubarkan acara. Aku dan Bang Zul kemudian dibawa menggunakan mobil Mas Adjie ke hotel yang telah disediakan oleh pihak wedding organizer. Sepanjang perjalanan menuju hotel aku sama sekali tak mampu untuk fokus, fikiranku terbang melayang pada gawaiku dan video yang dikirim oleh Faisal yang sungguh membuatku penasaran. “Kamu kenapa, Dek? Dari tadi abang perhatikan melamun dan gelisah? Ada masalah yang mengganjal di hati?” Bang Zul meremas jemariku untuk menyadarkanku dari lamunan. “Ah..anuu… eeh… Gak ada kok, Bang. Cuma tadi HP Rania tinggal di rumah.” Ujarku berusaha jujur. “Kalau begitu kita pulang dulu saja, ambil HP baru ke hotel.” Usulnya. “Bang Zul gak apa – apa kalo harus muter – muter lagi.” Aku bertanya sungkan. Khawatir dia terlalu lelah dan ingin segera istirahat. “ Gak apa – apa kok. Pak, Kita Balik ke rumah dulu yah, Baru habis itu kita ke hotel.” Titahnya ke
Suara decit Ban memekakan telinga, menghentak tubuh Rania yang terbelit oleh Safety Belt ke depan hingga kepalanya hampir terantuk ke dasboard mobil. Sementara suaminya, Zul, Tergugu di balik kemudi dengan wajah pucat pasi. Hampir saja. Hampir saja Zul menabrak ibu – ibu yang tengah hamil besar yang berjalan tertatih – tatih dan tanpa melihat ke kiri dan ke kanan jalan lg dia langsung menyeberang hingga nyaris di tabrak oleh Zul. Beruntung Zul masih sempat menginjak pedal rem hingga kecelakaan itu dapat di hindari. Rania bergegas membuka pintu dan menghambur keluar menghampiri ibu hamil yang kini tengah terduduk lemas dengan wajah pucat pasi di pinggir jalan. “Kalo Jalan jangan ngebut – ngebut wooyyy!!” Bentak salah seorang pejalan kaki sembari memukul kap mobil depan Zul dengan wajah beringas. Zul hanya mengangguk dan melemparkan senyum canggung. Dia segera membuka pintu mobil dan menyusul istrinya. Itu semua bukan sepenuhnya salahnya, Ja
Pukul satu siang Pak RT diantar oleh Adit datang menemui Zul. “Gimana keadaan Nur, Pak? Apa kata dokter?” Tanya Zul berbasa basi. “Udah diperiksa semua, kata dokter gak ada sakit apa – apa Zul. Tapi kemungkinan alergi kata dokter yang memeriksanya tadi.” Terang Pak RT “Oh, Jadi dirawat atau dibawa pulang ke rumah.” Zul bertanya sembari netranya menyapu keadaan rumah Nur dari jauh. “Dibawa ke pesantren akhirnya. Paman Nur memaksa. Katanya mau di rukiyah di sana.” Terang Pak RT lagi. “Baguslah kalau begitu, Pak. Masuk dulu pak. Rania baru saja selesai masak. Kita makan siang bareng.” Zul mengajak Pak RT dan Adit masuk. Meski merasa sungkan, akhirnya Pak RT dan Adit akhirnya menuruti undangan Zul. Rania yang tak menyangka akan kedatangan tamu akhirnya kalang kabut. Untung saja Rania masak untuk sekalian makan malam. Hingga lauk yang dimasak Rania yang sejatinya untuk makan malam juga habis tak bersisa.
Malam masih mencekam, Lolongan kesakitan yang keluar dari mulut Nur yang begitu menyayat membuat suasana semakin seram. Lengkingan jerit yang keluar dari mulut Nur membuat merinding semua orang yang mendengar tak terkecuali Zul dan Rania. Meski rumah mereka berjarak sekitar seratus meter dari rumah Nur, namun lolongan tersebut masih terdengar dengan begitu jelas. “Bang, aku takut.” Zul mengetatkan pelukannya pada Rania meski sebenarnya dia sendiripun bergidik ngeri setiap kali mendengar suara lolongan kesakitan Nur. Zul tetap berusaha menenangkan Rania yang begitu gelisah dengan mendekapnya. “Baca ayat kursi atau ayat – ayat pendek lain, Dek. Biar hati tenang.” Saran Zul sembari membelai rambut legam Rania. Berkali – kali kalimat tahmid dia lafazkan, karena telah terhindar dari sihir Nur. Zul yakin, Nur tak akan berhenti sampai di sini. Akan ada serangan lain ke depannya yang mungkin lebih beringas lagi. “Pagari diri dengan doa dan murajaah
“Gimana ini, Bang? Kenapa Asep jadi begini?” Adit kebingungan bercampur takut melihat mata Asep yang tiba – tiba melotot dengan mulut yang meracau menggunakan Bahasa yang tidak mereka fahami. “Duniaku ada tiga warna… DUNNIIAAA KUUU AADDAAA TTIIIGAA WARNA… Hihihihihihi…” Ceracau Asep dengan Mata menyalak garang lalu menoleh ke Zul dengan seringai seramnya. “Aku juga gak tau ini, Dit. Coba kamu panggil Pak De Darkum aja. Suruh si Memet jemput beliau. Bawa Asep ke dalam kamar, Jangan sampe ganggu pembeli yang lagi makan.” Titah Zul yang sedang cemas bercampur takut melihat netra Asep yang terus menerus menatapnya dengan seringai yang membuat bulu kuduk berdiri. Tiba – tiba Asep terjatuh dan menggelepar di lantai, mulutnya mengeluarkan suara ngorok dari tenggorokan yang mengerikan seperti orang yang sedang mereggang nyawa. Mulutnya mengeluarkan busa air liur yang kemerahan karena bercampur darah. “Cepat angkat ke dalam.” Zul memerint
Rania tertegun di ambang pintu, netranya menangkap bayangan suaminya yang tengah didekap erat seorang wanita yang dia tak tahu itu siapa. Pemandangan yang sama sekali tak ingin dilihatnya. Jadi ini rupanya penyebab suaminya tak mengangkat telepon darinya dan membalas pesannya di applikasi hijau hingga akhirnya dia memutuskan untuk memesan ojek online untuk sampai ke kediaman suaminya. Zul menghampiri istrinya, sebelah tangannya meraih koper yang tengah dipegang Rania, sebelah lagi merangkul Rania ke dalam dekapannya. “Siapa dia?” Tanya Rania dingin, netranya tak lekang menatap Nur yang kini tersenyum sinis padanya. “Dia mantan istri Abang, Dek. Tolong jangan salah faham dulu. Semua tidak seperti yang Adek lihat.” Zul sungguh takt ahu bagaimana cara meyakinkan Rania bahwa ini bukan salahnya. “Kenapa dia kemari?” Netranya masih menatap tajam ke arah Nur yang saat ini mendekati mereka. “Jadi ini istri baru, Abang?” Nur
Setelah selesai sarapan, Zul memeriksa pembukuan yang dibuat Rapi oleh Adit. Tak lama kemudian Mereka telah terlibat dalam diskusi yang membahas tentang masalah warung, dan omset yang di dapat setelah beberapa hari ditinggalkan Zul. “Alhamdulillah, Omset kita naik ya, Dit. Bisa nih buat naikin gaji karyawan.” Zul menatap pembukuan yang dibuat Adit dengan amat sangat rapi. “Menurutku nanti dulu naikin gaji karyawannya, tunggu tahun depan aja. Saat ini fokus kita balikin modal abang aja dulu. Setelah itu baru fokus ke kesejahteraan karyawan.” Usul Adit. Zul manggut – manggut. Tepat Jam Sembilan, Zul dan Adit menyudahi pembahasan mereka tentang pendapatan warung beberapa hari ini, Adit lalu pamit untuk ke pasar berbelanja stok warung untuk berdagang sore ini. Sementara Zul memutuskan untuk pergi meninjau keadaan warung dan karyawan yang telah dia tinggalkan selama beberapa hari ini. Zul segera memeriksa gawainya. Dia lupa kalau semalam hendak menelpon Rania istrinya. Pagi ini karena t
Suara orang mengaji di mushola kecil yang jaraknya hanya lima puluh meter dari rumah Zul membangunkannya dari alam mimpi. Bergegas dia mandi dan berwudhu khawatir akan tertinggal sholat berjamaah. Sudah beberapa hari ini dia tak sholat tahajud seperti biasanya karena terlalu lelah. Hari ini pun sama, ada rasa sesal yang membuncah dalam hatinya karena telah kehilangan waktu berharga untuk bercerita kepada Sang Pemberi Rahmat. Zul melangkah tergesa menuju musholah. Sebentar lagi adzan subuh akan dikumandangkan. Dia mempercepat Langkah. Tak lama setelah Zul tiba di mushola, Pak de Darkum mengumandangkan Adzan dengan suaranya yang merdu dan menyejukkan telinga. “Weeh, manten anyar. Gak ngundang – ngundang lagi.” Goda Pak de darkum setelah kami selesai sholat dan imam menutup doa. “Iya, dadakan pakde. Maaf yah.” Zul menjawab malu. “Gak apa – apa. Barkallah fi umrik yo. Semoga ini jadi pernikahan terakhirmu.” “Amiiiin
Zul dan Nur terhenyak, bersamaan mereka segera menoleh ke asal suara. Sesosok bayangan pria pendek dengan perut menggembung seperti ikan mas koki yang kekenyangan makan melangkah tergesa ke dalam rumah Zul. “Bang, Arman?” Desis Nur dengan wajah penuh kebencian. “Bang , ini tidak seperti yang Abang Fikirkan. Tolong jangan salah faham dulu. Saya sama sekali tak pernah menggoda Nur. Sejak bercerai, saya tak pernah ada hubungan apa pun lagi dengan Nur.” Zul berusaha menjelaskan kondisi yang sebenarnya. Sementara Nur hanya diam, namun bara yang menyala di matanya cukup memperlihatkan apa yang tersimpan di dalam hatinya. “Saya tahu, Saya tahu kamu sudah tak ada hubungan apa – apa lagi dengan istriku. Hanya saja istriku terlalu gatal ingin kembali padamu padahal sejatinya statusnya masih sah sebagai istriku.” Ujar Arman dengan wajah meradang. Zul semakin salah tingkah dibuatnya. “Abang mau apa lagi kemari. Bukankah Nur sudah bilang kalau Nur sudah tak mau lagi menjadi istri abang!” Ujar
Adzan Maghrib tengah berkumandang menyeru umat untuk bersujud pada Sang Pencipta saat Zul dan Rania tiba di hotel. Tubuh dan fikiran yang penat membuat mereka hanya terdiam tanpa suara, masing – masing sibuk dengan fikirannya sendiri - sendiri. Zul menggandeng lengan Rania menuju kamar, dia menatap wajah cantik istrinya yang nampak begitu kusut dan lelah. Sesampai di dalam kamar Zul segera menyambar handuk dan ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan menunaikan ibadah sholat maghrib. Sementara Rania terbaring lesu dengan mata menerawang menatap langit – langit kamar.Setelah selesai sholat, zul menelpon layanan kamar dan memesan makan malam untuk mereka berdua lalu mendatangi istrinya yang tengah memejamkan mata. Zul membangunkan istrinya dengan mengecup pucuk kepalanya. Mata yang di aungi bulu mata yang legam dan menggeliat ke atas itu mengerjap terbuka. Segaris senyum terulas di bibir ranumnya demi melihat suaminya berada begitu dekat dengan wajahnya.“Sholat dulu, Dek. Habis itu