Tak mengenal satu sama lain, Ayman dan Diajeng saling diam. Pernikahan mereka adalah keinginan banyak orang, namun tidak dengan Ayman. Meski sudah tak begitu terfikirkan oleh Maisya, Ayman sebenarnya ingin lebih fokus pada pengiriman peserta perwakilan lomba bulan depan. Namun pada kenyataannya semua hanya keinginan belaka.
Ayman tak tahu harus berbuat apa. Banyaknya tamu di kediaman kiai Dahlan membuatnya masih terselamatkan. Entahlah, dia akan seecepatnya membuka hatinya lagi atau malah sebaliknya.
Diajeng mengerti, Ayman sangat terpaksa menikah dengannya. Bahkan Ayman seakan enggan duduk bersampingan dengannya. Ayman juga langsung menjauhi Diajeng, ketika penghulu telah berpamitan pulang. Senyum semringah Ayman pun hanya karena ada Omanya yang terlihat bahagia. Diajeng merasa bersalah dan tak ingin berada di posisinya seperti saat ini.
"Ajak istrimu ke kamar yang tadi Nak," bisik Oma.
"Gak mau. Ngapain Oma!"gerutu Ayman tak kalah lirihnya.
Oma Maimunah tertawa, dia hanya ingin menggoda cucunya tapi malah di tanggapinya serius. Beruntungnya mereka berada di tempat yang jauh dari banyak orang. Tawa oma membuat Ayman ngedumel sendiri, bak perempuan yang sedang bergosip.
"Nanti jangan tidur di asrama, sewalah hotel di dekat sini. Agar kalian bisa saling mengenal satu sama lain," tutur oma bijak.
"Ogah, nikah saja terpaksa. Sudahlah Oma jangan dulu memeperkeruh hati cucumu ini," rengek Ayman.
Tanpa mereka sadari, Diajeng berada di dekat mereka. Niatnya yang hanya ingin menghampiri Ning Maya di belakang, malah mendengarkan dua keluarga barunya itu berbincang. Airmatanya luruh kembali, sebisa mungkin dia memghindar agar keberadaannya tak terlihat oleh mereka.
"Maafkan aku Maisya," batin Diajeng.
***
Keluarga besar Maisya yang kalang kabut karena tak menemukan Maisya di kamarnya, akhirnya mereka bisa bernafas lega. Maisya pulang dari pesantren dengan wajah bengkak. Tanpa menyapa semua orang yang berada di rumahnya, Maisya langsung masuk kamar dan mengunci pintu.
Jika di pesantren sedang berlangsung pernikahan sederhana Ayman dan Diajeng. Di rumah Maisya juga ramai menyambut calon suami baru Maisya. Maisya yang tahu akan hal itu, dia ingin menemui Ayman di pesantren secara diam-diam. Tujuannya agar Ayman mau memperjuangkan rencana pernikahannya kembali. Namun niat hati Maisya malah di jawab dengan hal menohok yang membuatnya kembali merasa hancur.
Di luar rumah, tamu yang meminang Maisya sudah datang. Sedangkan Maisya masih mengurung diri di kamarnya. Beberapa keluarganya sudah membujuk dan Maisya tetap pada pendiriannya.
"Tak dobrak saja ya," usul salah satu sepupu Maisya.
"Iya terserah."
"Jangan, kasihan Maisya."
"Dobrak saja."
"Jangan Mbak, posisikan kalian pada Maisya."
"Halah, calonnya yang sekarang anaknya Pak Camat loh."
"Nanti lama-lama juga cinta, ribet amat. Dobrak saja."
Ceklek
Keluarga Maisya yang berdebat di depan kamar Maisya, terpesona dengan perempuan yang sejak tadi menjadi bahan pembicaraan. Gadis yang sempat kabur dan datang dengan wajah tak beraturan tersebut, sekarang telah berdiri di depan tegap di depan keluarganya. Maisya berdandan layaknya perempuan yang akan melaksakan lamaran sesugguhnya. Mata merah juga wajah yang bengkak itu sudah tertutupi oleh make up natural soft. Penampilannya membuat semua keluarga Maisya terpesona.
"Aku dah siap, gak usah di dobrak segala."
"Maisya!"
Bu tutik yang baru masuk ke dalam langsung memeluk anak perempuannya itu. Dia yang niatnya ingin mengomel dan marah, sirna sudah semuanya. Akhirnya putrinya itu bisa di banggakan juga.
"Ayo keluar, Rudi ingin langsung menikah. Dia tak ingin kehilangan kamu lagi," ungkap Bu Tutik.
Di tuntunnya Maisya pelan-pelan. Semua mata tertuju pada mereka berdua. Keluarga Maisya pun tak kalah kagetnya, mereka tak memyangka Maisya akan mau menerima lamaran dari Rudi.
Setelah menyalami keluarga besar Rudi, Maisya duduk manis di apit oleh ibu Rudi dan ibunya. Tak ada yang mengetahui isi hati Maisya, senyum malu-malunya tetap sama dengan Maisya yang dulu. Lalu, apakah maisya benar-benar menerima semua itu?
"Nak Maisya siap kan kalau menikah sekarang?" tanya ibu Rudi.
"InsyaAllah Siap Bu," jawab Maisya manis.
Keluarga dua pihak langsung mengurus semua berkasnya. Rudi yang notabene anak seorang camat kecamatan setempat, perkara tersebut sangatlah mudah bagi mereka. Penghulu, MUA, dekorasi dan fotografer juga langsung di datangkan saat itu.
Sembari menunggu surat nikah dan semua persiapan di langsungkan, Maisya langsung di make up oleh mua artis ternama di kotanya. Tanpa ada drama ataupun perlawanan lagi dari Maisya, semua berjalan lancar. Para tetangga pun banyak yang berdatangan, mendengar Maisya akan melaksanakan akad nikah malam itu.
Keluarga Maisya berulangkali menanyakan kesiapan Maisya. Mereka tak ingin Maisya mempermainkan pernikahan dan lelaki lain yang tak bersalah. Mereka yang peduli dengan Maisya juga selalu menguatkan hati gadis berlesung pipi tersebut. Memberi kehangatan yang beberapa hari ini dilanda kesedihan.
Tepat ketika adzan isya berkumandang, ibu Maisya memasuki kamar putri sulungnya. Dengan sangat bangga dan tak pernah merasa bersalah, bu Tutik memamerkan pada MUA semua yang di berikan calon memantunya untuk putrinya. Maisya tersenyum getir, menahan malu dan kekesalan di hatinya.
"Ayo Nak kita keluar sekarang saja, akad nikah juga akan segera di mulai," ujar bu Tutik lembut.
"Aku disini saja Bu, kita belum halal. Jadi lebih baik Maisya keluar kalau akad nikah sudah selesai," jawab Maisya.
"Ya sudah, Ibu keluar dulu ya. Nanti biar Rudi yang menjemputmu langsung," pungkas ibu Tutik dan Maisya hanya menangguk pasrah.
Setelah ibunya keluar, Maisya mengunci pintu. Disana ada dua MUA yang masih menemani Maisya sembari beristirahat. Setelah kembali di kursi yang berada di depan cermin, tangis Maisya pecah. Apalagi ketika suara penghulu sudah mulai terdengar dari kamar. MUA yang tadi hanya menyangka Maisya nangis karena haru pun menjadi panik, mereka berusaha menenangkan pengantinnya dan sedikit memperbaiki kerudung Maisya yang meleyot.
"Saaaah."
"Ya Allah," lirih Maisya.
Maisya seketika itu menghentikan tangisannya dan dua MUA tadi gerak cepat membenahi make up Maisya. Meski make up mereka waterpruff, namun ada beberapa titik yang perlu mereka kembalikan seperti sebelumnya. MUA tahu, kalau Maisya tak menginginkan pernikahan tersebut, tapi MUA juga tak menyangka jika Maisya akan menangis hebat seperti tadi. MUA yang awalnya mengira Maisya sudah ikhlas itu, kini menyadari satu hal. Sekuat dan sekokohnya hati manusia, tetap di ruang terdalamnya terdapat rasa kecewa, sedih, hancur dan terpaksa. Dari situ dua MUA tadi bisa belajar, bahwa anak akan tetap terluka meski dia mau menuruti paksaan dari orang tuanya.
"Maisyaaa, buka pintunya."
"Ayo Mbak, temani aku kedepan," pinta Maisya pada salah satu dari kedua MUAnya.
"Ayo."
Tirai di buka, para tamu bisa melihat dengan jelas kedatangan Maisya. Pengantin pria yang memang sudah menunggu istrinya, tersenyum sangat bahagia. Gadis cantik nan sholihah yang sudah di incarnya sejak lama itu, akhirnya menjadi miliknya juga.
Jika di lihat, tak sedikit Maisya menerima seserahan dari rudi dan semuanya tampak mahal. Walau begitu, hati Maisya masih sakit. Rudi yang melihat mata Maisya berkaca-kaca itu, segera memeluk istrinya. Sorak ramai pun terdengar, lalu di ciumlah kening sang istri. Semua kamera terarah pada mereka, pasangan yang semoga bisa awet dan langgeng hingga maut memisahkan.
"Maafkan aku, aku akan menghapus rasa sakitmu. Aku janji kamu pasti bahagia hidup bersamaku," bisik Rudi.
Maisya memandang Rudi, suaminya itu yang berparas memawan. Hatinya bergemuruh, bibirnya pun melengkung dengan sendirinya. Dia percaya, pasangannya bukanlah lelaki nakal yang gemar mempermainkan wanita.
"Semoga aku segera bisa membuka hatiku untukmu," balas Maisya tak kalah lirihnya.
Rudi mengangguk mengerti, lalu kembali mendengarkan serangkaian acara dengan senantiasa menggenggam tangan istrinya. MUA yang sedari tadi memperhatikan tingkah pengantinnya tersebut hanya bisa berdecak kesal sendiri. Mulutnya tak henti-hentinya mengomel, bahkan beberapa orang yang berada di sampingnya sampai tertawa mendengarnya.
"Ya begitu kalau sudah ngerti orang ganteng, hatinya bisa luluh sendiri. Belum lagi kalau dapet uang bulanan banyak, yang lain hanya pemeran kontrak tanpa bayaran."
"Mulutmu apa gak pegel toh Mbak, dari tadi kog ngoceh mulu. Aku loh sampek terhibur," sahut seseorang di sampingnya.
"Habis ini pasti pengantinnya pasti lansgung hamil. Awas ae nanti kalau nangis-nangis lagi. Tak pites-pites pokoke," ujarnya sembari tertawa puas.
"Awas Mbak."
***
Hari semakin malam, para tamu juga sudah pulang. Tersisakan opa oma Ayman yang memang memutuskan untuk bermalam di pesantren. Sedangkan Diajeng pun memilih untuk kembali ke asramanya. Meski ning Maya sudah memintanya agar tidur bersamanya di ndalem, Diajeng masih dengan pendiriannya, apalagi suaminya tak ada ucapan apapun kepadanya.Kiai Dahlan tak bisa memaksakan kehendak Ayman. Omanya yang sesama perempuan dengan Diajeng hanya mengomel sepanjang waktu. Namun Ayman tak menghiraukan itu. Dia hanya ingin menenangkan hatinya sendiri tanpa ada seseorang di sampingnya. Diajeng tak pernah putus dari doanya, berharap Ayman segera membuka perasaannya. Berada dalam satu atap yang sama dan menjadi keluarga kecil bahagia. Tuhan itu maha adil, garis yang di rencanakanya lebih indah dari keinginan makhluknya."Eh, Ustadz Ayman jadi menikah sama Maisya itu kan sih Jeng?" tanya salah satu teman sekamar Diajeng. Diajeng menggeleng, hatinya sakit. Meski tak ada santri yang mengetahui pernikahannya
Diajeng, gadis manis itu terlahir dari rahim permpuan bernama Anjani. Ayahnya bernama Bayung Prasetyo, pemilik usaha laundry terbesar di kotanya. Meski terkenal dari keluarga kaya raya, Diajeng selalu di ajarkan oleh orang tuanya untuk selalu merendahkan hatinya. Jika pun berteman, orang tuanya selalu berpesan agar tak membeda-bedakan semua temannya, baik kaya atau miskin. Diajeng bukan tipe perempuan berkulit putih, tinggi semampai. Dia bertubuh kecil sedikit gemuk, wajahnya manis tak membuat mata bosan memandang. Hal tersebut menurun dari ayahnya, yang memang terlahir dari keluarga berkulit sawo matang. Teman kecil Diajeng adalah Maisya. Rumah mereka juga berhadapan. Maisya kecil tak pernah mempunyai teman. Ibunya yang sombong dan suka marah teriak-teriak, mambuat teman-teman Maisya menjauhinya. Berbeda dengan Diajeng, dia selalu mengajak Maisya bermain, agar Maisya bisa merasakan masih mempunyai teman.Sejak kecil Diajeng sudah di karuniai otak cemerlang. Karep kali dia mengikuti
"Assalamualaikum halo Bu Anjani, ini Ayman sama Diajeng sudah dapat rumah yang akan di tempati. Nanti alamatnya saya kirimkan saja, tapi Bu Anjani kalau kesini jangan malam ya. Kasihan pengantin baru, keganggu. Ya sudah mau ngabarin itu saja, Assalamualaikum."Diajeng tersipu malu sedangkan Ayman menatap Oma Maimunah sengit. Mereka bertiga tak mengikuti opa yang mengelilingi rumah. Kejahilan oma pada cucunya tersebut membuat oma terlihat lebih sehat dan bahagia. "Acara kamu bagaimana Nak, jangan sampai kamu membuang uang di vendor sia-sia.""Tidak boleh di batalkan oleh Pak Kiai Opa," jawab Ayman lesu."Ya berarti hari itu kamu nikah secara negara dengan Diajeng. Mbak-Mbakmu juga sudah booking mua dan baju keluarga," sahut Oma."Itu sih emang Mbak Nana dan Mbak Lala aja yang emang suka heboh. Tapi boleh juga lah ide oma," kata Ayman. "Oke, semua biar di urus Mbakmu saja. Kasih tahu semuanya, pihak besan biar nanti di urus Mbakmu juga." Pungkas opa sembari memainkan ponsel yang ada d
Kangen? Iya. Sebagai perempuan yang memang telah lama memendam perasaannya kepada suami, Diajeng seringkali memimpikan kebersamaannya berdua. Mereka yang hanya berada satu atap ketika hari libur pesantren saja, membuat Diajeng masih ingin berlama-lama bersama suami. Namun Diajeng tak pernah protes, dia tetap menikmati semua keputusan suaminya. Resepsi memang sengaja di undur oleh kedua belah pihak. Mereka tak ingin membuat acara hanya sekedar selesai dan puas saja. Mereka ingin memberikan kesan tersendiri yang bisa di kenang seumur hidup oleh sepasang pengantinnya. Di pesantren, para santri hanya mengetahui bahwa Ayman selalu memperhatikan Diajeng. Mereka beranggapan bahwa Ayman menyukai Diajeng. Isu tersebut sudah menyebar dan hanya di tanggapi dengan senyuman oleh Diajeng. Diajeng bahagia ketika dia menjadi pusat gunjingan para santri perihal Ayman. Dia juga selalu mengaminkan ketika ada yang mendoakan supaya mereka berjodoh. Bagi teman Diajeng, Ayman memang lebih cocok dengan di
Maisya tak bisa lagi menopang badannya untuk berdiri. Meski ibu mertua sudah memanggilnya bolak balik, Maisya juga tak menyahutinya. Tubuhnya menggigil dan mulutnya seolah terkunci, matanya tertutup dan hanya meneteskan air mata. Bu Dini, atau yang lebih terkenal dengan sebutan Bu camat itu menghampiri Maisya di kamarnya. Bu Dini memeriksa semua tubuh Maisya dan dibuat kaget ketika mendapati menantunya tersebut demam tinggi. Tanpa menunggu siapapun lagi, Bu Dini bergegas menghubungi dokter keluarganya. "Maaf Bu, saya lagi dinas keluar kota."Balasan yang membuat Bu Dini lemas. Namun dia langsung berlari meminta bantuan pada tetangganya untuk membawa menantunya itu ke rumah sakit. Meski ragu, Bu Dini tetap mengetuk pintu rumah tetangganya. Betapa kagetnya Bu Dini, saat Diajeng yang membuka pintu. Lalu lebih terkejut lagi, ketika Ayman menyusul keluar. Walaupun sedikit sungkan, Bu Dini tetap pada tujuannya. "Maaf Nak Diajeng, saya ingin meminta bantuan. Tolong bantu angkat Maisya ke
Malam hari, suami dan orang tua Maisya telah tiba di rumah sakit. Kegembiraan dan kabar bahagia itu akhirnya sampai pada mereka. Bahkan berkali-kali Rudi mencium kening Maisya di depan banyak orang. Dibalik senyumnya yang tak pernah pudar, Maisya merasa bersalah dengan perlakuannya pada Diajeng. Ibu Dini, mertua Maisya sedikit berbeda setelah kepergian Diajeng. Ibu Dini dengan jelas melihat Maisya dan Diajeng mengobrol. Maisya bahkan sudah tahu jika yang membawanya ke rumah sakit adalah sahabatnya. Sakit hatinya masih tercetak jelas, ketika melihat Diajeng menikah dengan Ayman saat itu. Maisya telah bahagia hidup bersama Rudi. Rudi yang royal dan tak pernah perhitungan itu tak ingin membuatnya merasa terkekang. Rudi bahkan selalu mengajaknya jalan-jalan ketika hari libur. Entah kenapa Maisya masih terbayang dengan pernikahan Diajeng. Baginya Diajeng adalah orang ke tiga yang merebut kekasih hatinya. Diajeng telah merusak apa yang seharusnya di milikinya. Melihat wajah Rudi yang ter
Para santri putra putri duduk khusyuk mengikuti doa bareng dan dzikir bersama dalam rangka pelepasan santri yang mengikuti perlombaan di Jawa Timur. Mereka yang terpisah oleh ndalem pak kiai dan putra putrinya itu tetap bisa mengikuti acara dengan di sambungkan. Di aula putri terpampang layar besar yang bisa di saksikanya semua rangkain acaranya. Perwakilan dari santri putri yang mengikuti ajang perlombaan kali ini juga sudah siap dan mengikuti acara. Ada sepuluh santriwati termasuk Diajeng. Diajeng bersanding dengan ibunyai lalu baru di susul temannya lainnya.Di layar yang terpampang lebar, terlihat dengan jelas Ayman dengan takdzim mengikuti dzikir. Diajeng tersenyum simpul mengetahui suaminya tersorot kamera itu menjadi buah bibir di kalangan para santriwati. Mereka menyadari kalau Diajeng bahagia melihat kekasihnya dari dalam layar. "Mereka bakalan berangkat bareng loh. Disana akan ketemu terus.""Ya Allah, meleleh hati ini Bang""Mbak Ajeng beruntung banget sih.""Aku juga pen
"Diajeng, itu ustadz Ayman di pojokin loh.""La terus?" Diajeng menguap lalu memperhatikan sekelilingnya. Semua mata tertuju padanya tak terkecuali Ayman. Wajah kerengnya terlihat begitu angker. Diajeng kebingungan untuk menanggapinya. "Kenapa lihatin aku?" tanya Diajeng. "Maklumlah cewek manis banyak yang ngincer." Gurau Diajeng sembari menyelonong ke toilet. "Kenapa ga ada yang berani ngetawain Ustadz Ayman ketika Diajeng melek?" seloroh salah satu santri putra. Mereka semua bubar dan bergantian melaksanakan salat ashr. Diajeng yang sudah salat terlebih dahulu, dia segera melipir mencari penjual makanan. Dia memang suka memasak, namun dia juga menyukai jajanan pinggir jalan. Setelah memborong jajanan untuknya dan semua temannya, Diajeng kembali ke tempatnya semula. Disana teman-temannya hanya mengobrol satu sama lain. Sembari menunggu adzan Maghrib, Diajeng pun mengajak teman-temannya beristirahat di taman samping masjid. Ayman yang mengetahui Diajeng memborong banyak makanan
"Kamu kenapa ingin menjadi maduku?" Tanya Diajeng pada Risma."Siapa sih mbak Ajeng yang gak mau jadi istrinya ustadz Ayman. Perfect dari berbagai sisi, Baik dan pengertian lagi." Diajeng juga Sifa berpandangan. Risma tak pernah tahu bagaimana keadaan rumah tangga seseorang. Apa yang ddi rasakannya saat ini hanyalah sebuah "Misal suamiku itu miskin bagaimana?" "Saya support lagi agar bisa kaya""Sudahlah jeng, jangan dengarkan kaleng berkas seperi dia. Kaleng bekas seperti dia hanya pantasnya di luar sana." ***Maisya hanya memutar bola matanya saja ketika ibu Tutik mengajaknya berbicara. Ibu Tutik yang kerap kali melihat putrinya itu selalu memesan makanan lewat aplikasi ojek. Bahkan Maisya bisa berkali-kali hanya untuk membeli sesuatu yang bisa di capainya tanpa harus menggunakan kendaraan. "Kalau di kasih uang suamimu itu jangan langsung di habiskan nak, ingatkah ketika kamu sedang tak memiliki uang sama sekali.""Berisik banget sih Bu," jawab Mais
Satu Minggu meliburkan diri dari aktivitas pesantren, kini Ayman juga Diajeng kembali pada kegiatan mereka masing-masing. Rumah mereka yang bisa di tempuh dengan berkendara selama 10 menit itu membuat Ayman tak mau lagi bermalam di pesantren. Diajeng pun menyetujui jika setelah kegiatan mereka selesai, akan langsung pulang ke rumah. Kebahagian mereka sebagai pengantin baru masih terasa hangat. Bahkan Ayman sudah terbiasa bermanja-manja dengan sang istri. Hidup berdua dalam satu atap memang rencana Ayman dari dulu ketika berumah tangga. Namun siapa tahu, kalau tulang rusuknya saat ini adalah gadis cerdas yang selalu berada di depannya di setiap kajiannya. Diajeng di sambut Ning Maya dengan penuh drama. Tangis kepalsuannya sukses membuat para santri yang berseliweran di sana ikut terharu. Diajeng tahu dan sudah sangat hafal, Ning Maya hanya ingin membuatnya di baperin banyak orang. Padahal dalam hatinya tertawa karena sudah berhasil mengerjainya. Di lain sisi, Ayman mendapatkan sambu
Diajeng juga Ayman menjalani aktivitasnya seperti biasa. Diajeng tetap membantu Ning Maya dengan senang hati seperti biasanya. Walaupun sekarang dia sudah sah menjalani seorang istri. Kedatangan Diajeng membuat para santri bersorak gembira. Apalagi disana juga sedang ada Ayman yang melintasi mereka. Semangat para santri pun menjadi pusat perhatian semua orang. Ayman berjalan cuek seperti biasa. Dia bak orang tak mengenal walaupun sekarang sudah berada satu atap bersama. Ayman akan mempertahankan cilik kui "Cieeee…." "Pengantin baruuuu." "Doanyanya Ustadz." Jodoh kamu itu sama Rudi Nak, jadi jangan menyalahkan takdir." "Jika ibu tak memandang uang saja, justru aku kan bisa menikmati uang Ayman dengan leluasa Ibu. Tapi Ibu tak pernah memikirkan sampai kesana. " "Sudah Kak, ayo masuk kamar." "Gantengnya," "Diajeeeeeeeng!" "Diajeng Diajeng." "Happy wedding Ustadz." "Selamat Ustadz." Diajeng pun menanggapi semuanya dengan senyuman. Dia sudah habis berfikir. Un
"Eh kalian dapet mukenah warna apa tadi malam?" Tanya seseorang pada temannya yang berada di depan rumah ibu Tutik sembari belanja sayur."Aku warna marun, bagus banget. Aku langsung cek harga di google, ternyata 350 ribu loh. Kainnya bagus banget, adem." Jawabnya girang."Aku juga dapet warna marun loh, sajadahnya juga bagus poll. Parfumnya MaasyaAllah harumnya, bikin nagih." Sahut yang lainnya. "Iyya, anakku juga bahagia banget loh aku pulang dapat banyak souvenir.""Devinisi kondangan gak rugi.""Apalagi mereka gak menerima kado ataupun amplop apapun. Sudah pasti itu milyaran keluar uangnya.""Beruntung banget ya jadi Diajeng.""La Diajeng juga kaya raya kan.""Iya, gak jomplang. Mana si Ayman ganteng banget lagi.""Semoga anak kita bisa seberuntung Diajeng ya nanti.""Walaupun kaya raya, mereka gak sombong sama sekali.""Eh iyaa, aku kemarin di sapa loh sama keluarganya Ayman. Mana cantik bangeet, type wanita karir berkelas."Ibu Tutik mengintip mereka di balik jendela rumahnya.
Keluarga Ayman mampir di perumahan milik Ayman. Mereka ingin melihat bagaimna kelayakan rumah yang di tempatinya bersama sang istri. Walupun rumah itu adalah pilihan dari sang opa, namun kedua kakak Ayman tetap ingin mengetahui kenyamanannya. Sesampainya di sana, rumah dalam keadaan bersih dan terawat. Tak banyak barang yang ada karena Diajeng merasa belum memerlukannya. Apalagi mereka juga jarang berada di rumah. "Bagus sih, walaupun kecil. Nanti bisa lah jadi kontrakan kalau kalian dah punya rumah lagi," ujar mbak Naura. "Aamiinkan saja."Setelah puas bermain dan mengelilingi rumah Ayman. Keluarganya pun memutuskan untuk istirahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan. Apalagi mereka yang semalam kecapekan dan kurang tidur, di lanjut pagi harinya harus segera beberes karena harus meninggalkan hotel sebelum jam 9 pagi. Selama keluarga suaminya istirahat, Diajeng memasak ditemani suaminya. Kalau biasanya Ayman hanya bisa merecoki istrinya dengan mulutnya yang tak pernah berhent
Ibu Tutik memasuki rumahnya dengan menghentakkan kakinya. Suami dan anak bungsunya hanya melihatnya saja. Menanti ibu Tutik yang akan bercerita sendiri. Maisya yang mengikuti ibu nya dari belakang itu juga tak berniat mengnyapa ayahnya ataupun sekedar berbicara dengan adiknya. Dia langsung memasuki kamarnya dan menguncinya dari dalam. Anak lelaki ibu Tutik, Bagas kembali mengajak ayahnya mengobrol ria di teras depan rumahnya. Segerombolan ibu-ibu yang juga pulang dari pernikahan Diajeng pun lewat. Mereka berbondong-bondong turun dari bus untuk menuju kerumahnya dengan berjalan kaki. Pak Suryo dan Bagas hanya berpandangan ketika mereka mengetahui itu. "Loh, pak Suryo kog masih begadang saja sama Bagas." "Iya Bu, gak sadar kalau sudah larut malam ternyata." Balas pak Suryo ramah. "Mari Pak.""Iya Bu.""Ayo Pak tidur," ajak Bagas. Keduanya beranjak dari duduknya, namun pemandangan di dalam rumah lebih mencekam di bandingkan suasana gelap di depan rumah. Istri pak suryo bersitatap d
Acara resepsi berjalan dengan lancar sesuai rencana. Para tamu undangan pun sedang menikmati makanan yang terhidang di meja prasmanan. Diajeng di tuntun oleh sang MUA untuk berganti gaun. Di ikuti Ayman yang berada di belakangnya, Diajeng sembari menyapa para tamu yang di temuinya di sepanjang karpet merah. Mulai dari tetangganya, teman pesantrennya, teman bisnis ayahnya juga para tamu yang tak di kenalnya. Diajeng tetap menyapanya meski tak saling kenal. Tak jauh berbeda dengan Ayman, walaipun tak ikut menyapa satu persatu, Ayman tetap tersenyum ketika bersitatap dengan para tamu. "Selamat menikmati semuanya," ujar Diajeng. "Lavyu Mbak Ajeng, kita dah bawa kresek banyak kog," Bisik Riri."Iya silahkan, bawakan temanmu yang di pondok juga." Jawab Diajeng tak kalah lirihnya. "Woooo ya siap kalau itu." Di lain sisi, Bu Tutik juga menikmati semua makanan yang tersedia di sana. Satu persatu menu di cobanya lalu akan berakhir di kantong plastik dengan cantik. Ibu Dini yang melihatnya
Sah sah sahPernikahan Diajeng dan Ayman kembali di ulang sesuai peraturan negara. Jika kemarin mereka menikah sesuai agama saja, kali ini mereka sudah sah di mata keduanya. Tak banyak orang yang mengikutinya. Hanya keluarga inti, kiai Dahlan juga para petugas KUA karena acara akan di laksanakan pada jam 7 malam nanti. Setelah prosesi akad nikah, dilanjutkan dengan foto keluarga. Tak ada acara apapun lagi selain itu. Selesai foto bersama, pengantin bisa kembali istirahat dan akan sambung lagi di sore hari. Diajeng juga Ayman langsung kembali ke kamar mereka, setelah mereka ikut menyambut keluarga dari kiai Dahlan. Selain mereka, keluarga kiai Dahlan juga sudah di pesankan kamar agar bisa beristirahat sampai acara nanti malam di selenggarakan. Diajeng dengan balutan gaun mewah berwarna putih itu sangat terlihat cantik elegan. Laura langsung memesan gaun tersebut dari sebuah galery terbaik yang terkenal di indonesia. Gaun dengan lambang kebaikan, murah Rizki dan penuh hoki tersebut s
Ibu Tutik berlari tergopoh-gopoh kerumah Fatimah yang pagi tadi sudah menjanjikannya akan di make up ketika hendak berangkat kondangan nanti. Baju baru yang sejak esok hari di pakainya sudah tergantikan dengan gaun kebesaran kaum hawa, daster. Jarak rumah Fatimah dengan rumahnya hanya terpaut empat rumah. Hal itu membuatnya tergesa-gesa ingin segera bertemu sang empu rumah. Sesampainya di depan rumah Fatimah, ibu Tutik langsung duduk berselonjor sembari mengipaskan tangannya di sekitar wajahnya. Nafasnya naik turun tak beraturan. Badannya yang gemuk membuat ibu Tutik merasa cepat lelah ketika harus berlari. "Loh ibu Tutik, ku kira siapa tadi. Mari masuk Bu, katanya mau di rias sama Fatimah. Anaknya masih di dapur," ujar ibunya Fatimah. "Aku cuma mau bilang ke Fatimah, Budhe. Kata Rudi, nanti kita berangkatnya habis Maghrib." Ucap itu Tutik tersengal-sengal. "Ini, minum dulu."Glek glek glek"Alhamdulillah, makasih Budhe. Kata Rudi, nanti dia bawa MUA untuk merias aku, Maisya sama