Diajeng mendapatkan nomor urut paling belakang. Peserta yang kalau di total ada 50 anak itu membuatnya membuang napas pasrah. Dia akan merasa kelelahan sendiri menunggu gilirannya. Malam ini ada gebyar Sholawat yang selenggarakan oleh tuan rumah. Diajeng melipir sendirian mencari para penjual makanan. Diajeng sengaja memisah dari temannya, agar dia bisa menikmati kesendiriannya. Diajeng kembali memborong semua jajanan yang ada di sana. Dia tahu, tak semua temannya mempunyai uang saku banyak. Apalagi dia yang memang selalu berkecukupan dalam hal uang. Diajeng dari awal memang berniat membeli semua aneka jajanan, dia pun membawa tas plastik besar sendiri. Beraneka macam jajanan masuk semua. Dengan bahagianya dia menenteng dan kembali menyusuri setiap sudut stand. "Diajeng? Kog sendirian.""Loh, Ustadz Ayman." "Borong jajan lagi? Sini aku bawakan."Ayman segera mengambil alih apa yang di bawa Diajeng. Diajeng dengan senang hati mengangsurkannya. Mereka lalu berjalan berdua sembari b
Air mata Ayman menetes begitu saja saat mengetahui Diajeng masuk ke babak final. Ingin sekali dia memeluk istrinya saat itu juga, namun di sampingnya ada Faisal yang ikut menyaksikan perlombaan Diajeng. Faisal menahan tawa ketika tatapan Ayman tak di balas oleh Diajeng. Diajeng pun langsung balik ke asrama yang di tempatinya dengan perasaan bahagia. Teman-temannya yang lain juga munyambautnya dengan penuh suka cita. Tak hanya Diajeng, sebagian temannya juga ada yang masuk ke babak final. ***"Assalamualaikum." Teriakan Rudi dari depan membuat Maisya dan ibu Tutik terlonjak kget. "Waalaikumussalam, sudah pulang Mas." Sambut Maisya sambil menyalaminya. "Iya sayang, oh ya kita dapet undangan loh sekeluarga ke resepsi pernikahani keluarga bos aku. Nanti kita berangkat sama-sama ya." "Wahh, boleh tuh. Kapan acaranya mas," pekik Maisya."Tanggal 15 besok.""Oke mas." ***Acara resepsi yang di adakan oleh keluarga Ayman dan Diajeng
Surakarta ke kota Malang bukanlah waktu yang singkat. Apalagi bagi yang hanya mau berwisatawan saja. Jika tidak seperti saat ini, tidak mungkin mereka bisa dengan segera pergi ke Malang. 4 hari berada di kota Malang, sudah saatnya Diajeng dan yang lainnya kembali ke Surakarta. Hari ini adalah hari terakhir di ajang perlombaan nasional se Jawa. Setelah semua beres, Diajeng dan lainnya akan langsung berlibur sehari di kota Malang. Pagi itu Diajeng dan semua santri yang masuk ke babak final sudah berada di tempatnya masing-masing. Tak jauh berbeda dengan sebelumnya, Diajeng mendapatkan nomor urut paling akhir. Dengan sabarnya Ayman pun ikut mendampingi istrinya dengan jarak yang telah di tentukan oleh panitia. ***Maisya, ibu Tutik dan juga ibu Dini sudah berada di dalam mobil. Niat hati, Rudi ingin mengajak mereka ke sebuah butik terkenal di kotanya. Dia ingin semua anggota keluarganya memakai baju yang pantas untuk di pakai ketika pernikahan keluarga bo
Kebahagiaan tengah di rasakan oleh semua santri yang berada di Malang. Mereka bisa menikmati kebebasan memetik buah apel sesukanya. Selain itu, mereka pun di ajak ke beberapa wisata alam yang berada di sana. Para delegasi perwakilan dari pesantren Al-Rahman tersebut belum ada yang pernah bermain di kota Malang. Mereka yang kebanyakan dari kota Jawa Tengah sendiri itu hanya bisa membayangkan betapa indahnya kota Malang. Bahkan mereka sempat ragu ketika di ajaknya memasuki area wisata, takut tiket mahal dan uang mereka tak cukup. Sore harinya, Diajeng mengajak semua temannya satu bus untuk makan di cafe terdekat. Tak hanya mengajak saja, Diajeng bahkan mentraktir teman-temannya itu untuk makan sepuasnya dan sekenyang mereka. Tanpa harus memilih makanan dengan ragu karena harga. Setelah puas bermain, sore itu Diajeng meminta sopir agar mampir di cafe yang mempunyai view indah. Diajeng ingin mentraktir semua temannya. Namun setelah sampai di cafe yang telah di tentukan santri putra dan
Suara para santri yang sedang beraktivitas di aula mushola putri itu terdengar bergemuruh. Sembari menunggu kedatangan pak kiai mengisi pengajian di sore hari. Mereka saling memutholaah menyimak satu sama lain kajian kemarin sore. Di ndalem, pak kiai merasa sungkan hendak meninggalkan tamu di depannya. Pengajian yang seharusnya sudah di mulai itu terpaksa harus di liburkan. Ibunyai yang tak mau menemui tamu tersebut malah membiarkan pak kiai mengatasinya sendiri. "Mungkin rombongan Ayman akan tiba esok pagi. Kalau kalian mau bicara langsung, kalian bisa kembali esok." Jelas pak kiai pada mereka. "Tak bisakah kita menelfon mereka agar cepat pulang saja Pak Kiai?" kekeh seorang ibu paruh baya yang hendak menemui Ayman. "Mohon maaf Pak Bu, mereka mempunyai tanggung jawab besar membawa para peserta lomba itu. Jadi kita tunggu saja kepulangannya. Saya tak mau memberikan beban apapun lagi kepada mereka di sana, karena mereka juga sedang berjuang bukan hanya liburan saja." "Baiklah Pak
Sifa memaksa kedua orang tuanya untuk keluar aula. Dia menyadari jika semua temannya itu kelelahan. Meski hatinya hancur, Sifa tetap harus mengajak kedua orangtuanya menjauh dari teman-temannya untuk saat ini. Setelah menarik paksa mama tirinya ke kamar tamu yang sudah di tempati sebelumnya, Sifa pun mengunci mereka dari luar. Sifa menghela nafasnya panjang, lalu kembali ke tempat istirahatnya. Disana, Diajeng sudah menunggu kedatangan Sifa dengan menyiapkan bantal untuknya tidur. "Besok kita lanjut lagi ya, aku ke ndalem dulu." ***"Kenapa kamu meninggalkanku Mas?" Tanya Maisya menangis. Rudi terdiam tak menjawab, mendengar menantunya ibu Dini malah melengos. Ibu Tutik yang baru keluar dari galery tergopoh-gopoh melihat putrinya menangis. Di tak tahu apa kalau putrinya mempermalukan dirinya sendiri di depan umum. "Udah jangan menangis, nanti Ibu belikan." "Memangnya Ibu mampu?""Pantas saja dulu dia gak punya teman. La anak sama emaknya aja sama." G
"Nak, jangan marah kepada istrimu. Mungkin ini adalah bawaan hamil. Ibu hamil itu gampang berubah-ubah Nak," tutur ibu Dini pada putranya. Rudi terdiam, dia mencerna ucapan ibunya. Memang, selama ini Maisya selalu menjadi istri yang nurut. Namun dia berubah sejak hamil. Entah itu karena Ayman yang menolongnya atau benar-benar bawaan hamil. "Terimakasih Bu, aku pamit pulang ke rumah Maisya lagi." Sesampainya Rudi di rumah Maisya. Maisya masih meraung di depan rumahnya. Banyak anak kecil yang Mempermalukan Maisya, namun dia tak menghiraukan semua itu. Melihat mobil suaminya berhenti, Maisya langsung berdiri di samping mobil.Rudi yang melihat istrinya berpenampilan kacau itu menjadi prihatin sendiri. Dia langsung mengajak Maisya untuk masuk rumah dan beristirahat. Maisya tak membantah, dia pun tak ingin melepaskan genggamannya di lengan suaminya. "Maafkan aku Mas, maafkan aku." Rintih Maisya. ***"Ini rumah kami, ayo masuk." Ajak Ayman dengan bangga. "
Acara pernikahan Diajeng juga Ayman yang sempat akan terselenggarakan di gedung Diponegoro Surakarta pada akhirnya di gagalkan oleh Laura. Laura yang lebih banyak terjun di proses acara Ayman nanti itu banyak menimbang lokasi yang harus di tentukan olehnya. Banyak kolega yang akan hadir dan itu bukan orang sembarangan. Apalagi opanya tidak hanya seorang pendiri perusahaan saja. Dia ingin acara itu terkesan mewah nan elegan. Awalnya Ayman hanya pasrah jika acara bertempat di gedung Diponegoro. Wedding Organizer pilihan Ayman yang awalnya sudah mengatasi semuanya pun di arahkan lagi oleh Laura agar menjadi bagian catering saja. Tidak hanya sendirian, Naura sang kakak akan membantu membereskan masalah yang tak bisa di atasi oleh Laura. Bukan berarti rencana pernikahan Maisya sebelumnya tak mendapatkan restu dari keluarga Ayman. Keluarga Ayman justru selalu menawarkan semua jasa mereka untuk acara pernikahannya. Bahkan Naura selalu melarang Ayman memilih Wedding Organizer sendiri. Namun
Koridor rumah sakit tetap sepi seperti biasanya. Ruang ICU hanya boleh di tunggu di luar ruangan, sedangkan pasien di dalam hanya ada Risma saja. Bisa di pastikan tempat yang saat ini hanya ada Diajeng saja itu akan terasa sangat mengerikan. Diajeng keluar begitu saja dari ruang bayi. Adu mulut antara Bu Siska dan ibunya Joko membuatnya tak ingin menambah masalah bagi mereka. Diajeng lebih leluasa sendirian seperti itu, timbang banyak orang hanya ada omongan unfaedah saja. Tetesan air hujan telah merata membasahi bumi. Suara guntur saling bersahutan antara yang satu dengan lainnya. Angin kencang ikut terlihat dari lantai dua tempat yang Diajeng saat ini.Diajeng, perempuan bertubuh mungil itu masih menjadi bahan perbincangan banyak orang. Apalagi kalau bukan karena pernikahannya dengan sang Ustadz. Namun bukan itu yang sedang panas di telinga orang lain, kekayaan Aymanlah yang menjadi kunci dari semua ucapan dari satu mulut ke mulut yang lain. Jika bagi mereka Diajeng orang pilihan
Tangan Sifa di genggam erat oleh seseorang. Tangisnya tak bisa di bendungnya lagi. Beberapa hari yang lalu, orang tuanya mempermalukannya di depan umum dan dia hanya tersenyum saja. Hari ini, semua perasaan Sifa serasa hancur lebur tak berbentuk. Sifa mendongakkan kepalanya, melihat sosok yang tengah memegangnya. Tangisnya kembali pecah ketika orang yang di ajaknya bicara pun tengah berurai air mata. Keduanya beradu pandang tanpa sepatah kata apapun. Benar, Risma tersadar dari kritisnya. Setelah dua hari tak sadarkan diri. Walaupun tampak lemas tak berdaya, Risma mampu menggenggam saudara SE ayah itu dengan erat. "Maafkan aku Mbak," lirih Risma. Sifa bangkit dengan mengusap pipinya yang basah. Dia memanggil perawat yang berjaga di ruang ICU. Sifa juga menyempatkan diri untuk membasuh mukanya ke toilet. "Apa yang di rasakan Mbak?" tanya perawat. "Sakit semua Kak." "Di buat istirahat dulu ya. Biar nanti langsung di pindahkan ke ruang rawat inap saja." "Kenapa baru bangun kamu, a
Ayman datang bersama ustadz Faris yang karena Diajeng berulangkali tak bisa di hubungi oleh Ayman. Ayman yang awalnya ingin datang ke rumah sakit sendirian, namun ustadz Faris malah mengintil di jok belakang. Mau tak mau Ayman pun datang berdua lagi bersama ustadz Faris. Diajeng tak menyadari suaminya yang duduk di sampingnya. Dr Mila pun sama, mereka berdua mengobrol sembari memejamkan mata. Tanpa menghiraukan Sifa yang bersitegang dengan kawan bicaranya, Diajeng begitu menikmati kedamaiannya."Sayang," panggil Ayman. Sontak Diajeng membelalakkan matanya. Di lihatnya pula Sifa yang wajahnya tampak pucat. Merasa kebingungan, Ayman tersenyum kecil sembari mengedipkan matanya. "Aneh," celetuk Diajeng. "Tetep gantengan aku dong," kekeh Ayman."Loh, Ustadz kog kesini lagi?" Tanya dr Mila ketika menyadari kebisingan di sampingnya. "Iya Dok, tadi Diajeng gak bisa di hubungi. Mau telpon Dokter, saya gak ada nomernya." "Hah? Ada apa Mas? Tadi aku habis jagain Risma di dalam, jadi gak b
Seorang perawat memanggil Diajeng karena masa penungguan pasien sudah habis. Diajeng harus keluar dan nanti akan di panggil lagi kalau sudah waktunya jam menunggu pasien. Perawat juga memberitahu Diajeng kalau Risma sudah menunjukkan perkembangannya. Diajeng keluar di sambut Sifa dengan keinginan tahuannya. Walaupun Sifa tak menyukai sifat adik tirinya itu, namun dia juga sebenarnya merasa kasihan. Bagaimanapun juga, ada darah yang sama di dalam tubuh Risma dan dirinya. "Belum sadar juga?" "Belum Fa, tadi aku ajak dia baca Yasin. Terus aku genggam tangannya dan kudekatkan bibirku di telinga Risma. Alhamdulillah dia respon, dia menangis kayaknya. Soalnya ada air mata yang menetes gitu." "Kamu mencoba berbicara dengannya gak Jeng?" Gantian dr Mila yang penasaran. "Iya Dok, aku bilangin tuh adeknya Sifa. Tak suruh insaf, kalaupun dia enggak selamat kan minimal sudah ada niatan baik gitu. Jangan marah ya Fa hehe," kekeh Diajeng. "Kamu betul sih, soalnya dia juga banyak dosa. Kayakny
Sesampainya di rumah sakit, mereka langsung menuju ruangan ICU. Belum ada perkembangan yang lebih baik pada Risma. Keadaannya masih sama, kritis.Orang tua Risma tampak kusut berada di depan ruang ICU. Mata mereka juga sembab. Ibu Risma tak lagi menampakkan wajah garangnya. "Makan dulu Yah, Mah. Habis ini kalian pulang saja, nanti sore baru kesini lagi. Biar kita saja yang menunggu Risma," ujar Sifa. "Kita langsung pulang saja Nak, kasihan Mama nangis terus semalam. Ini nasinya kita bawa pulang saja ya," kata pak Udin. "Oh, bawa saja semuanya kalau begitu Yah. Biar kalian gak beli lagi," kata Sifa. Kedua pasangan paruh baya itu pun beranjak untuk kembali ke rumah mereka. Tanpa menyapa lagi ataupun sekedar senyum. Dr Mila hanya melirik Diajeng sembari tersenyum kecut. Seorang perawat keluar dan mencari keluarga Risma. Di tangannya nampak membawa sebuah kertas yang di serahkan pada Sifa. Perawat hanya meminta Sifa untuk mengambilkan obat yang saat ini sangat di butuhkan ya oleh adi
"Oalah mbak, cantik-cantik kog senengnya merebut calon orang. Mbok ya sing kreatif gitu loh," ujar seorang perempuan muda di toko sayur dan kebutuhan rumah tangga depan komplek. Diajeng yang sedang menemani Sifa itu mengerutkan keningnya. Ibu muda tadi melototkan matanya dengan tajam di hadapan Diajeng. Merasa tak mempunyai masalah, Diajeng pun mengacuhkannya. "Ya begini kalau terlahir dari keluarga tak berpendidikan tinggi, diajak berbicara saja melengos. Sudah merasa menjadi perempuan paling cantik," lanjutnya lagi.Diajeng membuntuti Sifa yang tengah sibuk mencari berbagai kebutuhan yang akan di bawanya ke rumah sakit. Toko sedang ramai, banyak ibu-ibu yang berbelanja sayur saling berbisik. Semua mata mengarah pada Diajeng, dengan mulut mereka berkomat-kamit sangat bising. Dari rumah Diajeng tak berniat membeli apapun. Dia hanya mengantarkan Sifa yang belum tahu Tutik letak toko di daerah sini. Sifa yang keukeh ingin berbelanja itu pada akhirnya meminta Diajeng untuk mengantarka
"Tapi Buk, kenapa harus di samakan sih." Gerutu Maisya mengejar mertuanya."Terserah Ibu dong. Kamu sudah Ibu belikan juga, kenapa harus marah toh Saya." Kedua mertua dan menantu itu berbicara sangat keras sembari berjalan ke arah rumah Diajeng. Baik Diajeng maupun dr Mila hanya terdiam mendengarkan saja. Sifa yang baru hendak ke rumah Diajeng itu malah cengengesan melihat drama yang ada di depannya. "Ya jangan samakan dengan oarang lain dong Bu," kesal Maisya. "Kamu kog ngatur Ibu, terserah Ibu dong. Uang juga punya Ibu sendiri," ucap Bu Dini tak mau kalah. Diajeng menjadi kikuk di datangi oleh tetangga sebelah rumahnya. Bukan tak suka atau tak memperbolehkan orang lain berkunjung, namun Bu Dini datang dengan menantunya yang seakan tak suka pada Diajeng. Tatapan sinis Maisya membuat Diajeng ingin menutup pintunya saja, daripada terjadi kerusuhan antar teman. "Nak Ajeng, maaf ya malah ribut di rumah kalian." "Iya Bu, tak masalah. Kalau boleh tahu, ada apa ya Bu?" tanya Diajeng.
"Sayang, kalau kamu hamil nanti. Aku gak mau jadi yang ke dua," celoteh Ayman. Diajeng yang sudah merem pun kembali melek. Matanya melihat suaminya yang masih setia membelai lembut pipinya. Diajeng pun melanjutkan tidurnya yang tertunda. "Aku bakalan kesepian banget kalau kita nanti punya anak." Ayman berbicara lagi. Diajeng yang memang belum bisa Langsung tidur itu hanya mendengarkan saja. Ayman seolah tahu kalau istrinya belum jadi tidur. "Sayang, kita kapan ya punya anak." "Ambigu banget sih Mas," ujar Diajeng. "Bikin anak yuk," kata Ayman. "Gak pengertian banget jadi suami," jawab Diajeng. Ayman pun terbangun dari posisi tidurnya. Dipijitnya kaki sang istri. Bahkan Ayman memijit Dnegan sangat hati-hati. "MaasyaAllah, terimakasih suamiku. Aku tidur dulu ya," pamit Diajeng. "Ya enggak gitu juga konsepnya Sayang," lirih Ayman yang membuat Diajeng terkekeh bahagia. *** Maisya di temani sang suami berjalan santai di komplek perumahan mertuanya. Udaranya yang seju
Maisya bersama suaminya tengah mengantri untuk cek kandungan di rumah sakit terdekat. Mereka sangat bersemangat karena ingin sekali mengetahui perkembangan sang janin di dalam perut. Banyak sekali perubahan yang di rasakan oleh Maisya, walaupun masih dia masih trimester awal.Dokter yang akan menangani maisya masih belum datang. Walaupun mendapatkan nomor antrian pertama, jam terbang sang dokter molor hingga satu jam lebih. Bahkan maaiya sudah berulangkali mengeluh kecapekan duduk. "Makan dulu," ucap Rudi. Dengan senang hati Maisya membuka mulutnya menerima suapan dari suami tercinta. Pasangan yang menjadi pusat perhatian banyak orang karena sifat maisya yang selalu manja pada suaminya. Bahkan ada yang senyum-senyum malu sendiri melihat kelakuan Maisya. "Manis mas, seperti cintamu yang tak pernah pudar untukku." "Dan kamu adalah obatku agar tak sampai menderita diabet." Maisya tertawa mendengar gombalan Rudi yang garing tanpa ekspresi di dalamnya. Sampai mereka tak menyadari kala