Lantunan sholawat nabi terdengar mengudara di seantero pesantren. Semua santri bergotong royong membersihkan area Pesantren. Dari asrama hingga halaman sampai di kamar mandi. Tak ada tempat secuil pun yang luput dari tangan-tangan sejuk mereka. Lantunan sholawat di alunkan dari saund yang berada di depan madrasah, agar para santri lebih semangat dan gak merasa capek.
Hari jumat sangatlah di tunggu-tunggu oleh para santri. Hari dimana mereka bebas dari hafalan, pelajaran maupun kajian. Mereka bisa bersantai menghabiskan waktu senggang dengan berbagai olahraga atau ektrakurikuler lainnya yang mereka sukai.
Berbeda dengan para santri lainnya, Ayman malah meringkuk dalam selimut. Pikiran suntuk, hati sedih dan badan yang terlalu capek membuatnya masih ingin tertidur pulas. Dinikmatinya surganya seorang santri ketika sudah bertemu dengan bantal dan selimut.
Brakk brakk brakk
"Ustadz Ayman!"
"Ustadz Ayman!"
"Mas Ayman."
"Maaas."
Brakk brakk brakk
Tog tog tog
Sejak pagi beberap asatidz berusaha membangunkan Ayman. Bukan tanpa alasan, ada hal penting yang ingin di bicarakan oleh kiai Dahlan dengan Ayman. Hingga meminta tolong para asatidz untuk memanggilkannya, karena berulang kali beliau menelpon tak juga di angkatnya.
Dari jam delapan pagi, sampai jam sepuluh siang. Ayman baru saja merespon gedoran dari luar. Dia yang masih linglung menjadi bingung dengan keadaan ricuh di luar kamarnya.
Ceklek
"Alhamdulillah," ucap semua orang yang berada di depan kamar Ayman ketika mereka melihat si empu kamar melongokkan kepalanya keluar.
Ayman bertambah bingung, "Ada apa?"
"Ditimbali Yai, Ustadz. Sudah dari jam 8 tadi berhubung jam segini Ustadz baru bangun, jadi nanti sehabis salat Jumat saja sekalian." Terang salah satu asatidz dengan menunjukkan jam di ponselnya.
"Ya sudah kalau begitu, maaf ya. Terimakasih," jawab Ayman nyengir.
Gerumbulan santri yang melihat di sisi kamar milik Ayman juga bubar. Mereka semua sama penasaran dengan ustadz jeniusnya tersebut. Apalagi kabar menikahnya yang memang sudah tersebar di penjuru Pesantren.
***
Panasnya sinar matahari siang ini, tak mengurangi semangat para wali santri untuk bertemu dengan putra putri mereka di Pesantren. Kesibukan yang mereka lakoni setiap hari pun rela di tinggalkannya sejenak, agar mereka bisa bertukar kabar dengan sanh buah hati. Dilain sisi, adapula santri yang tak pernah merasakan di jenguk orangtuanya dan mereka akan mengisi hari jumatnya dengan berbagai kegiatan.
Sesampainya di depan ndalem kiai Dahlan, semua mata tertuju padanya. Ada yang berbeda, namun Ayman tetap berjalan menuju tempat para asatidz menemui pengasuh Pondok Pesantren Al Rahman tersebut. Tak berbeda dengan keadaan di dalam ndalem, tamu kiai Dahlan berbeda dengan tamu biasanya.
"Sini Le," ajak kiai Dahlan.
Ayman mengikuti kiai dahlan masuk di sebuah kamar. Dimana hati dan fikirannya langsung berfikir banyak hal. Matanya melirik kesana kemari, sambil mencari jawaban atas kegelisahannya.
"Langsung saja Le, kemarin orang tua Maisya sudah membatalkan pernikahan kalian. Kakekmu sudah tak kasih tahu hal itu dan beliau memasrahkan semuanya padaku," kata kiai Dahlan.
"Kamu tahu aku memanggilmu karena apa?" tanya kiai Dahlan lagi.
"Mboten Yai."
"Dari awal saya pengen menjodohkan kamu dengan Diajeng, guru lesnya Maya cucuku. Tapi kamu sudah berniat melamar Maisya," terang kiai dahlan, "Dan hari ini saya ingin menikahkan kalian, apa kamu mau?"
Ayman yang sedari tadi hanya menunduk itu mendongakkan kepala. Jantungnya seakan berhenti, mendengar pernyataan sang kiai. Mulutnya mendadak kaku.
"Saya tak memaksa Le, jika kamu setuju maka pernikahan dilaksanakan hari ini juga. Jika menolak juga tak masalah," ucap kiai Dahlan.
Ayman masih terdiam, dia tak mengerti mau berkata apa. Jantungnya memompa cepat. Bahkan telapak tangannya berkeringat dan bergetar.
Ayman sangat tahu, ucapan kiai Dahlan bukanlah permainan ataupun candaan. Jika sudah serius, maka hal itu seperti perintah. Kenapa harus secepat ini?
"Maaf Yai, di istikhorohi dulu bagaimana?"
"Saya sudah istikharah tiga kali Le, hasilnya bagus."
"Kakek bagaimana Yai?"
"Kakekmu masih perjalanan kemari. Beliau sudah setuju dan calonmu tak menentukan mahar yang akan kamu berikan itu berapa. Untuk saat ini semua keputusan ada di tanganmu."
Ayman bertambah bimbang. Bahkan semuanya sudah menyetujuinya. Disaat dia masih mengharapkan persetujuan dari bu Tutik.
Ayman sadar, perjuangannya hingga berada di titik saat ini bukanlah mudah. Kiai Dahlan adalah salah satu orang yang membuatnya sukses hingga saat ini. Namun dia masih bimbang akan pernikahannya hari ini. Hatinya masih terpaut pada sosok perempuan yang pernah di pinangnya.
"Jujur Yai, saya belum siap kalau harus menikah hari ini juga."
Kiai dahlan tersenyum lalu berkata, "istirahatlah, tenangkan hatimu dan fikirkan masa depanmu. Masalah kemarin jadikan pelajaran dalam mencari calon istri. Foto diajeng sudah saya kirimkan di ponselmu."
"Nggih Yai."
Setelah peninggalan kiai Dahlan, Ayman berbaring di kasur yang tersedia di sana. Dia tak berniat membuka ponselnya. Fikirannya semrawut dengan keadaan saat ini. Apalagi dia juga masih mempunyai tanggung jawab mengirimkan kafilah lomba di ajang perlombaan hari santri nasional bulan depan.
Drrrt…
"3 Pesan dari Maisya?" gumam Ayman.
Assalamualaikum Ustadz.
Apa Kabar ustadz? Semoga ustadz tak sakit hati dengan ibuku.
Ustadz, apa Ustadz tak ingin memperjuangkan pernikahan kita lagi?
"Ya Allah, kenapa harus sulit berfikir sih!"
Ayman kembali melihat pesan yang tertera di ponselnya. Dibukanya pula pesan dari kiai dahlan. Terlihat foto seorang perempuan tersenyum simpul disana. Seakan tak begitu asing, dia memperjelas lagi foto tersebut.
"Sahabatnya Maisya?"
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam Opa Oma." Jawab Ayman sembari mencium kedua tangan
"Bagaimana kabarmu Nak?" tanya Oma Maimunah.
"Alhamdulillah baik Oma. Oma sendiri sehat terus kan," ujar Ayman.
Wanita yang di panggilnya Oma itu masih setia memeluk cucunya. Dia menangis sambil sesekali meraup wajah Ayman. Lamanya mereka tak saling jumpa, membuat oma meluapkan rasa rindu dan sayangnya pada sang cucu.
"Oma baik, Oma bahagia sekali. Akhirnya Oma di ajak Opa kesini berjumpa denganmu," kata oma.
"Kamu menikah hari ini atau tidak? Jadilah lelaki yang gantle dan jangan melempem," tukas opa.
"Ayman bingung Opa. Baru saja kemarin di tolak keluraga perempuan, eh sekarang dah mau nikah sama temannya," rengek Ayman.
Opa Iskandar, lelaki berkarisma yang selalu di hormati orang lain dimanapun tempatnya itu tertawa. Bukan lelucon, namun Ayman seprti mengingatkannya waktu muda. Bak pinang di belah dua, Ayman juga lebih mirip dengan dirinya daripada anak lelakinya, ayah Ayman.
"Berarti belum siap menikah? Opa akan bicarakan dengan kiai Dahlan." Kesal Opa sembari berdiri dari duduknya.
"Eh Opa, kog baperan sih. Kasih Ayman masukan lah," gerutu Ayman manja.
"Kalau kamu percaya sama Opa, maka akan menuruti semua perkataan Opa."
Ayman menekuk wajah sendu. Dipeluknya sang oma yang selalu menggenggam tangannya itu. Disaat hatinya mulai goyah, perempuan paruh baya itu tetap menenangkan cucu lelaki satu-satunya.
"Menikah atau tidak ya?" gumam Ayman lirih.
***
"Sah sah sah?"
"Sah."
"Alhamdulillah."
Wajah cantik nan ayu tersebut berurai air mata. Cinta yang di perjuangkanya di sepertiga malam, berakhir menjadi miliknya. Hati yang dulunya porak poranda oleh ketidak pastian, kini bersemi indah kembali. Senyum dibibirnya sudah menggambarkan perasaan bahagianya.
Dilain sisi, ada sosok yang menangis pilu. Lelaki yang mulai menghiasi hari-harinya telah menjadi milik sahabatnya. Sakit dan hancur melihat mereka saling menatap dalam diam.
"Seharusnya aku yang berada di sana."
***
Tak mengenal satu sama lain, Ayman dan Diajeng saling diam. Pernikahan mereka adalah keinginan banyak orang, namun tidak dengan Ayman. Meski sudah tak begitu terfikirkan oleh Maisya, Ayman sebenarnya ingin lebih fokus pada pengiriman peserta perwakilan lomba bulan depan. Namun pada kenyataannya semua hanya keinginan belaka.Ayman tak tahu harus berbuat apa. Banyaknya tamu di kediaman kiai Dahlan membuatnya masih terselamatkan. Entahlah, dia akan seecepatnya membuka hatinya lagi atau malah sebaliknya. Diajeng mengerti, Ayman sangat terpaksa menikah dengannya. Bahkan Ayman seakan enggan duduk bersampingan dengannya. Ayman juga langsung menjauhi Diajeng, ketika penghulu telah berpamitan pulang. Senyum semringah Ayman pun hanya karena ada Omanya yang terlihat bahagia. Diajeng merasa bersalah dan tak ingin berada di posisinya seperti saat ini."Ajak istrimu ke kamar yang tadi Nak," bisik Oma."Gak mau. Ngapain Oma!"gerutu Ayman tak kalah lirihnya.Oma Maimunah tertawa, dia hanya ingin men
Hari semakin malam, para tamu juga sudah pulang. Tersisakan opa oma Ayman yang memang memutuskan untuk bermalam di pesantren. Sedangkan Diajeng pun memilih untuk kembali ke asramanya. Meski ning Maya sudah memintanya agar tidur bersamanya di ndalem, Diajeng masih dengan pendiriannya, apalagi suaminya tak ada ucapan apapun kepadanya.Kiai Dahlan tak bisa memaksakan kehendak Ayman. Omanya yang sesama perempuan dengan Diajeng hanya mengomel sepanjang waktu. Namun Ayman tak menghiraukan itu. Dia hanya ingin menenangkan hatinya sendiri tanpa ada seseorang di sampingnya. Diajeng tak pernah putus dari doanya, berharap Ayman segera membuka perasaannya. Berada dalam satu atap yang sama dan menjadi keluarga kecil bahagia. Tuhan itu maha adil, garis yang di rencanakanya lebih indah dari keinginan makhluknya."Eh, Ustadz Ayman jadi menikah sama Maisya itu kan sih Jeng?" tanya salah satu teman sekamar Diajeng. Diajeng menggeleng, hatinya sakit. Meski tak ada santri yang mengetahui pernikahannya
Diajeng, gadis manis itu terlahir dari rahim permpuan bernama Anjani. Ayahnya bernama Bayung Prasetyo, pemilik usaha laundry terbesar di kotanya. Meski terkenal dari keluarga kaya raya, Diajeng selalu di ajarkan oleh orang tuanya untuk selalu merendahkan hatinya. Jika pun berteman, orang tuanya selalu berpesan agar tak membeda-bedakan semua temannya, baik kaya atau miskin. Diajeng bukan tipe perempuan berkulit putih, tinggi semampai. Dia bertubuh kecil sedikit gemuk, wajahnya manis tak membuat mata bosan memandang. Hal tersebut menurun dari ayahnya, yang memang terlahir dari keluarga berkulit sawo matang. Teman kecil Diajeng adalah Maisya. Rumah mereka juga berhadapan. Maisya kecil tak pernah mempunyai teman. Ibunya yang sombong dan suka marah teriak-teriak, mambuat teman-teman Maisya menjauhinya. Berbeda dengan Diajeng, dia selalu mengajak Maisya bermain, agar Maisya bisa merasakan masih mempunyai teman.Sejak kecil Diajeng sudah di karuniai otak cemerlang. Karep kali dia mengikuti
"Assalamualaikum halo Bu Anjani, ini Ayman sama Diajeng sudah dapat rumah yang akan di tempati. Nanti alamatnya saya kirimkan saja, tapi Bu Anjani kalau kesini jangan malam ya. Kasihan pengantin baru, keganggu. Ya sudah mau ngabarin itu saja, Assalamualaikum."Diajeng tersipu malu sedangkan Ayman menatap Oma Maimunah sengit. Mereka bertiga tak mengikuti opa yang mengelilingi rumah. Kejahilan oma pada cucunya tersebut membuat oma terlihat lebih sehat dan bahagia. "Acara kamu bagaimana Nak, jangan sampai kamu membuang uang di vendor sia-sia.""Tidak boleh di batalkan oleh Pak Kiai Opa," jawab Ayman lesu."Ya berarti hari itu kamu nikah secara negara dengan Diajeng. Mbak-Mbakmu juga sudah booking mua dan baju keluarga," sahut Oma."Itu sih emang Mbak Nana dan Mbak Lala aja yang emang suka heboh. Tapi boleh juga lah ide oma," kata Ayman. "Oke, semua biar di urus Mbakmu saja. Kasih tahu semuanya, pihak besan biar nanti di urus Mbakmu juga." Pungkas opa sembari memainkan ponsel yang ada d
Kangen? Iya. Sebagai perempuan yang memang telah lama memendam perasaannya kepada suami, Diajeng seringkali memimpikan kebersamaannya berdua. Mereka yang hanya berada satu atap ketika hari libur pesantren saja, membuat Diajeng masih ingin berlama-lama bersama suami. Namun Diajeng tak pernah protes, dia tetap menikmati semua keputusan suaminya. Resepsi memang sengaja di undur oleh kedua belah pihak. Mereka tak ingin membuat acara hanya sekedar selesai dan puas saja. Mereka ingin memberikan kesan tersendiri yang bisa di kenang seumur hidup oleh sepasang pengantinnya. Di pesantren, para santri hanya mengetahui bahwa Ayman selalu memperhatikan Diajeng. Mereka beranggapan bahwa Ayman menyukai Diajeng. Isu tersebut sudah menyebar dan hanya di tanggapi dengan senyuman oleh Diajeng. Diajeng bahagia ketika dia menjadi pusat gunjingan para santri perihal Ayman. Dia juga selalu mengaminkan ketika ada yang mendoakan supaya mereka berjodoh. Bagi teman Diajeng, Ayman memang lebih cocok dengan di
Maisya tak bisa lagi menopang badannya untuk berdiri. Meski ibu mertua sudah memanggilnya bolak balik, Maisya juga tak menyahutinya. Tubuhnya menggigil dan mulutnya seolah terkunci, matanya tertutup dan hanya meneteskan air mata. Bu Dini, atau yang lebih terkenal dengan sebutan Bu camat itu menghampiri Maisya di kamarnya. Bu Dini memeriksa semua tubuh Maisya dan dibuat kaget ketika mendapati menantunya tersebut demam tinggi. Tanpa menunggu siapapun lagi, Bu Dini bergegas menghubungi dokter keluarganya. "Maaf Bu, saya lagi dinas keluar kota."Balasan yang membuat Bu Dini lemas. Namun dia langsung berlari meminta bantuan pada tetangganya untuk membawa menantunya itu ke rumah sakit. Meski ragu, Bu Dini tetap mengetuk pintu rumah tetangganya. Betapa kagetnya Bu Dini, saat Diajeng yang membuka pintu. Lalu lebih terkejut lagi, ketika Ayman menyusul keluar. Walaupun sedikit sungkan, Bu Dini tetap pada tujuannya. "Maaf Nak Diajeng, saya ingin meminta bantuan. Tolong bantu angkat Maisya ke
Malam hari, suami dan orang tua Maisya telah tiba di rumah sakit. Kegembiraan dan kabar bahagia itu akhirnya sampai pada mereka. Bahkan berkali-kali Rudi mencium kening Maisya di depan banyak orang. Dibalik senyumnya yang tak pernah pudar, Maisya merasa bersalah dengan perlakuannya pada Diajeng. Ibu Dini, mertua Maisya sedikit berbeda setelah kepergian Diajeng. Ibu Dini dengan jelas melihat Maisya dan Diajeng mengobrol. Maisya bahkan sudah tahu jika yang membawanya ke rumah sakit adalah sahabatnya. Sakit hatinya masih tercetak jelas, ketika melihat Diajeng menikah dengan Ayman saat itu. Maisya telah bahagia hidup bersama Rudi. Rudi yang royal dan tak pernah perhitungan itu tak ingin membuatnya merasa terkekang. Rudi bahkan selalu mengajaknya jalan-jalan ketika hari libur. Entah kenapa Maisya masih terbayang dengan pernikahan Diajeng. Baginya Diajeng adalah orang ke tiga yang merebut kekasih hatinya. Diajeng telah merusak apa yang seharusnya di milikinya. Melihat wajah Rudi yang ter
Para santri putra putri duduk khusyuk mengikuti doa bareng dan dzikir bersama dalam rangka pelepasan santri yang mengikuti perlombaan di Jawa Timur. Mereka yang terpisah oleh ndalem pak kiai dan putra putrinya itu tetap bisa mengikuti acara dengan di sambungkan. Di aula putri terpampang layar besar yang bisa di saksikanya semua rangkain acaranya. Perwakilan dari santri putri yang mengikuti ajang perlombaan kali ini juga sudah siap dan mengikuti acara. Ada sepuluh santriwati termasuk Diajeng. Diajeng bersanding dengan ibunyai lalu baru di susul temannya lainnya.Di layar yang terpampang lebar, terlihat dengan jelas Ayman dengan takdzim mengikuti dzikir. Diajeng tersenyum simpul mengetahui suaminya tersorot kamera itu menjadi buah bibir di kalangan para santriwati. Mereka menyadari kalau Diajeng bahagia melihat kekasihnya dari dalam layar. "Mereka bakalan berangkat bareng loh. Disana akan ketemu terus.""Ya Allah, meleleh hati ini Bang""Mbak Ajeng beruntung banget sih.""Aku juga pen
Maisya bersama suaminya tengah mengantri untuk cek kandungan di rumah sakit terdekat. Mereka sangat bersemangat karena ingin sekali mengetahui perkembangan sang janin di dalam perut. Banyak sekali perubahan yang di rasakan oleh Maisya, walaupun masih dia masih trimester awal.Dokter yang akan menangani maisya masih belum datang. Walaupun mendapatkan nomor antrian pertama, jam terbang sang dokter molor hingga satu jam lebih. Bahkan maaiya sudah berulangkali mengeluh kecapekan duduk. "Makan dulu," ucap Rudi. Dengan senang hati Maisya membuka mulutnya menerima suapan dari suami tercinta. Pasangan yang menjadi pusat perhatian banyak orang karena sifat maisya yang selalu manja pada suaminya. Bahkan ada yang senyum-senyum malu sendiri melihat kelakuan Maisya. "Manis mas, seperti cintamu yang tak pernah pudar untukku." "Dan kamu adalah obatku agar tak sampai menderita diabet." Maisya tertawa mendengar gombalan Rudi yang garing tanpa ekspresi di dalamnya. Sampai mereka tak menyadari kala
Siska juga Udin berusaha untuk kabur dari ruangan satpam. Mereka baru akan di lepaskan kalau benar-benar sudah menyadari kesalahannya. Berulangkali baik Siska Maupun Udin ingin memukul satpam yang ada di sana. Sesampainya di depan ruang operasi, Siska dan Udin di kagetkan dengan kedatangan budhe Yeni yang merupakan tetangga sebelah rumahnya. Keduanya menjadi salah tingkah dan sungkan kepada orang yang selama ini selalu menolongnya. Budhe Yeni yang tak menyadari kedatangan pasangan suami istri itu masih tetap mengobrol dengan perempuan muda yang pemikirannya sangat luas nan terbuka. Budhe Yeni menoleh ketika Bu Siska memanggilnya. Diajeng dengan cepat langsung mengabari suaminya kalau kedua orang tua Risma sudah berada di sana. Bagaimanapun mereka, kedua pasangan suami istri itu berhak mengetahui keadaan putrinya. "Budhe Yeni ngapain disini?" tanya Siska basa basi. "Hanya ingin membesuk Risma." Jawab budhe Yeni singkat. "Bagaimana keadaan Risma Sifa?" "Kritis.""Kritis? Ya Allah
Diajeng tengah menjaga Risma di ruang tunggu operasi sendirian. Dr. Mila juga Sifa sedang berganti pakaian dan melaksanakan ibadah. Tiba-tiba seorang perempuan paruh baya datang menghampirinya sambil menangis. "Nak, kamu yang sedang menunggui Risma?" tanya sang ibu. "Saya Ibu Yeni Ibunya Joko Nak, tadi Joko pamit mau membesuk Risma yang mau melahirkan." "Iya Bu, mari silahkan duduk dulu Bu." Diajeng pun mengangsurkan air putih untuk menenangkan Bu Yeni. Terlihat dari penampilannya yang sangat rapi, Bu Yeni bukan dari kalangan biasa. Walaupun Tanpa make up apapun di wajahnya, Bu Yeni masih tampak cantik di usianya yang sudah tak muda lagi."Apakah Joko di dalam Nak?" Diajneg menggeleng dan berkata,"Ibu tenang dulu ya, istirahat dulu disini sama saya." Ibu Yeni sangat cemas akan keadaan sang putra. Bahkan sisa air matanya masih nampak jelas di wajah ayunya. Beberapa kali Bu Yeni menghembuskan nafasnya perlahan dan membaca istighfar. "Bu, kondisi Risma saat ini masih kritis. Dia k
Ayman dan ustadz Faris membawa Joko ke taman rumah sakit. Setelah melaksanakan kewajiban sebagai umat manusia, Ayman juga Faris langsung meluncur ke rumah sakit lagi. Semua keperluan Sifa juga dr Mila telah di siapkan Ning Maya. Di taman hanya ada beberapa orang saja, membuat Ayman juga ustadz Faris merasa lebih nyaman. Bukannya tak tahu kondisi, Ayman juga ustadz Faris langsung menangani kasus Risma hati itu juga. Bagi pengurus pesantren yang sudah hafal dengan peraturan pesantren, melanggar peraturan pesantren sampai hamil dan melahirkan adalah jenis pelanggaran yang paling berat. "Kamu kenapa bisa yakin kalau anak yang di lahirkan oleh Risma itu darah dagingmu?" tanya ustadz Faris mengawali. "Ceritanya sangat panjang Mas," jawab Joko."Kamu ceritakan saja semuanya, karena pengurus pesantren juga merasa di rugikan dengan hal ini." "Maaf Mas, jangan hukum Risma." "Untuk itu kami butuh penjelasannya Joko." Joko menghembuskan nafasnya kasar. Pandangannya lurus ke depan seakan sed
Pak Udin masih di tahan di pos satpam. Emosinya yang masih naik turun itu terkadang ingin memukul satpam yang tengah berjaga. Entah karena apa beliau seperti itu, padahal dulunya beliau adalah lelaki berhati lembut nan dermawan. Namun kedermawanan yang beliau milikilah awal dari semua bencana yang ada dalam hidupnya. Ayman juga Faris telah kembali ke pesantren. Makanan yang di beli oleh ustadz Faris juga telah di serahkan kepada para perempuan yang masih berjaga di rumah sakit. Mereka sebagai santri yang di naungi oleh sosok pak kiai, sudah seyogyanya untuk mengabarkan perihal masalah apapun yang ada di pesantren. Sesampainya di pesantren, mereka langsung menuju ke ndalem pak kiai. Mereka di sambut dengan wajah sendu pak kiai juga ibunyai. Disana juga sudah ada Ning Maya yang ikut menunggu kedatangan perwakilan pesantren. "Bagaimana Nak? Kenapa santri putri itu bisa pendarahan?" tanya ibu nyai."Sebelumnya kami mohon maaf pak kiai, semua itu diluar kendali pengurus. Risma, perempua
Pak Udin ayahnya Sifa membentak anaknya di depan umum. Lelaki yang sebelumnya pernah mencintai anaknya sepenuh hati itu berubah seperti monster mengerikan. Tanpa rasa sungkan ataupun malu dilihat banyak orang, Udin menjambak kerudung putri sulungnya tanpa kasihan. Sifa tersenyum penuh luka. Ayman berusaha melepaskan tangan Udin dan menenangkannya agar bicara baik-baik. Namun Udin seolah kesetanan lalu menampar kedua pipi putrinya sangat keras. Diajeng yang berada di sebelah Sifa pun langsung memeluk sahabatnya. Sakit dan kecewanya sebagai anak ikut di rasakannya oleh Diajeng. Diajeng sesenggukan menenangkan sang sahabat yang terdzolimi oleh orangtuanya sendiri. Dr Mila dengan sigapnya langsung berlari memanggil satpam. Dua satpam yang baru datang pun langsung meringkus Udin dan membawanya keluar. Mereka kembali menjadi pusat perhatian banyak orang, hingga membuat kegaduhan di lobi rumah sakit. "Dia itu anak saya, jadi terserah saya dan itu hak saya." Kata Udin yang berusaha melep
Hujan deras tetap di terobos oleh Rudi, dalam hati dan otaknya hanya terpusatkan akan kegaduhan istrinya. Maisya yang sejak hamil selalu cemburu padanya itu membuat Rudi semakin mencintai istrinya. Gadis yang mampu separuh mencuri separuh hatinya, sampai dia bisa menjadi pemenang hingga menikahinya. Sesampainya di rumah sang istri, Rudi mendapati Maisya sedang makan rujak di temani kedua orangtuanya. Perempuannya itu langsung menyambut suaminya dengan berhambur memeluknya. Lelah seharian dengan pikiran buntunya itu pada akhirnya berbuah kebahagiaan. Rudi bisa tersenyum lega melihat istrinya bermanja lagi kepadanya. Tanpa rasa malu ataupun sungkan, Rudi menggendong istrinya bak anak kecil yang baru bertemu dengan ibunya. Ayah mertuanya hanya terkekeh sedangkan ibu mertuanya tersenyum bahagia. "Assalamualaikum, widiiih. Bayinya mintak nen," celetuk Bagas tiba-tiba, "Kalau lihat yang tadi dan sekarang, jadi bimbang mau nikah.""Hust, mulutnya." "Sono ke kamar," usir Bagas. "Sewot ba
Sesampainya di rumah sakit terdekat, Diajeng panik sendiri melihat kondisi Risma. Dr Mila belum menjelaskan apapun, Risma yang tampak lemas tak berdaya dan pucat itu membuatnya bingung sendiri. Hanya Sifa saja yang dengan santainya menunggu dokter keluar dari ruang IGD. "Sifa, adik kamu sebenarnya sakit apa? Kog gejalanya seperti orang hamil," celetuk dr Mila."Emang hamil Dok, ya wajar kalau pendarahan. Mungkin mau melahirkan," jawab Sifa."Hamil? Risma hamil? Kamu kog malah membiarkan dia berada di pesantren. Kamu tahu sendiri resiko yang akan di tanggungnya kan," geram dr. Mila."Aku sendiri aja baru tahu pagi tadi dari Diajeng," cicit Sifa."Diajeng," cecar dr. Mila."Ibunya sendiri yang bilang Dok, baru tadi malem. Nanti kita tanyakan dia saja ya Dok," pungkas Diajeng."Saudari Sifa," panggil dokter. "Lah, kenapa harus aku sih Dok." Protes Sifa sambil beranjak dari duduknya. "Maaf Dok, kita perwakilan dari saudari Risma, jadi kalau untuk penjelasannya kita harus tahu semuanya.
Sesampainya di rumah, ibu Tutik di bantu pak supir membawa Maisya yang tengah tidur karena kelelahan. Berulangkali Maisya bergumam ketakutan dalam tidurnya. Ibu Tutik memahami putrinya, hormon seorang ibu hamil yang tak bisa di tebak. Walaupun sedikit kesal dengan tingkah anaknya, namun ibu Tutik juga tak bisa menyalahkannya."Ibuuuu," panggil Maisya. "Kamu sudah bangun," jawab itu Tutik. "Kog sudah di rumah saja Bu, mas Rudi mana? Bu, kalau aku di selingkuhin bagaimana ini huhu," rengek Maisya."Di selingkuhin ya cari laki lain toh Sya. gitu aja dipikirin," sewot ibu Tutik."Tapi Bu…""Kamu mau makan gak? Ibu sudah siapin." ***"Kamu pesan segini banyaknya? Menyala kasirku," gerutu Diajeng."Aku kan pengen nyoba Jeng, kamu gitu banget kalo sama aku. Besok-besok juga kamu gak bakalan khilaf ngebolehin aku pesan sendiri," Sendu Sifa."Ini mah ngrampok namanya," kekeh Diajeng.Sifa memesan 10 menu dan 5 nasi di cafe Diajeng. Tak hanya itu, dia juga memesan