Share

Part 3 Pernikahan

Lantunan sholawat nabi terdengar mengudara di seantero pesantren. Semua santri bergotong royong membersihkan area Pesantren. Dari asrama hingga halaman sampai di kamar mandi. Tak ada tempat secuil pun yang luput dari tangan-tangan sejuk mereka. Lantunan sholawat di alunkan dari saund yang berada di depan madrasah, agar para santri lebih semangat dan gak merasa capek.

Hari jumat sangatlah di tunggu-tunggu oleh para santri. Hari dimana mereka bebas dari hafalan, pelajaran maupun kajian. Mereka bisa bersantai menghabiskan waktu senggang dengan berbagai olahraga atau ektrakurikuler lainnya yang mereka sukai.

Berbeda dengan para santri lainnya, Ayman malah meringkuk dalam selimut. Pikiran suntuk, hati sedih dan badan yang terlalu capek membuatnya masih ingin tertidur pulas. Dinikmatinya surganya seorang santri ketika sudah bertemu dengan bantal dan selimut. 

Brakk brakk brakk 

"Ustadz Ayman!"

"Ustadz Ayman!"

"Mas Ayman."

"Maaas."

Brakk brakk brakk

Tog tog tog

Sejak pagi beberap asatidz berusaha membangunkan Ayman. Bukan tanpa alasan, ada hal penting yang ingin di bicarakan oleh kiai Dahlan dengan Ayman. Hingga meminta tolong para asatidz untuk memanggilkannya, karena berulang kali beliau menelpon tak juga di angkatnya. 

Dari jam delapan pagi, sampai jam sepuluh siang. Ayman baru saja merespon gedoran dari luar. Dia yang masih linglung menjadi bingung dengan keadaan ricuh di luar kamarnya.

Ceklek

"Alhamdulillah," ucap semua orang yang berada di depan kamar Ayman ketika mereka melihat si empu kamar melongokkan kepalanya keluar.

Ayman bertambah bingung, "Ada apa?"

"Ditimbali Yai, Ustadz. Sudah dari jam 8 tadi berhubung jam segini Ustadz baru bangun, jadi nanti sehabis salat Jumat saja sekalian." Terang salah satu asatidz dengan menunjukkan jam di ponselnya. 

"Ya sudah kalau begitu, maaf ya. Terimakasih," jawab Ayman nyengir.

Gerumbulan santri yang melihat di sisi kamar milik Ayman juga bubar. Mereka semua sama penasaran dengan ustadz jeniusnya tersebut. Apalagi kabar menikahnya yang memang sudah tersebar di penjuru Pesantren. 

                              *** 

Panasnya sinar matahari siang ini, tak mengurangi semangat para wali santri untuk bertemu dengan putra putri mereka di Pesantren. Kesibukan yang mereka lakoni setiap hari pun rela di tinggalkannya sejenak, agar mereka bisa bertukar kabar dengan sanh buah hati. Dilain sisi, adapula santri yang tak pernah merasakan di jenguk orangtuanya dan mereka akan mengisi hari jumatnya dengan berbagai kegiatan. 

Sesampainya di depan ndalem kiai Dahlan, semua mata tertuju padanya. Ada yang berbeda, namun Ayman tetap berjalan menuju tempat para asatidz menemui pengasuh Pondok Pesantren Al Rahman tersebut. Tak berbeda dengan keadaan di dalam ndalem, tamu kiai Dahlan berbeda dengan tamu biasanya.

"Sini Le," ajak kiai Dahlan.

Ayman mengikuti kiai dahlan masuk di sebuah kamar. Dimana hati dan fikirannya langsung berfikir banyak hal. Matanya melirik kesana kemari, sambil mencari jawaban atas kegelisahannya.

"Langsung saja Le, kemarin orang tua Maisya sudah membatalkan pernikahan kalian. Kakekmu sudah tak kasih tahu hal itu dan beliau memasrahkan semuanya padaku," kata kiai Dahlan.

"Kamu tahu aku memanggilmu karena apa?" tanya kiai Dahlan lagi.

"Mboten Yai."

"Dari awal saya pengen menjodohkan kamu dengan Diajeng, guru lesnya Maya cucuku. Tapi kamu sudah berniat melamar Maisya," terang kiai dahlan, "Dan hari ini saya ingin menikahkan kalian, apa kamu mau?"

Ayman yang sedari tadi hanya menunduk itu mendongakkan kepala. Jantungnya seakan berhenti, mendengar pernyataan sang kiai. Mulutnya mendadak kaku.

"Saya tak memaksa Le, jika kamu setuju maka pernikahan dilaksanakan hari ini juga. Jika menolak juga tak masalah," ucap kiai Dahlan. 

Ayman masih terdiam, dia tak mengerti mau berkata apa. Jantungnya memompa cepat. Bahkan telapak tangannya berkeringat dan bergetar. 

Ayman sangat tahu, ucapan kiai Dahlan bukanlah permainan ataupun candaan. Jika sudah serius, maka hal itu seperti perintah. Kenapa harus secepat ini?

"Maaf Yai, di istikhorohi dulu bagaimana?" 

"Saya sudah istikharah tiga kali Le, hasilnya bagus."

"Kakek bagaimana Yai?" 

"Kakekmu masih perjalanan kemari. Beliau sudah setuju dan calonmu tak menentukan mahar yang akan kamu berikan itu berapa. Untuk saat ini semua keputusan ada di tanganmu." 

Ayman bertambah bimbang. Bahkan semuanya sudah menyetujuinya. Disaat dia masih mengharapkan persetujuan dari bu Tutik. 

Ayman sadar, perjuangannya hingga berada di titik saat ini bukanlah mudah. Kiai Dahlan adalah salah satu orang yang membuatnya sukses hingga saat ini. Namun dia masih bimbang akan pernikahannya hari ini. Hatinya masih terpaut pada sosok perempuan yang pernah di pinangnya.

"Jujur Yai, saya belum siap kalau harus menikah hari ini juga."

Kiai dahlan tersenyum lalu berkata, "istirahatlah, tenangkan hatimu dan fikirkan masa depanmu. Masalah kemarin jadikan pelajaran dalam mencari calon istri. Foto diajeng sudah saya kirimkan di ponselmu."

"Nggih Yai."

Setelah peninggalan kiai Dahlan, Ayman berbaring di kasur yang tersedia di sana. Dia tak berniat membuka ponselnya. Fikirannya semrawut dengan keadaan saat ini. Apalagi dia juga masih mempunyai tanggung jawab mengirimkan kafilah lomba di ajang perlombaan hari santri nasional bulan depan. 

Drrrt…

"3 Pesan dari Maisya?" gumam Ayman.

Assalamualaikum Ustadz.

Apa Kabar ustadz? Semoga ustadz tak sakit hati dengan ibuku.

Ustadz, apa Ustadz tak ingin memperjuangkan pernikahan kita lagi?

"Ya Allah, kenapa harus sulit berfikir sih!"

Ayman kembali melihat pesan yang tertera di ponselnya. Dibukanya pula pesan dari kiai dahlan. Terlihat foto seorang perempuan tersenyum simpul disana. Seakan tak begitu asing, dia memperjelas lagi foto tersebut.

"Sahabatnya Maisya?" 

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam Opa Oma." Jawab Ayman sembari mencium kedua tangan 

"Bagaimana kabarmu Nak?" tanya Oma Maimunah.

"Alhamdulillah baik Oma. Oma sendiri sehat terus kan," ujar Ayman.

Wanita yang di panggilnya Oma itu masih setia memeluk cucunya. Dia menangis sambil sesekali meraup wajah Ayman. Lamanya mereka tak saling jumpa, membuat oma meluapkan rasa rindu dan sayangnya pada sang cucu.

"Oma baik, Oma bahagia sekali. Akhirnya Oma di ajak Opa kesini berjumpa denganmu," kata oma. 

"Kamu menikah hari ini atau tidak? Jadilah lelaki yang gantle dan jangan melempem," tukas opa. 

"Ayman bingung Opa. Baru saja kemarin di tolak keluraga perempuan, eh sekarang dah mau nikah sama temannya," rengek Ayman.

Opa Iskandar, lelaki berkarisma yang selalu di hormati orang lain dimanapun tempatnya itu tertawa. Bukan lelucon, namun Ayman seprti mengingatkannya waktu muda. Bak pinang di belah dua, Ayman juga lebih mirip dengan dirinya daripada anak lelakinya, ayah Ayman.

"Berarti belum siap menikah? Opa akan bicarakan dengan kiai Dahlan." Kesal Opa sembari berdiri dari duduknya.

"Eh Opa, kog baperan sih. Kasih Ayman masukan lah," gerutu Ayman manja.

"Kalau kamu percaya sama Opa, maka akan menuruti semua perkataan Opa." 

Ayman menekuk wajah sendu. Dipeluknya sang oma yang selalu menggenggam tangannya itu. Disaat hatinya mulai goyah, perempuan paruh baya itu tetap menenangkan cucu lelaki satu-satunya.

"Menikah atau tidak ya?" gumam Ayman lirih.

                              ***

"Sah sah sah?"

"Sah."

"Alhamdulillah."

Wajah cantik nan ayu tersebut berurai air mata. Cinta yang di perjuangkanya di sepertiga malam, berakhir menjadi miliknya. Hati yang dulunya porak poranda oleh ketidak pastian, kini bersemi indah kembali. Senyum dibibirnya sudah menggambarkan perasaan bahagianya.

Dilain sisi, ada sosok yang menangis pilu. Lelaki yang mulai menghiasi hari-harinya telah menjadi milik sahabatnya. Sakit dan hancur melihat mereka saling menatap dalam diam. 

"Seharusnya aku yang berada di sana."

                              ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status