Hari semakin malam, para tamu juga sudah pulang. Tersisakan opa oma Ayman yang memang memutuskan untuk bermalam di pesantren. Sedangkan Diajeng pun memilih untuk kembali ke asramanya. Meski ning Maya sudah memintanya agar tidur bersamanya di ndalem, Diajeng masih dengan pendiriannya, apalagi suaminya tak ada ucapan apapun kepadanya.
Kiai Dahlan tak bisa memaksakan kehendak Ayman. Omanya yang sesama perempuan dengan Diajeng hanya mengomel sepanjang waktu. Namun Ayman tak menghiraukan itu. Dia hanya ingin menenangkan hatinya sendiri tanpa ada seseorang di sampingnya.
Diajeng tak pernah putus dari doanya, berharap Ayman segera membuka perasaannya. Berada dalam satu atap yang sama dan menjadi keluarga kecil bahagia. Tuhan itu maha adil, garis yang di rencanakanya lebih indah dari keinginan makhluknya.
"Eh, Ustadz Ayman jadi menikah sama Maisya itu kan sih Jeng?" tanya salah satu teman sekamar Diajeng.
Diajeng menggeleng, hatinya sakit. Meski tak ada santri yang mengetahui pernikahannya hari ini. Namun dia tetap memiliki perasaan tak rela, jika di tanya tentang suami dengan temannya. Yang di inginkan Diajeng adalah istrinya ustadz Ayman itu Diajeng.
"Kamu gak diundang Maisya?" tanya teman satunya lagi.
"Enggak. Sudahlah ayo tidur, besok aku harus ke ndalem pagi-pagi," pungkas Diajeng.
Diajeng membelakangi dua temannya tadi. Air matanya sudah tak bisa terbendung. Sesabarnya hatinya, sekuatnya perasaannya, dia hanyalah perempuan lemah yang telah lama menyimpan cinta pada seseorang seorang diri. Jika pun ada orang yang tahu, dialah Maisya.
***
Maisya terbangun bersamaan dengan sang suami yang sudah rapi memakai baju kokonya. Maisya tersipu, merasa malu karena bangun kesiangan. Rasa capek dan badan yang seperti remuk, membuat tidur maisya nyenyak sampai pagi.
"Mandi dulu, setelah itu kita jalan-jalan pagi sambil mencari sarapan," kata Rudi sangat lembut.
Maisya tersenyum, lalu beranjak dari tidurnya. Ada hal baru yang di rasakannya. Hatinya seperti tergelitik, bahagia dalam diam.
Ibu Tutik yang sejak sehabis shubuh sudah duduk di luar rumah itu akhirnya mendapatkan teman mengobrol. Tiga perempuan paruh baya itu ingin menunggu kang sayur di depan rumah ibu Tutik. Bukan tanpa alasan, karena rumah ibu Tutik adalah tempat kang sayur biasa mangkal.
"Loh pengantin baru mau kemana?" tanya ibu Tutik.
"Mau jalan pagi sebentar Bu," jawab Rudi sopan.
"Ya emang gitu, biar badannya lebih bugar dan sehat."
"Kami jalan dulu Bu," pungkas Maisya.
Semua mata tertuju pada dua pasangan hangat tersbut. Baru saja sekampung di hebohkan dengan penolakan ibu Tutik bersama Ayman. Sekarang malah menikahkan anaknya dengan anak camat. Tak sedikit masyarakat yang menggosipkan keluarga ibu Tutik, hingga banyak yang berbelanja di depan rumahnya dengan tujuan ingin mencari tahu kebenarannya.
"Rudi itu ganteng, kaya, sopan, anak dari keluarga terpandang. Gak kayak si Ayman, yang datang saja hanya sama kiainya. Mereka juga tak pernah bawa apapun ketika kesini," celoteh ibu Titik.
Ketiga temannya tersenyum masam, merasa akan di curhati oleh si empu rumah. Tetangga ibu Tutik sangat hafal, ibu Tutik bukan tipe perempuan pendiam dalam hal masalah baru. Semua akan di ungkit hingga akar tak berbekas. Dia juga akan sangat senang kalau ada orang lain yang kepo dengan kabar terbarunya.
"Ya memang sudah jodohnya dengan nak Rudi," jawab salah satu dari tiga tetangganya itu.
"Rudi juga sudah bergaji UMR. Dia jabatannya seorang HRD loh, gajinya besar. Kalau 10 juta sih ada, bahkan dia juga sering mendapatkan bonus dari bosnya."
Tak ada yang menyahut, tetangga ibu Tutik hanya mendengarkan dengan seksama saja. Mereka bukan tipe ibu-ibu RTkepo, tapi memang tujuannya hanya menunggu kang sayur saja. Naasnya, mwreka justru membuat ibu Tutik memamerkan menantunya bergaji besar.
"Di komplek sini gak ada kan yaa yang bergaji 10 juta sebulan. Pasti hanya menantuku saja."
"Iya, makanya di jaga menantunya biar gak hilang."
"Sudah pasti si Rudi sangat mencintai Maisya dong. Secara, anakku sangat cantik, tinggi semampai berlesung pipi dan kulitnya putih alami. Gak kayak depan rumahku, orang kaya tapi anaknya tetep berkulit coklat."
"Jangan begitu, Diajeng kan teman anakmu sejak kecil. Lagian nanti kalo ibunya Diajeng marah gimana, anaknya kamu hina."
"Lah, pada kenyataannya kan emang cantikan anak saya. Makanya berjodoh dengan si Rudi."
Depan rumah ibu Tutik adalah rumah Diajeng. Mereka bertetangga satu komplek. Ibu Tutik sendiri memang sudah terkenal dengan mulut lemes di komplek dan semua penghuni komplek juga akan di gosipkannya. Apalagi sejak ibu Tutik pulang dari merantau, sisi kesombongannya semakin terlihat.
Kang sayur tiba dan semua pelanggannya berdatangan. Bu Tutik juga mendekat, mencari memilih apa saja yang akan di masak. Tak sedikit, bu Tutik bahkan membuat tukang sayurnya kaget.
"Tumben belanja banyak, pasti ngebon." Kata kang sayur yang menatap ibu tutik lekat-lekat.
"Gak mungkin dong saya ngebon, menantu saya kan seorang HRD. Gajinya saja 10 juta satu bulan," sarkas ibu Tutik tak mau kalah.
"Kalo gitu, bayar dong hutang-hutangmu. Rugi aku," bentak kang sayur.
Kang sayur yang biasa mangkal di depan rumah ibu Tutik adalah warga asli komplek sana. Dia bernama Oman, mantan preman yang taubat dan beralih berdagang sayur untuk menghidupi keluarganya. Diantara semua penjual sayur lainnya, bang Oman adalah penjual yang pembelinya boleh kasbon. Dia juga berhati ibu peri yang suka memberi sayur gratis pada warga kurang mampu.
"Heh, gitu aja marah. Ini!"
Ibu Tutik pun pergi setelah memberikan 4 lembar uang berwarna merah kepada bang Oman. Bang Oman sendiri mengelus dada sambil beristighfar. Ibu-ibu yang lainnya merasa geram sendiri dengan kelakuan ibu Tutik yang sekarang. Semakin dia kaya semakin melonjat pula kesombongannya.
***
Diajeng menjadi kikuk berada di antara keluarga Ayman. Opa dan oma Ayman mengajak Diajeng beserta dengan Ayman untuk mencari tempat tinggal Ayman sementara. Meski Ayman selalu cuek, oma Maimunah tak pernah capek mengingatkan cucunya itu akan hadirnya Diajeng di kehidupannya saat ini.
Diajeng selalu bersyukur, dia memiliki nenek mertua yang sabar dan penuh kasih sayang. Oma Maimunah juga tak segan untuk mendahului diajeng mengobrol. Doa yang di panjatkannya selama ini, sudah terkabulkan semua. Bagi diajeng hanya satu yang belum bisa dimilikanya, hati Ayman untuknya.
"Kamu mau makan apa?" tanya Ayman pada Diajeng.
"Terserah apa saja boleh," jawab Diajeng menahan senyum.
Ayman yang di tolak kakek neneknya ketika ingin bergabung di ruangan vvip itu, terpaksa mengajak Diajeng duduk di pojok belakang. Viewsnya bagus, dengan nuansa pedesaan yang menyejukkan. Jika boleh meminta, Diajeng ingin menghabiskan waktu berdua seperti itu bersama Ayman.
"Ku harap kamu bisa bersabar. Aku akan berusaha membuka hati untukmu," kata Ayman membuka obrolan.
"Nggih."
"Kamu juga pasti sudah tahu, kalau aku di tolak ibunya Maisya karena uang bulanan yang tak bisa di tentukan." Ayman menghela nafas, "Apa kamu mau menemaniku mulai dari nol?"
Diajeng menatap mata hitam Ayman. Ada ketulusan yang dilihatnya. Diajeng sangat hafal bu Tutik sosok seperti apa. Diajeng juga tahu, sakit hatilah yang di rasakan Ayman saat itu.
Dianjeng mengangguk dan menjawab, "Aku akan menunggu dan akan menemani Ustadz menjalani kehidupan baru kita nanti. Jangan risaukan uang nafkah, berapaun yang Ustadz berikan, aku akan menerimanya dengan senang hati."
Mata Ayman berkaca-kaca, tanpa di sadarinya Ayman memeluk Diajeng erat. Diajeng kaget, namun dia juga membalas pelukan Ayman. Diajeng pun ikut menangis bahagia.
"Mungkin dari sinilah kita memulai dari awal,"
****
Diajeng, gadis manis itu terlahir dari rahim permpuan bernama Anjani. Ayahnya bernama Bayung Prasetyo, pemilik usaha laundry terbesar di kotanya. Meski terkenal dari keluarga kaya raya, Diajeng selalu di ajarkan oleh orang tuanya untuk selalu merendahkan hatinya. Jika pun berteman, orang tuanya selalu berpesan agar tak membeda-bedakan semua temannya, baik kaya atau miskin. Diajeng bukan tipe perempuan berkulit putih, tinggi semampai. Dia bertubuh kecil sedikit gemuk, wajahnya manis tak membuat mata bosan memandang. Hal tersebut menurun dari ayahnya, yang memang terlahir dari keluarga berkulit sawo matang. Teman kecil Diajeng adalah Maisya. Rumah mereka juga berhadapan. Maisya kecil tak pernah mempunyai teman. Ibunya yang sombong dan suka marah teriak-teriak, mambuat teman-teman Maisya menjauhinya. Berbeda dengan Diajeng, dia selalu mengajak Maisya bermain, agar Maisya bisa merasakan masih mempunyai teman.Sejak kecil Diajeng sudah di karuniai otak cemerlang. Karep kali dia mengikuti
Bersama kiai Dahlan, Ayman datang dengan semangat kerumah calon istrinya. Malam itu pun, Ayman di sambut oleh keluarga besar Maisya. Tak hanya Ayman, Maisya juga terlihat menyembunyikan kebahagiaannya di balik senyum malu-malunya. Dari pihak Ayman, mahar yang akan di berikan sebesar 2 juta. Namun keluarga Maisya juga ternyata sudah membuat keputusan, kalau maharnya harus berupa uang yang jumlahnya 100 juta beserta seserahannya. Ayman juga harus menyanggupi uang bulanan 10 juta dan perawatan untuk Maisya. Ibu Tutik, ibunya Maisya hanya memandang Ayman dengan sinis. Sejak awal kedatangan Ayman, Tutik tak ikut semringah menyambut calon menantunya itu. Padahal dia baru pertama kali bertemu sejak kepulangannya dari merantau di luar negri. "Bukankah dulu Maisya tak mematok banyaknya mahar? Kenapa baru di tentukan sekarang Maisya?" tanya Ayman. "Dulu memang dia tak menentukan tapi sekarang berbeda. Pihak perempuan harus mendapatkan banyak mahar dari lelaki," jawab ibu Tutik sembari menga
Setelah jamaah Ashr di masjid Pesantren, Ayman bergegas ke rumah kiai Dahlan. Rasa gugup, kalut, bahagia dan sedih menyelimuti hati dan pikiran Ayman. Hingga tanpa tersadari, dia menabrak seseorang yang berjalan di depannya. BruaaakkKlontang klontang klontang"Hah, jantungku copot!" jerit santriwati tersebut."Maaf Mbak saya gak sengaja," kata Ayman sembari mengatupkan kedua tangannya di depan dada, "Mbak saya di tunggu pak Kiai. Sekali lagi saya mohon maaf dan permisi." Perempuan yang di tabrak Ayman hanya terdiam dan mengangguk saja. Matanya masih terbelalak memandang seseorang yang ada di depannya. Ingin sekali perempuan tersebut memakinya, namun mulutnya seperti terkunci. Melihat pesona fans berat para santri putri dengan sopannya meminta maaf. ***"Tak ingin memperpanjang permasalahan, saya hanya mau mengatakan kalau pernikahan Maisya denganmu saya batalkan," ucap ibu Tutik santai.Semua orang yang berada dalam pertemuan tersebut kaget. Tak terkecua
Lantunan sholawat nabi terdengar mengudara di seantero pesantren. Semua santri bergotong royong membersihkan area Pesantren. Dari asrama hingga halaman sampai di kamar mandi. Tak ada tempat secuil pun yang luput dari tangan-tangan sejuk mereka. Lantunan sholawat di alunkan dari saund yang berada di depan madrasah, agar para santri lebih semangat dan gak merasa capek.Hari jumat sangatlah di tunggu-tunggu oleh para santri. Hari dimana mereka bebas dari hafalan, pelajaran maupun kajian. Mereka bisa bersantai menghabiskan waktu senggang dengan berbagai olahraga atau ektrakurikuler lainnya yang mereka sukai.Berbeda dengan para santri lainnya, Ayman malah meringkuk dalam selimut. Pikiran suntuk, hati sedih dan badan yang terlalu capek membuatnya masih ingin tertidur pulas. Dinikmatinya surganya seorang santri ketika sudah bertemu dengan bantal dan selimut. Brakk brakk brakk "Ustadz Ayman!""Ustadz Ayman!""Mas Ayman.""Maaas."Brakk brakk brakkTog tog togSejak pagi beberap asatidz ber
Tak mengenal satu sama lain, Ayman dan Diajeng saling diam. Pernikahan mereka adalah keinginan banyak orang, namun tidak dengan Ayman. Meski sudah tak begitu terfikirkan oleh Maisya, Ayman sebenarnya ingin lebih fokus pada pengiriman peserta perwakilan lomba bulan depan. Namun pada kenyataannya semua hanya keinginan belaka.Ayman tak tahu harus berbuat apa. Banyaknya tamu di kediaman kiai Dahlan membuatnya masih terselamatkan. Entahlah, dia akan seecepatnya membuka hatinya lagi atau malah sebaliknya. Diajeng mengerti, Ayman sangat terpaksa menikah dengannya. Bahkan Ayman seakan enggan duduk bersampingan dengannya. Ayman juga langsung menjauhi Diajeng, ketika penghulu telah berpamitan pulang. Senyum semringah Ayman pun hanya karena ada Omanya yang terlihat bahagia. Diajeng merasa bersalah dan tak ingin berada di posisinya seperti saat ini."Ajak istrimu ke kamar yang tadi Nak," bisik Oma."Gak mau. Ngapain Oma!"gerutu Ayman tak kalah lirihnya.Oma Maimunah tertawa, dia hanya ingin men