Share

Part 5 Gaji UMR

Hari semakin malam, para tamu juga sudah pulang. Tersisakan opa oma Ayman yang memang memutuskan untuk bermalam di pesantren. Sedangkan Diajeng pun memilih untuk kembali ke asramanya. Meski ning Maya sudah memintanya agar tidur bersamanya di ndalem, Diajeng masih dengan pendiriannya, apalagi suaminya tak ada ucapan apapun kepadanya.

Kiai Dahlan tak bisa memaksakan kehendak Ayman. Omanya yang sesama perempuan dengan Diajeng hanya mengomel sepanjang waktu. Namun Ayman tak menghiraukan itu. Dia hanya ingin menenangkan hatinya sendiri tanpa ada seseorang di sampingnya. 

Diajeng tak pernah putus dari doanya, berharap Ayman segera membuka perasaannya. Berada dalam satu atap yang sama dan menjadi keluarga kecil bahagia. Tuhan itu maha adil, garis yang di rencanakanya lebih indah dari keinginan makhluknya.

"Eh, Ustadz Ayman jadi menikah sama Maisya itu kan sih Jeng?" tanya salah satu teman sekamar Diajeng. 

Diajeng menggeleng, hatinya sakit. Meski tak ada santri yang mengetahui pernikahannya hari ini. Namun dia tetap memiliki perasaan tak rela, jika di tanya tentang suami dengan temannya. Yang di inginkan Diajeng adalah istrinya ustadz Ayman itu Diajeng.

"Kamu gak diundang Maisya?" tanya teman satunya lagi.

"Enggak. Sudahlah ayo tidur, besok aku harus ke ndalem pagi-pagi," pungkas Diajeng. 

Diajeng membelakangi dua temannya tadi. Air matanya sudah tak bisa terbendung. Sesabarnya hatinya, sekuatnya perasaannya, dia hanyalah perempuan lemah yang telah lama menyimpan cinta pada seseorang seorang diri. Jika pun ada orang yang tahu, dialah Maisya.

                               ***

Maisya terbangun bersamaan dengan sang suami yang sudah rapi memakai baju kokonya. Maisya tersipu, merasa malu karena bangun kesiangan. Rasa capek dan badan yang seperti remuk, membuat tidur maisya nyenyak sampai pagi.

"Mandi dulu, setelah itu kita jalan-jalan pagi sambil mencari sarapan," kata Rudi sangat lembut.

Maisya tersenyum, lalu beranjak dari tidurnya. Ada hal baru yang di rasakannya. Hatinya seperti tergelitik, bahagia dalam diam.

Ibu Tutik yang sejak sehabis shubuh sudah duduk di luar rumah itu akhirnya mendapatkan teman mengobrol. Tiga perempuan paruh baya itu ingin menunggu kang sayur di depan rumah ibu Tutik. Bukan tanpa alasan, karena rumah ibu Tutik adalah tempat kang sayur biasa mangkal.

"Loh pengantin baru mau kemana?" tanya ibu Tutik.

"Mau jalan pagi sebentar Bu," jawab Rudi sopan.

"Ya emang gitu, biar badannya lebih bugar dan sehat."

"Kami jalan dulu Bu," pungkas Maisya.

Semua mata tertuju pada dua pasangan hangat tersbut. Baru saja sekampung di hebohkan dengan penolakan ibu Tutik bersama Ayman. Sekarang malah menikahkan anaknya dengan anak camat. Tak sedikit masyarakat yang menggosipkan keluarga ibu Tutik, hingga banyak yang berbelanja di depan rumahnya dengan tujuan ingin mencari tahu kebenarannya.

"Rudi itu ganteng, kaya, sopan, anak dari keluarga terpandang. Gak kayak si Ayman, yang datang saja hanya sama kiainya. Mereka juga tak pernah bawa apapun ketika kesini," celoteh ibu Titik.

Ketiga temannya tersenyum masam, merasa akan di curhati oleh si empu rumah. Tetangga ibu Tutik sangat hafal, ibu Tutik bukan tipe perempuan pendiam dalam hal masalah baru. Semua akan di ungkit hingga akar tak berbekas. Dia juga akan sangat senang kalau ada orang lain yang kepo dengan kabar terbarunya.

"Ya memang sudah jodohnya dengan nak Rudi," jawab salah satu dari tiga tetangganya itu.

"Rudi juga sudah bergaji UMR. Dia jabatannya seorang HRD loh, gajinya besar. Kalau 10 juta sih ada, bahkan dia juga sering mendapatkan bonus dari bosnya."

Tak ada yang menyahut, tetangga ibu Tutik hanya mendengarkan dengan seksama saja. Mereka bukan tipe ibu-ibu RTkepo, tapi memang tujuannya hanya menunggu kang sayur saja. Naasnya, mwreka justru membuat ibu Tutik memamerkan menantunya bergaji besar.

"Di komplek sini gak ada kan yaa yang bergaji 10 juta sebulan. Pasti hanya menantuku saja."

"Iya, makanya di jaga menantunya biar gak hilang."

"Sudah pasti si Rudi sangat mencintai Maisya dong. Secara, anakku sangat cantik, tinggi semampai berlesung pipi dan kulitnya putih alami. Gak kayak depan rumahku, orang kaya tapi anaknya tetep berkulit coklat." 

"Jangan begitu, Diajeng kan teman anakmu sejak kecil. Lagian nanti kalo ibunya Diajeng marah gimana, anaknya kamu hina."

"Lah, pada kenyataannya kan emang cantikan anak saya. Makanya berjodoh dengan si Rudi." 

Depan rumah ibu Tutik adalah rumah Diajeng. Mereka bertetangga satu komplek. Ibu Tutik sendiri memang sudah terkenal dengan mulut lemes di komplek dan semua penghuni komplek juga akan di gosipkannya. Apalagi sejak ibu Tutik pulang dari merantau, sisi kesombongannya semakin terlihat.

Kang sayur tiba dan semua pelanggannya berdatangan. Bu Tutik juga mendekat, mencari memilih apa saja yang akan di masak. Tak sedikit, bu Tutik bahkan membuat tukang sayurnya kaget.

"Tumben belanja banyak, pasti ngebon." Kata kang sayur yang menatap ibu tutik lekat-lekat.

"Gak mungkin dong saya ngebon, menantu saya kan seorang HRD. Gajinya saja 10 juta satu bulan," sarkas ibu Tutik tak mau kalah.

"Kalo gitu, bayar dong hutang-hutangmu. Rugi aku," bentak kang sayur.

Kang sayur yang biasa mangkal di depan rumah ibu Tutik adalah warga asli komplek sana. Dia bernama Oman, mantan preman yang taubat dan beralih berdagang sayur untuk menghidupi keluarganya. Diantara semua penjual sayur lainnya, bang Oman adalah penjual yang pembelinya boleh kasbon. Dia juga berhati ibu peri yang suka memberi sayur gratis pada warga kurang mampu.

"Heh, gitu aja marah. Ini!" 

Ibu Tutik pun pergi setelah memberikan 4 lembar uang berwarna merah kepada bang Oman. Bang Oman sendiri mengelus dada sambil beristighfar. Ibu-ibu yang lainnya merasa geram sendiri dengan kelakuan ibu Tutik yang sekarang. Semakin dia kaya semakin melonjat pula kesombongannya. 

                             ***

Diajeng menjadi kikuk berada di antara keluarga Ayman. Opa dan oma Ayman mengajak Diajeng beserta dengan Ayman untuk mencari tempat tinggal Ayman sementara. Meski Ayman selalu cuek, oma Maimunah tak pernah capek mengingatkan cucunya itu akan hadirnya Diajeng di kehidupannya saat ini. 

Diajeng selalu bersyukur, dia memiliki nenek mertua yang sabar dan penuh kasih sayang. Oma Maimunah juga tak segan untuk mendahului diajeng mengobrol. Doa yang di panjatkannya selama ini, sudah terkabulkan semua. Bagi diajeng hanya satu yang belum bisa dimilikanya, hati Ayman untuknya. 

"Kamu mau makan apa?" tanya Ayman pada Diajeng. 

"Terserah apa saja boleh," jawab Diajeng menahan senyum.

Ayman yang di tolak kakek neneknya ketika ingin bergabung di ruangan vvip itu, terpaksa mengajak Diajeng duduk di pojok belakang. Viewsnya bagus, dengan nuansa pedesaan yang menyejukkan. Jika boleh meminta, Diajeng ingin menghabiskan waktu berdua seperti itu bersama Ayman.

"Ku harap kamu bisa bersabar. Aku akan berusaha membuka hati untukmu," kata Ayman membuka obrolan.

"Nggih."

"Kamu juga pasti sudah tahu, kalau aku di tolak ibunya Maisya karena uang bulanan yang tak bisa di tentukan." Ayman menghela nafas, "Apa kamu mau menemaniku mulai dari nol?"

Diajeng menatap mata hitam Ayman. Ada ketulusan yang dilihatnya. Diajeng sangat hafal bu Tutik sosok seperti apa. Diajeng juga tahu, sakit hatilah yang di rasakan Ayman saat itu. 

Dianjeng mengangguk dan menjawab, "Aku akan menunggu dan akan menemani Ustadz menjalani kehidupan baru kita nanti. Jangan risaukan uang nafkah, berapaun yang Ustadz berikan, aku akan menerimanya dengan senang hati." 

Mata Ayman berkaca-kaca, tanpa di sadarinya Ayman memeluk Diajeng erat. Diajeng kaget, namun dia juga membalas pelukan Ayman. Diajeng pun ikut menangis bahagia. 

"Mungkin dari sinilah kita memulai dari awal,"

                          ****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status