Para santri putra putri duduk khusyuk mengikuti doa bareng dan dzikir bersama dalam rangka pelepasan santri yang mengikuti perlombaan di Jawa Timur. Mereka yang terpisah oleh ndalem pak kiai dan putra putrinya itu tetap bisa mengikuti acara dengan di sambungkan. Di aula putri terpampang layar besar yang bisa di saksikanya semua rangkain acaranya. Perwakilan dari santri putri yang mengikuti ajang perlombaan kali ini juga sudah siap dan mengikuti acara. Ada sepuluh santriwati termasuk Diajeng. Diajeng bersanding dengan ibunyai lalu baru di susul temannya lainnya.Di layar yang terpampang lebar, terlihat dengan jelas Ayman dengan takdzim mengikuti dzikir. Diajeng tersenyum simpul mengetahui suaminya tersorot kamera itu menjadi buah bibir di kalangan para santriwati. Mereka menyadari kalau Diajeng bahagia melihat kekasihnya dari dalam layar. "Mereka bakalan berangkat bareng loh. Disana akan ketemu terus.""Ya Allah, meleleh hati ini Bang""Mbak Ajeng beruntung banget sih.""Aku juga pen
"Diajeng, itu ustadz Ayman di pojokin loh.""La terus?" Diajeng menguap lalu memperhatikan sekelilingnya. Semua mata tertuju padanya tak terkecuali Ayman. Wajah kerengnya terlihat begitu angker. Diajeng kebingungan untuk menanggapinya. "Kenapa lihatin aku?" tanya Diajeng. "Maklumlah cewek manis banyak yang ngincer." Gurau Diajeng sembari menyelonong ke toilet. "Kenapa ga ada yang berani ngetawain Ustadz Ayman ketika Diajeng melek?" seloroh salah satu santri putra. Mereka semua bubar dan bergantian melaksanakan salat ashr. Diajeng yang sudah salat terlebih dahulu, dia segera melipir mencari penjual makanan. Dia memang suka memasak, namun dia juga menyukai jajanan pinggir jalan. Setelah memborong jajanan untuknya dan semua temannya, Diajeng kembali ke tempatnya semula. Disana teman-temannya hanya mengobrol satu sama lain. Sembari menunggu adzan Maghrib, Diajeng pun mengajak teman-temannya beristirahat di taman samping masjid. Ayman yang mengetahui Diajeng memborong banyak makanan
Diajeng mendapatkan nomor urut paling belakang. Peserta yang kalau di total ada 50 anak itu membuatnya membuang napas pasrah. Dia akan merasa kelelahan sendiri menunggu gilirannya. Malam ini ada gebyar Sholawat yang selenggarakan oleh tuan rumah. Diajeng melipir sendirian mencari para penjual makanan. Diajeng sengaja memisah dari temannya, agar dia bisa menikmati kesendiriannya. Diajeng kembali memborong semua jajanan yang ada di sana. Dia tahu, tak semua temannya mempunyai uang saku banyak. Apalagi dia yang memang selalu berkecukupan dalam hal uang. Diajeng dari awal memang berniat membeli semua aneka jajanan, dia pun membawa tas plastik besar sendiri. Beraneka macam jajanan masuk semua. Dengan bahagianya dia menenteng dan kembali menyusuri setiap sudut stand. "Diajeng? Kog sendirian.""Loh, Ustadz Ayman." "Borong jajan lagi? Sini aku bawakan."Ayman segera mengambil alih apa yang di bawa Diajeng. Diajeng dengan senang hati mengangsurkannya. Mereka lalu berjalan berdua sembari b
Air mata Ayman menetes begitu saja saat mengetahui Diajeng masuk ke babak final. Ingin sekali dia memeluk istrinya saat itu juga, namun di sampingnya ada Faisal yang ikut menyaksikan perlombaan Diajeng. Faisal menahan tawa ketika tatapan Ayman tak di balas oleh Diajeng. Diajeng pun langsung balik ke asrama yang di tempatinya dengan perasaan bahagia. Teman-temannya yang lain juga munyambautnya dengan penuh suka cita. Tak hanya Diajeng, sebagian temannya juga ada yang masuk ke babak final. ***"Assalamualaikum." Teriakan Rudi dari depan membuat Maisya dan ibu Tutik terlonjak kget. "Waalaikumussalam, sudah pulang Mas." Sambut Maisya sambil menyalaminya. "Iya sayang, oh ya kita dapet undangan loh sekeluarga ke resepsi pernikahani keluarga bos aku. Nanti kita berangkat sama-sama ya." "Wahh, boleh tuh. Kapan acaranya mas," pekik Maisya."Tanggal 15 besok.""Oke mas." ***Acara resepsi yang di adakan oleh keluarga Ayman dan Diajeng
Surakarta ke kota Malang bukanlah waktu yang singkat. Apalagi bagi yang hanya mau berwisatawan saja. Jika tidak seperti saat ini, tidak mungkin mereka bisa dengan segera pergi ke Malang. 4 hari berada di kota Malang, sudah saatnya Diajeng dan yang lainnya kembali ke Surakarta. Hari ini adalah hari terakhir di ajang perlombaan nasional se Jawa. Setelah semua beres, Diajeng dan lainnya akan langsung berlibur sehari di kota Malang. Pagi itu Diajeng dan semua santri yang masuk ke babak final sudah berada di tempatnya masing-masing. Tak jauh berbeda dengan sebelumnya, Diajeng mendapatkan nomor urut paling akhir. Dengan sabarnya Ayman pun ikut mendampingi istrinya dengan jarak yang telah di tentukan oleh panitia. ***Maisya, ibu Tutik dan juga ibu Dini sudah berada di dalam mobil. Niat hati, Rudi ingin mengajak mereka ke sebuah butik terkenal di kotanya. Dia ingin semua anggota keluarganya memakai baju yang pantas untuk di pakai ketika pernikahan keluarga bo
Kebahagiaan tengah di rasakan oleh semua santri yang berada di Malang. Mereka bisa menikmati kebebasan memetik buah apel sesukanya. Selain itu, mereka pun di ajak ke beberapa wisata alam yang berada di sana. Para delegasi perwakilan dari pesantren Al-Rahman tersebut belum ada yang pernah bermain di kota Malang. Mereka yang kebanyakan dari kota Jawa Tengah sendiri itu hanya bisa membayangkan betapa indahnya kota Malang. Bahkan mereka sempat ragu ketika di ajaknya memasuki area wisata, takut tiket mahal dan uang mereka tak cukup. Sore harinya, Diajeng mengajak semua temannya satu bus untuk makan di cafe terdekat. Tak hanya mengajak saja, Diajeng bahkan mentraktir teman-temannya itu untuk makan sepuasnya dan sekenyang mereka. Tanpa harus memilih makanan dengan ragu karena harga. Setelah puas bermain, sore itu Diajeng meminta sopir agar mampir di cafe yang mempunyai view indah. Diajeng ingin mentraktir semua temannya. Namun setelah sampai di cafe yang telah di tentukan santri putra dan
Suara para santri yang sedang beraktivitas di aula mushola putri itu terdengar bergemuruh. Sembari menunggu kedatangan pak kiai mengisi pengajian di sore hari. Mereka saling memutholaah menyimak satu sama lain kajian kemarin sore. Di ndalem, pak kiai merasa sungkan hendak meninggalkan tamu di depannya. Pengajian yang seharusnya sudah di mulai itu terpaksa harus di liburkan. Ibunyai yang tak mau menemui tamu tersebut malah membiarkan pak kiai mengatasinya sendiri. "Mungkin rombongan Ayman akan tiba esok pagi. Kalau kalian mau bicara langsung, kalian bisa kembali esok." Jelas pak kiai pada mereka. "Tak bisakah kita menelfon mereka agar cepat pulang saja Pak Kiai?" kekeh seorang ibu paruh baya yang hendak menemui Ayman. "Mohon maaf Pak Bu, mereka mempunyai tanggung jawab besar membawa para peserta lomba itu. Jadi kita tunggu saja kepulangannya. Saya tak mau memberikan beban apapun lagi kepada mereka di sana, karena mereka juga sedang berjuang bukan hanya liburan saja." "Baiklah Pak
Sifa memaksa kedua orang tuanya untuk keluar aula. Dia menyadari jika semua temannya itu kelelahan. Meski hatinya hancur, Sifa tetap harus mengajak kedua orangtuanya menjauh dari teman-temannya untuk saat ini. Setelah menarik paksa mama tirinya ke kamar tamu yang sudah di tempati sebelumnya, Sifa pun mengunci mereka dari luar. Sifa menghela nafasnya panjang, lalu kembali ke tempat istirahatnya. Disana, Diajeng sudah menunggu kedatangan Sifa dengan menyiapkan bantal untuknya tidur. "Besok kita lanjut lagi ya, aku ke ndalem dulu." ***"Kenapa kamu meninggalkanku Mas?" Tanya Maisya menangis. Rudi terdiam tak menjawab, mendengar menantunya ibu Dini malah melengos. Ibu Tutik yang baru keluar dari galery tergopoh-gopoh melihat putrinya menangis. Di tak tahu apa kalau putrinya mempermalukan dirinya sendiri di depan umum. "Udah jangan menangis, nanti Ibu belikan." "Memangnya Ibu mampu?""Pantas saja dulu dia gak punya teman. La anak sama emaknya aja sama." G
Maisya bersama suaminya tengah mengantri untuk cek kandungan di rumah sakit terdekat. Mereka sangat bersemangat karena ingin sekali mengetahui perkembangan sang janin di dalam perut. Banyak sekali perubahan yang di rasakan oleh Maisya, walaupun masih dia masih trimester awal.Dokter yang akan menangani maisya masih belum datang. Walaupun mendapatkan nomor antrian pertama, jam terbang sang dokter molor hingga satu jam lebih. Bahkan maaiya sudah berulangkali mengeluh kecapekan duduk. "Makan dulu," ucap Rudi. Dengan senang hati Maisya membuka mulutnya menerima suapan dari suami tercinta. Pasangan yang menjadi pusat perhatian banyak orang karena sifat maisya yang selalu manja pada suaminya. Bahkan ada yang senyum-senyum malu sendiri melihat kelakuan Maisya. "Manis mas, seperti cintamu yang tak pernah pudar untukku." "Dan kamu adalah obatku agar tak sampai menderita diabet." Maisya tertawa mendengar gombalan Rudi yang garing tanpa ekspresi di dalamnya. Sampai mereka tak menyadari kala
Siska juga Udin berusaha untuk kabur dari ruangan satpam. Mereka baru akan di lepaskan kalau benar-benar sudah menyadari kesalahannya. Berulangkali baik Siska Maupun Udin ingin memukul satpam yang ada di sana. Sesampainya di depan ruang operasi, Siska dan Udin di kagetkan dengan kedatangan budhe Yeni yang merupakan tetangga sebelah rumahnya. Keduanya menjadi salah tingkah dan sungkan kepada orang yang selama ini selalu menolongnya. Budhe Yeni yang tak menyadari kedatangan pasangan suami istri itu masih tetap mengobrol dengan perempuan muda yang pemikirannya sangat luas nan terbuka. Budhe Yeni menoleh ketika Bu Siska memanggilnya. Diajeng dengan cepat langsung mengabari suaminya kalau kedua orang tua Risma sudah berada di sana. Bagaimanapun mereka, kedua pasangan suami istri itu berhak mengetahui keadaan putrinya. "Budhe Yeni ngapain disini?" tanya Siska basa basi. "Hanya ingin membesuk Risma." Jawab budhe Yeni singkat. "Bagaimana keadaan Risma Sifa?" "Kritis.""Kritis? Ya Allah
Diajeng tengah menjaga Risma di ruang tunggu operasi sendirian. Dr. Mila juga Sifa sedang berganti pakaian dan melaksanakan ibadah. Tiba-tiba seorang perempuan paruh baya datang menghampirinya sambil menangis. "Nak, kamu yang sedang menunggui Risma?" tanya sang ibu. "Saya Ibu Yeni Ibunya Joko Nak, tadi Joko pamit mau membesuk Risma yang mau melahirkan." "Iya Bu, mari silahkan duduk dulu Bu." Diajeng pun mengangsurkan air putih untuk menenangkan Bu Yeni. Terlihat dari penampilannya yang sangat rapi, Bu Yeni bukan dari kalangan biasa. Walaupun Tanpa make up apapun di wajahnya, Bu Yeni masih tampak cantik di usianya yang sudah tak muda lagi."Apakah Joko di dalam Nak?" Diajneg menggeleng dan berkata,"Ibu tenang dulu ya, istirahat dulu disini sama saya." Ibu Yeni sangat cemas akan keadaan sang putra. Bahkan sisa air matanya masih nampak jelas di wajah ayunya. Beberapa kali Bu Yeni menghembuskan nafasnya perlahan dan membaca istighfar. "Bu, kondisi Risma saat ini masih kritis. Dia k
Ayman dan ustadz Faris membawa Joko ke taman rumah sakit. Setelah melaksanakan kewajiban sebagai umat manusia, Ayman juga Faris langsung meluncur ke rumah sakit lagi. Semua keperluan Sifa juga dr Mila telah di siapkan Ning Maya. Di taman hanya ada beberapa orang saja, membuat Ayman juga ustadz Faris merasa lebih nyaman. Bukannya tak tahu kondisi, Ayman juga ustadz Faris langsung menangani kasus Risma hati itu juga. Bagi pengurus pesantren yang sudah hafal dengan peraturan pesantren, melanggar peraturan pesantren sampai hamil dan melahirkan adalah jenis pelanggaran yang paling berat. "Kamu kenapa bisa yakin kalau anak yang di lahirkan oleh Risma itu darah dagingmu?" tanya ustadz Faris mengawali. "Ceritanya sangat panjang Mas," jawab Joko."Kamu ceritakan saja semuanya, karena pengurus pesantren juga merasa di rugikan dengan hal ini." "Maaf Mas, jangan hukum Risma." "Untuk itu kami butuh penjelasannya Joko." Joko menghembuskan nafasnya kasar. Pandangannya lurus ke depan seakan sed
Pak Udin masih di tahan di pos satpam. Emosinya yang masih naik turun itu terkadang ingin memukul satpam yang tengah berjaga. Entah karena apa beliau seperti itu, padahal dulunya beliau adalah lelaki berhati lembut nan dermawan. Namun kedermawanan yang beliau milikilah awal dari semua bencana yang ada dalam hidupnya. Ayman juga Faris telah kembali ke pesantren. Makanan yang di beli oleh ustadz Faris juga telah di serahkan kepada para perempuan yang masih berjaga di rumah sakit. Mereka sebagai santri yang di naungi oleh sosok pak kiai, sudah seyogyanya untuk mengabarkan perihal masalah apapun yang ada di pesantren. Sesampainya di pesantren, mereka langsung menuju ke ndalem pak kiai. Mereka di sambut dengan wajah sendu pak kiai juga ibunyai. Disana juga sudah ada Ning Maya yang ikut menunggu kedatangan perwakilan pesantren. "Bagaimana Nak? Kenapa santri putri itu bisa pendarahan?" tanya ibu nyai."Sebelumnya kami mohon maaf pak kiai, semua itu diluar kendali pengurus. Risma, perempua
Pak Udin ayahnya Sifa membentak anaknya di depan umum. Lelaki yang sebelumnya pernah mencintai anaknya sepenuh hati itu berubah seperti monster mengerikan. Tanpa rasa sungkan ataupun malu dilihat banyak orang, Udin menjambak kerudung putri sulungnya tanpa kasihan. Sifa tersenyum penuh luka. Ayman berusaha melepaskan tangan Udin dan menenangkannya agar bicara baik-baik. Namun Udin seolah kesetanan lalu menampar kedua pipi putrinya sangat keras. Diajeng yang berada di sebelah Sifa pun langsung memeluk sahabatnya. Sakit dan kecewanya sebagai anak ikut di rasakannya oleh Diajeng. Diajeng sesenggukan menenangkan sang sahabat yang terdzolimi oleh orangtuanya sendiri. Dr Mila dengan sigapnya langsung berlari memanggil satpam. Dua satpam yang baru datang pun langsung meringkus Udin dan membawanya keluar. Mereka kembali menjadi pusat perhatian banyak orang, hingga membuat kegaduhan di lobi rumah sakit. "Dia itu anak saya, jadi terserah saya dan itu hak saya." Kata Udin yang berusaha melep
Hujan deras tetap di terobos oleh Rudi, dalam hati dan otaknya hanya terpusatkan akan kegaduhan istrinya. Maisya yang sejak hamil selalu cemburu padanya itu membuat Rudi semakin mencintai istrinya. Gadis yang mampu separuh mencuri separuh hatinya, sampai dia bisa menjadi pemenang hingga menikahinya. Sesampainya di rumah sang istri, Rudi mendapati Maisya sedang makan rujak di temani kedua orangtuanya. Perempuannya itu langsung menyambut suaminya dengan berhambur memeluknya. Lelah seharian dengan pikiran buntunya itu pada akhirnya berbuah kebahagiaan. Rudi bisa tersenyum lega melihat istrinya bermanja lagi kepadanya. Tanpa rasa malu ataupun sungkan, Rudi menggendong istrinya bak anak kecil yang baru bertemu dengan ibunya. Ayah mertuanya hanya terkekeh sedangkan ibu mertuanya tersenyum bahagia. "Assalamualaikum, widiiih. Bayinya mintak nen," celetuk Bagas tiba-tiba, "Kalau lihat yang tadi dan sekarang, jadi bimbang mau nikah.""Hust, mulutnya." "Sono ke kamar," usir Bagas. "Sewot ba
Sesampainya di rumah sakit terdekat, Diajeng panik sendiri melihat kondisi Risma. Dr Mila belum menjelaskan apapun, Risma yang tampak lemas tak berdaya dan pucat itu membuatnya bingung sendiri. Hanya Sifa saja yang dengan santainya menunggu dokter keluar dari ruang IGD. "Sifa, adik kamu sebenarnya sakit apa? Kog gejalanya seperti orang hamil," celetuk dr Mila."Emang hamil Dok, ya wajar kalau pendarahan. Mungkin mau melahirkan," jawab Sifa."Hamil? Risma hamil? Kamu kog malah membiarkan dia berada di pesantren. Kamu tahu sendiri resiko yang akan di tanggungnya kan," geram dr. Mila."Aku sendiri aja baru tahu pagi tadi dari Diajeng," cicit Sifa."Diajeng," cecar dr. Mila."Ibunya sendiri yang bilang Dok, baru tadi malem. Nanti kita tanyakan dia saja ya Dok," pungkas Diajeng."Saudari Sifa," panggil dokter. "Lah, kenapa harus aku sih Dok." Protes Sifa sambil beranjak dari duduknya. "Maaf Dok, kita perwakilan dari saudari Risma, jadi kalau untuk penjelasannya kita harus tahu semuanya.
Sesampainya di rumah, ibu Tutik di bantu pak supir membawa Maisya yang tengah tidur karena kelelahan. Berulangkali Maisya bergumam ketakutan dalam tidurnya. Ibu Tutik memahami putrinya, hormon seorang ibu hamil yang tak bisa di tebak. Walaupun sedikit kesal dengan tingkah anaknya, namun ibu Tutik juga tak bisa menyalahkannya."Ibuuuu," panggil Maisya. "Kamu sudah bangun," jawab itu Tutik. "Kog sudah di rumah saja Bu, mas Rudi mana? Bu, kalau aku di selingkuhin bagaimana ini huhu," rengek Maisya."Di selingkuhin ya cari laki lain toh Sya. gitu aja dipikirin," sewot ibu Tutik."Tapi Bu…""Kamu mau makan gak? Ibu sudah siapin." ***"Kamu pesan segini banyaknya? Menyala kasirku," gerutu Diajeng."Aku kan pengen nyoba Jeng, kamu gitu banget kalo sama aku. Besok-besok juga kamu gak bakalan khilaf ngebolehin aku pesan sendiri," Sendu Sifa."Ini mah ngrampok namanya," kekeh Diajeng.Sifa memesan 10 menu dan 5 nasi di cafe Diajeng. Tak hanya itu, dia juga memesan