Setelah jamaah Ashr di masjid Pesantren, Ayman bergegas ke rumah kiai Dahlan. Rasa gugup, kalut, bahagia dan sedih menyelimuti hati dan pikiran Ayman. Hingga tanpa tersadari, dia menabrak seseorang yang berjalan di depannya.
Bruaaakk
Klontang klontang klontang
"Hah, jantungku copot!" jerit santriwati tersebut.
"Maaf Mbak saya gak sengaja," kata Ayman sembari mengatupkan kedua tangannya di depan dada, "Mbak saya di tunggu pak Kiai. Sekali lagi saya mohon maaf dan permisi."
Perempuan yang di tabrak Ayman hanya terdiam dan mengangguk saja. Matanya masih terbelalak memandang seseorang yang ada di depannya. Ingin sekali perempuan tersebut memakinya, namun mulutnya seperti terkunci. Melihat pesona fans berat para santri putri dengan sopannya meminta maaf.
***
"Tak ingin memperpanjang permasalahan, saya hanya mau mengatakan kalau pernikahan Maisya denganmu saya batalkan," ucap ibu Tutik santai.
Semua orang yang berada dalam pertemuan tersebut kaget. Tak terkecuali Maisya dan Ayman, sepasang calon pengantin yang sudah sama-sama saling menyayangi. Kini mereka harus mengakhiri mimpi yang sempat terajut indah.
Maisya membendung air matanya agar tak menangis. Keputusan tersebut tanpa persetujuan darinya. Membantah pun percuma, ibunya tak akan mendengar kemarahannya. Berteriak juga tak mampu, mulutnya kelu untuk berbicara.
Ayman sempat memejamkan mata lama, ada yang bergemuruh di dadanya. Kepalanya tak bisa di ajak berfikir lagi. Separuh jiwa yang sudah di pilihnya untuk mendampinginya seumur hidup harus kandas di tengah jalan. Dihari yang sudah tak lama lagi mereka akan menjadi sepasang suami istri.
"Apa alasan Ibu membatalkan pernikahan ini?" tanya Ayman akhirnya.
"Yang pasti ada sesuatu yang tidak bisa kamu wujudkan. Saya tak mau anak saya nanti kamu sengsarakan. Hidup bahagianya adalah prioritas bagiku sebagai seorang ibu."
"Saya bisa membahagiakan anak Ibu, saya juga sudah berjanji akan memberi mahar yang lebih dari cukup untuk anak Ibu. Bahkan semua persiapan pernikahan adalah tanggung jawab saya dan itu masih kurang bagi Ibu?" tekan Ayman di kalimat terakhirnya.
"Masih, karena untukku bahagianya maisya bukan hanya soal mahar tapi hidup kedepannya. Jika gaji kamu tak sampai 5 juta dalam satu bulan, lalu anakku akan kau beri nafkah berapa?" sanggah ibu Tutik.
Ayman memejamkan matanya lagi. Dia sudah mengerti alasan ibu Tutik berbelit-belit dalam hal mahar untuk Maisya kemarin. Tujuan ibu Tutik bukanlah mahar semata, namun gaji besar menantunya untuk menghidupi anaknya nanti. Pemikiran logis seorang ibu kepada anaknya.
"Apakah jika saya memberikan nafkah 10 juta perbulan untuk Maisya, Ibu masih akan membatalkan pernikahan ini?" tanya Ayman.
Sorot mata tajam Ayman tertuju pada calon istrinya yang sesenggukan. Rasa sayangnya membuat dia berkata seperti itu kepada calon mertuanya. Taka ada lagi keraguan, dia tetap ingin mempertahankan pernikahannya agar tetap terlangsungkan.
Ibu Tutik membuang muka. Dia sama sekali tak iba melihat anaknya menangis. Hatinya sudah terselimuti oleh keinginan yang tiada kepastian. Sulit untuknya berfikir lagi dan membuang ego yang sudah tertanam dalam hatinya.
"Jika memang berat, saya hanya bisa menuruti semua keputusan Ibu." Pasrah Ayman sembari meraup wajahnya kasar.
Maisya meraung, tangisnya menjadi pilu. Mulutnya melontarkan banyak cacian kepada sang ibu. Beberapa orang mengajaknya untuk masuk kamar, namun dia menolak.
Tak sedikit dadi keluarga maisya juga ikut menangis. Gadis tersebut hanya korban dari keegoisan sang Ibu. Bahkan ayah maisya juga tak bisa membantah keputusan istrinya. Dia hanya terdiam, tanpa ada satu kata apapun yang keluar dari mulutnya.
"Keputusan saya sudah bulat dan tak ada yang perlu saya tegaskan lagi. Jadi, kalian boleh pulang karena saya dan sekeluarga juga butuh istirahat dari pertemuan ini. Permisi."
Belum ada setangah jam sampai, ibu Tutik sudah mempersilahkan tamunya tersebut pulang. Bahkan minuman yang di suguhkan baru saja di hidangkan. Tanpa basa-basi dia memutuskan silaturahmi kedua belah pihak, setelah apa yang di utarakan terwujud, dia langsung mengusirnya begitu saja.
Kiai Dahlan langsung mengajak Ayman pulang ke Pesantren. Beberapa keluarga yang merasa tak enak hati mengucapkan permohonan maaf, termasuk ayah Maisya. Sebuah pertemuan yang tak pernah di inginkan oleh semua orang, jika akhirnya hanya menaruh kekecewaan.
Ayman kembali melihat Maisya. Ada rasa bersalah di sana, namun dia tak bisa memperjuangkannya lagi. Tembok mereka sangat tinggi bahkan sudah berduri dan tak bisa di panjatnya lagi.
"Assalamualaikum," pamit kiai Dahlan.
"Waalaikumussalam."
Kiai Dahlan membawa mobil sendiri. Dia tak mengizinkan Ayman menyetir. Takdzim dan hormat pada kiai bukanlah sebuah alasan, karena keselamatan adalah prioritas. Hati Ayman tak lagi utuh, fikirannya masih buntu. Ayman patah hati pada seseorang yang sudah hampir berhasil dia dapatkan. Namun takdir tak berpihak padanya, sebuah misteri kehidupan yang sedang di jalaninya.
"Tenangkan dirimu dan jangan menyalahkan tuhanmu. Perbanyak lagi dzikirmu, dekatkan hatimu kepada penciptamu. Ini bukan akhir dari kisah cintamu, namun sebuah permulaan perjalanan hati yang dihiasi oleh air mata. Jangan gegabah dan jangan membatalkan dulu semua vendor yang sudah kamu pesan. Fokuslah pada membeningkan hati dan fikiran agar kamu bisa kembali menjalani hari tanpa dendam," pesan kiai Dahlan.
"Injih Yai sendiko dawuh."
Setelah sampai di Pesantren, hari sudah malam. Para santri mengikuti aktivitasnya seperti biasa, musyawarah pelajaran esok hari. Ayman juga langsung melipir ke kamarnya, di sebuah asrama berukuran ruangan 4x4 yang dikhususkan untuk semua para asatidz senior.
Ayman duduk berselonjor bersandarkan dinding. Matanya menerawang jauh, seakan memori yang dahulu berputar kembali. Disana dia melihat Maisya yang sedang tertawa bersama temannya. Ayman pun tersenyum, teringat pula ketika gadis tersebut tidur di saat jam pelajarannya. Nampak tenang dan cantik.
"Kenapa Abah Yai tak memperbolehkan aku membatalkan vendor yang sudah aku sewa? Apakah kita masih bisa melangsungkan pernikahan?"
***
Tangis Maisya masih tak bisa menggempurkan tembok hati ibunya. Sejak kepulangan Ayman dan kiai Dahlan, bu Tutik juga terdiam. Sesekali dia berbicara membantah semua masukan, nasihat, peringatan dari semua keluarganya. Bu Tutik keukeh kalau keputusannya adalah sebuah kebenaran. Tanpa mau tau perasaan anak gadisnya.
Ayah Maisya juga menjadi bulan-bulanan keluarganya. Mereka menyalahkan ayah Maisya yang terlalu menurut dengan istri. Sampai tak bisa mendidik istrinya yang sudah kelewat batas.
"Ayman itu bukan lelaki sembarangan, kalau dia sanggup dengan keinginanmu yang minta uang nafkah 10 juta sebulan, kenapa kamu tetap membatalkan pernikahannya. Ingatlah masa lalumu dulu, kamu bukan orang berada sebelumnya. Baru juga kaya raya sudah belagu dengan orang lain," kata kakak tertua ibu Tutik.
Bu Tutik tersenyum, dia tak pernah merasa bersalah sedikitpun. Bahkan malah bangga dengan keputusannya. Dilihatnya Maisya sekilas, lalu membuang muka.
"Ayman memang baik, tapi kenapa dia tak pernah memeperkenalkan keluarganya pada kita. Bahkan ketika lamaran, dia hanya di temani oleh kiai Dahlan dan istrinya. Kalau dia adalah anak haram bagaimana? Kalian sebagai keluaragku juga harus berpikir sampai sana," ungkap bu Tutik memberikan alasan klasik.
"Orang tua Ayman sudah meninggal, sedangkan kakek neneknya Ayman sudah tua mereka juga bertempat di luar kota. Saudara Ayman sudah mengikuti keluarganya masing-masing. Bukannya waktu lamaran ada video call dengan keluarga Ayman seperti yang kamu lakukan waktu itu," jawab kakak ibu tutik yang tadi dan hanya dia yang selalu membantah perkataan adiknya.
"Kalian bahkan tak tau alasan pasti keluarga Ayman tak datang. Jika mereka tak merestui pernikahan Ayman dengan Maisya bagaimana? Video call tersenyum bahagia bisa pula hanya gimmick."
Meski hari sudah larut malam, keluarga maisya masih berkumpul. Maisya sendiri masih menangis, meski air matanya sudah mengering terkuras habis. Kepalanya pun sudah pusing dan kliyengan.
Ibu tutik tersenyum lalu berkata, "Tenanglah, pernikahan Maisya akan tetap berlangsung."
***
Lantunan sholawat nabi terdengar mengudara di seantero pesantren. Semua santri bergotong royong membersihkan area Pesantren. Dari asrama hingga halaman sampai di kamar mandi. Tak ada tempat secuil pun yang luput dari tangan-tangan sejuk mereka. Lantunan sholawat di alunkan dari saund yang berada di depan madrasah, agar para santri lebih semangat dan gak merasa capek.Hari jumat sangatlah di tunggu-tunggu oleh para santri. Hari dimana mereka bebas dari hafalan, pelajaran maupun kajian. Mereka bisa bersantai menghabiskan waktu senggang dengan berbagai olahraga atau ektrakurikuler lainnya yang mereka sukai.Berbeda dengan para santri lainnya, Ayman malah meringkuk dalam selimut. Pikiran suntuk, hati sedih dan badan yang terlalu capek membuatnya masih ingin tertidur pulas. Dinikmatinya surganya seorang santri ketika sudah bertemu dengan bantal dan selimut. Brakk brakk brakk "Ustadz Ayman!""Ustadz Ayman!""Mas Ayman.""Maaas."Brakk brakk brakkTog tog togSejak pagi beberap asatidz ber
Tak mengenal satu sama lain, Ayman dan Diajeng saling diam. Pernikahan mereka adalah keinginan banyak orang, namun tidak dengan Ayman. Meski sudah tak begitu terfikirkan oleh Maisya, Ayman sebenarnya ingin lebih fokus pada pengiriman peserta perwakilan lomba bulan depan. Namun pada kenyataannya semua hanya keinginan belaka.Ayman tak tahu harus berbuat apa. Banyaknya tamu di kediaman kiai Dahlan membuatnya masih terselamatkan. Entahlah, dia akan seecepatnya membuka hatinya lagi atau malah sebaliknya. Diajeng mengerti, Ayman sangat terpaksa menikah dengannya. Bahkan Ayman seakan enggan duduk bersampingan dengannya. Ayman juga langsung menjauhi Diajeng, ketika penghulu telah berpamitan pulang. Senyum semringah Ayman pun hanya karena ada Omanya yang terlihat bahagia. Diajeng merasa bersalah dan tak ingin berada di posisinya seperti saat ini."Ajak istrimu ke kamar yang tadi Nak," bisik Oma."Gak mau. Ngapain Oma!"gerutu Ayman tak kalah lirihnya.Oma Maimunah tertawa, dia hanya ingin men
Hari semakin malam, para tamu juga sudah pulang. Tersisakan opa oma Ayman yang memang memutuskan untuk bermalam di pesantren. Sedangkan Diajeng pun memilih untuk kembali ke asramanya. Meski ning Maya sudah memintanya agar tidur bersamanya di ndalem, Diajeng masih dengan pendiriannya, apalagi suaminya tak ada ucapan apapun kepadanya.Kiai Dahlan tak bisa memaksakan kehendak Ayman. Omanya yang sesama perempuan dengan Diajeng hanya mengomel sepanjang waktu. Namun Ayman tak menghiraukan itu. Dia hanya ingin menenangkan hatinya sendiri tanpa ada seseorang di sampingnya. Diajeng tak pernah putus dari doanya, berharap Ayman segera membuka perasaannya. Berada dalam satu atap yang sama dan menjadi keluarga kecil bahagia. Tuhan itu maha adil, garis yang di rencanakanya lebih indah dari keinginan makhluknya."Eh, Ustadz Ayman jadi menikah sama Maisya itu kan sih Jeng?" tanya salah satu teman sekamar Diajeng. Diajeng menggeleng, hatinya sakit. Meski tak ada santri yang mengetahui pernikahannya
Diajeng, gadis manis itu terlahir dari rahim permpuan bernama Anjani. Ayahnya bernama Bayung Prasetyo, pemilik usaha laundry terbesar di kotanya. Meski terkenal dari keluarga kaya raya, Diajeng selalu di ajarkan oleh orang tuanya untuk selalu merendahkan hatinya. Jika pun berteman, orang tuanya selalu berpesan agar tak membeda-bedakan semua temannya, baik kaya atau miskin. Diajeng bukan tipe perempuan berkulit putih, tinggi semampai. Dia bertubuh kecil sedikit gemuk, wajahnya manis tak membuat mata bosan memandang. Hal tersebut menurun dari ayahnya, yang memang terlahir dari keluarga berkulit sawo matang. Teman kecil Diajeng adalah Maisya. Rumah mereka juga berhadapan. Maisya kecil tak pernah mempunyai teman. Ibunya yang sombong dan suka marah teriak-teriak, mambuat teman-teman Maisya menjauhinya. Berbeda dengan Diajeng, dia selalu mengajak Maisya bermain, agar Maisya bisa merasakan masih mempunyai teman.Sejak kecil Diajeng sudah di karuniai otak cemerlang. Karep kali dia mengikuti
"Assalamualaikum halo Bu Anjani, ini Ayman sama Diajeng sudah dapat rumah yang akan di tempati. Nanti alamatnya saya kirimkan saja, tapi Bu Anjani kalau kesini jangan malam ya. Kasihan pengantin baru, keganggu. Ya sudah mau ngabarin itu saja, Assalamualaikum."Diajeng tersipu malu sedangkan Ayman menatap Oma Maimunah sengit. Mereka bertiga tak mengikuti opa yang mengelilingi rumah. Kejahilan oma pada cucunya tersebut membuat oma terlihat lebih sehat dan bahagia. "Acara kamu bagaimana Nak, jangan sampai kamu membuang uang di vendor sia-sia.""Tidak boleh di batalkan oleh Pak Kiai Opa," jawab Ayman lesu."Ya berarti hari itu kamu nikah secara negara dengan Diajeng. Mbak-Mbakmu juga sudah booking mua dan baju keluarga," sahut Oma."Itu sih emang Mbak Nana dan Mbak Lala aja yang emang suka heboh. Tapi boleh juga lah ide oma," kata Ayman. "Oke, semua biar di urus Mbakmu saja. Kasih tahu semuanya, pihak besan biar nanti di urus Mbakmu juga." Pungkas opa sembari memainkan ponsel yang ada d
Kangen? Iya. Sebagai perempuan yang memang telah lama memendam perasaannya kepada suami, Diajeng seringkali memimpikan kebersamaannya berdua. Mereka yang hanya berada satu atap ketika hari libur pesantren saja, membuat Diajeng masih ingin berlama-lama bersama suami. Namun Diajeng tak pernah protes, dia tetap menikmati semua keputusan suaminya. Resepsi memang sengaja di undur oleh kedua belah pihak. Mereka tak ingin membuat acara hanya sekedar selesai dan puas saja. Mereka ingin memberikan kesan tersendiri yang bisa di kenang seumur hidup oleh sepasang pengantinnya. Di pesantren, para santri hanya mengetahui bahwa Ayman selalu memperhatikan Diajeng. Mereka beranggapan bahwa Ayman menyukai Diajeng. Isu tersebut sudah menyebar dan hanya di tanggapi dengan senyuman oleh Diajeng. Diajeng bahagia ketika dia menjadi pusat gunjingan para santri perihal Ayman. Dia juga selalu mengaminkan ketika ada yang mendoakan supaya mereka berjodoh. Bagi teman Diajeng, Ayman memang lebih cocok dengan di
Maisya tak bisa lagi menopang badannya untuk berdiri. Meski ibu mertua sudah memanggilnya bolak balik, Maisya juga tak menyahutinya. Tubuhnya menggigil dan mulutnya seolah terkunci, matanya tertutup dan hanya meneteskan air mata. Bu Dini, atau yang lebih terkenal dengan sebutan Bu camat itu menghampiri Maisya di kamarnya. Bu Dini memeriksa semua tubuh Maisya dan dibuat kaget ketika mendapati menantunya tersebut demam tinggi. Tanpa menunggu siapapun lagi, Bu Dini bergegas menghubungi dokter keluarganya. "Maaf Bu, saya lagi dinas keluar kota."Balasan yang membuat Bu Dini lemas. Namun dia langsung berlari meminta bantuan pada tetangganya untuk membawa menantunya itu ke rumah sakit. Meski ragu, Bu Dini tetap mengetuk pintu rumah tetangganya. Betapa kagetnya Bu Dini, saat Diajeng yang membuka pintu. Lalu lebih terkejut lagi, ketika Ayman menyusul keluar. Walaupun sedikit sungkan, Bu Dini tetap pada tujuannya. "Maaf Nak Diajeng, saya ingin meminta bantuan. Tolong bantu angkat Maisya ke
Malam hari, suami dan orang tua Maisya telah tiba di rumah sakit. Kegembiraan dan kabar bahagia itu akhirnya sampai pada mereka. Bahkan berkali-kali Rudi mencium kening Maisya di depan banyak orang. Dibalik senyumnya yang tak pernah pudar, Maisya merasa bersalah dengan perlakuannya pada Diajeng. Ibu Dini, mertua Maisya sedikit berbeda setelah kepergian Diajeng. Ibu Dini dengan jelas melihat Maisya dan Diajeng mengobrol. Maisya bahkan sudah tahu jika yang membawanya ke rumah sakit adalah sahabatnya. Sakit hatinya masih tercetak jelas, ketika melihat Diajeng menikah dengan Ayman saat itu. Maisya telah bahagia hidup bersama Rudi. Rudi yang royal dan tak pernah perhitungan itu tak ingin membuatnya merasa terkekang. Rudi bahkan selalu mengajaknya jalan-jalan ketika hari libur. Entah kenapa Maisya masih terbayang dengan pernikahan Diajeng. Baginya Diajeng adalah orang ke tiga yang merebut kekasih hatinya. Diajeng telah merusak apa yang seharusnya di milikinya. Melihat wajah Rudi yang ter
Koridor rumah sakit tetap sepi seperti biasanya. Ruang ICU hanya boleh di tunggu di luar ruangan, sedangkan pasien di dalam hanya ada Risma saja. Bisa di pastikan tempat yang saat ini hanya ada Diajeng saja itu akan terasa sangat mengerikan. Diajeng keluar begitu saja dari ruang bayi. Adu mulut antara Bu Siska dan ibunya Joko membuatnya tak ingin menambah masalah bagi mereka. Diajeng lebih leluasa sendirian seperti itu, timbang banyak orang hanya ada omongan unfaedah saja. Tetesan air hujan telah merata membasahi bumi. Suara guntur saling bersahutan antara yang satu dengan lainnya. Angin kencang ikut terlihat dari lantai dua tempat yang Diajeng saat ini.Diajeng, perempuan bertubuh mungil itu masih menjadi bahan perbincangan banyak orang. Apalagi kalau bukan karena pernikahannya dengan sang Ustadz. Namun bukan itu yang sedang panas di telinga orang lain, kekayaan Aymanlah yang menjadi kunci dari semua ucapan dari satu mulut ke mulut yang lain. Jika bagi mereka Diajeng orang pilihan
Tangan Sifa di genggam erat oleh seseorang. Tangisnya tak bisa di bendungnya lagi. Beberapa hari yang lalu, orang tuanya mempermalukannya di depan umum dan dia hanya tersenyum saja. Hari ini, semua perasaan Sifa serasa hancur lebur tak berbentuk. Sifa mendongakkan kepalanya, melihat sosok yang tengah memegangnya. Tangisnya kembali pecah ketika orang yang di ajaknya bicara pun tengah berurai air mata. Keduanya beradu pandang tanpa sepatah kata apapun. Benar, Risma tersadar dari kritisnya. Setelah dua hari tak sadarkan diri. Walaupun tampak lemas tak berdaya, Risma mampu menggenggam saudara SE ayah itu dengan erat. "Maafkan aku Mbak," lirih Risma. Sifa bangkit dengan mengusap pipinya yang basah. Dia memanggil perawat yang berjaga di ruang ICU. Sifa juga menyempatkan diri untuk membasuh mukanya ke toilet. "Apa yang di rasakan Mbak?" tanya perawat. "Sakit semua Kak." "Di buat istirahat dulu ya. Biar nanti langsung di pindahkan ke ruang rawat inap saja." "Kenapa baru bangun kamu, a
Ayman datang bersama ustadz Faris yang karena Diajeng berulangkali tak bisa di hubungi oleh Ayman. Ayman yang awalnya ingin datang ke rumah sakit sendirian, namun ustadz Faris malah mengintil di jok belakang. Mau tak mau Ayman pun datang berdua lagi bersama ustadz Faris. Diajeng tak menyadari suaminya yang duduk di sampingnya. Dr Mila pun sama, mereka berdua mengobrol sembari memejamkan mata. Tanpa menghiraukan Sifa yang bersitegang dengan kawan bicaranya, Diajeng begitu menikmati kedamaiannya."Sayang," panggil Ayman. Sontak Diajeng membelalakkan matanya. Di lihatnya pula Sifa yang wajahnya tampak pucat. Merasa kebingungan, Ayman tersenyum kecil sembari mengedipkan matanya. "Aneh," celetuk Diajeng. "Tetep gantengan aku dong," kekeh Ayman."Loh, Ustadz kog kesini lagi?" Tanya dr Mila ketika menyadari kebisingan di sampingnya. "Iya Dok, tadi Diajeng gak bisa di hubungi. Mau telpon Dokter, saya gak ada nomernya." "Hah? Ada apa Mas? Tadi aku habis jagain Risma di dalam, jadi gak b
Seorang perawat memanggil Diajeng karena masa penungguan pasien sudah habis. Diajeng harus keluar dan nanti akan di panggil lagi kalau sudah waktunya jam menunggu pasien. Perawat juga memberitahu Diajeng kalau Risma sudah menunjukkan perkembangannya. Diajeng keluar di sambut Sifa dengan keinginan tahuannya. Walaupun Sifa tak menyukai sifat adik tirinya itu, namun dia juga sebenarnya merasa kasihan. Bagaimanapun juga, ada darah yang sama di dalam tubuh Risma dan dirinya. "Belum sadar juga?" "Belum Fa, tadi aku ajak dia baca Yasin. Terus aku genggam tangannya dan kudekatkan bibirku di telinga Risma. Alhamdulillah dia respon, dia menangis kayaknya. Soalnya ada air mata yang menetes gitu." "Kamu mencoba berbicara dengannya gak Jeng?" Gantian dr Mila yang penasaran. "Iya Dok, aku bilangin tuh adeknya Sifa. Tak suruh insaf, kalaupun dia enggak selamat kan minimal sudah ada niatan baik gitu. Jangan marah ya Fa hehe," kekeh Diajeng. "Kamu betul sih, soalnya dia juga banyak dosa. Kayakny
Sesampainya di rumah sakit, mereka langsung menuju ruangan ICU. Belum ada perkembangan yang lebih baik pada Risma. Keadaannya masih sama, kritis.Orang tua Risma tampak kusut berada di depan ruang ICU. Mata mereka juga sembab. Ibu Risma tak lagi menampakkan wajah garangnya. "Makan dulu Yah, Mah. Habis ini kalian pulang saja, nanti sore baru kesini lagi. Biar kita saja yang menunggu Risma," ujar Sifa. "Kita langsung pulang saja Nak, kasihan Mama nangis terus semalam. Ini nasinya kita bawa pulang saja ya," kata pak Udin. "Oh, bawa saja semuanya kalau begitu Yah. Biar kalian gak beli lagi," kata Sifa. Kedua pasangan paruh baya itu pun beranjak untuk kembali ke rumah mereka. Tanpa menyapa lagi ataupun sekedar senyum. Dr Mila hanya melirik Diajeng sembari tersenyum kecut. Seorang perawat keluar dan mencari keluarga Risma. Di tangannya nampak membawa sebuah kertas yang di serahkan pada Sifa. Perawat hanya meminta Sifa untuk mengambilkan obat yang saat ini sangat di butuhkan ya oleh adi
"Oalah mbak, cantik-cantik kog senengnya merebut calon orang. Mbok ya sing kreatif gitu loh," ujar seorang perempuan muda di toko sayur dan kebutuhan rumah tangga depan komplek. Diajeng yang sedang menemani Sifa itu mengerutkan keningnya. Ibu muda tadi melototkan matanya dengan tajam di hadapan Diajeng. Merasa tak mempunyai masalah, Diajeng pun mengacuhkannya. "Ya begini kalau terlahir dari keluarga tak berpendidikan tinggi, diajak berbicara saja melengos. Sudah merasa menjadi perempuan paling cantik," lanjutnya lagi.Diajeng membuntuti Sifa yang tengah sibuk mencari berbagai kebutuhan yang akan di bawanya ke rumah sakit. Toko sedang ramai, banyak ibu-ibu yang berbelanja sayur saling berbisik. Semua mata mengarah pada Diajeng, dengan mulut mereka berkomat-kamit sangat bising. Dari rumah Diajeng tak berniat membeli apapun. Dia hanya mengantarkan Sifa yang belum tahu Tutik letak toko di daerah sini. Sifa yang keukeh ingin berbelanja itu pada akhirnya meminta Diajeng untuk mengantarka
"Tapi Buk, kenapa harus di samakan sih." Gerutu Maisya mengejar mertuanya."Terserah Ibu dong. Kamu sudah Ibu belikan juga, kenapa harus marah toh Saya." Kedua mertua dan menantu itu berbicara sangat keras sembari berjalan ke arah rumah Diajeng. Baik Diajeng maupun dr Mila hanya terdiam mendengarkan saja. Sifa yang baru hendak ke rumah Diajeng itu malah cengengesan melihat drama yang ada di depannya. "Ya jangan samakan dengan oarang lain dong Bu," kesal Maisya. "Kamu kog ngatur Ibu, terserah Ibu dong. Uang juga punya Ibu sendiri," ucap Bu Dini tak mau kalah. Diajeng menjadi kikuk di datangi oleh tetangga sebelah rumahnya. Bukan tak suka atau tak memperbolehkan orang lain berkunjung, namun Bu Dini datang dengan menantunya yang seakan tak suka pada Diajeng. Tatapan sinis Maisya membuat Diajeng ingin menutup pintunya saja, daripada terjadi kerusuhan antar teman. "Nak Ajeng, maaf ya malah ribut di rumah kalian." "Iya Bu, tak masalah. Kalau boleh tahu, ada apa ya Bu?" tanya Diajeng.
"Sayang, kalau kamu hamil nanti. Aku gak mau jadi yang ke dua," celoteh Ayman. Diajeng yang sudah merem pun kembali melek. Matanya melihat suaminya yang masih setia membelai lembut pipinya. Diajeng pun melanjutkan tidurnya yang tertunda. "Aku bakalan kesepian banget kalau kita nanti punya anak." Ayman berbicara lagi. Diajeng yang memang belum bisa Langsung tidur itu hanya mendengarkan saja. Ayman seolah tahu kalau istrinya belum jadi tidur. "Sayang, kita kapan ya punya anak." "Ambigu banget sih Mas," ujar Diajeng. "Bikin anak yuk," kata Ayman. "Gak pengertian banget jadi suami," jawab Diajeng. Ayman pun terbangun dari posisi tidurnya. Dipijitnya kaki sang istri. Bahkan Ayman memijit Dnegan sangat hati-hati. "MaasyaAllah, terimakasih suamiku. Aku tidur dulu ya," pamit Diajeng. "Ya enggak gitu juga konsepnya Sayang," lirih Ayman yang membuat Diajeng terkekeh bahagia. *** Maisya di temani sang suami berjalan santai di komplek perumahan mertuanya. Udaranya yang seju
Maisya bersama suaminya tengah mengantri untuk cek kandungan di rumah sakit terdekat. Mereka sangat bersemangat karena ingin sekali mengetahui perkembangan sang janin di dalam perut. Banyak sekali perubahan yang di rasakan oleh Maisya, walaupun masih dia masih trimester awal.Dokter yang akan menangani maisya masih belum datang. Walaupun mendapatkan nomor antrian pertama, jam terbang sang dokter molor hingga satu jam lebih. Bahkan maaiya sudah berulangkali mengeluh kecapekan duduk. "Makan dulu," ucap Rudi. Dengan senang hati Maisya membuka mulutnya menerima suapan dari suami tercinta. Pasangan yang menjadi pusat perhatian banyak orang karena sifat maisya yang selalu manja pada suaminya. Bahkan ada yang senyum-senyum malu sendiri melihat kelakuan Maisya. "Manis mas, seperti cintamu yang tak pernah pudar untukku." "Dan kamu adalah obatku agar tak sampai menderita diabet." Maisya tertawa mendengar gombalan Rudi yang garing tanpa ekspresi di dalamnya. Sampai mereka tak menyadari kala