Setelah jamaah Ashr di masjid Pesantren, Ayman bergegas ke rumah kiai Dahlan. Rasa gugup, kalut, bahagia dan sedih menyelimuti hati dan pikiran Ayman. Hingga tanpa tersadari, dia menabrak seseorang yang berjalan di depannya.
Bruaaakk
Klontang klontang klontang
"Hah, jantungku copot!" jerit santriwati tersebut.
"Maaf Mbak saya gak sengaja," kata Ayman sembari mengatupkan kedua tangannya di depan dada, "Mbak saya di tunggu pak Kiai. Sekali lagi saya mohon maaf dan permisi."
Perempuan yang di tabrak Ayman hanya terdiam dan mengangguk saja. Matanya masih terbelalak memandang seseorang yang ada di depannya. Ingin sekali perempuan tersebut memakinya, namun mulutnya seperti terkunci. Melihat pesona fans berat para santri putri dengan sopannya meminta maaf.
***
"Tak ingin memperpanjang permasalahan, saya hanya mau mengatakan kalau pernikahan Maisya denganmu saya batalkan," ucap ibu Tutik santai.
Semua orang yang berada dalam pertemuan tersebut kaget. Tak terkecuali Maisya dan Ayman, sepasang calon pengantin yang sudah sama-sama saling menyayangi. Kini mereka harus mengakhiri mimpi yang sempat terajut indah.
Maisya membendung air matanya agar tak menangis. Keputusan tersebut tanpa persetujuan darinya. Membantah pun percuma, ibunya tak akan mendengar kemarahannya. Berteriak juga tak mampu, mulutnya kelu untuk berbicara.
Ayman sempat memejamkan mata lama, ada yang bergemuruh di dadanya. Kepalanya tak bisa di ajak berfikir lagi. Separuh jiwa yang sudah di pilihnya untuk mendampinginya seumur hidup harus kandas di tengah jalan. Dihari yang sudah tak lama lagi mereka akan menjadi sepasang suami istri.
"Apa alasan Ibu membatalkan pernikahan ini?" tanya Ayman akhirnya.
"Yang pasti ada sesuatu yang tidak bisa kamu wujudkan. Saya tak mau anak saya nanti kamu sengsarakan. Hidup bahagianya adalah prioritas bagiku sebagai seorang ibu."
"Saya bisa membahagiakan anak Ibu, saya juga sudah berjanji akan memberi mahar yang lebih dari cukup untuk anak Ibu. Bahkan semua persiapan pernikahan adalah tanggung jawab saya dan itu masih kurang bagi Ibu?" tekan Ayman di kalimat terakhirnya.
"Masih, karena untukku bahagianya maisya bukan hanya soal mahar tapi hidup kedepannya. Jika gaji kamu tak sampai 5 juta dalam satu bulan, lalu anakku akan kau beri nafkah berapa?" sanggah ibu Tutik.
Ayman memejamkan matanya lagi. Dia sudah mengerti alasan ibu Tutik berbelit-belit dalam hal mahar untuk Maisya kemarin. Tujuan ibu Tutik bukanlah mahar semata, namun gaji besar menantunya untuk menghidupi anaknya nanti. Pemikiran logis seorang ibu kepada anaknya.
"Apakah jika saya memberikan nafkah 10 juta perbulan untuk Maisya, Ibu masih akan membatalkan pernikahan ini?" tanya Ayman.
Sorot mata tajam Ayman tertuju pada calon istrinya yang sesenggukan. Rasa sayangnya membuat dia berkata seperti itu kepada calon mertuanya. Taka ada lagi keraguan, dia tetap ingin mempertahankan pernikahannya agar tetap terlangsungkan.
Ibu Tutik membuang muka. Dia sama sekali tak iba melihat anaknya menangis. Hatinya sudah terselimuti oleh keinginan yang tiada kepastian. Sulit untuknya berfikir lagi dan membuang ego yang sudah tertanam dalam hatinya.
"Jika memang berat, saya hanya bisa menuruti semua keputusan Ibu." Pasrah Ayman sembari meraup wajahnya kasar.
Maisya meraung, tangisnya menjadi pilu. Mulutnya melontarkan banyak cacian kepada sang ibu. Beberapa orang mengajaknya untuk masuk kamar, namun dia menolak.
Tak sedikit dadi keluarga maisya juga ikut menangis. Gadis tersebut hanya korban dari keegoisan sang Ibu. Bahkan ayah maisya juga tak bisa membantah keputusan istrinya. Dia hanya terdiam, tanpa ada satu kata apapun yang keluar dari mulutnya.
"Keputusan saya sudah bulat dan tak ada yang perlu saya tegaskan lagi. Jadi, kalian boleh pulang karena saya dan sekeluarga juga butuh istirahat dari pertemuan ini. Permisi."
Belum ada setangah jam sampai, ibu Tutik sudah mempersilahkan tamunya tersebut pulang. Bahkan minuman yang di suguhkan baru saja di hidangkan. Tanpa basa-basi dia memutuskan silaturahmi kedua belah pihak, setelah apa yang di utarakan terwujud, dia langsung mengusirnya begitu saja.
Kiai Dahlan langsung mengajak Ayman pulang ke Pesantren. Beberapa keluarga yang merasa tak enak hati mengucapkan permohonan maaf, termasuk ayah Maisya. Sebuah pertemuan yang tak pernah di inginkan oleh semua orang, jika akhirnya hanya menaruh kekecewaan.
Ayman kembali melihat Maisya. Ada rasa bersalah di sana, namun dia tak bisa memperjuangkannya lagi. Tembok mereka sangat tinggi bahkan sudah berduri dan tak bisa di panjatnya lagi.
"Assalamualaikum," pamit kiai Dahlan.
"Waalaikumussalam."
Kiai Dahlan membawa mobil sendiri. Dia tak mengizinkan Ayman menyetir. Takdzim dan hormat pada kiai bukanlah sebuah alasan, karena keselamatan adalah prioritas. Hati Ayman tak lagi utuh, fikirannya masih buntu. Ayman patah hati pada seseorang yang sudah hampir berhasil dia dapatkan. Namun takdir tak berpihak padanya, sebuah misteri kehidupan yang sedang di jalaninya.
"Tenangkan dirimu dan jangan menyalahkan tuhanmu. Perbanyak lagi dzikirmu, dekatkan hatimu kepada penciptamu. Ini bukan akhir dari kisah cintamu, namun sebuah permulaan perjalanan hati yang dihiasi oleh air mata. Jangan gegabah dan jangan membatalkan dulu semua vendor yang sudah kamu pesan. Fokuslah pada membeningkan hati dan fikiran agar kamu bisa kembali menjalani hari tanpa dendam," pesan kiai Dahlan.
"Injih Yai sendiko dawuh."
Setelah sampai di Pesantren, hari sudah malam. Para santri mengikuti aktivitasnya seperti biasa, musyawarah pelajaran esok hari. Ayman juga langsung melipir ke kamarnya, di sebuah asrama berukuran ruangan 4x4 yang dikhususkan untuk semua para asatidz senior.
Ayman duduk berselonjor bersandarkan dinding. Matanya menerawang jauh, seakan memori yang dahulu berputar kembali. Disana dia melihat Maisya yang sedang tertawa bersama temannya. Ayman pun tersenyum, teringat pula ketika gadis tersebut tidur di saat jam pelajarannya. Nampak tenang dan cantik.
"Kenapa Abah Yai tak memperbolehkan aku membatalkan vendor yang sudah aku sewa? Apakah kita masih bisa melangsungkan pernikahan?"
***
Tangis Maisya masih tak bisa menggempurkan tembok hati ibunya. Sejak kepulangan Ayman dan kiai Dahlan, bu Tutik juga terdiam. Sesekali dia berbicara membantah semua masukan, nasihat, peringatan dari semua keluarganya. Bu Tutik keukeh kalau keputusannya adalah sebuah kebenaran. Tanpa mau tau perasaan anak gadisnya.
Ayah Maisya juga menjadi bulan-bulanan keluarganya. Mereka menyalahkan ayah Maisya yang terlalu menurut dengan istri. Sampai tak bisa mendidik istrinya yang sudah kelewat batas.
"Ayman itu bukan lelaki sembarangan, kalau dia sanggup dengan keinginanmu yang minta uang nafkah 10 juta sebulan, kenapa kamu tetap membatalkan pernikahannya. Ingatlah masa lalumu dulu, kamu bukan orang berada sebelumnya. Baru juga kaya raya sudah belagu dengan orang lain," kata kakak tertua ibu Tutik.
Bu Tutik tersenyum, dia tak pernah merasa bersalah sedikitpun. Bahkan malah bangga dengan keputusannya. Dilihatnya Maisya sekilas, lalu membuang muka.
"Ayman memang baik, tapi kenapa dia tak pernah memeperkenalkan keluarganya pada kita. Bahkan ketika lamaran, dia hanya di temani oleh kiai Dahlan dan istrinya. Kalau dia adalah anak haram bagaimana? Kalian sebagai keluaragku juga harus berpikir sampai sana," ungkap bu Tutik memberikan alasan klasik.
"Orang tua Ayman sudah meninggal, sedangkan kakek neneknya Ayman sudah tua mereka juga bertempat di luar kota. Saudara Ayman sudah mengikuti keluarganya masing-masing. Bukannya waktu lamaran ada video call dengan keluarga Ayman seperti yang kamu lakukan waktu itu," jawab kakak ibu tutik yang tadi dan hanya dia yang selalu membantah perkataan adiknya.
"Kalian bahkan tak tau alasan pasti keluarga Ayman tak datang. Jika mereka tak merestui pernikahan Ayman dengan Maisya bagaimana? Video call tersenyum bahagia bisa pula hanya gimmick."
Meski hari sudah larut malam, keluarga maisya masih berkumpul. Maisya sendiri masih menangis, meski air matanya sudah mengering terkuras habis. Kepalanya pun sudah pusing dan kliyengan.
Ibu tutik tersenyum lalu berkata, "Tenanglah, pernikahan Maisya akan tetap berlangsung."
***
Lantunan sholawat nabi terdengar mengudara di seantero pesantren. Semua santri bergotong royong membersihkan area Pesantren. Dari asrama hingga halaman sampai di kamar mandi. Tak ada tempat secuil pun yang luput dari tangan-tangan sejuk mereka. Lantunan sholawat di alunkan dari saund yang berada di depan madrasah, agar para santri lebih semangat dan gak merasa capek.Hari jumat sangatlah di tunggu-tunggu oleh para santri. Hari dimana mereka bebas dari hafalan, pelajaran maupun kajian. Mereka bisa bersantai menghabiskan waktu senggang dengan berbagai olahraga atau ektrakurikuler lainnya yang mereka sukai.Berbeda dengan para santri lainnya, Ayman malah meringkuk dalam selimut. Pikiran suntuk, hati sedih dan badan yang terlalu capek membuatnya masih ingin tertidur pulas. Dinikmatinya surganya seorang santri ketika sudah bertemu dengan bantal dan selimut. Brakk brakk brakk "Ustadz Ayman!""Ustadz Ayman!""Mas Ayman.""Maaas."Brakk brakk brakkTog tog togSejak pagi beberap asatidz ber
Tak mengenal satu sama lain, Ayman dan Diajeng saling diam. Pernikahan mereka adalah keinginan banyak orang, namun tidak dengan Ayman. Meski sudah tak begitu terfikirkan oleh Maisya, Ayman sebenarnya ingin lebih fokus pada pengiriman peserta perwakilan lomba bulan depan. Namun pada kenyataannya semua hanya keinginan belaka.Ayman tak tahu harus berbuat apa. Banyaknya tamu di kediaman kiai Dahlan membuatnya masih terselamatkan. Entahlah, dia akan seecepatnya membuka hatinya lagi atau malah sebaliknya. Diajeng mengerti, Ayman sangat terpaksa menikah dengannya. Bahkan Ayman seakan enggan duduk bersampingan dengannya. Ayman juga langsung menjauhi Diajeng, ketika penghulu telah berpamitan pulang. Senyum semringah Ayman pun hanya karena ada Omanya yang terlihat bahagia. Diajeng merasa bersalah dan tak ingin berada di posisinya seperti saat ini."Ajak istrimu ke kamar yang tadi Nak," bisik Oma."Gak mau. Ngapain Oma!"gerutu Ayman tak kalah lirihnya.Oma Maimunah tertawa, dia hanya ingin men
Hari semakin malam, para tamu juga sudah pulang. Tersisakan opa oma Ayman yang memang memutuskan untuk bermalam di pesantren. Sedangkan Diajeng pun memilih untuk kembali ke asramanya. Meski ning Maya sudah memintanya agar tidur bersamanya di ndalem, Diajeng masih dengan pendiriannya, apalagi suaminya tak ada ucapan apapun kepadanya.Kiai Dahlan tak bisa memaksakan kehendak Ayman. Omanya yang sesama perempuan dengan Diajeng hanya mengomel sepanjang waktu. Namun Ayman tak menghiraukan itu. Dia hanya ingin menenangkan hatinya sendiri tanpa ada seseorang di sampingnya. Diajeng tak pernah putus dari doanya, berharap Ayman segera membuka perasaannya. Berada dalam satu atap yang sama dan menjadi keluarga kecil bahagia. Tuhan itu maha adil, garis yang di rencanakanya lebih indah dari keinginan makhluknya."Eh, Ustadz Ayman jadi menikah sama Maisya itu kan sih Jeng?" tanya salah satu teman sekamar Diajeng. Diajeng menggeleng, hatinya sakit. Meski tak ada santri yang mengetahui pernikahannya
Diajeng, gadis manis itu terlahir dari rahim permpuan bernama Anjani. Ayahnya bernama Bayung Prasetyo, pemilik usaha laundry terbesar di kotanya. Meski terkenal dari keluarga kaya raya, Diajeng selalu di ajarkan oleh orang tuanya untuk selalu merendahkan hatinya. Jika pun berteman, orang tuanya selalu berpesan agar tak membeda-bedakan semua temannya, baik kaya atau miskin. Diajeng bukan tipe perempuan berkulit putih, tinggi semampai. Dia bertubuh kecil sedikit gemuk, wajahnya manis tak membuat mata bosan memandang. Hal tersebut menurun dari ayahnya, yang memang terlahir dari keluarga berkulit sawo matang. Teman kecil Diajeng adalah Maisya. Rumah mereka juga berhadapan. Maisya kecil tak pernah mempunyai teman. Ibunya yang sombong dan suka marah teriak-teriak, mambuat teman-teman Maisya menjauhinya. Berbeda dengan Diajeng, dia selalu mengajak Maisya bermain, agar Maisya bisa merasakan masih mempunyai teman.Sejak kecil Diajeng sudah di karuniai otak cemerlang. Karep kali dia mengikuti
Bersama kiai Dahlan, Ayman datang dengan semangat kerumah calon istrinya. Malam itu pun, Ayman di sambut oleh keluarga besar Maisya. Tak hanya Ayman, Maisya juga terlihat menyembunyikan kebahagiaannya di balik senyum malu-malunya. Dari pihak Ayman, mahar yang akan di berikan sebesar 2 juta. Namun keluarga Maisya juga ternyata sudah membuat keputusan, kalau maharnya harus berupa uang yang jumlahnya 100 juta beserta seserahannya. Ayman juga harus menyanggupi uang bulanan 10 juta dan perawatan untuk Maisya. Ibu Tutik, ibunya Maisya hanya memandang Ayman dengan sinis. Sejak awal kedatangan Ayman, Tutik tak ikut semringah menyambut calon menantunya itu. Padahal dia baru pertama kali bertemu sejak kepulangannya dari merantau di luar negri. "Bukankah dulu Maisya tak mematok banyaknya mahar? Kenapa baru di tentukan sekarang Maisya?" tanya Ayman. "Dulu memang dia tak menentukan tapi sekarang berbeda. Pihak perempuan harus mendapatkan banyak mahar dari lelaki," jawab ibu Tutik sembari menga