Bersama kiai Dahlan, Ayman datang dengan semangat kerumah calon istrinya. Malam itu pun, Ayman di sambut oleh keluarga besar Maisya. Tak hanya Ayman, Maisya juga terlihat menyembunyikan kebahagiaannya di balik senyum malu-malunya.
Dari pihak Ayman, mahar yang akan di berikan sebesar 2 juta. Namun keluarga Maisya juga ternyata sudah membuat keputusan, kalau maharnya harus berupa uang yang jumlahnya 100 juta beserta seserahannya. Ayman juga harus menyanggupi uang bulanan 10 juta dan perawatan untuk Maisya.
Ibu Tutik, ibunya Maisya hanya memandang Ayman dengan sinis. Sejak awal kedatangan Ayman, Tutik tak ikut semringah menyambut calon menantunya itu. Padahal dia baru pertama kali bertemu sejak kepulangannya dari merantau di luar negri.
"Bukankah dulu Maisya tak mematok banyaknya mahar? Kenapa baru di tentukan sekarang Maisya?" tanya Ayman.
"Dulu memang dia tak menentukan tapi sekarang berbeda. Pihak perempuan harus mendapatkan banyak mahar dari lelaki," jawab ibu Tutik sembari mengacungkan tangannya dan menegaskan keputusannya.
"Kenapa harus 100 juta Bu? Bukankah sebaik-baiknya perempuan adalah yang tak memperberatkan calon suaminya untuk pemberian mahar?" kata kiai Dahlan.
"Benar! Namun itu hanya untuk lelaki dengan perkerjaan bergaji pasti. Jika mahar kepada perempuan banyak, maka keberuntungan dan keberkahan akan selalu menyertai langkah sang suami," terang ibu Tutik.
Ayman terdiam sembari memikirkan jalan terbaik untuk pernikahannya. Mahar bukanlah masalah, namun ada hal lain yang dia masih tak tahu apa yang sebenarnya di sembunyikan oleh calon mertaunya tersebut. Ayman sesekali juga memandang Maisya, dia berharap bisa mengetahui jawabannya dari calon istrinya tersebut.
Maisya yang merasa di tatap dengan mata elang Ayman hanya bisa menundukkan kepala. Dia tak ingin salah memberi jawaban, apalagi dia juga sangat mengetahui karakter gurunya itu. Bisa melihat kebohongan dan jawaban dari seseorang hanya lewat manik matanya saja.
Maisya gugup, dia juga mencengkeram jemari ibunya untuk menetralisir kegelisahan yang di sembunyikannya. Sang ibu masih dengan tatapan sinis kepada semua orang. Padahal kiai Dahlan sudah bernegosiasi sedari tadi.
"Bagaimana kalau mahar menjadi 5 juta beserta seserahanya dan semua persiapan menjadi tanggung jawab saya?" ungkap Ayman pada akhirnya.
"Tidak bisa, namun jika kamu ingin menanggung semua persiapan kami silahkan. Mahar tetap 100 juta beserta seserahan dan uang bulanan 10 juta beserta perawatan kesalonnya."
"Saya ingin mendengar jawaban dari Maisya," ujar Ayman.
"Kenapa? Kamu tak percaya kalau ini kemauannya juga?" ibu Tutik menyahut, membuat semua orang kembali terdiam.
"Bu, apa yang di minta Ustadz Ayman tak salah. Dia hanya ingin mendengarkan langsung dari Maisya," kata Maisya.
"Sudah, sekarang bagaimana denganmu Nak Maisya? Mau mahar berapa?" tanya kiai Dahlan.
"Kiai tidak boleh memaksa anak saya seperti itu. Hanya saya yang boleh menindas anak saya saja, kalian ini hanya orang lain." Jawaban ibu Tutik sontak membuat beberapa orang menahan malu termasuk Ayah Maisya.
"Kalau kamu gak mampu, kenapa mau menikah? Kumpulkan dulu uangmu, diminta mahar segitu saja banyak alasan," papar ibu Tutik, "Saya sedari dulu selalu memanjakan anak saya. Jadi saya tak mau salah memilih menantu dan berujung hidup anak saya menderita kekurangan nafkah."
Mata elang Ayman beradu dengan manik hitam kiai dahlan. Seolah mereka berbicara dan meminta persetujuan. Ayman kembali menatap Maisya, dari sana ada gurat yang tak bisa di gambarkan.
"Jika Ibu meminta mahar yang lebih dari 5 juta, insyaAllah saya akan memambahinya beserta seserahannya dan semua biaya keperluannya. Tapi jika Ibu meminta 100 juta, mohon maaf saya keberatan."
"Kamu mau memberikan mahar berapa?"
"Untuk itu, saya belum memastikan. Yang pasti saya akan memberikan yang terbaik untuk putri Ibu karena dia juga akan menjadi tanggung jawab saya nantinya," pungkas Ayman.
Senyum Maisya kembali terukir, dia tampak bahagia mendapat keputusan yang membuat hatinya gelisah sejak tadi. Tak bisa di pungkiri, perempuan yang sebentar lagi akan melepas masa lajangnya itu juga menyimpan rasa pada sang guru. Dia ingin membuktikan kepada temannya, bahwa dialah pemenang pemikat hati ustadz muda idola para santriwati.
Berbanding terbalik dengan yang di rasakan Ayman. Keraguannya tak bisa di ungkapkannya. Kebimbangan dan ketakutan mulai diarasakannya. Restu dan semuanya sudah di kantongi. Lalu apalagi?
Kiai Dahlan yang menangkap kegelisahan di wajah anak didiknya tersebut berusaha menenangkannya. Mengelus tangan ayman, agar dia bisa lebih fokus dan tak mudah memutuskan perkara dengan luapan emosi. Bertahun-tahun ikut bersamanya, tentu kiai Dahlan sudah hafal karakter ayman.
"Kalau dikiranya permasalahan mahar ini sudah selasai saya dan Pak Kiaii mau pamit undur diri," pamit Ayman sopan.
"Silahkan! Kalau ada kabar lanjutan nanti saya kabari kamu lagi," jawab ibu Tutik angkuh.
Merasa tak ada lagi yang ingin di bicarakan, Ayman pun mengajak kiai Dahlan untuk segera pergi. Gurat capek dan kecewanya tak bisa di sembunyikan lagi. Bahkan Ayman tak berniat memandang calon istrinya itu ketika dia hendak pulang.
Mobil Ayman sudah berjalan dan Ayman benar-benar tak lagi menoleh ke arah Maisya. Maisya yang merasa di acuhkan oleh Ayman itu langsung memasuki kamarnya. Ibunya memanggil-manggil juga tak di gubrisnya. Hatinya hancur, perasaannya kalut. Kekhawatiran akan hal buruk semakin menghantui fikirannya.
Setelah sampai di Pesantren, Ayman langsung pamit pada kiai Dahlan untuk kembali ke kamarnya. Begitu pula kiai Dahlan yang tubuh senjanya kini tak se energik dulu. Ayman termenung dalam diam, bayangan akan semua hal seakan hadir di depan matanya. Meski sulit, Ayman tetap ingin meringankan kepalanya. Dia berusaha tertidur dan melupakan semua ketidakpastian masa depannya nanti.
*****
Keesokan harinya, Ayman menjalani aktifitas seperti biasa. Mengisi kelas sesuai jadwal dan membimbing beberapa siswa siswi yang akan dikirim untuk mengikuti perlombaan. Ayman berusaha meredam kekalutan yang menghantuinya dengan menyibukkan diri. Hingga sebuah pesan yang ingin di hindarinya masuk.
Maisya : Assalamualaikum Ustadz, mohon maaf atas kejadian semalam. Ada pesan dari Ibu, kalau ada waktu longgar Ustadz diminta datang kerumah hari ini. Mengingat acara kita hanya tinggal dua minggu lagi, jadi alangkah baiknya kalau nanti ustadz segera datang kerumah. Ada yang ingin Ibu sampaikan, Wassalamualaikum.
"Apalagi yang ingin diminta?" lirih Ayman.
"Kenapa Nak?" tanya seseorang yang mengagetkan Ayman. Bahkan Ayman sampai terjungkal kebelakang dan menjadi pusat perhatian beberapa santri yang melihatnya.
"Ya Allah Yai, ngapunten saya kaget," kiai Dahlan hanya tersenyum dan membantu anak didiknya itu berdiri. Dia sangat tahu apa yang sedang dirasakan putra angkatnya itu.
"Kamu kenapa kog sampai kaget begitu?"
"Maisya meminta saya datang lagi Yai,"
"Habis ashr nanti kita kesana, kosongkan waktumu. Jangan bersedih, semua sudah ada jalannya sendiri."
"Nggih Yai,"
Kedua lelaki beda generasi tersebut pun kembali dengan aktifitasnya, setelah tadi mereka sedikit berbincang. Melihat keakraban guru dan murid tersebut, banyak dari senior maupun junior Ayman yang iri. Namun mereka semua tahu, Ayman memang pantas di anak emaskan oleh sang kiai. Ibarat sebuah berlian, Ayman adalah permata yang berhasil membawa nama pesantren melalangbuana terkenal hingga ke mancanegara.
Setalah melaksanakan jamah Ashr di masjid Pesantren, Ayman segera bergegas ke ndalem kiai Dahlan. Merasa sudah di tunggu sang kiai, Ayman berjalan sembari memakai jam tangannya. Tanpa disadarinya, ada santri putri yang juga sedang tergesa-gesa berjalan di depannya.
Bruuuaakkh..
Klontang klontang klontang
"Hah, Jantung?"
***
Setelah jamaah Ashr di masjid Pesantren, Ayman bergegas ke rumah kiai Dahlan. Rasa gugup, kalut, bahagia dan sedih menyelimuti hati dan pikiran Ayman. Hingga tanpa tersadari, dia menabrak seseorang yang berjalan di depannya. BruaaakkKlontang klontang klontang"Hah, jantungku copot!" jerit santriwati tersebut."Maaf Mbak saya gak sengaja," kata Ayman sembari mengatupkan kedua tangannya di depan dada, "Mbak saya di tunggu pak Kiai. Sekali lagi saya mohon maaf dan permisi." Perempuan yang di tabrak Ayman hanya terdiam dan mengangguk saja. Matanya masih terbelalak memandang seseorang yang ada di depannya. Ingin sekali perempuan tersebut memakinya, namun mulutnya seperti terkunci. Melihat pesona fans berat para santri putri dengan sopannya meminta maaf. ***"Tak ingin memperpanjang permasalahan, saya hanya mau mengatakan kalau pernikahan Maisya denganmu saya batalkan," ucap ibu Tutik santai.Semua orang yang berada dalam pertemuan tersebut kaget. Tak terkecua
Lantunan sholawat nabi terdengar mengudara di seantero pesantren. Semua santri bergotong royong membersihkan area Pesantren. Dari asrama hingga halaman sampai di kamar mandi. Tak ada tempat secuil pun yang luput dari tangan-tangan sejuk mereka. Lantunan sholawat di alunkan dari saund yang berada di depan madrasah, agar para santri lebih semangat dan gak merasa capek.Hari jumat sangatlah di tunggu-tunggu oleh para santri. Hari dimana mereka bebas dari hafalan, pelajaran maupun kajian. Mereka bisa bersantai menghabiskan waktu senggang dengan berbagai olahraga atau ektrakurikuler lainnya yang mereka sukai.Berbeda dengan para santri lainnya, Ayman malah meringkuk dalam selimut. Pikiran suntuk, hati sedih dan badan yang terlalu capek membuatnya masih ingin tertidur pulas. Dinikmatinya surganya seorang santri ketika sudah bertemu dengan bantal dan selimut. Brakk brakk brakk "Ustadz Ayman!""Ustadz Ayman!""Mas Ayman.""Maaas."Brakk brakk brakkTog tog togSejak pagi beberap asatidz ber
Tak mengenal satu sama lain, Ayman dan Diajeng saling diam. Pernikahan mereka adalah keinginan banyak orang, namun tidak dengan Ayman. Meski sudah tak begitu terfikirkan oleh Maisya, Ayman sebenarnya ingin lebih fokus pada pengiriman peserta perwakilan lomba bulan depan. Namun pada kenyataannya semua hanya keinginan belaka.Ayman tak tahu harus berbuat apa. Banyaknya tamu di kediaman kiai Dahlan membuatnya masih terselamatkan. Entahlah, dia akan seecepatnya membuka hatinya lagi atau malah sebaliknya. Diajeng mengerti, Ayman sangat terpaksa menikah dengannya. Bahkan Ayman seakan enggan duduk bersampingan dengannya. Ayman juga langsung menjauhi Diajeng, ketika penghulu telah berpamitan pulang. Senyum semringah Ayman pun hanya karena ada Omanya yang terlihat bahagia. Diajeng merasa bersalah dan tak ingin berada di posisinya seperti saat ini."Ajak istrimu ke kamar yang tadi Nak," bisik Oma."Gak mau. Ngapain Oma!"gerutu Ayman tak kalah lirihnya.Oma Maimunah tertawa, dia hanya ingin men
Hari semakin malam, para tamu juga sudah pulang. Tersisakan opa oma Ayman yang memang memutuskan untuk bermalam di pesantren. Sedangkan Diajeng pun memilih untuk kembali ke asramanya. Meski ning Maya sudah memintanya agar tidur bersamanya di ndalem, Diajeng masih dengan pendiriannya, apalagi suaminya tak ada ucapan apapun kepadanya.Kiai Dahlan tak bisa memaksakan kehendak Ayman. Omanya yang sesama perempuan dengan Diajeng hanya mengomel sepanjang waktu. Namun Ayman tak menghiraukan itu. Dia hanya ingin menenangkan hatinya sendiri tanpa ada seseorang di sampingnya. Diajeng tak pernah putus dari doanya, berharap Ayman segera membuka perasaannya. Berada dalam satu atap yang sama dan menjadi keluarga kecil bahagia. Tuhan itu maha adil, garis yang di rencanakanya lebih indah dari keinginan makhluknya."Eh, Ustadz Ayman jadi menikah sama Maisya itu kan sih Jeng?" tanya salah satu teman sekamar Diajeng. Diajeng menggeleng, hatinya sakit. Meski tak ada santri yang mengetahui pernikahannya
Diajeng, gadis manis itu terlahir dari rahim permpuan bernama Anjani. Ayahnya bernama Bayung Prasetyo, pemilik usaha laundry terbesar di kotanya. Meski terkenal dari keluarga kaya raya, Diajeng selalu di ajarkan oleh orang tuanya untuk selalu merendahkan hatinya. Jika pun berteman, orang tuanya selalu berpesan agar tak membeda-bedakan semua temannya, baik kaya atau miskin. Diajeng bukan tipe perempuan berkulit putih, tinggi semampai. Dia bertubuh kecil sedikit gemuk, wajahnya manis tak membuat mata bosan memandang. Hal tersebut menurun dari ayahnya, yang memang terlahir dari keluarga berkulit sawo matang. Teman kecil Diajeng adalah Maisya. Rumah mereka juga berhadapan. Maisya kecil tak pernah mempunyai teman. Ibunya yang sombong dan suka marah teriak-teriak, mambuat teman-teman Maisya menjauhinya. Berbeda dengan Diajeng, dia selalu mengajak Maisya bermain, agar Maisya bisa merasakan masih mempunyai teman.Sejak kecil Diajeng sudah di karuniai otak cemerlang. Karep kali dia mengikuti
"Assalamualaikum halo Bu Anjani, ini Ayman sama Diajeng sudah dapat rumah yang akan di tempati. Nanti alamatnya saya kirimkan saja, tapi Bu Anjani kalau kesini jangan malam ya. Kasihan pengantin baru, keganggu. Ya sudah mau ngabarin itu saja, Assalamualaikum."Diajeng tersipu malu sedangkan Ayman menatap Oma Maimunah sengit. Mereka bertiga tak mengikuti opa yang mengelilingi rumah. Kejahilan oma pada cucunya tersebut membuat oma terlihat lebih sehat dan bahagia. "Acara kamu bagaimana Nak, jangan sampai kamu membuang uang di vendor sia-sia.""Tidak boleh di batalkan oleh Pak Kiai Opa," jawab Ayman lesu."Ya berarti hari itu kamu nikah secara negara dengan Diajeng. Mbak-Mbakmu juga sudah booking mua dan baju keluarga," sahut Oma."Itu sih emang Mbak Nana dan Mbak Lala aja yang emang suka heboh. Tapi boleh juga lah ide oma," kata Ayman. "Oke, semua biar di urus Mbakmu saja. Kasih tahu semuanya, pihak besan biar nanti di urus Mbakmu juga." Pungkas opa sembari memainkan ponsel yang ada d
Kangen? Iya. Sebagai perempuan yang memang telah lama memendam perasaannya kepada suami, Diajeng seringkali memimpikan kebersamaannya berdua. Mereka yang hanya berada satu atap ketika hari libur pesantren saja, membuat Diajeng masih ingin berlama-lama bersama suami. Namun Diajeng tak pernah protes, dia tetap menikmati semua keputusan suaminya. Resepsi memang sengaja di undur oleh kedua belah pihak. Mereka tak ingin membuat acara hanya sekedar selesai dan puas saja. Mereka ingin memberikan kesan tersendiri yang bisa di kenang seumur hidup oleh sepasang pengantinnya. Di pesantren, para santri hanya mengetahui bahwa Ayman selalu memperhatikan Diajeng. Mereka beranggapan bahwa Ayman menyukai Diajeng. Isu tersebut sudah menyebar dan hanya di tanggapi dengan senyuman oleh Diajeng. Diajeng bahagia ketika dia menjadi pusat gunjingan para santri perihal Ayman. Dia juga selalu mengaminkan ketika ada yang mendoakan supaya mereka berjodoh. Bagi teman Diajeng, Ayman memang lebih cocok dengan di
Maisya tak bisa lagi menopang badannya untuk berdiri. Meski ibu mertua sudah memanggilnya bolak balik, Maisya juga tak menyahutinya. Tubuhnya menggigil dan mulutnya seolah terkunci, matanya tertutup dan hanya meneteskan air mata. Bu Dini, atau yang lebih terkenal dengan sebutan Bu camat itu menghampiri Maisya di kamarnya. Bu Dini memeriksa semua tubuh Maisya dan dibuat kaget ketika mendapati menantunya tersebut demam tinggi. Tanpa menunggu siapapun lagi, Bu Dini bergegas menghubungi dokter keluarganya. "Maaf Bu, saya lagi dinas keluar kota."Balasan yang membuat Bu Dini lemas. Namun dia langsung berlari meminta bantuan pada tetangganya untuk membawa menantunya itu ke rumah sakit. Meski ragu, Bu Dini tetap mengetuk pintu rumah tetangganya. Betapa kagetnya Bu Dini, saat Diajeng yang membuka pintu. Lalu lebih terkejut lagi, ketika Ayman menyusul keluar. Walaupun sedikit sungkan, Bu Dini tetap pada tujuannya. "Maaf Nak Diajeng, saya ingin meminta bantuan. Tolong bantu angkat Maisya ke
Koridor rumah sakit tetap sepi seperti biasanya. Ruang ICU hanya boleh di tunggu di luar ruangan, sedangkan pasien di dalam hanya ada Risma saja. Bisa di pastikan tempat yang saat ini hanya ada Diajeng saja itu akan terasa sangat mengerikan. Diajeng keluar begitu saja dari ruang bayi. Adu mulut antara Bu Siska dan ibunya Joko membuatnya tak ingin menambah masalah bagi mereka. Diajeng lebih leluasa sendirian seperti itu, timbang banyak orang hanya ada omongan unfaedah saja. Tetesan air hujan telah merata membasahi bumi. Suara guntur saling bersahutan antara yang satu dengan lainnya. Angin kencang ikut terlihat dari lantai dua tempat yang Diajeng saat ini.Diajeng, perempuan bertubuh mungil itu masih menjadi bahan perbincangan banyak orang. Apalagi kalau bukan karena pernikahannya dengan sang Ustadz. Namun bukan itu yang sedang panas di telinga orang lain, kekayaan Aymanlah yang menjadi kunci dari semua ucapan dari satu mulut ke mulut yang lain. Jika bagi mereka Diajeng orang pilihan
Tangan Sifa di genggam erat oleh seseorang. Tangisnya tak bisa di bendungnya lagi. Beberapa hari yang lalu, orang tuanya mempermalukannya di depan umum dan dia hanya tersenyum saja. Hari ini, semua perasaan Sifa serasa hancur lebur tak berbentuk. Sifa mendongakkan kepalanya, melihat sosok yang tengah memegangnya. Tangisnya kembali pecah ketika orang yang di ajaknya bicara pun tengah berurai air mata. Keduanya beradu pandang tanpa sepatah kata apapun. Benar, Risma tersadar dari kritisnya. Setelah dua hari tak sadarkan diri. Walaupun tampak lemas tak berdaya, Risma mampu menggenggam saudara SE ayah itu dengan erat. "Maafkan aku Mbak," lirih Risma. Sifa bangkit dengan mengusap pipinya yang basah. Dia memanggil perawat yang berjaga di ruang ICU. Sifa juga menyempatkan diri untuk membasuh mukanya ke toilet. "Apa yang di rasakan Mbak?" tanya perawat. "Sakit semua Kak." "Di buat istirahat dulu ya. Biar nanti langsung di pindahkan ke ruang rawat inap saja." "Kenapa baru bangun kamu, a
Ayman datang bersama ustadz Faris yang karena Diajeng berulangkali tak bisa di hubungi oleh Ayman. Ayman yang awalnya ingin datang ke rumah sakit sendirian, namun ustadz Faris malah mengintil di jok belakang. Mau tak mau Ayman pun datang berdua lagi bersama ustadz Faris. Diajeng tak menyadari suaminya yang duduk di sampingnya. Dr Mila pun sama, mereka berdua mengobrol sembari memejamkan mata. Tanpa menghiraukan Sifa yang bersitegang dengan kawan bicaranya, Diajeng begitu menikmati kedamaiannya."Sayang," panggil Ayman. Sontak Diajeng membelalakkan matanya. Di lihatnya pula Sifa yang wajahnya tampak pucat. Merasa kebingungan, Ayman tersenyum kecil sembari mengedipkan matanya. "Aneh," celetuk Diajeng. "Tetep gantengan aku dong," kekeh Ayman."Loh, Ustadz kog kesini lagi?" Tanya dr Mila ketika menyadari kebisingan di sampingnya. "Iya Dok, tadi Diajeng gak bisa di hubungi. Mau telpon Dokter, saya gak ada nomernya." "Hah? Ada apa Mas? Tadi aku habis jagain Risma di dalam, jadi gak b
Seorang perawat memanggil Diajeng karena masa penungguan pasien sudah habis. Diajeng harus keluar dan nanti akan di panggil lagi kalau sudah waktunya jam menunggu pasien. Perawat juga memberitahu Diajeng kalau Risma sudah menunjukkan perkembangannya. Diajeng keluar di sambut Sifa dengan keinginan tahuannya. Walaupun Sifa tak menyukai sifat adik tirinya itu, namun dia juga sebenarnya merasa kasihan. Bagaimanapun juga, ada darah yang sama di dalam tubuh Risma dan dirinya. "Belum sadar juga?" "Belum Fa, tadi aku ajak dia baca Yasin. Terus aku genggam tangannya dan kudekatkan bibirku di telinga Risma. Alhamdulillah dia respon, dia menangis kayaknya. Soalnya ada air mata yang menetes gitu." "Kamu mencoba berbicara dengannya gak Jeng?" Gantian dr Mila yang penasaran. "Iya Dok, aku bilangin tuh adeknya Sifa. Tak suruh insaf, kalaupun dia enggak selamat kan minimal sudah ada niatan baik gitu. Jangan marah ya Fa hehe," kekeh Diajeng. "Kamu betul sih, soalnya dia juga banyak dosa. Kayakny
Sesampainya di rumah sakit, mereka langsung menuju ruangan ICU. Belum ada perkembangan yang lebih baik pada Risma. Keadaannya masih sama, kritis.Orang tua Risma tampak kusut berada di depan ruang ICU. Mata mereka juga sembab. Ibu Risma tak lagi menampakkan wajah garangnya. "Makan dulu Yah, Mah. Habis ini kalian pulang saja, nanti sore baru kesini lagi. Biar kita saja yang menunggu Risma," ujar Sifa. "Kita langsung pulang saja Nak, kasihan Mama nangis terus semalam. Ini nasinya kita bawa pulang saja ya," kata pak Udin. "Oh, bawa saja semuanya kalau begitu Yah. Biar kalian gak beli lagi," kata Sifa. Kedua pasangan paruh baya itu pun beranjak untuk kembali ke rumah mereka. Tanpa menyapa lagi ataupun sekedar senyum. Dr Mila hanya melirik Diajeng sembari tersenyum kecut. Seorang perawat keluar dan mencari keluarga Risma. Di tangannya nampak membawa sebuah kertas yang di serahkan pada Sifa. Perawat hanya meminta Sifa untuk mengambilkan obat yang saat ini sangat di butuhkan ya oleh adi
"Oalah mbak, cantik-cantik kog senengnya merebut calon orang. Mbok ya sing kreatif gitu loh," ujar seorang perempuan muda di toko sayur dan kebutuhan rumah tangga depan komplek. Diajeng yang sedang menemani Sifa itu mengerutkan keningnya. Ibu muda tadi melototkan matanya dengan tajam di hadapan Diajeng. Merasa tak mempunyai masalah, Diajeng pun mengacuhkannya. "Ya begini kalau terlahir dari keluarga tak berpendidikan tinggi, diajak berbicara saja melengos. Sudah merasa menjadi perempuan paling cantik," lanjutnya lagi.Diajeng membuntuti Sifa yang tengah sibuk mencari berbagai kebutuhan yang akan di bawanya ke rumah sakit. Toko sedang ramai, banyak ibu-ibu yang berbelanja sayur saling berbisik. Semua mata mengarah pada Diajeng, dengan mulut mereka berkomat-kamit sangat bising. Dari rumah Diajeng tak berniat membeli apapun. Dia hanya mengantarkan Sifa yang belum tahu Tutik letak toko di daerah sini. Sifa yang keukeh ingin berbelanja itu pada akhirnya meminta Diajeng untuk mengantarka
"Tapi Buk, kenapa harus di samakan sih." Gerutu Maisya mengejar mertuanya."Terserah Ibu dong. Kamu sudah Ibu belikan juga, kenapa harus marah toh Saya." Kedua mertua dan menantu itu berbicara sangat keras sembari berjalan ke arah rumah Diajeng. Baik Diajeng maupun dr Mila hanya terdiam mendengarkan saja. Sifa yang baru hendak ke rumah Diajeng itu malah cengengesan melihat drama yang ada di depannya. "Ya jangan samakan dengan oarang lain dong Bu," kesal Maisya. "Kamu kog ngatur Ibu, terserah Ibu dong. Uang juga punya Ibu sendiri," ucap Bu Dini tak mau kalah. Diajeng menjadi kikuk di datangi oleh tetangga sebelah rumahnya. Bukan tak suka atau tak memperbolehkan orang lain berkunjung, namun Bu Dini datang dengan menantunya yang seakan tak suka pada Diajeng. Tatapan sinis Maisya membuat Diajeng ingin menutup pintunya saja, daripada terjadi kerusuhan antar teman. "Nak Ajeng, maaf ya malah ribut di rumah kalian." "Iya Bu, tak masalah. Kalau boleh tahu, ada apa ya Bu?" tanya Diajeng.
"Sayang, kalau kamu hamil nanti. Aku gak mau jadi yang ke dua," celoteh Ayman. Diajeng yang sudah merem pun kembali melek. Matanya melihat suaminya yang masih setia membelai lembut pipinya. Diajeng pun melanjutkan tidurnya yang tertunda. "Aku bakalan kesepian banget kalau kita nanti punya anak." Ayman berbicara lagi. Diajeng yang memang belum bisa Langsung tidur itu hanya mendengarkan saja. Ayman seolah tahu kalau istrinya belum jadi tidur. "Sayang, kita kapan ya punya anak." "Ambigu banget sih Mas," ujar Diajeng. "Bikin anak yuk," kata Ayman. "Gak pengertian banget jadi suami," jawab Diajeng. Ayman pun terbangun dari posisi tidurnya. Dipijitnya kaki sang istri. Bahkan Ayman memijit Dnegan sangat hati-hati. "MaasyaAllah, terimakasih suamiku. Aku tidur dulu ya," pamit Diajeng. "Ya enggak gitu juga konsepnya Sayang," lirih Ayman yang membuat Diajeng terkekeh bahagia. *** Maisya di temani sang suami berjalan santai di komplek perumahan mertuanya. Udaranya yang seju
Maisya bersama suaminya tengah mengantri untuk cek kandungan di rumah sakit terdekat. Mereka sangat bersemangat karena ingin sekali mengetahui perkembangan sang janin di dalam perut. Banyak sekali perubahan yang di rasakan oleh Maisya, walaupun masih dia masih trimester awal.Dokter yang akan menangani maisya masih belum datang. Walaupun mendapatkan nomor antrian pertama, jam terbang sang dokter molor hingga satu jam lebih. Bahkan maaiya sudah berulangkali mengeluh kecapekan duduk. "Makan dulu," ucap Rudi. Dengan senang hati Maisya membuka mulutnya menerima suapan dari suami tercinta. Pasangan yang menjadi pusat perhatian banyak orang karena sifat maisya yang selalu manja pada suaminya. Bahkan ada yang senyum-senyum malu sendiri melihat kelakuan Maisya. "Manis mas, seperti cintamu yang tak pernah pudar untukku." "Dan kamu adalah obatku agar tak sampai menderita diabet." Maisya tertawa mendengar gombalan Rudi yang garing tanpa ekspresi di dalamnya. Sampai mereka tak menyadari kala