HATI ALINA (5)
_______________Keesokan harinya, Bu Nyai Fatma kembali mengajak Alina berbicara dari hati ke hati. Bu Nyai Fatma merasa menyesal telah menorehkan luka di hati menantunya kemarin sore, karena telah mengatakan hal yang begitu menyakitkan bagi Alina."Nikmat setiap orang itu berbeda-beda, Nak. Jika ada satu keinginan kamu yang belum tercapai hingga kini, jangan jadikan alasan jika kamu belum mendapatkan kenikmatan, bisa saja Allah sedang memberimu kenikmatan yang lain, yang sedang orang lain harapkan." Bu Nyai Fatma mencoba memberi pengertian pada Alina yang sempat lepas kendali pada ucapannya.
"Apa memiliki madu adalah sebuah kenikmatan, Umi?" lirih Alina."Insyaallah, jika kamu bisa melaluinya dengan hati yang ikhlas." "Alina memang keturunan Kyai, Umi. Tapi hati Alina sama dengan hati wanita di luaran sana, tidak akan mampu melihat suami hidup dengan wanita lain selain diri kita sendiri." Jawab Alina sendu."Umi mengerti apa yang kamu rasakan, umi juga wanita, Nak. Tapi jika hanya dengan cara itu keluarga suamimu bisa mendapat calon penerus Pesantren, kita bisa apa?" Jawab Bu Nyai Fatma.
"Maka Alina memilih mundur dari pernikahan ini, Umi." Jawab Alina tegas.Bu Nyai Fatma menatap nanar ke arah menantunya. Dia tahu, Alina tidak akan mau berbagi suami dengan wanita manapun. Sama halnya dengan dirinya, jika dihadapkan pada permasalahan yang Alina hadapi, Bu Nyai Fatma pun tak akan rela di madu, begitulah pikir Bu Nyai Fatma."Jangan ngomong begitu, Lin," lirih Bu Nyai Fatma dengan mengusap kepala Alina yang terbungkus jilbab.
"Lalu bagaimana, Umi? Apa Alina harus rela berbagi suami sedangkan jiwa Alina tidak pernah bisa menghadirkan rasa ikhlas dalam hati? Bukankah itu sama dengan melukai diri saya sendiri, Umi?"
Bu Nyai Fatma terdiam. Diam-diam wanita paruh baya itu menyesalkan keegoisan dirinya. Tujuannya datang ke kamar Alina memang paksaan dari sang suami agar membujuk Alina untuk bisa menerima setiap keputusan Kyai Fuad.
"Lalu apa keputusan kamu, Lin?""Tergantung pilihan dari Gus Alif, Umi."
"Jika Alif memilih mentaati perintah Abah?" Pertanyaan Bu Nyai membuat wanita di depannya menggigit bibir bawah."Maka Alina yang akan mundur," jawab Alina sendu."Apa kamu tidak kasihan pada Umi dan Abah, Lin?" tanya Bu Nyai dengan menangkup kedua pipi Alina dan menatap manik wanita muda itu dengan pandangan sayu."Apa Alina egois jika memilih mundur dari pernikahan ini, Umi?" ucapan Alina seperti sebuah sindiran bagi Bu Nyai Fatma. Wanita paruh baya itupun merasa jika dirinya sedang egois, memaksa Alina bertahan pada pernikahan dengan satu istri yang lain untuk Alif kelak.
"Lupakan soal permintaan Abah, Nak. Sekarang kamu fokus untuk mengikuti program kehamilan dengan suamimu, bersiaplah! Alif sebentar lagi selesai menjadi imam, Umi sudah menyampaikan pesan pada Kang Abdi agar mengatakan pada suamimu untuk segera kembali ke ndalem."Alina mengangguk samar, "Enggih, Mi!"
Bu nyai Fatma keluar dari dalam kamar menantunya dengan perasaan yang berkecamuk. Di satu sisi, dia begitu menyayangi Alina sudah seperti anaknya sendiri, di sisi lain, benar kata suaminya, jika Pesantren ini membutuhkan penerus setelah Alif.Dihembuskannya nafas dengan perlahan, agar sesak di dalam dada semakin berkurang. Bagaimana jika Alina memilih menyerah? Pelipis Bu Nyai terasa sakit memikirkan menantu kesayangan itu. Takut jika Alina meninggalkannya karena hadirnya madu dalam rumah tangga Alif dan Alina.
Sementara di tempat yang lain, Alina membasuh wajahnya di dalam kamar mandi, agar sembab di matanya tidak begitu kentara. Dipoleskannya bedak tipis pada wajah yang putih dan bersih sejak kecil itu. Tanpa pewarna bibir, bibir Alina memang sudah merah dan ranum dari sananya. Benar-benar definisi sederhana yang elegan bagi sesiapapun yang melihatnya. Cantik, tegas, berpemahaman luas, namun sayang, takdir indah tidak memihak pada hidupnya.
"Assalamualaikum," ucap Alif ketika membuka pintu dan mendapati sang istri tengah menatap dirinya di cermin."Waalaikumsalam," jawab Alina tertunduk."Sudah siap, Lin?"
Alina mengangguk dan menyambar tas kecil di toalet kamarnya. Sebuah gamis maroon dengan jilbab merah muda menjadikan kulit putih Alina semakin terpancar. Alif hampir tidak berkedip melihat kecantikan istrinya. Sementara pipi Alina sudah merona ditatap sedemikan intens oleh sang suami."Gus?" panggil Alina pada Alif yang masih saja mematung. Ditepuknya pipi sang suami lembut, "Saya sudah siap, Gus!" kata Alina sambil menahan tawa.
Alif gelagapan dan mengusap wajahnya kasar.
"I-iya. Ayo Lin!" ajak sang suami berjalan beriringan.
Tidak bisa Alina pungkiri, cintanya pada Alif memang begitu besar. Terlepas dari apa yang sudah dia dengar tempo hari, tetap saja dadanya berdebar dua kali lebih cepat ketika di dekat suaminya. Godaan kecil dari Alif selalu bisa membuat pipi Alina merona. Begitu sederhana kebahagiaan wanita itu, tapi tidak dengan kebahagiaan menurut Kyai Fuad, bagi lelaki yang sudah berumur itu, menimang cucu adalah kebahagiaan yang paling dia nantikan.
Mereka berdua berpamitan pada Kyai Fuad dan Bu Nyai Fatma yang sedang duduk berdua di ruang tamu.
"Setelah ikhtiar, jangan lupa berdoa ya, Nduk!" pesan Kyai Fuad pada Alina."Nggih, Bah," jawab Alina lirih. Kepalanya tertunduk menatap lantai ruang tamu ndalem, nyeri di dada Alina selalu hadir ketika menatap mata Kyai Fuad. Alina merasa, Kyai Fuad terlalu berambisi dan sudah tidak menyayangi dirinya lagi sebagai menantu.Tanpa sopir, Alif mengendarai sendiri mobilnya dengan Alina duduk di samping kiri. Mereka lebih suka bepergian berdua tanpa harus merepotkan Kang Abdi untuk sekedar menyetir mobil. Bagi Alif, suatu kebanggaan tersendiri bisa mengendarai mobil berdua dengan Alina."Kenapa diam saja, Lin?" Alif memecah kesunyian di antara keduanya.
Alina hanya tersenyum samar dan memilin ujung jilbabnya.
"Apa kamu gugup?" goda Alif."Mboten, Gus," jawab Alina lirih."Rileks saja, Lin. Promil beda dengan malam pertama, jadi nggak perlu gugup." Lagi, Alif menggoda Alina yang sudah memerah kedua pipi putihnya."Saru, Gus. Apa panjenengan ingin malam pertama lagi?" tanya Alina dengan mata yang mulai memanas.Alif menyugar rambutnya kasar. Niatnya menggoda sang istri, kini malah mendapat pertanyaan balik dari sang istri.'Benar-benar lagi sensi,' batin Alif.
"Bukan begitu, Lin." Jawab Alif gelisah. "Kita bisa melakukan malam pertama itu lagi nanti, Gus. Kenapa panjenengan gugup? Atau sedang memikirkan malam pertama dengan yang lain?" selidik Alina menggoda Alif yang kini memilih diam.HATI ALINA (6)_______________"Bagaimana jika nanti hasilnya mengecewakan, Gus?" tanya Alina dengan mata berkaca-kaca."Allah berfirman, Ana 'inda dzonni 'abdibii yang artinya Aku bersama dengan prasangka hambaku. Jadi berprasangka baiklah pada setiap takdir Allah, Lin." Tegur Alif pada istrinya.Alina menunduk, lagi, dirinya merasa malu pada Sang Pencipta. Kecintaannya pada makhluk, membuat syak wasangka Alina begitu buruk pada penciptanya.'astaghfirullah' batin wanita muda itu beristighfar.Akhirnya, sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, mereka saling terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.____________"Hasilnya keluar besok siang ya, Pak, Bu. Besok bisa langsung ke bagian administrasi dan menemui saya, akan saya jelaskan hasil dari tes kesuburan bapak dan ibu," jelas seorang dokter wanita pada Alif dan Alina.Istri Alif sejak tadi sibuk memilin uju
HATI ALINA (7)__________________Di dalam kamar, Alina meredam sendiri luka yang terasa begitu menyesakkan dada. Alina merasa, Kyai Fuad terlalu tidak sabaran pada perjuangan Alina dan suaminya. Entah mengapa, wanita cantik itu menangkap firasat lain dari permintaan Kyai Fuad pada suaminya.Kriet.Ketika pintu kamar terbuka tanpa adanya salam terlebih dahulu, Alina tahu, jika yang datang adalah suaminya."Kamu habis menangis?" Alif membelai lembut pucuk kepala Alina."Mboten, Gus." Jawab Alina berbohong.Dibenamkannya kepala sang istri pada dada bidangnya. Bukannya malah tenang, tangis wanita itu semakin menjadi berada dalam dekapan sang suami. Alina merasa dunia begitu tidak adil. Dulu, sejak kecil Kyai Fuad sudah mewanti-wanti Abah Nashor agar berkehendak menjodohkan Alina dengan Alif. Tapi kini, saat alur kehidupan tidak sesuai dengan kehendak sang mertua, Alif
HATI ALINA (8)________________"Ini toh yang namanya Gus Alif, Kyai?" tanya Kyai Ahmad-- ayah Hanifah.Tampak sekali raut bahagia terpancar di wajah Kyai sepuh itu, begitupun dengan Bu Nyai Husniah-- ibu Hanifah."Leres, Kyai. Saya Alif," sahut Gus Alif tersenyum takzim. Hanifah hanya menunduk sedark tadi, mengingat di depannya telah duduk laki-laki yang bukan mahramnya."Neng Hanifah ini pemalu ya, Bu Nyai Hus?" goda Ibu Nyai Fatma pada calon besannya."Aslinya mboten, tapi mungkin jaga image di depan calon suami," bisik Bu Nyai Husniah pada Bu Nyai Fatma, membuat kedua bola mata Hanifah membulat sempurna."Maksutnya apa, Umi?" tanya Hanifah lirih dengan hati-hati. Takut jika Kyai Fuad atau Abahnya mendengar.Bu Nyai Husniah tersenyum simpul menghadap Hanifah, sementara Bu Nyai Fatma memperlihatkan seraut wajah sumringah sebab kedatangan calon menantu kedua. Pelan-pelan
HATI ALINA (9)_______________Semua yang ada di ruang tamu mendadak mengatupkan mulut. Tidak ada yang berani bersuara, sampai satu per satu teh hangat tersaji di depan para tamu.Dengan mengatur debar nafas yang kian bertalu. Alina berkali-kali manarik nafas dan menghembuskannya perlahan.'semoga ini bukan keputusan yang salah,' batin Alina."Sebelumnya, ngapunten untuk Abah dan Umi jika saya sudah lancang menyela pembicaraan panjenengan semua," Alina menjeda ucapannya, dia meraup udara untuk memenuhi rongga dadanya dan menukar udara lama dengan udara baru. "Insyaallah saya setuju, jika...," Diusapnya sudut mata yang tidak terasa sudah berair. Bu Nyai Fatma dan Kyai Fuad tertunduk, merasa berdosa telah mendzolimi menantunya yang mereka bangga-banggakan selama ini."Jika Gus Alif harus menikah lagi," lanjut Alina dengan suara bergetar."Lin," panggil Alif lembut, netranya memanas melihat
HATI ALINA (10)________________"Zahwa, Umi," jawab Alina lirih.Bu Nyai Fatma menyelami raut wajah Alina, mencari keseriusan dalam ucapannya. Wanita paruh baya itu tidak menyangka, jika sang menantu akan memilih Zahwa, menjadi madunya."Kenapa harus Zahwa, Lin?" selidik Bu Nyai Fatma pada Alina."Apa ada yang salah, Umi? Bukankah Zahwa adalah gadis yang baik, kecerdasan dan kesopanan Zahwa tidak diragukan lagi," ucap Alina, pikirannya menerawang jauh pada saat dimana dia menanyakan pendapat mertuanya tentang Zahwa.Bu Nyai Fatma menangkupkan kedua tangannya pada wajah. Dia tidak menyangka, menginginkan seorang cucu, akan membuat kehidupan putranya serumit ini. Semua memang hanya tentang kesabaran dan keluasan hati. Kyai Fuad terlalu berambisi ingin mengembangkan pesantrennya dengan menjodohkan lagi Alif dengan putri Kyai Ahmad, seorang cucu bukan alasan satu-satunya bagi Kyai Fuad mengapa dia bersi
HATI ALINA (1)_________________"Pertimbangkan lagi saran Abah, Lif."Samar Alina mendengar percakapan Kyai Fuad dengan Alif--suaminya di Gazebo yang terletak di depan ndalem (rumah kyai)."Kita butuh penerus untuk pondok pesantren yang sudah Abah besarkan dengan almarhum kakekmu," sambung Kyai Fuad sementara Alif masih diam. "Abah dan Umi sudah bersabar menanti keturunan dari Alina, tapi sampai 4 tahun lamanya, penantian kami sepertinya harus berhenti sampai disini," ucap Kyai Fuad lagi.Alina yang hendak menyuguhkan dua cangkir kopi menghentikan langkahnya di balik tembok pembatas gazebo.Perempuan itu meremas ujung jilbabnya dengan kuat. Dia tau kemana arah pembicaraan sang mertua meskipun hanya mendengar beberapa penggal kalimat saja."Alif tidak mampu jika harus menyakiti hati Alina, Bah!"Ucapan Ali
HATI ALINA (2)_________________"Ning Alin," tepukan tangan di pundak Alina membuat dia tersadar dari lamunan panjangnya.Seluruh jamaah santri putri penduduk bait Al-Hikmah sedari tadi sudah berdiri menunggu Alina mulai memimpin sholat Dhuhur."Astaghfirullah," gumam Alina lirih.Zahwa menatap heran pada istri putra Kyai Fuad yang mereka panggil Gus Alif itu.Ya, gadis dengan usia dua tahun di bawah Alina itu memberanikan diri membangunkan sang pemimpin dari lamunan panjangnya. Pasalnya, Zahwa adalah badal (pengganti) dari Alina ketika ada sesuatu yang mendesak.Rakaat pertama berjalan dengan lancar, meskipun pikiran Alina berkelana jauh membayangkan hadirnya madu dalam rumah tangga yang sudah dia bangun sejak 4 tahun silam.Rakaat kedua, pikiran Alina mengacaukan bacaan surah pendek yang sedang Alina lantunkan. Tepukan punggung
HATI ALINA (3)__________________Sepeninggal Bu Nyai Fatma, Alina kembali berkutat dengan kitab kuning di hadapannya. Nanti sore adalah jadwalnya mengajar di bait As-shoghir, pesantren khusus anak kelas 1-6 SD jika menurut sekolah umum.Alif memasuki kamarnya dan mendapati sang istri tengah menthola'ah kitab fiqh di tangannya."Masuk kelas jam berapa, Lin?" tanya Alif basa-basi."Insyaallah, pukul 4 sore, Gus. Kalau tidak ada halangan," jawab Alina dengan menatap netra sang suami.Alif dibuat salah tingkah dengan tatapan mata Alina. Pasalnya, tiap tatapan yang Alina berikan, selalu membuat getaran tersendiri bagi hati Alif."Sini Lin, saya mau ngomong sebentar," Alif menepuk ranjang kosong di sebelahnya.Alina beranjak dari tempatnya duduk dan menghampiri sang suami dengan perasaan berkecamuk.&n
HATI ALINA (10)________________"Zahwa, Umi," jawab Alina lirih.Bu Nyai Fatma menyelami raut wajah Alina, mencari keseriusan dalam ucapannya. Wanita paruh baya itu tidak menyangka, jika sang menantu akan memilih Zahwa, menjadi madunya."Kenapa harus Zahwa, Lin?" selidik Bu Nyai Fatma pada Alina."Apa ada yang salah, Umi? Bukankah Zahwa adalah gadis yang baik, kecerdasan dan kesopanan Zahwa tidak diragukan lagi," ucap Alina, pikirannya menerawang jauh pada saat dimana dia menanyakan pendapat mertuanya tentang Zahwa.Bu Nyai Fatma menangkupkan kedua tangannya pada wajah. Dia tidak menyangka, menginginkan seorang cucu, akan membuat kehidupan putranya serumit ini. Semua memang hanya tentang kesabaran dan keluasan hati. Kyai Fuad terlalu berambisi ingin mengembangkan pesantrennya dengan menjodohkan lagi Alif dengan putri Kyai Ahmad, seorang cucu bukan alasan satu-satunya bagi Kyai Fuad mengapa dia bersi
HATI ALINA (9)_______________Semua yang ada di ruang tamu mendadak mengatupkan mulut. Tidak ada yang berani bersuara, sampai satu per satu teh hangat tersaji di depan para tamu.Dengan mengatur debar nafas yang kian bertalu. Alina berkali-kali manarik nafas dan menghembuskannya perlahan.'semoga ini bukan keputusan yang salah,' batin Alina."Sebelumnya, ngapunten untuk Abah dan Umi jika saya sudah lancang menyela pembicaraan panjenengan semua," Alina menjeda ucapannya, dia meraup udara untuk memenuhi rongga dadanya dan menukar udara lama dengan udara baru. "Insyaallah saya setuju, jika...," Diusapnya sudut mata yang tidak terasa sudah berair. Bu Nyai Fatma dan Kyai Fuad tertunduk, merasa berdosa telah mendzolimi menantunya yang mereka bangga-banggakan selama ini."Jika Gus Alif harus menikah lagi," lanjut Alina dengan suara bergetar."Lin," panggil Alif lembut, netranya memanas melihat
HATI ALINA (8)________________"Ini toh yang namanya Gus Alif, Kyai?" tanya Kyai Ahmad-- ayah Hanifah.Tampak sekali raut bahagia terpancar di wajah Kyai sepuh itu, begitupun dengan Bu Nyai Husniah-- ibu Hanifah."Leres, Kyai. Saya Alif," sahut Gus Alif tersenyum takzim. Hanifah hanya menunduk sedark tadi, mengingat di depannya telah duduk laki-laki yang bukan mahramnya."Neng Hanifah ini pemalu ya, Bu Nyai Hus?" goda Ibu Nyai Fatma pada calon besannya."Aslinya mboten, tapi mungkin jaga image di depan calon suami," bisik Bu Nyai Husniah pada Bu Nyai Fatma, membuat kedua bola mata Hanifah membulat sempurna."Maksutnya apa, Umi?" tanya Hanifah lirih dengan hati-hati. Takut jika Kyai Fuad atau Abahnya mendengar.Bu Nyai Husniah tersenyum simpul menghadap Hanifah, sementara Bu Nyai Fatma memperlihatkan seraut wajah sumringah sebab kedatangan calon menantu kedua. Pelan-pelan
HATI ALINA (7)__________________Di dalam kamar, Alina meredam sendiri luka yang terasa begitu menyesakkan dada. Alina merasa, Kyai Fuad terlalu tidak sabaran pada perjuangan Alina dan suaminya. Entah mengapa, wanita cantik itu menangkap firasat lain dari permintaan Kyai Fuad pada suaminya.Kriet.Ketika pintu kamar terbuka tanpa adanya salam terlebih dahulu, Alina tahu, jika yang datang adalah suaminya."Kamu habis menangis?" Alif membelai lembut pucuk kepala Alina."Mboten, Gus." Jawab Alina berbohong.Dibenamkannya kepala sang istri pada dada bidangnya. Bukannya malah tenang, tangis wanita itu semakin menjadi berada dalam dekapan sang suami. Alina merasa dunia begitu tidak adil. Dulu, sejak kecil Kyai Fuad sudah mewanti-wanti Abah Nashor agar berkehendak menjodohkan Alina dengan Alif. Tapi kini, saat alur kehidupan tidak sesuai dengan kehendak sang mertua, Alif
HATI ALINA (6)_______________"Bagaimana jika nanti hasilnya mengecewakan, Gus?" tanya Alina dengan mata berkaca-kaca."Allah berfirman, Ana 'inda dzonni 'abdibii yang artinya Aku bersama dengan prasangka hambaku. Jadi berprasangka baiklah pada setiap takdir Allah, Lin." Tegur Alif pada istrinya.Alina menunduk, lagi, dirinya merasa malu pada Sang Pencipta. Kecintaannya pada makhluk, membuat syak wasangka Alina begitu buruk pada penciptanya.'astaghfirullah' batin wanita muda itu beristighfar.Akhirnya, sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, mereka saling terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.____________"Hasilnya keluar besok siang ya, Pak, Bu. Besok bisa langsung ke bagian administrasi dan menemui saya, akan saya jelaskan hasil dari tes kesuburan bapak dan ibu," jelas seorang dokter wanita pada Alif dan Alina.Istri Alif sejak tadi sibuk memilin uju
HATI ALINA (5)_______________Keesokan harinya, Bu Nyai Fatma kembali mengajak Alina berbicara dari hati ke hati. Bu Nyai Fatma merasa menyesal telah menorehkan luka di hati menantunya kemarin sore, karena telah mengatakan hal yang begitu menyakitkan bagi Alina."Nikmat setiap orang itu berbeda-beda, Nak. Jika ada satu keinginan kamu yang belum tercapai hingga kini, jangan jadikan alasan jika kamu belum mendapatkan kenikmatan, bisa saja Allah sedang memberimu kenikmatan yang lain, yang sedang orang lain harapkan." Bu Nyai Fatma mencoba memberi pengertian pada Alina yang sempat lepas kendali pada ucapannya."Apa memiliki madu adalah sebuah kenikmatan, Umi?" lirih Alina."Insyaallah, jika kamu bisa melaluinya dengan hati yang ikhlas.""Alina memang keturunan Kyai, Umi. Tapi hati Alina sama dengan hati wanita di luaran sana, tidak akan mampu melihat suami hidup dengan wanita lain selain diri ki
HATI ALINA (4)_________________Sepanjang mengajar, Alina mencuri-curi pandang pada Zahwa yang terduduk di pojokan ruangan. Gadis sederhana itu memindai kitab di tangannya sembari mendengarkan penjelasan dari Alina.'Benar-benar tidak puas terhadap ilmu yang sudah di dapat' Batin Alina.Dan itu bagus, setiap santri harus memiliki rasa ketidakpuasan terhadap ilmu yang sudah di dapat. Dengan begitu, para santri akan selalu menthola'ah kitab mereka mencari pengetahuan baru dan ilmu-ilmu baru. Alina kagum dengan semangat belajar yang Zahwa miliki.Tanpa Alina sadari, Zahwa menatap heran pada istri Gus Alif tersebut, yang tetiba berhenti mendikte para santri memaknai kitab mereka.Alina gelagapan melihat tatapan Zahwa dan beberapa santri yang lain. Diraupnya wajah cantik nan putih itu dengan kedua tangan."Zah, tolong gant
HATI ALINA (3)__________________Sepeninggal Bu Nyai Fatma, Alina kembali berkutat dengan kitab kuning di hadapannya. Nanti sore adalah jadwalnya mengajar di bait As-shoghir, pesantren khusus anak kelas 1-6 SD jika menurut sekolah umum.Alif memasuki kamarnya dan mendapati sang istri tengah menthola'ah kitab fiqh di tangannya."Masuk kelas jam berapa, Lin?" tanya Alif basa-basi."Insyaallah, pukul 4 sore, Gus. Kalau tidak ada halangan," jawab Alina dengan menatap netra sang suami.Alif dibuat salah tingkah dengan tatapan mata Alina. Pasalnya, tiap tatapan yang Alina berikan, selalu membuat getaran tersendiri bagi hati Alif."Sini Lin, saya mau ngomong sebentar," Alif menepuk ranjang kosong di sebelahnya.Alina beranjak dari tempatnya duduk dan menghampiri sang suami dengan perasaan berkecamuk.&n
HATI ALINA (2)_________________"Ning Alin," tepukan tangan di pundak Alina membuat dia tersadar dari lamunan panjangnya.Seluruh jamaah santri putri penduduk bait Al-Hikmah sedari tadi sudah berdiri menunggu Alina mulai memimpin sholat Dhuhur."Astaghfirullah," gumam Alina lirih.Zahwa menatap heran pada istri putra Kyai Fuad yang mereka panggil Gus Alif itu.Ya, gadis dengan usia dua tahun di bawah Alina itu memberanikan diri membangunkan sang pemimpin dari lamunan panjangnya. Pasalnya, Zahwa adalah badal (pengganti) dari Alina ketika ada sesuatu yang mendesak.Rakaat pertama berjalan dengan lancar, meskipun pikiran Alina berkelana jauh membayangkan hadirnya madu dalam rumah tangga yang sudah dia bangun sejak 4 tahun silam.Rakaat kedua, pikiran Alina mengacaukan bacaan surah pendek yang sedang Alina lantunkan. Tepukan punggung