HATI ALINA (7)
__________________
Di dalam kamar, Alina meredam sendiri luka yang terasa begitu menyesakkan dada. Alina merasa, Kyai Fuad terlalu tidak sabaran pada perjuangan Alina dan suaminya. Entah mengapa, wanita cantik itu menangkap firasat lain dari permintaan Kyai Fuad pada suaminya.
Kriet.Ketika pintu kamar terbuka tanpa adanya salam terlebih dahulu, Alina tahu, jika yang datang adalah suaminya. "Kamu habis menangis?" Alif membelai lembut pucuk kepala Alina. "Mboten, Gus." Jawab Alina berbohong.Dibenamkannya kepala sang istri pada dada bidangnya. Bukannya malah tenang, tangis wanita itu semakin menjadi berada dalam dekapan sang suami. Alina merasa dunia begitu tidak adil. Dulu, sejak kecil Kyai Fuad sudah mewanti-wanti Abah Nashor agar berkehendak menjodohkan Alina dengan Alif. Tapi kini, saat alur kehidupan tidak sesuai dengan kehendak sang mertua, Alif dipaksa menikah lagi dengan dalih Alina terlalu lama memberikan seorang cucu, sedangkan umur manusia tidak ada yang tahu. Bukankah itu terlalu egois? Begitulah kiranya yang sedang Alina pikirkan dalam benaknya."Menangislah jika memang bisa membuat hatimu tenang," Alif mengusap punggung sang istri dengan lembut. Berulang kali bibirnya mencium pucuk kelapa Alina yang masih terbalut jilbab."Apa saya sudah tidak dianggap sebagai menantu lagi di sini, Gus?" mata Alina menatap tajam ke arah Alif."Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu, Lin?" Alif beralih mengusap lengan sang istri dengan lembut."Setidaknya itu yang sedang saya rasakan, Gus," sahut Alina lirih dengan netra kembali memanas."Bersihkan hatimu, Lin. Sungguh, ini bukan Alina yang dulu, kenapa sekarang suka sekali berpikiran buruk?" Alif menoel dagu istrinya.Alina terdiam. Dia tidak menyangkal semua perkataan Alif, karena memang sejak terdengarnya rencana Kyai Fuad untuk mencarikan Alif istri lagi, hati Alina sudah benar-benar kotor. Setiap melihat mertua dan suaminya duduk berdua, benaknya selalu diliputi rasa takut. Takut jika iming-iming memiliki dua istri merasuk ke dalam jiwa suaminya."Fokus pada tujuan kita, Lin. Jangan bebani pikiran kamu dengan hal yang tidak berguna. Jangan banyak pikiran, ingat apa kata dokter tadi." Ucap Alif mengingatkan. Alina mengangguk samar dan mengusap air mata yang membekas di pipi.______________"Lif, ada tamu. Keluar sebentar," ucap Bu Nyai Fatma setelah mengetuk pintu kamar Alif dan Alina."Nggih, Mi," sahut keduanya bersamaan.Alina memakai jilbabnya dan Alif memasangkan peci di kepalanya."Tamu dari mana ya, Gus? Kok tumben panjenengan turut dipanggil," tutur Alina merasa heran.Alif hanya tersenyum menatap kening istrinya yang mengkerut. Tidak mungkin dia mengatakan jika tamu yang datang adalah Kyai Akbar, pemilik pondok pesantren salafiyah di Bangil, Jawa Timur. Pertemuan ini sengaja disusun oleh Kyai Fuad, agar Alif dan putri dari Kyai Akbar bisa bertemu, sekalipun hanya masih sebatas bertatap muka.
"Assalamualaikum," ucap Alif ketika sudah berada di ruang tamu. "Waalaikumsalam," jawab semua orang yang memang sedang menunggu kedatangan lelaki tampan itu.Mata Alina membulat melihat siapa yang datang. Hanifah, teman sekaligus sahabatnya menimba ilmu di sebuah pondok pesantren yang terletak di Jawa Tengah.Sejak menginjak usia remaja, Alina memang sudah masuk ke dalam pondok pesantren yang jauh dari tempat tinggalnya. Sengaja, Kyai Nashor membawa putrinya untuk mengais ilmu di tempat lain, agar lebih luas pengetahuan Alina. Siapa sangka, siang ini menjadi pertemuan pertama bagi dirinya dengan Hanifah, sahabatnya yang sempat terpisah karena Alina harus pulang dan menerima pinangan Alif.
Hampir saja dia berteriak kegirangan ketika menatap mata Hanifah yang sama terkejutnya dengan dirinya. Tapi, kemudian dia bisa kembali menguasai diri. Mungkin di depan Hanifah, Alina adalah wanita ceria dengan segala tingkah konyolnya, tapi tidak dihadapan sang mertua dan suami, ada banyak marwah yang harus dia jaga dengan baik.Alina mencium tangan Bu Nyai Husnia-- istri Kyai Akbar dengan takdzim. Setelahnya dia memeluk Hanifah lama sekali. Kedua sahabat itu berpelukan melepas kerinduan. Kyai Fuad dan semua mata dibuat heran dengan pemandangan ini. Pasalnya, sekalipun Hanifah dan Alina bersahabat, Bu Nyai Husniah tidak tahu menahu tentang itu. Bahkan ketika Alina menikah, Hanifah tidak bisa hadir karena harus menjalani ujian akhir di pondok pesantren. Siapa sangka, sekarang mereka malah dipertemukan dalam pertemuan yang akan menyakiti hati Alina.
Kyai Fuad tampak gelisah melihat Alina begitu bahagia dengan kedatangan Hanifah. Sementara Alif berkali-kali melirik ke arah sang Abah, tak kalah cemasnya dari Bu Nyai Fatma."Kalian sudah saling mengenal, Han?" tanya Bu Nyai Husniah pada anaknya."Ini Alina, Umi. Sahabat Hanifah waktu mondok. Tapi sayang, dia lebih dulu nikah, makanya Hanifah ditinggal sendirian. Nggak setia kawan!" cibir Hanifah menggoda dengan meninju pelan lengan Alina.Alina tersipu mendengar penuturan Hanifah tentang dirinya yang lebih dulu nikah. Pinangan Alif waktu itu datang dengan cepat tanpa adanya proses ta'aruf lebih dulu. Kesepakatan dan persahabatan Kyai Fuad dan Kyai Nashor membuat keduanya menyegerakan pernikahan anak-anak mereka.
"Jadi dia sahabat yang sering kamu ceritakan sama Umi?" Bu Nyai Husniah mengusap kepala Alina dengan perasaan getir. Dalam benaknya dia sangat ketakutan jika persahabatan keduanya harus cukup sampai di sini, pada pertemuan pertama setelah selain tahun tidak bersua."Ambilkan jamuan dulu, Lin," pinta Bu Nyai Fatma pada Alina.Wanita muda itu mengangguk, meskipun dalam hatinya bertanya-tanya, tidak biasanya Alina harus mengambil jamuan untuk para tamu, karena selalu ada mbak-mbak khadam ndalem yang membantu. Perasaan buruk itu dia tepis, mengingat yang datang adalah teman baiknya.
'mungkin umi ingin membuat tamu-tamu itu senang, karena saya yang menjamu langsung,' batin Alina dengan senyuman manis terukir di bibirnya.Seketika pikiran buruk lenyap dari benaknya. Kedatangan tamu yang dia heran kan, kini tak lagi mengganggu pikirannya sebab dia tau yang datang adalah Hanifah. Alina lupa, darimana Hanifah tau rumahnya suaminya, yakni Alif. Alina tidak menyadari, jika kedatangan sahabatnya adalah dengan tujuan yang lain. Tujuan yang membuat luka di hatinya nanti.Alina belum menyadari itu. Kedatangan Hanifah menguras semua konsentrasi Alina pada kecurigaan sebelumnya.BersambungHATI ALINA (8)________________"Ini toh yang namanya Gus Alif, Kyai?" tanya Kyai Ahmad-- ayah Hanifah.Tampak sekali raut bahagia terpancar di wajah Kyai sepuh itu, begitupun dengan Bu Nyai Husniah-- ibu Hanifah."Leres, Kyai. Saya Alif," sahut Gus Alif tersenyum takzim. Hanifah hanya menunduk sedark tadi, mengingat di depannya telah duduk laki-laki yang bukan mahramnya."Neng Hanifah ini pemalu ya, Bu Nyai Hus?" goda Ibu Nyai Fatma pada calon besannya."Aslinya mboten, tapi mungkin jaga image di depan calon suami," bisik Bu Nyai Husniah pada Bu Nyai Fatma, membuat kedua bola mata Hanifah membulat sempurna."Maksutnya apa, Umi?" tanya Hanifah lirih dengan hati-hati. Takut jika Kyai Fuad atau Abahnya mendengar.Bu Nyai Husniah tersenyum simpul menghadap Hanifah, sementara Bu Nyai Fatma memperlihatkan seraut wajah sumringah sebab kedatangan calon menantu kedua. Pelan-pelan
HATI ALINA (9)_______________Semua yang ada di ruang tamu mendadak mengatupkan mulut. Tidak ada yang berani bersuara, sampai satu per satu teh hangat tersaji di depan para tamu.Dengan mengatur debar nafas yang kian bertalu. Alina berkali-kali manarik nafas dan menghembuskannya perlahan.'semoga ini bukan keputusan yang salah,' batin Alina."Sebelumnya, ngapunten untuk Abah dan Umi jika saya sudah lancang menyela pembicaraan panjenengan semua," Alina menjeda ucapannya, dia meraup udara untuk memenuhi rongga dadanya dan menukar udara lama dengan udara baru. "Insyaallah saya setuju, jika...," Diusapnya sudut mata yang tidak terasa sudah berair. Bu Nyai Fatma dan Kyai Fuad tertunduk, merasa berdosa telah mendzolimi menantunya yang mereka bangga-banggakan selama ini."Jika Gus Alif harus menikah lagi," lanjut Alina dengan suara bergetar."Lin," panggil Alif lembut, netranya memanas melihat
HATI ALINA (10)________________"Zahwa, Umi," jawab Alina lirih.Bu Nyai Fatma menyelami raut wajah Alina, mencari keseriusan dalam ucapannya. Wanita paruh baya itu tidak menyangka, jika sang menantu akan memilih Zahwa, menjadi madunya."Kenapa harus Zahwa, Lin?" selidik Bu Nyai Fatma pada Alina."Apa ada yang salah, Umi? Bukankah Zahwa adalah gadis yang baik, kecerdasan dan kesopanan Zahwa tidak diragukan lagi," ucap Alina, pikirannya menerawang jauh pada saat dimana dia menanyakan pendapat mertuanya tentang Zahwa.Bu Nyai Fatma menangkupkan kedua tangannya pada wajah. Dia tidak menyangka, menginginkan seorang cucu, akan membuat kehidupan putranya serumit ini. Semua memang hanya tentang kesabaran dan keluasan hati. Kyai Fuad terlalu berambisi ingin mengembangkan pesantrennya dengan menjodohkan lagi Alif dengan putri Kyai Ahmad, seorang cucu bukan alasan satu-satunya bagi Kyai Fuad mengapa dia bersi
HATI ALINA (1)_________________"Pertimbangkan lagi saran Abah, Lif."Samar Alina mendengar percakapan Kyai Fuad dengan Alif--suaminya di Gazebo yang terletak di depan ndalem (rumah kyai)."Kita butuh penerus untuk pondok pesantren yang sudah Abah besarkan dengan almarhum kakekmu," sambung Kyai Fuad sementara Alif masih diam. "Abah dan Umi sudah bersabar menanti keturunan dari Alina, tapi sampai 4 tahun lamanya, penantian kami sepertinya harus berhenti sampai disini," ucap Kyai Fuad lagi.Alina yang hendak menyuguhkan dua cangkir kopi menghentikan langkahnya di balik tembok pembatas gazebo.Perempuan itu meremas ujung jilbabnya dengan kuat. Dia tau kemana arah pembicaraan sang mertua meskipun hanya mendengar beberapa penggal kalimat saja."Alif tidak mampu jika harus menyakiti hati Alina, Bah!"Ucapan Ali
HATI ALINA (2)_________________"Ning Alin," tepukan tangan di pundak Alina membuat dia tersadar dari lamunan panjangnya.Seluruh jamaah santri putri penduduk bait Al-Hikmah sedari tadi sudah berdiri menunggu Alina mulai memimpin sholat Dhuhur."Astaghfirullah," gumam Alina lirih.Zahwa menatap heran pada istri putra Kyai Fuad yang mereka panggil Gus Alif itu.Ya, gadis dengan usia dua tahun di bawah Alina itu memberanikan diri membangunkan sang pemimpin dari lamunan panjangnya. Pasalnya, Zahwa adalah badal (pengganti) dari Alina ketika ada sesuatu yang mendesak.Rakaat pertama berjalan dengan lancar, meskipun pikiran Alina berkelana jauh membayangkan hadirnya madu dalam rumah tangga yang sudah dia bangun sejak 4 tahun silam.Rakaat kedua, pikiran Alina mengacaukan bacaan surah pendek yang sedang Alina lantunkan. Tepukan punggung
HATI ALINA (3)__________________Sepeninggal Bu Nyai Fatma, Alina kembali berkutat dengan kitab kuning di hadapannya. Nanti sore adalah jadwalnya mengajar di bait As-shoghir, pesantren khusus anak kelas 1-6 SD jika menurut sekolah umum.Alif memasuki kamarnya dan mendapati sang istri tengah menthola'ah kitab fiqh di tangannya."Masuk kelas jam berapa, Lin?" tanya Alif basa-basi."Insyaallah, pukul 4 sore, Gus. Kalau tidak ada halangan," jawab Alina dengan menatap netra sang suami.Alif dibuat salah tingkah dengan tatapan mata Alina. Pasalnya, tiap tatapan yang Alina berikan, selalu membuat getaran tersendiri bagi hati Alif."Sini Lin, saya mau ngomong sebentar," Alif menepuk ranjang kosong di sebelahnya.Alina beranjak dari tempatnya duduk dan menghampiri sang suami dengan perasaan berkecamuk.&n
HATI ALINA (4)_________________Sepanjang mengajar, Alina mencuri-curi pandang pada Zahwa yang terduduk di pojokan ruangan. Gadis sederhana itu memindai kitab di tangannya sembari mendengarkan penjelasan dari Alina.'Benar-benar tidak puas terhadap ilmu yang sudah di dapat' Batin Alina.Dan itu bagus, setiap santri harus memiliki rasa ketidakpuasan terhadap ilmu yang sudah di dapat. Dengan begitu, para santri akan selalu menthola'ah kitab mereka mencari pengetahuan baru dan ilmu-ilmu baru. Alina kagum dengan semangat belajar yang Zahwa miliki.Tanpa Alina sadari, Zahwa menatap heran pada istri Gus Alif tersebut, yang tetiba berhenti mendikte para santri memaknai kitab mereka.Alina gelagapan melihat tatapan Zahwa dan beberapa santri yang lain. Diraupnya wajah cantik nan putih itu dengan kedua tangan."Zah, tolong gant
HATI ALINA (5)_______________Keesokan harinya, Bu Nyai Fatma kembali mengajak Alina berbicara dari hati ke hati. Bu Nyai Fatma merasa menyesal telah menorehkan luka di hati menantunya kemarin sore, karena telah mengatakan hal yang begitu menyakitkan bagi Alina."Nikmat setiap orang itu berbeda-beda, Nak. Jika ada satu keinginan kamu yang belum tercapai hingga kini, jangan jadikan alasan jika kamu belum mendapatkan kenikmatan, bisa saja Allah sedang memberimu kenikmatan yang lain, yang sedang orang lain harapkan." Bu Nyai Fatma mencoba memberi pengertian pada Alina yang sempat lepas kendali pada ucapannya."Apa memiliki madu adalah sebuah kenikmatan, Umi?" lirih Alina."Insyaallah, jika kamu bisa melaluinya dengan hati yang ikhlas.""Alina memang keturunan Kyai, Umi. Tapi hati Alina sama dengan hati wanita di luaran sana, tidak akan mampu melihat suami hidup dengan wanita lain selain diri ki
HATI ALINA (10)________________"Zahwa, Umi," jawab Alina lirih.Bu Nyai Fatma menyelami raut wajah Alina, mencari keseriusan dalam ucapannya. Wanita paruh baya itu tidak menyangka, jika sang menantu akan memilih Zahwa, menjadi madunya."Kenapa harus Zahwa, Lin?" selidik Bu Nyai Fatma pada Alina."Apa ada yang salah, Umi? Bukankah Zahwa adalah gadis yang baik, kecerdasan dan kesopanan Zahwa tidak diragukan lagi," ucap Alina, pikirannya menerawang jauh pada saat dimana dia menanyakan pendapat mertuanya tentang Zahwa.Bu Nyai Fatma menangkupkan kedua tangannya pada wajah. Dia tidak menyangka, menginginkan seorang cucu, akan membuat kehidupan putranya serumit ini. Semua memang hanya tentang kesabaran dan keluasan hati. Kyai Fuad terlalu berambisi ingin mengembangkan pesantrennya dengan menjodohkan lagi Alif dengan putri Kyai Ahmad, seorang cucu bukan alasan satu-satunya bagi Kyai Fuad mengapa dia bersi
HATI ALINA (9)_______________Semua yang ada di ruang tamu mendadak mengatupkan mulut. Tidak ada yang berani bersuara, sampai satu per satu teh hangat tersaji di depan para tamu.Dengan mengatur debar nafas yang kian bertalu. Alina berkali-kali manarik nafas dan menghembuskannya perlahan.'semoga ini bukan keputusan yang salah,' batin Alina."Sebelumnya, ngapunten untuk Abah dan Umi jika saya sudah lancang menyela pembicaraan panjenengan semua," Alina menjeda ucapannya, dia meraup udara untuk memenuhi rongga dadanya dan menukar udara lama dengan udara baru. "Insyaallah saya setuju, jika...," Diusapnya sudut mata yang tidak terasa sudah berair. Bu Nyai Fatma dan Kyai Fuad tertunduk, merasa berdosa telah mendzolimi menantunya yang mereka bangga-banggakan selama ini."Jika Gus Alif harus menikah lagi," lanjut Alina dengan suara bergetar."Lin," panggil Alif lembut, netranya memanas melihat
HATI ALINA (8)________________"Ini toh yang namanya Gus Alif, Kyai?" tanya Kyai Ahmad-- ayah Hanifah.Tampak sekali raut bahagia terpancar di wajah Kyai sepuh itu, begitupun dengan Bu Nyai Husniah-- ibu Hanifah."Leres, Kyai. Saya Alif," sahut Gus Alif tersenyum takzim. Hanifah hanya menunduk sedark tadi, mengingat di depannya telah duduk laki-laki yang bukan mahramnya."Neng Hanifah ini pemalu ya, Bu Nyai Hus?" goda Ibu Nyai Fatma pada calon besannya."Aslinya mboten, tapi mungkin jaga image di depan calon suami," bisik Bu Nyai Husniah pada Bu Nyai Fatma, membuat kedua bola mata Hanifah membulat sempurna."Maksutnya apa, Umi?" tanya Hanifah lirih dengan hati-hati. Takut jika Kyai Fuad atau Abahnya mendengar.Bu Nyai Husniah tersenyum simpul menghadap Hanifah, sementara Bu Nyai Fatma memperlihatkan seraut wajah sumringah sebab kedatangan calon menantu kedua. Pelan-pelan
HATI ALINA (7)__________________Di dalam kamar, Alina meredam sendiri luka yang terasa begitu menyesakkan dada. Alina merasa, Kyai Fuad terlalu tidak sabaran pada perjuangan Alina dan suaminya. Entah mengapa, wanita cantik itu menangkap firasat lain dari permintaan Kyai Fuad pada suaminya.Kriet.Ketika pintu kamar terbuka tanpa adanya salam terlebih dahulu, Alina tahu, jika yang datang adalah suaminya."Kamu habis menangis?" Alif membelai lembut pucuk kepala Alina."Mboten, Gus." Jawab Alina berbohong.Dibenamkannya kepala sang istri pada dada bidangnya. Bukannya malah tenang, tangis wanita itu semakin menjadi berada dalam dekapan sang suami. Alina merasa dunia begitu tidak adil. Dulu, sejak kecil Kyai Fuad sudah mewanti-wanti Abah Nashor agar berkehendak menjodohkan Alina dengan Alif. Tapi kini, saat alur kehidupan tidak sesuai dengan kehendak sang mertua, Alif
HATI ALINA (6)_______________"Bagaimana jika nanti hasilnya mengecewakan, Gus?" tanya Alina dengan mata berkaca-kaca."Allah berfirman, Ana 'inda dzonni 'abdibii yang artinya Aku bersama dengan prasangka hambaku. Jadi berprasangka baiklah pada setiap takdir Allah, Lin." Tegur Alif pada istrinya.Alina menunduk, lagi, dirinya merasa malu pada Sang Pencipta. Kecintaannya pada makhluk, membuat syak wasangka Alina begitu buruk pada penciptanya.'astaghfirullah' batin wanita muda itu beristighfar.Akhirnya, sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, mereka saling terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.____________"Hasilnya keluar besok siang ya, Pak, Bu. Besok bisa langsung ke bagian administrasi dan menemui saya, akan saya jelaskan hasil dari tes kesuburan bapak dan ibu," jelas seorang dokter wanita pada Alif dan Alina.Istri Alif sejak tadi sibuk memilin uju
HATI ALINA (5)_______________Keesokan harinya, Bu Nyai Fatma kembali mengajak Alina berbicara dari hati ke hati. Bu Nyai Fatma merasa menyesal telah menorehkan luka di hati menantunya kemarin sore, karena telah mengatakan hal yang begitu menyakitkan bagi Alina."Nikmat setiap orang itu berbeda-beda, Nak. Jika ada satu keinginan kamu yang belum tercapai hingga kini, jangan jadikan alasan jika kamu belum mendapatkan kenikmatan, bisa saja Allah sedang memberimu kenikmatan yang lain, yang sedang orang lain harapkan." Bu Nyai Fatma mencoba memberi pengertian pada Alina yang sempat lepas kendali pada ucapannya."Apa memiliki madu adalah sebuah kenikmatan, Umi?" lirih Alina."Insyaallah, jika kamu bisa melaluinya dengan hati yang ikhlas.""Alina memang keturunan Kyai, Umi. Tapi hati Alina sama dengan hati wanita di luaran sana, tidak akan mampu melihat suami hidup dengan wanita lain selain diri ki
HATI ALINA (4)_________________Sepanjang mengajar, Alina mencuri-curi pandang pada Zahwa yang terduduk di pojokan ruangan. Gadis sederhana itu memindai kitab di tangannya sembari mendengarkan penjelasan dari Alina.'Benar-benar tidak puas terhadap ilmu yang sudah di dapat' Batin Alina.Dan itu bagus, setiap santri harus memiliki rasa ketidakpuasan terhadap ilmu yang sudah di dapat. Dengan begitu, para santri akan selalu menthola'ah kitab mereka mencari pengetahuan baru dan ilmu-ilmu baru. Alina kagum dengan semangat belajar yang Zahwa miliki.Tanpa Alina sadari, Zahwa menatap heran pada istri Gus Alif tersebut, yang tetiba berhenti mendikte para santri memaknai kitab mereka.Alina gelagapan melihat tatapan Zahwa dan beberapa santri yang lain. Diraupnya wajah cantik nan putih itu dengan kedua tangan."Zah, tolong gant
HATI ALINA (3)__________________Sepeninggal Bu Nyai Fatma, Alina kembali berkutat dengan kitab kuning di hadapannya. Nanti sore adalah jadwalnya mengajar di bait As-shoghir, pesantren khusus anak kelas 1-6 SD jika menurut sekolah umum.Alif memasuki kamarnya dan mendapati sang istri tengah menthola'ah kitab fiqh di tangannya."Masuk kelas jam berapa, Lin?" tanya Alif basa-basi."Insyaallah, pukul 4 sore, Gus. Kalau tidak ada halangan," jawab Alina dengan menatap netra sang suami.Alif dibuat salah tingkah dengan tatapan mata Alina. Pasalnya, tiap tatapan yang Alina berikan, selalu membuat getaran tersendiri bagi hati Alif."Sini Lin, saya mau ngomong sebentar," Alif menepuk ranjang kosong di sebelahnya.Alina beranjak dari tempatnya duduk dan menghampiri sang suami dengan perasaan berkecamuk.&n
HATI ALINA (2)_________________"Ning Alin," tepukan tangan di pundak Alina membuat dia tersadar dari lamunan panjangnya.Seluruh jamaah santri putri penduduk bait Al-Hikmah sedari tadi sudah berdiri menunggu Alina mulai memimpin sholat Dhuhur."Astaghfirullah," gumam Alina lirih.Zahwa menatap heran pada istri putra Kyai Fuad yang mereka panggil Gus Alif itu.Ya, gadis dengan usia dua tahun di bawah Alina itu memberanikan diri membangunkan sang pemimpin dari lamunan panjangnya. Pasalnya, Zahwa adalah badal (pengganti) dari Alina ketika ada sesuatu yang mendesak.Rakaat pertama berjalan dengan lancar, meskipun pikiran Alina berkelana jauh membayangkan hadirnya madu dalam rumah tangga yang sudah dia bangun sejak 4 tahun silam.Rakaat kedua, pikiran Alina mengacaukan bacaan surah pendek yang sedang Alina lantunkan. Tepukan punggung