HATI ALINA (3)
__________________
Sepeninggal Bu Nyai Fatma, Alina kembali berkutat dengan kitab kuning di hadapannya. Nanti sore adalah jadwalnya mengajar di bait As-shoghir, pesantren khusus anak kelas 1-6 SD jika menurut sekolah umum.
Alif memasuki kamarnya dan mendapati sang istri tengah menthola'ah kitab fiqh di tangannya.
"Masuk kelas jam berapa, Lin?" tanya Alif basa-basi.
"Insyaallah, pukul 4 sore, Gus. Kalau tidak ada halangan," jawab Alina dengan menatap netra sang suami.
Alif dibuat salah tingkah dengan tatapan mata Alina. Pasalnya, tiap tatapan yang Alina berikan, selalu membuat getaran tersendiri bagi hati Alif.
"Sini Lin, saya mau ngomong sebentar," Alif menepuk ranjang kosong di sebelahnya.
Alina beranjak dari tempatnya duduk dan menghampiri sang suami dengan perasaan berkecamuk.
Setangguh apapun Alina di mata para santri dan keluarganya, dia tetaplah wanita. Hatinya tidak akan mampu menahan rasa sakitnya poligami.
Wanita 24 tahun itu duduk dengan gelisah. Jemarinya yang lentik memilin ujung jilbab lebar yang dia kenakan. Alina yakin, suaminya telah mengetahui jika dirinya sempat menguping pembicaraan Kyai Fuad dan Alif.
"Ada apa, Gus?" tanya Alina lirih dengan pandangan menatap keramik kamar.
"Suami mau ngomong kok ditanya ada apa sih, Lin?" goda Alif membuat pipi Alina bersemu merah.
Begitulah mereka, sepasang pengantin yang sudah mengarungi biduk rumah tangga selama 4 tahun ini, selalu terlihat romantis ketika sedang berbincang berdua. Alif yang begitu memuja kepribadian baik Alina, dan Alina yang sangat mencintai kelembutan hati sang suami. Mereka adalah pasangan yang saling melengkapi, mungkin itu pandangan sebagian orang.
Namun siapa sangka, ketentraman yang Alina ciptakan, tak mampu membuat Kyai Fuad dan Bu Nyai Fatma turut merasakannya. Bagi kedua mertua Alina, pernikahan adalah tentang calon penerus. Jika putri dari sahabatnya karibnya itu tak mampu memberikan seorang buah hati, Kyai Fuad bersikeras menyarankan putra semata wayangnya untuk memberikan adik madu pada Alina.
"Maksut saya mau ngomong apa, Gus?" tanya Alina dengan tersenyum tipis.
"Sejak kapan kamu berani menguping pembicaraan orang lain?" tanya Alif lembut.
Deg!
Sekalipun Alina yakin jika Alif telah mengetahui jika dirinya menangkap pembicaraan Kyai Fuad tempo hari, tetap saja, pertanyaan Alif membuat hati Alina berdebar hebat.
"Pembicaraan siapa yang saya curi dengar, Gus?" tanya balik Alina.
"Jangan mencoba menjebak saya dengan pertanyaan baru, Lin!" sela Alif merasa gemas dengan kepura-puraan sang istri.
"Ngapunten," gumam Alina lirih.
Alif merengkuh tubuh sang istri yang menguarkan aroma segar dari parfum yang dia berikan sebagai salah kado ulang tahun pernikahan mereka yang ke 4 tahu.
"Kamu ndak bersalah dalam hal ini, tapi langkah baiknya, hindari mencuri dengar pembicaraan orang lain," Alif mengingatkan.
"Sekalipun yang sedang dibicarakan adalah diriku, Gus?" tanya Alin pelan.
"Tanpa pengecualian!" jawab Alif cepat, "Lindungi telingamu dari mencuri dengar pembicaraan orang lain. Jangan kau mengotorinya dan membuat hatimu pun ikut terkontaminasi dari hasil curian tersebut," jelas Alif.
"Jika saya tidak mencuri dengar, apakah panjenengan akan berbagi cerita pada saya tentang usulan Abah kemarin?" tanya Alina dengan tatapan mengintimasi.
"Apa pernah saya menyembunyikan sesuatu dari kamu? Sekecil apapun itu?" tanya balik sang suami.
Alina tertunduk, dia merasa malu telah menjadi istri yang tidak menjunjung tinggi adab dalam ajaran Islam. Kepala wanita itu menggeleng perlahan menanggapi pertanyaan sang suami.
"Lalu apa keputusan panjenengan, Gus?" tanya Alin dengan menggigit bibir bawahnya.
"Keputusan tentang apa?" goda Alif.
"Tentang memberikan calon penerus dari rahim wanita lain," ucap Alina lirih dengan sudut mata yang mulai basah.
Lagi, Alif merengkuh tubuh Alina dalam pelukannya. Dibiarkannya sang istri menumpahkan semua tangis yang berusaha dia pendam seorang diri. Alif merasakan betapa sakitnya luka yang tidak sengaja dia gores di hati Alina Tazkiyah.
Alina menangis untuk yang kesekian kalinya. Mendapat adik madu adalah sesuatu yang memalukan bagi setiap wanita, seperti itulah pikiran yang ada dalam otak Alina. Apalagi bagi dirinya, putri pemilik pondok pesantren tersohor di Jawa Timur. Membiarkan suaminya menikah lagi dan hidup berdampingan dengan adik madu, sama dengan memberi kotoran di wajah Abah Nashor.
"Tugas kita adalah berusaha, Lin." Tutur Alif lembut dengan mengusap puncuk kepala istrinya yang terbalut jilbab.
"Lalu jika usaha kita gagal? Apa panjenengan mau menikah lagi?"
Pertanyaan Alina membuat Alif terjebak dengan penuturannya sendiri. Memang benar, jika usaha Alif dan Alifa mengikuti program hamil gagal? Mungkinkah Alif akan tetap mempertahankan hubungan rumah tangga tanpa adanya seorang anak, atau justru mengikuti saran dari Kyai Fuad untuk menikah lagi.
"Gus!" tepukan tangan Alina di paha sang suami membuat Alifa tersadar dari lamunan panjangnya.
"Jangan dijelaskan, saya sudah mengerti jawabannya." Ujar gadis ayu nan lembut itu kemudian berjalan keluar dari kamar.
Alif meraup wajahnya kasar. Dia tidak bisa menjanjikan kebahagiaan seutuhnya pada Alina. Obrolan dengan Kyai Fuad selalu terngiang-ngiang di kepala Alif, bagaimana jika pesantren yang sudah Abah buyutnya kelola, tak mampu diteruskan karena tidak adanya penerus dari rahim Alina, istrinya.
Sementara di tempat lain, Alina menangis tergugu melihat ekspresi kebimbangan di wajah suaminya. Alif, lelaki yang Alina puja selama ini, lelaki yang membuat dirinya menyerahkan selurub hidup untuk mengabdi pada suami, tega menyakiti hatinya dengan berpikir ingin memberikan madu bagi dirinya.
Ingin sekali rasanya Alina pergi dari sini jika tidak mengingat bahwa dirinya adalah menantu dari seorang Kyai besar dan Putri dari Kyai tersohor di Jawa Timur. Terbesit rasa iri di hati wanita malang itu, kenapa dirinya tidak dilahirkan dari keluarga yang biasa-biasa saja, bukan dari kalangan pesantren. Namun pikiran warasnya kembali menyadarkan, kehidupan orang-orang dari luar pesantren pun terkadang tak luput dari masalah poligami. Sebenarnya siapa yang pantas disalahkan dalam hal ini? Bukankah setiap wanita ingin menjadi ibu?
Alina beristighfar berkali-kali karena pikiran buruknya telah membuat wanita itu kufur akan nikmat Allah. Digenggamnya tasbih putih hadiah ulang tahun Alina bulan lalu, dari sang suami. Diciumnya tasbih wangi dalam genggaman jemarinya yang putih.
"Neng Alin," panggilan dari Zahwa membuat Alina sedikit terperanjat.
Buru-buru Alina mengusap air matanya yang sejak tadi mengalir deras.
"Apa sudah waktunya masuk kelas, Zah?" tanya Alina dengan suara bergetar.
"Nggih," jawab Zahwa singkat tanpa berani menatap mata Alina, sang guru."Baiklah, kamu ikut saya ngajar ya! Barangkali nanti saya tidak fokus lagi," pinta Alina pada gadis cantik di hadapannya yang sudah dikenal para santri menjadi guru pengganti ketika Alina sedang berhalangan.
Zahwa mengangguk patuh, "Baik, Neng."
Kedua wanita cantik itu berjalan beriringan menuju bait As-shoghir. Keduanya diam tanpa ada yang berani mengucap satu katapun. Zahwa yang memahami jika Alina sedang tidak baik-baik saja, memilih diam tanpa banyak bertanya mengingat batasannya sendiri. Sedangkan Alina, hatinya berkecamuk mengingat apakah pilihannya nanti sudah tepat, atau hanya membuat luka di hatinya semakin menganga lebar.
HATI ALINA (4)_________________Sepanjang mengajar, Alina mencuri-curi pandang pada Zahwa yang terduduk di pojokan ruangan. Gadis sederhana itu memindai kitab di tangannya sembari mendengarkan penjelasan dari Alina.'Benar-benar tidak puas terhadap ilmu yang sudah di dapat' Batin Alina.Dan itu bagus, setiap santri harus memiliki rasa ketidakpuasan terhadap ilmu yang sudah di dapat. Dengan begitu, para santri akan selalu menthola'ah kitab mereka mencari pengetahuan baru dan ilmu-ilmu baru. Alina kagum dengan semangat belajar yang Zahwa miliki.Tanpa Alina sadari, Zahwa menatap heran pada istri Gus Alif tersebut, yang tetiba berhenti mendikte para santri memaknai kitab mereka.Alina gelagapan melihat tatapan Zahwa dan beberapa santri yang lain. Diraupnya wajah cantik nan putih itu dengan kedua tangan."Zah, tolong gant
HATI ALINA (5)_______________Keesokan harinya, Bu Nyai Fatma kembali mengajak Alina berbicara dari hati ke hati. Bu Nyai Fatma merasa menyesal telah menorehkan luka di hati menantunya kemarin sore, karena telah mengatakan hal yang begitu menyakitkan bagi Alina."Nikmat setiap orang itu berbeda-beda, Nak. Jika ada satu keinginan kamu yang belum tercapai hingga kini, jangan jadikan alasan jika kamu belum mendapatkan kenikmatan, bisa saja Allah sedang memberimu kenikmatan yang lain, yang sedang orang lain harapkan." Bu Nyai Fatma mencoba memberi pengertian pada Alina yang sempat lepas kendali pada ucapannya."Apa memiliki madu adalah sebuah kenikmatan, Umi?" lirih Alina."Insyaallah, jika kamu bisa melaluinya dengan hati yang ikhlas.""Alina memang keturunan Kyai, Umi. Tapi hati Alina sama dengan hati wanita di luaran sana, tidak akan mampu melihat suami hidup dengan wanita lain selain diri ki
HATI ALINA (6)_______________"Bagaimana jika nanti hasilnya mengecewakan, Gus?" tanya Alina dengan mata berkaca-kaca."Allah berfirman, Ana 'inda dzonni 'abdibii yang artinya Aku bersama dengan prasangka hambaku. Jadi berprasangka baiklah pada setiap takdir Allah, Lin." Tegur Alif pada istrinya.Alina menunduk, lagi, dirinya merasa malu pada Sang Pencipta. Kecintaannya pada makhluk, membuat syak wasangka Alina begitu buruk pada penciptanya.'astaghfirullah' batin wanita muda itu beristighfar.Akhirnya, sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, mereka saling terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.____________"Hasilnya keluar besok siang ya, Pak, Bu. Besok bisa langsung ke bagian administrasi dan menemui saya, akan saya jelaskan hasil dari tes kesuburan bapak dan ibu," jelas seorang dokter wanita pada Alif dan Alina.Istri Alif sejak tadi sibuk memilin uju
HATI ALINA (7)__________________Di dalam kamar, Alina meredam sendiri luka yang terasa begitu menyesakkan dada. Alina merasa, Kyai Fuad terlalu tidak sabaran pada perjuangan Alina dan suaminya. Entah mengapa, wanita cantik itu menangkap firasat lain dari permintaan Kyai Fuad pada suaminya.Kriet.Ketika pintu kamar terbuka tanpa adanya salam terlebih dahulu, Alina tahu, jika yang datang adalah suaminya."Kamu habis menangis?" Alif membelai lembut pucuk kepala Alina."Mboten, Gus." Jawab Alina berbohong.Dibenamkannya kepala sang istri pada dada bidangnya. Bukannya malah tenang, tangis wanita itu semakin menjadi berada dalam dekapan sang suami. Alina merasa dunia begitu tidak adil. Dulu, sejak kecil Kyai Fuad sudah mewanti-wanti Abah Nashor agar berkehendak menjodohkan Alina dengan Alif. Tapi kini, saat alur kehidupan tidak sesuai dengan kehendak sang mertua, Alif
HATI ALINA (8)________________"Ini toh yang namanya Gus Alif, Kyai?" tanya Kyai Ahmad-- ayah Hanifah.Tampak sekali raut bahagia terpancar di wajah Kyai sepuh itu, begitupun dengan Bu Nyai Husniah-- ibu Hanifah."Leres, Kyai. Saya Alif," sahut Gus Alif tersenyum takzim. Hanifah hanya menunduk sedark tadi, mengingat di depannya telah duduk laki-laki yang bukan mahramnya."Neng Hanifah ini pemalu ya, Bu Nyai Hus?" goda Ibu Nyai Fatma pada calon besannya."Aslinya mboten, tapi mungkin jaga image di depan calon suami," bisik Bu Nyai Husniah pada Bu Nyai Fatma, membuat kedua bola mata Hanifah membulat sempurna."Maksutnya apa, Umi?" tanya Hanifah lirih dengan hati-hati. Takut jika Kyai Fuad atau Abahnya mendengar.Bu Nyai Husniah tersenyum simpul menghadap Hanifah, sementara Bu Nyai Fatma memperlihatkan seraut wajah sumringah sebab kedatangan calon menantu kedua. Pelan-pelan
HATI ALINA (9)_______________Semua yang ada di ruang tamu mendadak mengatupkan mulut. Tidak ada yang berani bersuara, sampai satu per satu teh hangat tersaji di depan para tamu.Dengan mengatur debar nafas yang kian bertalu. Alina berkali-kali manarik nafas dan menghembuskannya perlahan.'semoga ini bukan keputusan yang salah,' batin Alina."Sebelumnya, ngapunten untuk Abah dan Umi jika saya sudah lancang menyela pembicaraan panjenengan semua," Alina menjeda ucapannya, dia meraup udara untuk memenuhi rongga dadanya dan menukar udara lama dengan udara baru. "Insyaallah saya setuju, jika...," Diusapnya sudut mata yang tidak terasa sudah berair. Bu Nyai Fatma dan Kyai Fuad tertunduk, merasa berdosa telah mendzolimi menantunya yang mereka bangga-banggakan selama ini."Jika Gus Alif harus menikah lagi," lanjut Alina dengan suara bergetar."Lin," panggil Alif lembut, netranya memanas melihat
HATI ALINA (10)________________"Zahwa, Umi," jawab Alina lirih.Bu Nyai Fatma menyelami raut wajah Alina, mencari keseriusan dalam ucapannya. Wanita paruh baya itu tidak menyangka, jika sang menantu akan memilih Zahwa, menjadi madunya."Kenapa harus Zahwa, Lin?" selidik Bu Nyai Fatma pada Alina."Apa ada yang salah, Umi? Bukankah Zahwa adalah gadis yang baik, kecerdasan dan kesopanan Zahwa tidak diragukan lagi," ucap Alina, pikirannya menerawang jauh pada saat dimana dia menanyakan pendapat mertuanya tentang Zahwa.Bu Nyai Fatma menangkupkan kedua tangannya pada wajah. Dia tidak menyangka, menginginkan seorang cucu, akan membuat kehidupan putranya serumit ini. Semua memang hanya tentang kesabaran dan keluasan hati. Kyai Fuad terlalu berambisi ingin mengembangkan pesantrennya dengan menjodohkan lagi Alif dengan putri Kyai Ahmad, seorang cucu bukan alasan satu-satunya bagi Kyai Fuad mengapa dia bersi
HATI ALINA (1)_________________"Pertimbangkan lagi saran Abah, Lif."Samar Alina mendengar percakapan Kyai Fuad dengan Alif--suaminya di Gazebo yang terletak di depan ndalem (rumah kyai)."Kita butuh penerus untuk pondok pesantren yang sudah Abah besarkan dengan almarhum kakekmu," sambung Kyai Fuad sementara Alif masih diam. "Abah dan Umi sudah bersabar menanti keturunan dari Alina, tapi sampai 4 tahun lamanya, penantian kami sepertinya harus berhenti sampai disini," ucap Kyai Fuad lagi.Alina yang hendak menyuguhkan dua cangkir kopi menghentikan langkahnya di balik tembok pembatas gazebo.Perempuan itu meremas ujung jilbabnya dengan kuat. Dia tau kemana arah pembicaraan sang mertua meskipun hanya mendengar beberapa penggal kalimat saja."Alif tidak mampu jika harus menyakiti hati Alina, Bah!"Ucapan Ali
HATI ALINA (10)________________"Zahwa, Umi," jawab Alina lirih.Bu Nyai Fatma menyelami raut wajah Alina, mencari keseriusan dalam ucapannya. Wanita paruh baya itu tidak menyangka, jika sang menantu akan memilih Zahwa, menjadi madunya."Kenapa harus Zahwa, Lin?" selidik Bu Nyai Fatma pada Alina."Apa ada yang salah, Umi? Bukankah Zahwa adalah gadis yang baik, kecerdasan dan kesopanan Zahwa tidak diragukan lagi," ucap Alina, pikirannya menerawang jauh pada saat dimana dia menanyakan pendapat mertuanya tentang Zahwa.Bu Nyai Fatma menangkupkan kedua tangannya pada wajah. Dia tidak menyangka, menginginkan seorang cucu, akan membuat kehidupan putranya serumit ini. Semua memang hanya tentang kesabaran dan keluasan hati. Kyai Fuad terlalu berambisi ingin mengembangkan pesantrennya dengan menjodohkan lagi Alif dengan putri Kyai Ahmad, seorang cucu bukan alasan satu-satunya bagi Kyai Fuad mengapa dia bersi
HATI ALINA (9)_______________Semua yang ada di ruang tamu mendadak mengatupkan mulut. Tidak ada yang berani bersuara, sampai satu per satu teh hangat tersaji di depan para tamu.Dengan mengatur debar nafas yang kian bertalu. Alina berkali-kali manarik nafas dan menghembuskannya perlahan.'semoga ini bukan keputusan yang salah,' batin Alina."Sebelumnya, ngapunten untuk Abah dan Umi jika saya sudah lancang menyela pembicaraan panjenengan semua," Alina menjeda ucapannya, dia meraup udara untuk memenuhi rongga dadanya dan menukar udara lama dengan udara baru. "Insyaallah saya setuju, jika...," Diusapnya sudut mata yang tidak terasa sudah berair. Bu Nyai Fatma dan Kyai Fuad tertunduk, merasa berdosa telah mendzolimi menantunya yang mereka bangga-banggakan selama ini."Jika Gus Alif harus menikah lagi," lanjut Alina dengan suara bergetar."Lin," panggil Alif lembut, netranya memanas melihat
HATI ALINA (8)________________"Ini toh yang namanya Gus Alif, Kyai?" tanya Kyai Ahmad-- ayah Hanifah.Tampak sekali raut bahagia terpancar di wajah Kyai sepuh itu, begitupun dengan Bu Nyai Husniah-- ibu Hanifah."Leres, Kyai. Saya Alif," sahut Gus Alif tersenyum takzim. Hanifah hanya menunduk sedark tadi, mengingat di depannya telah duduk laki-laki yang bukan mahramnya."Neng Hanifah ini pemalu ya, Bu Nyai Hus?" goda Ibu Nyai Fatma pada calon besannya."Aslinya mboten, tapi mungkin jaga image di depan calon suami," bisik Bu Nyai Husniah pada Bu Nyai Fatma, membuat kedua bola mata Hanifah membulat sempurna."Maksutnya apa, Umi?" tanya Hanifah lirih dengan hati-hati. Takut jika Kyai Fuad atau Abahnya mendengar.Bu Nyai Husniah tersenyum simpul menghadap Hanifah, sementara Bu Nyai Fatma memperlihatkan seraut wajah sumringah sebab kedatangan calon menantu kedua. Pelan-pelan
HATI ALINA (7)__________________Di dalam kamar, Alina meredam sendiri luka yang terasa begitu menyesakkan dada. Alina merasa, Kyai Fuad terlalu tidak sabaran pada perjuangan Alina dan suaminya. Entah mengapa, wanita cantik itu menangkap firasat lain dari permintaan Kyai Fuad pada suaminya.Kriet.Ketika pintu kamar terbuka tanpa adanya salam terlebih dahulu, Alina tahu, jika yang datang adalah suaminya."Kamu habis menangis?" Alif membelai lembut pucuk kepala Alina."Mboten, Gus." Jawab Alina berbohong.Dibenamkannya kepala sang istri pada dada bidangnya. Bukannya malah tenang, tangis wanita itu semakin menjadi berada dalam dekapan sang suami. Alina merasa dunia begitu tidak adil. Dulu, sejak kecil Kyai Fuad sudah mewanti-wanti Abah Nashor agar berkehendak menjodohkan Alina dengan Alif. Tapi kini, saat alur kehidupan tidak sesuai dengan kehendak sang mertua, Alif
HATI ALINA (6)_______________"Bagaimana jika nanti hasilnya mengecewakan, Gus?" tanya Alina dengan mata berkaca-kaca."Allah berfirman, Ana 'inda dzonni 'abdibii yang artinya Aku bersama dengan prasangka hambaku. Jadi berprasangka baiklah pada setiap takdir Allah, Lin." Tegur Alif pada istrinya.Alina menunduk, lagi, dirinya merasa malu pada Sang Pencipta. Kecintaannya pada makhluk, membuat syak wasangka Alina begitu buruk pada penciptanya.'astaghfirullah' batin wanita muda itu beristighfar.Akhirnya, sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, mereka saling terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.____________"Hasilnya keluar besok siang ya, Pak, Bu. Besok bisa langsung ke bagian administrasi dan menemui saya, akan saya jelaskan hasil dari tes kesuburan bapak dan ibu," jelas seorang dokter wanita pada Alif dan Alina.Istri Alif sejak tadi sibuk memilin uju
HATI ALINA (5)_______________Keesokan harinya, Bu Nyai Fatma kembali mengajak Alina berbicara dari hati ke hati. Bu Nyai Fatma merasa menyesal telah menorehkan luka di hati menantunya kemarin sore, karena telah mengatakan hal yang begitu menyakitkan bagi Alina."Nikmat setiap orang itu berbeda-beda, Nak. Jika ada satu keinginan kamu yang belum tercapai hingga kini, jangan jadikan alasan jika kamu belum mendapatkan kenikmatan, bisa saja Allah sedang memberimu kenikmatan yang lain, yang sedang orang lain harapkan." Bu Nyai Fatma mencoba memberi pengertian pada Alina yang sempat lepas kendali pada ucapannya."Apa memiliki madu adalah sebuah kenikmatan, Umi?" lirih Alina."Insyaallah, jika kamu bisa melaluinya dengan hati yang ikhlas.""Alina memang keturunan Kyai, Umi. Tapi hati Alina sama dengan hati wanita di luaran sana, tidak akan mampu melihat suami hidup dengan wanita lain selain diri ki
HATI ALINA (4)_________________Sepanjang mengajar, Alina mencuri-curi pandang pada Zahwa yang terduduk di pojokan ruangan. Gadis sederhana itu memindai kitab di tangannya sembari mendengarkan penjelasan dari Alina.'Benar-benar tidak puas terhadap ilmu yang sudah di dapat' Batin Alina.Dan itu bagus, setiap santri harus memiliki rasa ketidakpuasan terhadap ilmu yang sudah di dapat. Dengan begitu, para santri akan selalu menthola'ah kitab mereka mencari pengetahuan baru dan ilmu-ilmu baru. Alina kagum dengan semangat belajar yang Zahwa miliki.Tanpa Alina sadari, Zahwa menatap heran pada istri Gus Alif tersebut, yang tetiba berhenti mendikte para santri memaknai kitab mereka.Alina gelagapan melihat tatapan Zahwa dan beberapa santri yang lain. Diraupnya wajah cantik nan putih itu dengan kedua tangan."Zah, tolong gant
HATI ALINA (3)__________________Sepeninggal Bu Nyai Fatma, Alina kembali berkutat dengan kitab kuning di hadapannya. Nanti sore adalah jadwalnya mengajar di bait As-shoghir, pesantren khusus anak kelas 1-6 SD jika menurut sekolah umum.Alif memasuki kamarnya dan mendapati sang istri tengah menthola'ah kitab fiqh di tangannya."Masuk kelas jam berapa, Lin?" tanya Alif basa-basi."Insyaallah, pukul 4 sore, Gus. Kalau tidak ada halangan," jawab Alina dengan menatap netra sang suami.Alif dibuat salah tingkah dengan tatapan mata Alina. Pasalnya, tiap tatapan yang Alina berikan, selalu membuat getaran tersendiri bagi hati Alif."Sini Lin, saya mau ngomong sebentar," Alif menepuk ranjang kosong di sebelahnya.Alina beranjak dari tempatnya duduk dan menghampiri sang suami dengan perasaan berkecamuk.&n
HATI ALINA (2)_________________"Ning Alin," tepukan tangan di pundak Alina membuat dia tersadar dari lamunan panjangnya.Seluruh jamaah santri putri penduduk bait Al-Hikmah sedari tadi sudah berdiri menunggu Alina mulai memimpin sholat Dhuhur."Astaghfirullah," gumam Alina lirih.Zahwa menatap heran pada istri putra Kyai Fuad yang mereka panggil Gus Alif itu.Ya, gadis dengan usia dua tahun di bawah Alina itu memberanikan diri membangunkan sang pemimpin dari lamunan panjangnya. Pasalnya, Zahwa adalah badal (pengganti) dari Alina ketika ada sesuatu yang mendesak.Rakaat pertama berjalan dengan lancar, meskipun pikiran Alina berkelana jauh membayangkan hadirnya madu dalam rumah tangga yang sudah dia bangun sejak 4 tahun silam.Rakaat kedua, pikiran Alina mengacaukan bacaan surah pendek yang sedang Alina lantunkan. Tepukan punggung