HATI ALINA (4)
_________________
Sepanjang mengajar, Alina mencuri-curi pandang pada Zahwa yang terduduk di pojokan ruangan. Gadis sederhana itu memindai kitab di tangannya sembari mendengarkan penjelasan dari Alina.
'Benar-benar tidak puas terhadap ilmu yang sudah di dapat' Batin Alina.
Dan itu bagus, setiap santri harus memiliki rasa ketidakpuasan terhadap ilmu yang sudah di dapat. Dengan begitu, para santri akan selalu menthola'ah kitab mereka mencari pengetahuan baru dan ilmu-ilmu baru. Alina kagum dengan semangat belajar yang Zahwa miliki.
Tanpa Alina sadari, Zahwa menatap heran pada istri Gus Alif tersebut, yang tetiba berhenti mendikte para santri memaknai kitab mereka.
Alina gelagapan melihat tatapan Zahwa dan beberapa santri yang lain. Diraupnya wajah cantik nan putih itu dengan kedua tangan.
"Zah, tolong gantikan saya sebentar!" Pinta Alina dan dijawab anggukan patuh oleh Zahwa.
Alina berlalu dengan rasa malu yang tiada terkira. Beberapa hari belakangan, pembahasan sensitif itu sudah mampu membuat pikiran Alina tergadaikan.
Di tengah perjalanan menuju ke ndalem, Alina melihat Kyai Fuad dan Bu Nyai Fatma duduk berdua di Gazebo belakang. Karena kebetulan, bait As-shoghir terletak paling belakang, yang bisa ditempuh dengan melalui jalan belakang ndalem.
"Umi ndak setuju, Bah! Alina itu sudah seperti anak sendiri bagi Umi!" tutur Bu nyai Fatma dengan suara bergetar.
Alina menahan langkahnya memilih berhenti di balik rerimbunan pohon salak. Tubuhnya yang mungil membuat dirinya tidak terlihat mengingat kebun salak di belakang ndalem memang sangat banyak membentang jalan.
"Abah ndak punya pilihan lain, Mi. Sebelum Alif berubah pikiran!" sahut Kyai Fuad sama resahnya.
'Mas Alif berubah pikiran?' Batin Alina.
Wanita itu mengerti kemana arah pembicaraan sang mertua, dan itu artinya suaminya pun menyetujui usul dari Kyai Fuad, untuk menikah lagi demi penerus Pesantren.
"Bagaimana jika Alina memilih mundur dan meminta dipulangkan pada Kyai Nashor? Apa Abah setega itu menyakiti mereka?" tanya Bu Nyai Fatma dengan menyeka sudut matanya.
Alina berbalik, lebih baik dia kembali ke ndalem dengan memutar jalan. Daripada harus mencuri dengar pembicaraan kedua mertuanya yang membuat hatinya semakin berdenyut.
Sesampainya di dalam kamar, wanita muda itu melepas tangisnya dengan menangkupkan wajah di bantal. Menyadari jika menangis saja tidak akan cukup membuat hatinya tenang, kakinya melangkah menuju kamar mandi yang terletak di dalam kamar. Dia mengambil wudhu dan mulai menunaikan sholat sunnat qobliyah dhuhur. Alina memilih sholat sendiri sedangkan suaminya, sedang ada jadwal imam di bait Ar-Rijal.
Ketukan pintu di kamar Alina membuat wanita itu menghentikan tangisnya. Hampir sejam Alina menangis, mengadu setiap permasalahan dalam hidupnya pada Sang Pemilik Kehidupan. Alina yakin, Allah tidak akan menguji kemampuan seorang hamba, terkecuali hamba tersebut mampu menjalankannya. Alina percaya, jika semua kepahitan ini akan dia lalui dengan senyuman bahagia.
"Lin!" suara Bu Nyai Fatma terdengar di depan pintu kamar Alina.
"Nggeh, Mi. Sebentar," jawab Alina seraya menanggalkan mukenanya.Dia mengambil jilbab yang tergeletak di atas ranjang dan mulai menutup kepalanya. Langkahnya terasa berat sekali hendak membukakan pintu untuk ibu mertuanya setelah dia hampir mencuri dengar pembicaraan Kyai Fuad dan istrinya itu. Hati Alina tiba-tiba ragu, akankah ibu mertua yang selama ini dia sayangi sepenuh hati, ikut andil dalam rencana Kyai Fuad. Ingin sekali Alina membenci lelaki yang dia panggil Abah Fuad itu, namun hati kecilnya menolak keras, nyatanya Alina teramat sayang pada kedua orang tua Gus Alif yang tak lain adalah mertuanya sendiri-- Kyai Fuad dan Bu Nyai Fatma.
"Lama sekali, Lin?" tanya Bu Nyai Fatma mengernyitkan dahi."Ngapunten, baru selesai sholat, Mi." Jawab Alina jujur. Dia memang baru selesai melaksanakan sholat, tapi yang membuat dia begitu lama hendak membuka pintu adalah kemelut dalam hatinya tentang Bu Nyai Fatma.
"Boleh Umi masuk?" Bu Nyai Fatma meminta persetujuan pada Alina dan wanita muda itu mengangguk dengan senyuman."Monggo, Mi." Alina mempersilahkan dan menyingkir memberi jalan pada Bu Nyai Fatma.
"Duduk sini, Lin. Umi mau ngomong," tangan keriput Bu Nyai Fatma menepuk sofa berukuran sedang di dalam kamar Alina.
"Ngomong apa, Mi?" tanya Alina dengan gemuruh di dada yang semakin berdebar.
"Apa pertanyaan kamu tentang Zahwa adalah kesimpulan dari perbincangan Abah dan suamimu?" tanya Bu Nyai Fatma menyelidik.
"Alin tidak mengerti apa yang umi maksud," sahut Alina berbohong.
"Alina! Apa kamu merasa baru menjadi menantu di keluarga ini? Sudah bertahun-tahun kita hidup berdampingan, dan Umi tau ketika kamu sedang berbohong." Tutur Bu Nyai Fatma dengan meneteskan air matanya.
Alina tak kuasa menahan perih di dalam hatinya. Perlahan-lahan kristal bening berjatuhan dari kedua kelopak matanya. Bu Nyai Fatma merengkuh tubuh sang menantu yang sejak tadi menundukkan kepala. Hati Alina sudah sangat sakit mendengar kenyataan bahwa Kyai Fuad akan menghadirkan madu dalam rumah tangganya, kini hati selembut sutra itu kembali tersakiti ketika melihat mertua yang begitu dia cintai sepenuh hati harus meneteskanair mata karenanya.
"Maafkan Alin, Umi."
Bu Nyai Fatma mengusap punggung Alina dengan lembut, "Ini semua bukan salahmu, Nak!" sahut sang mertua.
"Maafkan karena Alin belum bisa memberi Umi cucu." Kedua bahu Alina bergetar hebat setelah mengucapkan demikian.
"Jangan berbicara seperti itu, Lin. Jangan sampai ucapan yang kita lontarkan menjadikan kita orang yang kufur akan nikmat Allah," tegur Bu Nyai Fatma.
"Salahkah jika Alina mengatakan demikian, Umi? Bahkan Alina belum merasakan nikmatnya menjadi seorang ibu, laku nikmat seperti apa yang Umi maksut?" netra basah Alina menatap ke arah sang mertua dengan pandangan sendu.
"Istighfar, Nak. Istighfar! Jangan sampai setan menguasai hatimu yang sedang lalai ini," tegur Bu Nyai Fatma lagi.
"Astaghfirullah ... Astaghfirullah ...," gumam Alina lirih. Tangis Bu Nyai Fatma semakin keras melihat menantunya yang terbiasa ceria kini harus menangis menanggung luka, meskipun madu untuk Alina belum dihadirkan, tapi pembicaraan Kyai Fuad begitu melukai hati menantunya.
"Tidak ada yang bisa menentang takdir, Lin. Tidak Umi atau kamu sekalipun. Cobalah untuk membuka hati dengan usulan Abahmu, beliau menyarankan poligami pada Alif tidak lain hanya untuk memberikan calon penerus bagi pesantren kita," bujuk Bu Nyai Fatma, tanpa memperdulikan hati Alina yang semakin berdenyut nyeri.
"Apa bagi Umi dan Abah, pernikahan hanya sebatas mencetak anak?" tanya Alina lancang, membuat kening mertuanya berkerut. "Bagaimana jika ternyata mas Alif yang bermasalah, dan bukan saya? Atau, bagaimana jika istri mas Alif yang baru nanti juga sama seperti Alin, tidak bisa memiliki anak? Apa Umi dan Abah akan terus meminta mas Alif menikah lagi, sampai benih mas Alif hadir di rahim wanita itu?" selidik Alina menohok, membuat Bu Nyai Fatma tidak mampu berkata-kata lagi."Bukan begitu, Lin. Apa salahnya kita mencoba, bukankah itu juga termasuk sebuah ikhtiar?" elak Bu Nyai Fatma, kini Alina yang harus dibuat memicingkan mata oleh ucapan sang mertua.
"Alin dan Gus Alif sedang berikhtiar, Umi. Kami mengikuti program hamil, tapi kenapa Umi dan Abah seolah kekeuh menginginkan suami saya menikah lagi? Apakah ada tujuan yang lain?" telisik Alina lebih dalam.
Bu Nyai Fatma menghembuskan nafas gusar, mendebat Alina sama saja beradu kecerdasan dengannya, "Baiklah, kami akan menunggu. Jika memang program hamil kamu gagal, ijinkan suamimu menikah lagi," ujar Bu Nyai Fatma datar, kemudian berlalu dari kamar Alina, membuat wanita muda itu kembali menangis pilu.
Alina tidak menyangka, mertua lembut yang setiap dia agung-agungkan, kini berubah menjadi sosok yang egois demi tujuan semata.
Tanpa Alina ketahui, air mata Bu Nyai Fatma tak kalah derasnya dari tangisan Alina. Wanita paruh baya itu menyembunyikan ketidak tegaan dalam hati, agar Alina mau menuruti permintaan Kyai Fuad untuk mengijinkan Alif menikah lagi. Desakan dari Kyai Fuad tak mampu membuat Bu Nyai Fatma membela menantu kesayangannya itu.HATI ALINA (5)_______________Keesokan harinya, Bu Nyai Fatma kembali mengajak Alina berbicara dari hati ke hati. Bu Nyai Fatma merasa menyesal telah menorehkan luka di hati menantunya kemarin sore, karena telah mengatakan hal yang begitu menyakitkan bagi Alina."Nikmat setiap orang itu berbeda-beda, Nak. Jika ada satu keinginan kamu yang belum tercapai hingga kini, jangan jadikan alasan jika kamu belum mendapatkan kenikmatan, bisa saja Allah sedang memberimu kenikmatan yang lain, yang sedang orang lain harapkan." Bu Nyai Fatma mencoba memberi pengertian pada Alina yang sempat lepas kendali pada ucapannya."Apa memiliki madu adalah sebuah kenikmatan, Umi?" lirih Alina."Insyaallah, jika kamu bisa melaluinya dengan hati yang ikhlas.""Alina memang keturunan Kyai, Umi. Tapi hati Alina sama dengan hati wanita di luaran sana, tidak akan mampu melihat suami hidup dengan wanita lain selain diri ki
HATI ALINA (6)_______________"Bagaimana jika nanti hasilnya mengecewakan, Gus?" tanya Alina dengan mata berkaca-kaca."Allah berfirman, Ana 'inda dzonni 'abdibii yang artinya Aku bersama dengan prasangka hambaku. Jadi berprasangka baiklah pada setiap takdir Allah, Lin." Tegur Alif pada istrinya.Alina menunduk, lagi, dirinya merasa malu pada Sang Pencipta. Kecintaannya pada makhluk, membuat syak wasangka Alina begitu buruk pada penciptanya.'astaghfirullah' batin wanita muda itu beristighfar.Akhirnya, sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, mereka saling terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.____________"Hasilnya keluar besok siang ya, Pak, Bu. Besok bisa langsung ke bagian administrasi dan menemui saya, akan saya jelaskan hasil dari tes kesuburan bapak dan ibu," jelas seorang dokter wanita pada Alif dan Alina.Istri Alif sejak tadi sibuk memilin uju
HATI ALINA (7)__________________Di dalam kamar, Alina meredam sendiri luka yang terasa begitu menyesakkan dada. Alina merasa, Kyai Fuad terlalu tidak sabaran pada perjuangan Alina dan suaminya. Entah mengapa, wanita cantik itu menangkap firasat lain dari permintaan Kyai Fuad pada suaminya.Kriet.Ketika pintu kamar terbuka tanpa adanya salam terlebih dahulu, Alina tahu, jika yang datang adalah suaminya."Kamu habis menangis?" Alif membelai lembut pucuk kepala Alina."Mboten, Gus." Jawab Alina berbohong.Dibenamkannya kepala sang istri pada dada bidangnya. Bukannya malah tenang, tangis wanita itu semakin menjadi berada dalam dekapan sang suami. Alina merasa dunia begitu tidak adil. Dulu, sejak kecil Kyai Fuad sudah mewanti-wanti Abah Nashor agar berkehendak menjodohkan Alina dengan Alif. Tapi kini, saat alur kehidupan tidak sesuai dengan kehendak sang mertua, Alif
HATI ALINA (8)________________"Ini toh yang namanya Gus Alif, Kyai?" tanya Kyai Ahmad-- ayah Hanifah.Tampak sekali raut bahagia terpancar di wajah Kyai sepuh itu, begitupun dengan Bu Nyai Husniah-- ibu Hanifah."Leres, Kyai. Saya Alif," sahut Gus Alif tersenyum takzim. Hanifah hanya menunduk sedark tadi, mengingat di depannya telah duduk laki-laki yang bukan mahramnya."Neng Hanifah ini pemalu ya, Bu Nyai Hus?" goda Ibu Nyai Fatma pada calon besannya."Aslinya mboten, tapi mungkin jaga image di depan calon suami," bisik Bu Nyai Husniah pada Bu Nyai Fatma, membuat kedua bola mata Hanifah membulat sempurna."Maksutnya apa, Umi?" tanya Hanifah lirih dengan hati-hati. Takut jika Kyai Fuad atau Abahnya mendengar.Bu Nyai Husniah tersenyum simpul menghadap Hanifah, sementara Bu Nyai Fatma memperlihatkan seraut wajah sumringah sebab kedatangan calon menantu kedua. Pelan-pelan
HATI ALINA (9)_______________Semua yang ada di ruang tamu mendadak mengatupkan mulut. Tidak ada yang berani bersuara, sampai satu per satu teh hangat tersaji di depan para tamu.Dengan mengatur debar nafas yang kian bertalu. Alina berkali-kali manarik nafas dan menghembuskannya perlahan.'semoga ini bukan keputusan yang salah,' batin Alina."Sebelumnya, ngapunten untuk Abah dan Umi jika saya sudah lancang menyela pembicaraan panjenengan semua," Alina menjeda ucapannya, dia meraup udara untuk memenuhi rongga dadanya dan menukar udara lama dengan udara baru. "Insyaallah saya setuju, jika...," Diusapnya sudut mata yang tidak terasa sudah berair. Bu Nyai Fatma dan Kyai Fuad tertunduk, merasa berdosa telah mendzolimi menantunya yang mereka bangga-banggakan selama ini."Jika Gus Alif harus menikah lagi," lanjut Alina dengan suara bergetar."Lin," panggil Alif lembut, netranya memanas melihat
HATI ALINA (10)________________"Zahwa, Umi," jawab Alina lirih.Bu Nyai Fatma menyelami raut wajah Alina, mencari keseriusan dalam ucapannya. Wanita paruh baya itu tidak menyangka, jika sang menantu akan memilih Zahwa, menjadi madunya."Kenapa harus Zahwa, Lin?" selidik Bu Nyai Fatma pada Alina."Apa ada yang salah, Umi? Bukankah Zahwa adalah gadis yang baik, kecerdasan dan kesopanan Zahwa tidak diragukan lagi," ucap Alina, pikirannya menerawang jauh pada saat dimana dia menanyakan pendapat mertuanya tentang Zahwa.Bu Nyai Fatma menangkupkan kedua tangannya pada wajah. Dia tidak menyangka, menginginkan seorang cucu, akan membuat kehidupan putranya serumit ini. Semua memang hanya tentang kesabaran dan keluasan hati. Kyai Fuad terlalu berambisi ingin mengembangkan pesantrennya dengan menjodohkan lagi Alif dengan putri Kyai Ahmad, seorang cucu bukan alasan satu-satunya bagi Kyai Fuad mengapa dia bersi
HATI ALINA (1)_________________"Pertimbangkan lagi saran Abah, Lif."Samar Alina mendengar percakapan Kyai Fuad dengan Alif--suaminya di Gazebo yang terletak di depan ndalem (rumah kyai)."Kita butuh penerus untuk pondok pesantren yang sudah Abah besarkan dengan almarhum kakekmu," sambung Kyai Fuad sementara Alif masih diam. "Abah dan Umi sudah bersabar menanti keturunan dari Alina, tapi sampai 4 tahun lamanya, penantian kami sepertinya harus berhenti sampai disini," ucap Kyai Fuad lagi.Alina yang hendak menyuguhkan dua cangkir kopi menghentikan langkahnya di balik tembok pembatas gazebo.Perempuan itu meremas ujung jilbabnya dengan kuat. Dia tau kemana arah pembicaraan sang mertua meskipun hanya mendengar beberapa penggal kalimat saja."Alif tidak mampu jika harus menyakiti hati Alina, Bah!"Ucapan Ali
HATI ALINA (2)_________________"Ning Alin," tepukan tangan di pundak Alina membuat dia tersadar dari lamunan panjangnya.Seluruh jamaah santri putri penduduk bait Al-Hikmah sedari tadi sudah berdiri menunggu Alina mulai memimpin sholat Dhuhur."Astaghfirullah," gumam Alina lirih.Zahwa menatap heran pada istri putra Kyai Fuad yang mereka panggil Gus Alif itu.Ya, gadis dengan usia dua tahun di bawah Alina itu memberanikan diri membangunkan sang pemimpin dari lamunan panjangnya. Pasalnya, Zahwa adalah badal (pengganti) dari Alina ketika ada sesuatu yang mendesak.Rakaat pertama berjalan dengan lancar, meskipun pikiran Alina berkelana jauh membayangkan hadirnya madu dalam rumah tangga yang sudah dia bangun sejak 4 tahun silam.Rakaat kedua, pikiran Alina mengacaukan bacaan surah pendek yang sedang Alina lantunkan. Tepukan punggung
HATI ALINA (10)________________"Zahwa, Umi," jawab Alina lirih.Bu Nyai Fatma menyelami raut wajah Alina, mencari keseriusan dalam ucapannya. Wanita paruh baya itu tidak menyangka, jika sang menantu akan memilih Zahwa, menjadi madunya."Kenapa harus Zahwa, Lin?" selidik Bu Nyai Fatma pada Alina."Apa ada yang salah, Umi? Bukankah Zahwa adalah gadis yang baik, kecerdasan dan kesopanan Zahwa tidak diragukan lagi," ucap Alina, pikirannya menerawang jauh pada saat dimana dia menanyakan pendapat mertuanya tentang Zahwa.Bu Nyai Fatma menangkupkan kedua tangannya pada wajah. Dia tidak menyangka, menginginkan seorang cucu, akan membuat kehidupan putranya serumit ini. Semua memang hanya tentang kesabaran dan keluasan hati. Kyai Fuad terlalu berambisi ingin mengembangkan pesantrennya dengan menjodohkan lagi Alif dengan putri Kyai Ahmad, seorang cucu bukan alasan satu-satunya bagi Kyai Fuad mengapa dia bersi
HATI ALINA (9)_______________Semua yang ada di ruang tamu mendadak mengatupkan mulut. Tidak ada yang berani bersuara, sampai satu per satu teh hangat tersaji di depan para tamu.Dengan mengatur debar nafas yang kian bertalu. Alina berkali-kali manarik nafas dan menghembuskannya perlahan.'semoga ini bukan keputusan yang salah,' batin Alina."Sebelumnya, ngapunten untuk Abah dan Umi jika saya sudah lancang menyela pembicaraan panjenengan semua," Alina menjeda ucapannya, dia meraup udara untuk memenuhi rongga dadanya dan menukar udara lama dengan udara baru. "Insyaallah saya setuju, jika...," Diusapnya sudut mata yang tidak terasa sudah berair. Bu Nyai Fatma dan Kyai Fuad tertunduk, merasa berdosa telah mendzolimi menantunya yang mereka bangga-banggakan selama ini."Jika Gus Alif harus menikah lagi," lanjut Alina dengan suara bergetar."Lin," panggil Alif lembut, netranya memanas melihat
HATI ALINA (8)________________"Ini toh yang namanya Gus Alif, Kyai?" tanya Kyai Ahmad-- ayah Hanifah.Tampak sekali raut bahagia terpancar di wajah Kyai sepuh itu, begitupun dengan Bu Nyai Husniah-- ibu Hanifah."Leres, Kyai. Saya Alif," sahut Gus Alif tersenyum takzim. Hanifah hanya menunduk sedark tadi, mengingat di depannya telah duduk laki-laki yang bukan mahramnya."Neng Hanifah ini pemalu ya, Bu Nyai Hus?" goda Ibu Nyai Fatma pada calon besannya."Aslinya mboten, tapi mungkin jaga image di depan calon suami," bisik Bu Nyai Husniah pada Bu Nyai Fatma, membuat kedua bola mata Hanifah membulat sempurna."Maksutnya apa, Umi?" tanya Hanifah lirih dengan hati-hati. Takut jika Kyai Fuad atau Abahnya mendengar.Bu Nyai Husniah tersenyum simpul menghadap Hanifah, sementara Bu Nyai Fatma memperlihatkan seraut wajah sumringah sebab kedatangan calon menantu kedua. Pelan-pelan
HATI ALINA (7)__________________Di dalam kamar, Alina meredam sendiri luka yang terasa begitu menyesakkan dada. Alina merasa, Kyai Fuad terlalu tidak sabaran pada perjuangan Alina dan suaminya. Entah mengapa, wanita cantik itu menangkap firasat lain dari permintaan Kyai Fuad pada suaminya.Kriet.Ketika pintu kamar terbuka tanpa adanya salam terlebih dahulu, Alina tahu, jika yang datang adalah suaminya."Kamu habis menangis?" Alif membelai lembut pucuk kepala Alina."Mboten, Gus." Jawab Alina berbohong.Dibenamkannya kepala sang istri pada dada bidangnya. Bukannya malah tenang, tangis wanita itu semakin menjadi berada dalam dekapan sang suami. Alina merasa dunia begitu tidak adil. Dulu, sejak kecil Kyai Fuad sudah mewanti-wanti Abah Nashor agar berkehendak menjodohkan Alina dengan Alif. Tapi kini, saat alur kehidupan tidak sesuai dengan kehendak sang mertua, Alif
HATI ALINA (6)_______________"Bagaimana jika nanti hasilnya mengecewakan, Gus?" tanya Alina dengan mata berkaca-kaca."Allah berfirman, Ana 'inda dzonni 'abdibii yang artinya Aku bersama dengan prasangka hambaku. Jadi berprasangka baiklah pada setiap takdir Allah, Lin." Tegur Alif pada istrinya.Alina menunduk, lagi, dirinya merasa malu pada Sang Pencipta. Kecintaannya pada makhluk, membuat syak wasangka Alina begitu buruk pada penciptanya.'astaghfirullah' batin wanita muda itu beristighfar.Akhirnya, sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, mereka saling terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.____________"Hasilnya keluar besok siang ya, Pak, Bu. Besok bisa langsung ke bagian administrasi dan menemui saya, akan saya jelaskan hasil dari tes kesuburan bapak dan ibu," jelas seorang dokter wanita pada Alif dan Alina.Istri Alif sejak tadi sibuk memilin uju
HATI ALINA (5)_______________Keesokan harinya, Bu Nyai Fatma kembali mengajak Alina berbicara dari hati ke hati. Bu Nyai Fatma merasa menyesal telah menorehkan luka di hati menantunya kemarin sore, karena telah mengatakan hal yang begitu menyakitkan bagi Alina."Nikmat setiap orang itu berbeda-beda, Nak. Jika ada satu keinginan kamu yang belum tercapai hingga kini, jangan jadikan alasan jika kamu belum mendapatkan kenikmatan, bisa saja Allah sedang memberimu kenikmatan yang lain, yang sedang orang lain harapkan." Bu Nyai Fatma mencoba memberi pengertian pada Alina yang sempat lepas kendali pada ucapannya."Apa memiliki madu adalah sebuah kenikmatan, Umi?" lirih Alina."Insyaallah, jika kamu bisa melaluinya dengan hati yang ikhlas.""Alina memang keturunan Kyai, Umi. Tapi hati Alina sama dengan hati wanita di luaran sana, tidak akan mampu melihat suami hidup dengan wanita lain selain diri ki
HATI ALINA (4)_________________Sepanjang mengajar, Alina mencuri-curi pandang pada Zahwa yang terduduk di pojokan ruangan. Gadis sederhana itu memindai kitab di tangannya sembari mendengarkan penjelasan dari Alina.'Benar-benar tidak puas terhadap ilmu yang sudah di dapat' Batin Alina.Dan itu bagus, setiap santri harus memiliki rasa ketidakpuasan terhadap ilmu yang sudah di dapat. Dengan begitu, para santri akan selalu menthola'ah kitab mereka mencari pengetahuan baru dan ilmu-ilmu baru. Alina kagum dengan semangat belajar yang Zahwa miliki.Tanpa Alina sadari, Zahwa menatap heran pada istri Gus Alif tersebut, yang tetiba berhenti mendikte para santri memaknai kitab mereka.Alina gelagapan melihat tatapan Zahwa dan beberapa santri yang lain. Diraupnya wajah cantik nan putih itu dengan kedua tangan."Zah, tolong gant
HATI ALINA (3)__________________Sepeninggal Bu Nyai Fatma, Alina kembali berkutat dengan kitab kuning di hadapannya. Nanti sore adalah jadwalnya mengajar di bait As-shoghir, pesantren khusus anak kelas 1-6 SD jika menurut sekolah umum.Alif memasuki kamarnya dan mendapati sang istri tengah menthola'ah kitab fiqh di tangannya."Masuk kelas jam berapa, Lin?" tanya Alif basa-basi."Insyaallah, pukul 4 sore, Gus. Kalau tidak ada halangan," jawab Alina dengan menatap netra sang suami.Alif dibuat salah tingkah dengan tatapan mata Alina. Pasalnya, tiap tatapan yang Alina berikan, selalu membuat getaran tersendiri bagi hati Alif."Sini Lin, saya mau ngomong sebentar," Alif menepuk ranjang kosong di sebelahnya.Alina beranjak dari tempatnya duduk dan menghampiri sang suami dengan perasaan berkecamuk.&n
HATI ALINA (2)_________________"Ning Alin," tepukan tangan di pundak Alina membuat dia tersadar dari lamunan panjangnya.Seluruh jamaah santri putri penduduk bait Al-Hikmah sedari tadi sudah berdiri menunggu Alina mulai memimpin sholat Dhuhur."Astaghfirullah," gumam Alina lirih.Zahwa menatap heran pada istri putra Kyai Fuad yang mereka panggil Gus Alif itu.Ya, gadis dengan usia dua tahun di bawah Alina itu memberanikan diri membangunkan sang pemimpin dari lamunan panjangnya. Pasalnya, Zahwa adalah badal (pengganti) dari Alina ketika ada sesuatu yang mendesak.Rakaat pertama berjalan dengan lancar, meskipun pikiran Alina berkelana jauh membayangkan hadirnya madu dalam rumah tangga yang sudah dia bangun sejak 4 tahun silam.Rakaat kedua, pikiran Alina mengacaukan bacaan surah pendek yang sedang Alina lantunkan. Tepukan punggung