HATI ALINA (1)
_________________
"Pertimbangkan lagi saran Abah, Lif."
Samar Alina mendengar percakapan Kyai Fuad dengan Alif--suaminya di Gazebo yang terletak di depan ndalem (rumah kyai).
"Kita butuh penerus untuk pondok pesantren yang sudah Abah besarkan dengan almarhum kakekmu," sambung Kyai Fuad sementara Alif masih diam. "Abah dan Umi sudah bersabar menanti keturunan dari Alina, tapi sampai 4 tahun lamanya, penantian kami sepertinya harus berhenti sampai disini," ucap Kyai Fuad lagi.
Alina yang hendak menyuguhkan dua cangkir kopi menghentikan langkahnya di balik tembok pembatas gazebo.
Perempuan itu meremas ujung jilbabnya dengan kuat. Dia tau kemana arah pembicaraan sang mertua meskipun hanya mendengar beberapa penggal kalimat saja.
"Alif tidak mampu jika harus menyakiti hati Alina, Bah!"
Ucapan Alif berhasil membuat air mata Alina menetes kian deras. Dia menutup mulutnya dengan satu tangan, agar isakannya tidak sampai terdengar oleh Kyai Fuad dan suaminya.
"Lalu apa kamu mampu menyakiti hati Abah dan Umi, Lif? Kamu siap jika Pesantren kita tidak memiliki penerus?" cecar Abah Fuad.
"Bah, mungkin kita perlu bersabar lebih lama lagi. Alif tidak masalah dengan itu, lagipula rahim Alina tidak bermasalah, Allah memang belum menitipkan benih di rahim istriku, Alif mohon, bersabarlah menanti sang cucu sedikit lama lagi," mohon Alif pada sang ayah.
Kyai Fuad menunduk dengan mata berembun. Dalam hatinya yang terdalam, dia pun tidak ingin melukai sang menantu yang notabenenya adalah Putri dari sahabat karibnya sendiri.
Kyai Nashor, ayah Alina adalah pemilik pesantren tersohor yang terletak di Jawa Timur.
Apalagi kelembutan Alina sudah menjadi candu bagi sang mertua. Kyai Fuad dan Bu Nyai Fatma sudah Alina perlakukan seperti orang tua sendiri.
"Bagaimana jika Abah lebih dulu berpulang sebelum penantian yang kamu janjikan terwujud?" tanya Kyai Fuad dengan mata berkaca-kaca.
"Jangan bicara mendahului takdir, Bah. Abah lebih mengerti hukum dalam ajaran Islam, tidak perlu Alif ajari, bukan?" ucap sang anak jengah.
"Lihat Abah, Nak! Usia Abah dan Umi sudah tidak muda lagi. Kami ingin menimang cucu darimu, satu-satunya penerus Pesantren kita," Kyai Fuad berbicara dengan suara lemah.
"Lalu apa Abah tega melihat Alif menyakiti istri sebaik Alina?!" Alif menatap nanar ke arah Kyai Fuad.
Dua cangkir kopi di atas nampan yang Alina bawa sedikit bergetar. Rasa nyeri menjalari ulu hatinya. Meskipun Alina tau, Kyai Fuad dan suaminya tidak setega itu melukai dirinya. Namun Alina membenarkan ucapan sang mertua, bagaimana jika Kyai Fuad atau Bu Nyai Fatma lebih dulu menghadap sang Pencipta sebelum hadirnya bayi kecil dari rahim Alina.
Perempuan berusia 24 tahun itu mengusap air matanya cepat. Jangan sampai dua manusia yang sangat dia hormati mencurigainya, sebab sedari tadi Alina tak kunjung datang menghidangkan minuman.
Alina menarik nafas kuat dan menghembuskannya perlahan. Dia berusaha keras agar jangan sampai terbawa perasaan hingga lupa pada unggah-ungguh yang sudah orang tuanya ajarkan sedari kecil.
"Assalamualaikum," ucap Alina berdiri di samping Gazebo.
Kyai Fuad dan Alif terperanjat. Ekor mata mereka saling lirik, keduanya merasa gelisah takut Alina mendengar percakapan yang begitu menyentil hati seorang wanita.
"Bah, Gus!" panggil Alina pelan.
Kyai Fuad dan Alif kembali tersadar dan buru-buru menyunggingkan senyum tipis.
"Waalaikumsalam," jawab keduanya serempak.
"Ngapunten kalau Alina lama, tadi diajak ngobrol sama Mbok Yati," ucap Alina beralasan.
Mbok Yati adalah salah satu wanita paruh baya yang membantu urusan perdapuran di kediaman Kyai Fuad.
"Ndak papa, nduk. Sini duduk di sebelah Abah," ucap Kyai Fuad dengan menggeser duduknya.
Hati Alina berdegup kencang. Kedua tangannya sudah basah dan berkeringat dingin. Dia membayangkan bagaimana jika Abah Fuad berbicara langsung pada Alina karena tidak mendapat respon yang baik dari anaknya-- Alif.
Untuk pertama kalinya Alina duduk di samping sang mertua dengan perasaan gelisah. Jika biasanya dia akan tersenyum ceria bila berdekatan dengan orang-orang yang dia sayangi, kali ini rupanya berbeda. Ucapan Kyai Fuad sudah membuat jarak di hati Alina.
"Besok, kamu ikut program hamil di Rumah Sakit Bani Hasyim, ya?" pinta sang mertua.
Netra Alina menatap Alif dengan tatapan meminta pendapat, dan dibalas anggukan lemah oleh sang suami.
"Insyaallah, Bah. Tapi jika Allah masih ingin menguji Alina dengan tidak kunjung hadirnya benih di rahim saya, apa tindakan Abah selanjutnya?" tanya Alina ragu.
Kyai Fuad menarik nafas kuat dan menghembuskan perlahan. Ditatapnya sang menantu dengan perasaan bersalah yang kian berkecamuk.
Dulu, Kyai Fuad lah yang meminta perjodohan ini dilakukan. Mengingat betapa lembut perangai Alina sedari dia kecil bahkan hingga kini sudah berstatus menjadi menantu di kediaman Kyai Fuad.
Alif menyembunyikan kegelisahan yang menyergap hatinya.
"Apa kamu siap mendengarnya, Lin?" tanya Kyai Fuad dan dibalas anggukan pasrah oleh Alina.
"Insyaallah, saya siap, Bah. Selagi hal yang Abah katakan nanti bisa Alina terima dengan ikhlas, insyaallah akan Alina lakukan," kata Alina menahan tangisnya dengan semakin kuat.
Alif membuang mukanya kasar. Lelaki itu yakin, Alina telah mendengar semua percakapannya bersama sang Abah.
"Bah, sudah masuk waktu dhuhur, lebih baik kita lanjutkan pembicaraan ini lain kali, ijinkan Alif dan Alina berusaha lebih keras lagi untuk mengikuti program hamil nantinya," sela Alif cepat sebelum Kyai Fuad berhasil membuka mulutnya.
Bagaimanapun, Alif tidak sampai hati mengatakan apa rencana Kyai Fuad kedepannya. Hati Alina begitu Alif cintai dengan cinta yang sebenarnya cinta. Jangankan memberikan Alina madu, membayangkan menikah lagi bahkan tidak pernah terbesit di pikiran Alif.
Kyai Fuad mengangguk lemah dan beranjak meninggalkan gazebo, meninggalkan Alina dengan rasa penasaran yang memuncak. Alina ingin tau, apa Kyai Fuad benar-benar mengatakan ingin memberikan madu untuk Alina, atau mertuanya itu akan mencari alasan yang lain.
Alif mengamit jemari Alina untuk mengajaknya pergi meninggalkan tempat mereka duduk saat ini. Alina menepis kasar tangan Alif hingga membuat sang suami terperanjat.
"Astaghfirullah," ucap Alina kemudian, "Maafkan saya, Gus. Saya tidak bermaksud demikian, tadi benar-benar refleks karena kaget tiba-tiba tangan saya ada yang menggenggam," bela Alina dan dibalas senyuman tipis oleh Alif.
Alif percaya setiap ucapan istrinya, karena wanita itu memang begitu jujur dan tidak pernah berbohong sekalipun kepada suaminya. Alif berpikir, mungkin Alina sedang terjebak dengan permainan perasaan di hatinya hingga membuat dia merasa kaget ketika Alif mengamit jemarinya yang lentik.
"Kita kembali ke ndalem, ya Lin?" tawar Alif.
"Enggih, monggo panjenengan lebih dulu kembali ke ndalem! Saya mau langsung ke bait Al-Hikmah, karena dhuhur ini ada jadwal menjadi imam disana, assalamualaikum," ucap Alina dengan mencium punggung tangan Alif.
Alina berjalan terburu-buru menjauhi Alif yang terdiam di Gazebo sendirian. Hati Alif seperti teremas begitu sakit melihat perubahan istrinya yang seolah ingin menjauh darinya.
Bersambung
HATI ALINA (2)_________________"Ning Alin," tepukan tangan di pundak Alina membuat dia tersadar dari lamunan panjangnya.Seluruh jamaah santri putri penduduk bait Al-Hikmah sedari tadi sudah berdiri menunggu Alina mulai memimpin sholat Dhuhur."Astaghfirullah," gumam Alina lirih.Zahwa menatap heran pada istri putra Kyai Fuad yang mereka panggil Gus Alif itu.Ya, gadis dengan usia dua tahun di bawah Alina itu memberanikan diri membangunkan sang pemimpin dari lamunan panjangnya. Pasalnya, Zahwa adalah badal (pengganti) dari Alina ketika ada sesuatu yang mendesak.Rakaat pertama berjalan dengan lancar, meskipun pikiran Alina berkelana jauh membayangkan hadirnya madu dalam rumah tangga yang sudah dia bangun sejak 4 tahun silam.Rakaat kedua, pikiran Alina mengacaukan bacaan surah pendek yang sedang Alina lantunkan. Tepukan punggung
HATI ALINA (3)__________________Sepeninggal Bu Nyai Fatma, Alina kembali berkutat dengan kitab kuning di hadapannya. Nanti sore adalah jadwalnya mengajar di bait As-shoghir, pesantren khusus anak kelas 1-6 SD jika menurut sekolah umum.Alif memasuki kamarnya dan mendapati sang istri tengah menthola'ah kitab fiqh di tangannya."Masuk kelas jam berapa, Lin?" tanya Alif basa-basi."Insyaallah, pukul 4 sore, Gus. Kalau tidak ada halangan," jawab Alina dengan menatap netra sang suami.Alif dibuat salah tingkah dengan tatapan mata Alina. Pasalnya, tiap tatapan yang Alina berikan, selalu membuat getaran tersendiri bagi hati Alif."Sini Lin, saya mau ngomong sebentar," Alif menepuk ranjang kosong di sebelahnya.Alina beranjak dari tempatnya duduk dan menghampiri sang suami dengan perasaan berkecamuk.&n
HATI ALINA (4)_________________Sepanjang mengajar, Alina mencuri-curi pandang pada Zahwa yang terduduk di pojokan ruangan. Gadis sederhana itu memindai kitab di tangannya sembari mendengarkan penjelasan dari Alina.'Benar-benar tidak puas terhadap ilmu yang sudah di dapat' Batin Alina.Dan itu bagus, setiap santri harus memiliki rasa ketidakpuasan terhadap ilmu yang sudah di dapat. Dengan begitu, para santri akan selalu menthola'ah kitab mereka mencari pengetahuan baru dan ilmu-ilmu baru. Alina kagum dengan semangat belajar yang Zahwa miliki.Tanpa Alina sadari, Zahwa menatap heran pada istri Gus Alif tersebut, yang tetiba berhenti mendikte para santri memaknai kitab mereka.Alina gelagapan melihat tatapan Zahwa dan beberapa santri yang lain. Diraupnya wajah cantik nan putih itu dengan kedua tangan."Zah, tolong gant
HATI ALINA (5)_______________Keesokan harinya, Bu Nyai Fatma kembali mengajak Alina berbicara dari hati ke hati. Bu Nyai Fatma merasa menyesal telah menorehkan luka di hati menantunya kemarin sore, karena telah mengatakan hal yang begitu menyakitkan bagi Alina."Nikmat setiap orang itu berbeda-beda, Nak. Jika ada satu keinginan kamu yang belum tercapai hingga kini, jangan jadikan alasan jika kamu belum mendapatkan kenikmatan, bisa saja Allah sedang memberimu kenikmatan yang lain, yang sedang orang lain harapkan." Bu Nyai Fatma mencoba memberi pengertian pada Alina yang sempat lepas kendali pada ucapannya."Apa memiliki madu adalah sebuah kenikmatan, Umi?" lirih Alina."Insyaallah, jika kamu bisa melaluinya dengan hati yang ikhlas.""Alina memang keturunan Kyai, Umi. Tapi hati Alina sama dengan hati wanita di luaran sana, tidak akan mampu melihat suami hidup dengan wanita lain selain diri ki
HATI ALINA (6)_______________"Bagaimana jika nanti hasilnya mengecewakan, Gus?" tanya Alina dengan mata berkaca-kaca."Allah berfirman, Ana 'inda dzonni 'abdibii yang artinya Aku bersama dengan prasangka hambaku. Jadi berprasangka baiklah pada setiap takdir Allah, Lin." Tegur Alif pada istrinya.Alina menunduk, lagi, dirinya merasa malu pada Sang Pencipta. Kecintaannya pada makhluk, membuat syak wasangka Alina begitu buruk pada penciptanya.'astaghfirullah' batin wanita muda itu beristighfar.Akhirnya, sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, mereka saling terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.____________"Hasilnya keluar besok siang ya, Pak, Bu. Besok bisa langsung ke bagian administrasi dan menemui saya, akan saya jelaskan hasil dari tes kesuburan bapak dan ibu," jelas seorang dokter wanita pada Alif dan Alina.Istri Alif sejak tadi sibuk memilin uju
HATI ALINA (7)__________________Di dalam kamar, Alina meredam sendiri luka yang terasa begitu menyesakkan dada. Alina merasa, Kyai Fuad terlalu tidak sabaran pada perjuangan Alina dan suaminya. Entah mengapa, wanita cantik itu menangkap firasat lain dari permintaan Kyai Fuad pada suaminya.Kriet.Ketika pintu kamar terbuka tanpa adanya salam terlebih dahulu, Alina tahu, jika yang datang adalah suaminya."Kamu habis menangis?" Alif membelai lembut pucuk kepala Alina."Mboten, Gus." Jawab Alina berbohong.Dibenamkannya kepala sang istri pada dada bidangnya. Bukannya malah tenang, tangis wanita itu semakin menjadi berada dalam dekapan sang suami. Alina merasa dunia begitu tidak adil. Dulu, sejak kecil Kyai Fuad sudah mewanti-wanti Abah Nashor agar berkehendak menjodohkan Alina dengan Alif. Tapi kini, saat alur kehidupan tidak sesuai dengan kehendak sang mertua, Alif
HATI ALINA (8)________________"Ini toh yang namanya Gus Alif, Kyai?" tanya Kyai Ahmad-- ayah Hanifah.Tampak sekali raut bahagia terpancar di wajah Kyai sepuh itu, begitupun dengan Bu Nyai Husniah-- ibu Hanifah."Leres, Kyai. Saya Alif," sahut Gus Alif tersenyum takzim. Hanifah hanya menunduk sedark tadi, mengingat di depannya telah duduk laki-laki yang bukan mahramnya."Neng Hanifah ini pemalu ya, Bu Nyai Hus?" goda Ibu Nyai Fatma pada calon besannya."Aslinya mboten, tapi mungkin jaga image di depan calon suami," bisik Bu Nyai Husniah pada Bu Nyai Fatma, membuat kedua bola mata Hanifah membulat sempurna."Maksutnya apa, Umi?" tanya Hanifah lirih dengan hati-hati. Takut jika Kyai Fuad atau Abahnya mendengar.Bu Nyai Husniah tersenyum simpul menghadap Hanifah, sementara Bu Nyai Fatma memperlihatkan seraut wajah sumringah sebab kedatangan calon menantu kedua. Pelan-pelan
HATI ALINA (9)_______________Semua yang ada di ruang tamu mendadak mengatupkan mulut. Tidak ada yang berani bersuara, sampai satu per satu teh hangat tersaji di depan para tamu.Dengan mengatur debar nafas yang kian bertalu. Alina berkali-kali manarik nafas dan menghembuskannya perlahan.'semoga ini bukan keputusan yang salah,' batin Alina."Sebelumnya, ngapunten untuk Abah dan Umi jika saya sudah lancang menyela pembicaraan panjenengan semua," Alina menjeda ucapannya, dia meraup udara untuk memenuhi rongga dadanya dan menukar udara lama dengan udara baru. "Insyaallah saya setuju, jika...," Diusapnya sudut mata yang tidak terasa sudah berair. Bu Nyai Fatma dan Kyai Fuad tertunduk, merasa berdosa telah mendzolimi menantunya yang mereka bangga-banggakan selama ini."Jika Gus Alif harus menikah lagi," lanjut Alina dengan suara bergetar."Lin," panggil Alif lembut, netranya memanas melihat
HATI ALINA (10)________________"Zahwa, Umi," jawab Alina lirih.Bu Nyai Fatma menyelami raut wajah Alina, mencari keseriusan dalam ucapannya. Wanita paruh baya itu tidak menyangka, jika sang menantu akan memilih Zahwa, menjadi madunya."Kenapa harus Zahwa, Lin?" selidik Bu Nyai Fatma pada Alina."Apa ada yang salah, Umi? Bukankah Zahwa adalah gadis yang baik, kecerdasan dan kesopanan Zahwa tidak diragukan lagi," ucap Alina, pikirannya menerawang jauh pada saat dimana dia menanyakan pendapat mertuanya tentang Zahwa.Bu Nyai Fatma menangkupkan kedua tangannya pada wajah. Dia tidak menyangka, menginginkan seorang cucu, akan membuat kehidupan putranya serumit ini. Semua memang hanya tentang kesabaran dan keluasan hati. Kyai Fuad terlalu berambisi ingin mengembangkan pesantrennya dengan menjodohkan lagi Alif dengan putri Kyai Ahmad, seorang cucu bukan alasan satu-satunya bagi Kyai Fuad mengapa dia bersi
HATI ALINA (9)_______________Semua yang ada di ruang tamu mendadak mengatupkan mulut. Tidak ada yang berani bersuara, sampai satu per satu teh hangat tersaji di depan para tamu.Dengan mengatur debar nafas yang kian bertalu. Alina berkali-kali manarik nafas dan menghembuskannya perlahan.'semoga ini bukan keputusan yang salah,' batin Alina."Sebelumnya, ngapunten untuk Abah dan Umi jika saya sudah lancang menyela pembicaraan panjenengan semua," Alina menjeda ucapannya, dia meraup udara untuk memenuhi rongga dadanya dan menukar udara lama dengan udara baru. "Insyaallah saya setuju, jika...," Diusapnya sudut mata yang tidak terasa sudah berair. Bu Nyai Fatma dan Kyai Fuad tertunduk, merasa berdosa telah mendzolimi menantunya yang mereka bangga-banggakan selama ini."Jika Gus Alif harus menikah lagi," lanjut Alina dengan suara bergetar."Lin," panggil Alif lembut, netranya memanas melihat
HATI ALINA (8)________________"Ini toh yang namanya Gus Alif, Kyai?" tanya Kyai Ahmad-- ayah Hanifah.Tampak sekali raut bahagia terpancar di wajah Kyai sepuh itu, begitupun dengan Bu Nyai Husniah-- ibu Hanifah."Leres, Kyai. Saya Alif," sahut Gus Alif tersenyum takzim. Hanifah hanya menunduk sedark tadi, mengingat di depannya telah duduk laki-laki yang bukan mahramnya."Neng Hanifah ini pemalu ya, Bu Nyai Hus?" goda Ibu Nyai Fatma pada calon besannya."Aslinya mboten, tapi mungkin jaga image di depan calon suami," bisik Bu Nyai Husniah pada Bu Nyai Fatma, membuat kedua bola mata Hanifah membulat sempurna."Maksutnya apa, Umi?" tanya Hanifah lirih dengan hati-hati. Takut jika Kyai Fuad atau Abahnya mendengar.Bu Nyai Husniah tersenyum simpul menghadap Hanifah, sementara Bu Nyai Fatma memperlihatkan seraut wajah sumringah sebab kedatangan calon menantu kedua. Pelan-pelan
HATI ALINA (7)__________________Di dalam kamar, Alina meredam sendiri luka yang terasa begitu menyesakkan dada. Alina merasa, Kyai Fuad terlalu tidak sabaran pada perjuangan Alina dan suaminya. Entah mengapa, wanita cantik itu menangkap firasat lain dari permintaan Kyai Fuad pada suaminya.Kriet.Ketika pintu kamar terbuka tanpa adanya salam terlebih dahulu, Alina tahu, jika yang datang adalah suaminya."Kamu habis menangis?" Alif membelai lembut pucuk kepala Alina."Mboten, Gus." Jawab Alina berbohong.Dibenamkannya kepala sang istri pada dada bidangnya. Bukannya malah tenang, tangis wanita itu semakin menjadi berada dalam dekapan sang suami. Alina merasa dunia begitu tidak adil. Dulu, sejak kecil Kyai Fuad sudah mewanti-wanti Abah Nashor agar berkehendak menjodohkan Alina dengan Alif. Tapi kini, saat alur kehidupan tidak sesuai dengan kehendak sang mertua, Alif
HATI ALINA (6)_______________"Bagaimana jika nanti hasilnya mengecewakan, Gus?" tanya Alina dengan mata berkaca-kaca."Allah berfirman, Ana 'inda dzonni 'abdibii yang artinya Aku bersama dengan prasangka hambaku. Jadi berprasangka baiklah pada setiap takdir Allah, Lin." Tegur Alif pada istrinya.Alina menunduk, lagi, dirinya merasa malu pada Sang Pencipta. Kecintaannya pada makhluk, membuat syak wasangka Alina begitu buruk pada penciptanya.'astaghfirullah' batin wanita muda itu beristighfar.Akhirnya, sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, mereka saling terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.____________"Hasilnya keluar besok siang ya, Pak, Bu. Besok bisa langsung ke bagian administrasi dan menemui saya, akan saya jelaskan hasil dari tes kesuburan bapak dan ibu," jelas seorang dokter wanita pada Alif dan Alina.Istri Alif sejak tadi sibuk memilin uju
HATI ALINA (5)_______________Keesokan harinya, Bu Nyai Fatma kembali mengajak Alina berbicara dari hati ke hati. Bu Nyai Fatma merasa menyesal telah menorehkan luka di hati menantunya kemarin sore, karena telah mengatakan hal yang begitu menyakitkan bagi Alina."Nikmat setiap orang itu berbeda-beda, Nak. Jika ada satu keinginan kamu yang belum tercapai hingga kini, jangan jadikan alasan jika kamu belum mendapatkan kenikmatan, bisa saja Allah sedang memberimu kenikmatan yang lain, yang sedang orang lain harapkan." Bu Nyai Fatma mencoba memberi pengertian pada Alina yang sempat lepas kendali pada ucapannya."Apa memiliki madu adalah sebuah kenikmatan, Umi?" lirih Alina."Insyaallah, jika kamu bisa melaluinya dengan hati yang ikhlas.""Alina memang keturunan Kyai, Umi. Tapi hati Alina sama dengan hati wanita di luaran sana, tidak akan mampu melihat suami hidup dengan wanita lain selain diri ki
HATI ALINA (4)_________________Sepanjang mengajar, Alina mencuri-curi pandang pada Zahwa yang terduduk di pojokan ruangan. Gadis sederhana itu memindai kitab di tangannya sembari mendengarkan penjelasan dari Alina.'Benar-benar tidak puas terhadap ilmu yang sudah di dapat' Batin Alina.Dan itu bagus, setiap santri harus memiliki rasa ketidakpuasan terhadap ilmu yang sudah di dapat. Dengan begitu, para santri akan selalu menthola'ah kitab mereka mencari pengetahuan baru dan ilmu-ilmu baru. Alina kagum dengan semangat belajar yang Zahwa miliki.Tanpa Alina sadari, Zahwa menatap heran pada istri Gus Alif tersebut, yang tetiba berhenti mendikte para santri memaknai kitab mereka.Alina gelagapan melihat tatapan Zahwa dan beberapa santri yang lain. Diraupnya wajah cantik nan putih itu dengan kedua tangan."Zah, tolong gant
HATI ALINA (3)__________________Sepeninggal Bu Nyai Fatma, Alina kembali berkutat dengan kitab kuning di hadapannya. Nanti sore adalah jadwalnya mengajar di bait As-shoghir, pesantren khusus anak kelas 1-6 SD jika menurut sekolah umum.Alif memasuki kamarnya dan mendapati sang istri tengah menthola'ah kitab fiqh di tangannya."Masuk kelas jam berapa, Lin?" tanya Alif basa-basi."Insyaallah, pukul 4 sore, Gus. Kalau tidak ada halangan," jawab Alina dengan menatap netra sang suami.Alif dibuat salah tingkah dengan tatapan mata Alina. Pasalnya, tiap tatapan yang Alina berikan, selalu membuat getaran tersendiri bagi hati Alif."Sini Lin, saya mau ngomong sebentar," Alif menepuk ranjang kosong di sebelahnya.Alina beranjak dari tempatnya duduk dan menghampiri sang suami dengan perasaan berkecamuk.&n
HATI ALINA (2)_________________"Ning Alin," tepukan tangan di pundak Alina membuat dia tersadar dari lamunan panjangnya.Seluruh jamaah santri putri penduduk bait Al-Hikmah sedari tadi sudah berdiri menunggu Alina mulai memimpin sholat Dhuhur."Astaghfirullah," gumam Alina lirih.Zahwa menatap heran pada istri putra Kyai Fuad yang mereka panggil Gus Alif itu.Ya, gadis dengan usia dua tahun di bawah Alina itu memberanikan diri membangunkan sang pemimpin dari lamunan panjangnya. Pasalnya, Zahwa adalah badal (pengganti) dari Alina ketika ada sesuatu yang mendesak.Rakaat pertama berjalan dengan lancar, meskipun pikiran Alina berkelana jauh membayangkan hadirnya madu dalam rumah tangga yang sudah dia bangun sejak 4 tahun silam.Rakaat kedua, pikiran Alina mengacaukan bacaan surah pendek yang sedang Alina lantunkan. Tepukan punggung