“Aidan! Tolong handel dulu kantor hari ini. Saya harus pergi!” “Siap, Bos! Segera laksanakan.”Aku pun lekas menyambar kunci mobil dan meninggalkan ruangan. Harus ada satu hal yang aku lakukan secepatnya dan semoga saja ini tak terlambat. Semua masih bisa diselamatkan. Alea! Satu tujuanku yaitu Alea!Aku mengangkat gawai dan segera menelponnya. Namun panggilan tak jua terhubung. Segera kukirim pesan padanya.[Lea! Bandara Sekarno Hatta terminal berapa? Tunggu saya sebentar saja.] Usai mengirim chat. Segera kunyalakan mesin dan mobil melaju meninggalkan perusahaan. Setidaknya, inilah usaha yang akan aku lakukan. Aku pun harus meminta maaf padanya. Jika keputusanku memutasi Alea menyakiti hatinya. Seperti biasa, kondisi jalanan siang di Kota Karawang tak terlalu macet. Ramai lancar. Tak berapa lama, aku sudah masuk ke dalam tol dan menginjak gas dengan maksimal. Mobil melaju dengan cepat. Aku harus bertemu Alea. Syukur-syukur dia bisa kukejar sebelum sampai bandara. Hanya saja, aku
Pov Alea Cinta, kadang mengalahkan logika. Itulah yang aku rasakan. Sakit hati yang berjung pada surat pengunduran diri, perlahan menguap begitu saja. Banyu, dialah lelaki sejuta pesona yang selalu membuatku kalah. Ya, kali ini pun sama. Lagi-lagi aku kalah dengan pesonanya. Aku merasa dihargai ketika dia mengejarku dan meminta maaf. Ya, selemah itu memang hati seorang Alea. Huft, entahlah. “Jadi semua kesimpulanmu adalah, salah. Apakah masih tertarik berpihak pada Glen?” Dia menatapku, tajam dan dalam. Membuat debum dalam dada ini menari-nari tak beraturan. “Apa aku ada kesempatan untuk dekat denganmu lagi?” Kutatap dia lekat-lekat. Ingin rasanya waktu berhenti saja sekarang. Sayangnya, aku tak punya kenalan malaikat orang dalam.“Sebagai partner kerja, yes. Lebih dari itu, sorry, still no.” Suaranya terdengar tegas. Ya, itulah yang aku suka dari dia, laki banget.“Beruntungnya Jingga memilikimu. Misye beg* sudah membuang lelaki sebaik kamu, Banyu.” Akhirnya kalimat pengakuan ini
Pov BaraMimpi apa aku semalem? Tiba-tiba, hari ini aku ketiban sial. Kue yang dipesan pihak restoran hotel, jatuh berhamburan. Seorang gadis asing tiba-tiba menabrakku. Setelahnya bukannya ganti rugi dan minta maaf. Dia malah tambah menyusahkan. Dia minta kubawa lari. Bodohnya, melihat mimik serius dan paniknya apalagi dia menyebut nama Jingga, aku mau-mau saja.Aku bingung mau menurunkan gadis itu di mana? Dia bilang mau diperkosa. Meski tak masuk akal, tapi anehnya aku tetap menolongnya. Akhirnya kubawa dia pulang dan kini di pekarangan rumah inilah dia berada.“Siapa dia, A?!” Belum juga aku bernapas, Mairani sudah menyerang dengan pertanyaan. Jangankan dia, aku aja gak tahu gadis ini siapa? Aku tak menggubrisnya. Kumenoleh pada gadis yang tadi hanya kudengar sekilas kalau panggilannya Alea. “Hey, Mbak! Sekarang, kamu sudah boleh pergi. Saya harus nganter lagi kue. Bisa-bisa saya kehilangan pelanggan gara-gara kamu!” Kulirik sekilas ke wajahnya. Dia turun dari sepeda motorku de
Pov 3[File rekaman dari rencana jahat Glen, terlampir. Cuma sepertinya gak terlalu efektif. Aku ketahuan.] Sebuah email masuk dari Alea. Pak Banyu segera mendownload file yang dikirimkan. Dia dengarkan, lalu segera diforward kepada Pak Seto---kuasa hukum keluarga. Kebetulan Pak Roy memang sedang berhalangan, jadi Pak Seto akhirnya yang diminta untuk membantu menyelesaikan kasus ini. Selama ini keluarganya memang menjalin hubungan baik dengan beberapa lawyer ternama. Ya, salah satunya Pak Seto ini. [Dear Pak Seto. Terlampir file rekaman yang didapatkan Alea. Semoga bisa dijadikan sebagai salah satu alat bukti atas kejahatan terencana mereka.] Email terkirim. Lekas Pak Banyu mengambil gawai dan menelpon Pak Seto langsung. Pak Banyu tahu, dia orang sibuk. Mungkin belum sempat melihat emailnya. “Siang, Pak Banyu!” Suara Pak Seto terdengar menyapa dari seberang sana. “Siang, Pak Seto! Mohon check email, ya!” Tak banyak basa-basi, Pak Banyu langsung pada inti permasalahan. “Baik, Pak
Pov3“Selamat siang, Pak! Mohon maaf … saya cukup kaget dengan kedatangan Bapak ke sini? Ada perlu apa, ya, Pak?” tutur Karissa. Mencoba bersikap senatural mungkin agar terlihat tak bersalah. Glen bilang kan tak boleh kelihatan panik agar mereka tak curiga. “Tenang, Karissa … tenang … kamu pasti bisa …,” batin Karissa sibuk membaik-baikkan hatinya. “Siang dengan Bu Karissa! Kami dari kepolisian! Mohon kerja samanya agar ikut kami untuk memberikan keterangan di kantor polisi. Ini surat tugasnya!” Salah satu polisi tersebut mengangsurkan surat dengan logo kepolisian, lengkap dengan stempel dan tanda tangan. Padahal Karissa sempat berharap ini hanya sebuah prank yang disiapkan oleh Glen. Lelaki itu sering sekali memberi kejutan untuknya. “Mohon maaf, ya, Pak. Saya bingung harus memberikan keterangan apa? Soalnya saya gak pernah berbuat salah apa-apa.” Karissa tetap berusaha terlihat tenang. Meskipun sebetulnya kaki sudah merasa tak menginjak bumi. Seluruh dunia seakan menjadi kerdil.
Waktu cuti melahirkanku tak terasa sudah habis. Hari ini adalah terakhir aku berada di rumah. Esok harus sudah mulai aktivitas seperti biasa lagi. Hari minggu pagi yang cerah. Papa Banyu sedang duduk di teras rumah bersama baby Cakra yang tergeletak di atas stroller. Matahari pagi Kota Karawang menyorot hangat. Menelusup menembus pori-pori dan membuat badan terasa lebih semangat. “Alhamdululah, proses sidang Mbak Karissa dan Mas Glen selesai.” Suara itu membuat tarikan pada garis bibirku melengkung. Wajah suamiku pun tak kalah sumringah kulihat. “Apakah itu artinya semua sudah seleai?” tanyaku seraya mengaduk teh dalam cangkir. “Ya, mereka sudah mendapatkan ganjaran hukuman yang setimpal.” Dia menjawab sambil menerawang. “Mas Glen dapat juga hukuman, Pa?” “Tentu! Dia terbukti sebagai dalang di balik semuanya. Mbak Karissa hanya pion catur yang dia gerakkan.” Dihembuskan kasar napasnya. “Iya, masih berasa mimpi. Awalnya kukira kedatangan Mbak Karissa adalah dewa penyelamat untuk
Pov HudaDiabaikan, itulah yang aku alami selama beberapa bulan ini. Imelda yang biasanya mengejar, tiba-tiba mengabaikan. Jujur, terasa banget ada yang kosong melompong. Tanpa kehadiran Imelda, entah kenapa, semua hal yang kulakukan terasa hambar. Biasanya aku begitu bersemangat membuat artikel dan idenya pun lancar. Namun, selama Imelda mendiamkanku, ide-ide yang biasa muncul, hilang begitu saja. Mereka kini seperti ikut-ikutan bersembunyi entah di mana. Semua hal menjadi tersendat, Ya Tuhaaan!Karena semua hal itu, kini aku pun menjadi lebih gampang marah dan uring-uringan. Hal ini berimbas juga pada pekerjaanku yang masih memegang akun Mbak Misye. Aku terbawa emosi dan adu mulut dengan segerombolan fans fanatik karena hal sepela. Alhasil, managernya langsung memberi somasi dan memberikan upah terakhirku. Hilang sudah satu pemasukkan tambahanku. Beberapa bulan lalu, nasib tak baik kembali menghampiriku. Di saat aku mendapat uang tambahan untuk Bapak berobat, tapi dia malah pergi.
Pov 3Semenjak berbincang dengan Jingga, tujuan Huda lebih jelas. Pada akhirnya, Huda memberanikan diri berkunjung ke rumah Imelda. Meskipun, jelas … tiap hari Imelda sudah di antar jemput oleh pemilik bengkel dengan tampang urakan itu, Bang Ako. Lelaki dengan pakaian kemeja lengan pendek dan celana jeans berwarna gelap itu tengah berada di perempatan. Dia tengah membeli martabak. Begitulah cara Huda. Dia akan mendekati keluarga Imelda untuk bisa merebut hati gadis itu. “Martabaknya berapa, Mas?” Pertanyaan terlontar dari seorang penjual, sedangkan tangannya sibuk membubuhi topping pada martabak manis ketan hitam, pesanan orang. “Martabak yang daging ikan tuna satu, martabak telor yang daging sapi satu, lalu martabak manis kombinasi satu.” Huda menjawab. Sesekali dia mengusasp rambutnya yang terpangkas rapi. Penampilannya terlihat kalem dengan paras yang cukup menarik perhatian. “Yang ikan tuna, telor ayam atau bebek, Mas?” Tukang martabak itu menoleh. “Telor bebek saja, Mas.” “
“Oke, satu kali lagi bersiap! Tiga, dia, sat-”“Mbak!” pekikkan Cakra membuat semua terkaget. Tubuh Aluna akhirnya ambruk juga karena kelelahan. Untung Cakra dan Adrian yang berada di sisi kanan kirinya sigap menangkap sang pengantin. Suasana sedikit kacau. Untung saja, Aluna tak sampai kehilangan kesadaran. Hanya pusing dan berkunang-kunang saja. Adrian yang cemas, meminta Aluna untuk istirahat sebentar. Meskipun demikian beberapa tamu undangan yang kebetulan baru datang bertanya-tanya tentang keberadaan pengantin perempuan. Salah satunya Jenny---sahabat lama Unda Jingga. Seorang psikolog yang dulu menjadi tempat konsultasi saat penyembuhan trauma Aluna.“Loh pengantinnya mana?” Jenny bersama suami dan anaknya menyalami Unda Jingga.“Kecapekan, Jen. Makasih ya sudah datang!” Unda Jingga menerima uluran tangan Jenny. “Oalah, kok bisa? Jangan-jangan diajak lembur terus tiap malam,” kekeh Jennya sambil melirik Adrian. Dalam hatinya mengakui jika Adrian memang lebih tampan dari pada ad
Aluna keluar dari kamar mandi dengan ekspresi datar. Oma Fera yang menunggu tak sabar langsung memburunya dan bertanya, “Gimana hasilnya, Una?” Aluna tersenyum masam, sambil menggeleng, membuat harapan Oma Fera yang sudah meninggi tadi perlahan meredup dengan sendiri. “Ya sudah, gak apa. Masih baru juga. Semangat pokoknya!” Oma Fera mengedipkan mata dan menepuk bahu cucunya dengan senyuman lembut. “Iya, Oma.” Aluna tersenyum. Dia pun kembali meneruskan kegiatannya yang tadi yaitu rebahan.Oma Fera pun mulai mengeluarkan wejangan-wejangan khas orang tua, mulai dari makanan apa saja yang harus dimakan, suplemen, bahkan sampai posisi yang katanya agar bisa hamil. Aluna tak menggubrisnya, tubuh yang lemas membuatnya tak banyak merespon ucapan Oma Fera. Hanya iya-iya dan mengangguk saja.Hari-hari berlalu, semua kesibukkan menjelang resepsi semakin membuat jadwal mereka kian padat. Meskipun dibantu EO, tapi tetap mereka harus terlibat untuk memutuskan ini dan itu. Tak ada hal yang lebih
“Ini rumah siapa, Bang?” Aluna menatap heran. Tiba-tiba Adrian mengajak ke tempat ini. Hanya berbeda beberapa rumah dari tempat Oma Fera.“Kita bulan madu lagi, Dek!” bisik Adrian diselingi kekehan yang membuat Aluna semakin tak paham. Reflek Aluna mencubit pinggang Adrian, tapi tangan Adrian sigap menangkap sang pengganggu dan menggenggamnya. Jemari kokoh Adrian hampir menenggelamkan jari-jari lentik milik Aluna. Keduanya berjalan melewati pekarangan yang masih terhampar pasir dan sisa-sisa paving blok di mana-mana. Setelah berdiri di depan pintu yang dicat pernis itu Adrian mengeluarkan kunci dari dalam saku. Perlahan dia memasukkan anak kunci itu dan membaca basmallah. Daun pintu yang bebentuk model kupu-kupu itu dibuka lebar. Aluna tertegun ketika melihat funiture lengkap sudah memenuhi ruangan yang ada di depannya. Bagian dalam rumah dicat putih membuat kesan yang semakin luas pada ruangan. Tirai-tirai yang terkesan mahal dan elegan menjuntai di sepanjang jendela kaca yang tin
MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD! (117)Adzan ashar berkumandang ketika keduanya baru saja selesai berpetualang. Aluna memberengut di tepi tempat tidur, malu mau keluar. Siang-siang rambutnya basah pula. “Ayo, Dek! Kita jalan-jalan sore!” Adrian tampak cuek dan tak merasa bersalah. Dia bicara sambil menyeka rambutnya yang sama-sama masih basah. “Ck, malu lah, Bang!” Aluna mengisyaratkan pada rambutnya yang masih basah. Adrian terkekeh, wajahnya mendekat. Jiwa jahilnya yang dulu seringkali keluar ketika berdebat dengan Alisha, kini mulai terlihat. Belum semua, Aluna belum tahu semua aslinya Adrian seperti apa. Baru sehari mereka menuai madu manis pernikahan dan sedang manis-manisnya. Semua terpampang masih yang baik-baik saja. “Jadi mau di sini saja? Kita ulangi sampai Isya?” godanya seraya mengangkat alisnya ke atas. Wajahnya tampak cerah seperti langit setelah hujan. Cubitan dari Aluna membuat Adrian terkekeh, lalu dia menarik lengan sang istri perlahan. “Ayolah, bisa jalan ‘kan?” ke
Aluna melingkarkan tangan ke pinggang Adrian. Kepalanya bersandar pada dada bidang yang membuanya nyaman. Mobil yang dikemudikan Mang Parmin mengantar mereka hendak kembali ke kediaman Oma Fera. Satu tangan Adrian merangkul sang istri yang sejak tadi bergelayut tak mau melepasnya. Sesekali satu tangan lainnya mengusap pucuk kepala Aluna.Senyum pada dua sejoli itu terkembang sempurna. Seperti dua orang musafir gurun yang menemukan oase. Seolah mendapat siraman rasa sejuk yang memadamkan gundah yang berkepanjangan. “Mau beli makan gak?” bisik Adrian. Hembusan napasnya bahkan terasa hangat di dahi Aluna. Sesekali kecupan singkat dilabuhkan pada pucuk kepala gadis yang bersandar di dadanya. “Oma gak masak?” tanya Aluna tanpa mengubah posisinya. “Hmmm … masak.” Adrian menjawab singkat. Otaknya sudah tak bisa konsen karena jarak tubuh yang nyaris tanpa celah.“Aku kangen masakan di rumah Oma.” Aluna bicara lagi.“Oh, ya sudah. Kita makan di sana, ya!” Adrian berbicara setenang mungkin.
Sepeninggalnya Vina, Misye sudah terhanyut dalam halusinasinya. Moodnya akan membaik dengan cepat ketika dia bertemu dengan obat-obatan terlarang tersebut. Dia keluar dari kamar apartemen dan membuka pintu. “Vin! Vina!” Tok Tok Tok!Bersamaan dengan itu, pintu diketuk dari arah luar. Otaknya yang sudah setengah tak sadar, tak bisa berpikir kalau itu bukan Vina. “Ngapain kamu ketuk-ketuk pintu, Vin!” omel Misye sambil membuka daun pintu. Namun seketika netranya melihat beberapa orang yang mengarahkan kamera kepadanya. “Bu Misye, ada waktu sebentar!” “Siapa kamu, ya!” “Maaf, saya selebgram lambe-lambean, Bu! Ini kita lagi di acara ngegap aktris! Boleh kami wawancara sebentar terkait kasus yang lagi viral sekarang! Bagaimana tentang menantu Ibu, kok bisa, Ibu gak tahu kalau putri Ibu nikah dengan anak pengusaha?” Pemburu berita itu seperti tebal muka. Dia langsung saja mencecar Misya dengan pertanyaan. Semua itu tak lain dan tak bukan karena gagalnya para wartwan televisi yang men
Misye pontang-panting mencari cara untuk bertemu dengan Pak Dirga. Hanya saja, laki-laki itu sudah menutup semua aksesnya. Bahkan laporan pada kepolisian sudah dilayangkan dengan tuduhan pencemaran nama baik. Karena sejauh ini, pergerakan Misye yang diminta untuk memberikan klarifikasi dan permohonan maaf, tak ada pergerakan. “Mbak Misye, sepertinya lebih aman kalau bikin klarifikasi lagi ke wartawan!” “Vina, kamu gila. Itu sama saja menghancurkan reputasiku. Aku yakin, semua yang awalnya masih ragu, jadinya mereka nanti malah membullyku nanti. Image aku sebagai super mama bisa langsung anjlok!"Keduanya lalu terdiam lagi. Kepala Misye berdenyut nyeri memikirkan semua itu. Vina sudah berulang kali membujuk Misye untuk membuat klarifikasi, tapi tak berhasil. “Minta barangnya, Vin!” “Jangan, Mbak! Kita lagi disorot sekarang!” “Ck, mereka menyorot hal yang beda! Penakut kamu!” tukas Misye seraya merebut tas selempang yang tergeletak di meja kecil, lalu mengambil sebuah kunci dari sa
Usai memberi pernyataan pada media. Misye tersenyum senang. Dia sangat yakin, kalau menantu miskin yang sakit-sakitan itu akan segera hengkang. Misye yakin laki-laki itu akan minder dan kena mental lalu mundur dengan sendirinya. “Ah, Misye memang hebat! Tak percuma punya otak cemerlang,” kekehnya memuji diri sendiri. Dia pun segera pulang ke apartemen yang masa sewanya sudah hampir habis itu. Pastinya setelah menyapa beberapa rekan wartawan yang sengaja dihubunginya tadi. Bagaimanapun dia harus berusaha mendapatkan pekerjaan lagi. Uang untuk kehidupan mewahnya sudah hampir habis.Setibanya di apartemen dia langsung merebahkan diri di atas kasur empuknya. Dia pun segera memantau sosial media, berharap para wartawan itu langsung bergerak cepat sesuai rencananya. Sudah ada postingan yang muncul, meskipun belum ada gambar penyerta. “Start yang bagus.” Misye bicara sendirian. Lalu dia menghubungi managernya yang sama-sama sepi job juga. Misye minta managernya segera memberikan alamat ru
“Abang gak usah dengerin!” tukas Aluna seolah paham. “Tidak, Dek! Kali ini Abang minta izin untuk melawan! Hanya saja Abang minta satu hal. Jangan pernah terpikir untuk mengorbankan rumah tangga kita apapun yang terjadi setelah ini, janji?” Adrian menatap tajam sepasang mata Aluna yang menatapnya penuh rasa bersalah. “Ngomongnyo gitu mulu, sih?” gerutu Aluna samar. “Apa?!” Adrian yang tak mendengar jelas karena volume televisi yang cukup keras menoleh.“Iya,” tukas Aluna malas menjelaskan. “Iya apa?” Adrian menatap Aluna. Satu bulan ini hubungannya sudah lumayan membaik. Hanya saja, Adrian tetap khawatir jika Aluna tiba-tiba pergi karena merasa dibohongi. “Iya, janji!” tukas Aluna sambil mengerucutkan bibirnya dan bicara dalam hati, “Dia itu kenapa, sih? Bahas-bahas ginian melulu. Dia kira aku ini main-main sama pernikahan?” Adrian yang melihat raut wajah Aluna merengutpun menjadi sangsi, “Wajahnya kayak kesal, apa sebenarnya dia merasa tersiksa dengan pernikahan ini, ya?”“Semo