Waktu cuti melahirkanku tak terasa sudah habis. Hari ini adalah terakhir aku berada di rumah. Esok harus sudah mulai aktivitas seperti biasa lagi. Hari minggu pagi yang cerah. Papa Banyu sedang duduk di teras rumah bersama baby Cakra yang tergeletak di atas stroller. Matahari pagi Kota Karawang menyorot hangat. Menelusup menembus pori-pori dan membuat badan terasa lebih semangat. “Alhamdululah, proses sidang Mbak Karissa dan Mas Glen selesai.” Suara itu membuat tarikan pada garis bibirku melengkung. Wajah suamiku pun tak kalah sumringah kulihat. “Apakah itu artinya semua sudah seleai?” tanyaku seraya mengaduk teh dalam cangkir. “Ya, mereka sudah mendapatkan ganjaran hukuman yang setimpal.” Dia menjawab sambil menerawang. “Mas Glen dapat juga hukuman, Pa?” “Tentu! Dia terbukti sebagai dalang di balik semuanya. Mbak Karissa hanya pion catur yang dia gerakkan.” Dihembuskan kasar napasnya. “Iya, masih berasa mimpi. Awalnya kukira kedatangan Mbak Karissa adalah dewa penyelamat untuk
Pov HudaDiabaikan, itulah yang aku alami selama beberapa bulan ini. Imelda yang biasanya mengejar, tiba-tiba mengabaikan. Jujur, terasa banget ada yang kosong melompong. Tanpa kehadiran Imelda, entah kenapa, semua hal yang kulakukan terasa hambar. Biasanya aku begitu bersemangat membuat artikel dan idenya pun lancar. Namun, selama Imelda mendiamkanku, ide-ide yang biasa muncul, hilang begitu saja. Mereka kini seperti ikut-ikutan bersembunyi entah di mana. Semua hal menjadi tersendat, Ya Tuhaaan!Karena semua hal itu, kini aku pun menjadi lebih gampang marah dan uring-uringan. Hal ini berimbas juga pada pekerjaanku yang masih memegang akun Mbak Misye. Aku terbawa emosi dan adu mulut dengan segerombolan fans fanatik karena hal sepela. Alhasil, managernya langsung memberi somasi dan memberikan upah terakhirku. Hilang sudah satu pemasukkan tambahanku. Beberapa bulan lalu, nasib tak baik kembali menghampiriku. Di saat aku mendapat uang tambahan untuk Bapak berobat, tapi dia malah pergi.
Pov 3Semenjak berbincang dengan Jingga, tujuan Huda lebih jelas. Pada akhirnya, Huda memberanikan diri berkunjung ke rumah Imelda. Meskipun, jelas … tiap hari Imelda sudah di antar jemput oleh pemilik bengkel dengan tampang urakan itu, Bang Ako. Lelaki dengan pakaian kemeja lengan pendek dan celana jeans berwarna gelap itu tengah berada di perempatan. Dia tengah membeli martabak. Begitulah cara Huda. Dia akan mendekati keluarga Imelda untuk bisa merebut hati gadis itu. “Martabaknya berapa, Mas?” Pertanyaan terlontar dari seorang penjual, sedangkan tangannya sibuk membubuhi topping pada martabak manis ketan hitam, pesanan orang. “Martabak yang daging ikan tuna satu, martabak telor yang daging sapi satu, lalu martabak manis kombinasi satu.” Huda menjawab. Sesekali dia mengusasp rambutnya yang terpangkas rapi. Penampilannya terlihat kalem dengan paras yang cukup menarik perhatian. “Yang ikan tuna, telor ayam atau bebek, Mas?” Tukang martabak itu menoleh. “Telor bebek saja, Mas.” “
Pov Alea Aku menatap layar ponsel yang berpendar. Nomor Banyu yang menelpon. Aku lekas mengangkatnya. “Ya ….” Aku menjawab malas. “Alea! Kapan kamu gabung lagi dengan tim kita?” Terdengar suara yang sejak dulu selalu membuat hatiku berdebar-debar. Namun, kini … entah kenapa tidak lagi. Aku seperti biasa saja ketika mendengar suaranya. “Ahm … sepertinya aku tak jadi menarik surat pengunduran dirinya.” Aku bicara setelah berpikir sejenak. “Loh? Maksudnya?” Suara Banyu terdengar heran. “Aku, tetap jadi resign. Soalnya … aku sudah menemukan pekerjaan baru di sini.” Aku berbohong. Padahal bukan menemukan pekerjaan baru, tetapi entah kenapa sikap Bara yang cuek dan masih marah justru membuatku penasaran. Aku masih butuh waktu untuk … hmmm … untuk apa, ya? Pokoknya, aku masih pengen di sini. Aku mengedik sendiri. Entah untuk apa aku mengejar-ngejar kata maaf dari Bara. Padahal dia bukan siapa-siapa. Entah kenapa, semua jadi sepenting ini? “Serius, Lea? Kamu jadi resign?” Kudengar sua
Pov BaraAku baru saja pulang dari berbelanja bahan-bahan. Prospek toko kue yang di sini memang sedikit merambat. Berbeda dengan yang di Karawang. Karena itu juga, aku belum berani mengambil karyawan. Di sini, penjualan masih naik turun, belum juga dapat pelanggan tetap. Berbeda dengan di Karawang yang sudah bekerja sama dengan beberapa hotel. Di sini baru dapat satu pelanggan saja kemarin sudah dibuat kacau oleh hmmm, gadis aneh itu … Alea maksudnya. Dari dalam kamar Mama terdengar suara orang tertawa dan bercengkrama. Aku menautkan alis. Siapa yang berbicara dengan Mama. Mairani tadi bahkan sedang sibuk meladeni pembeli. Lagipula, Selama ini, Ma tak suka ditemui siapapun dan lebih memilih mengurung diri setiap hari. Menyendiri katanya lebih membuatnya tenang. Aku lekas berjalan menuju kamar Mama. Kamar Mama sengaja kutempatkan di bawah agar aku tak lelah wara-wiri kalau hendak membawakannya makanan. Daun pintu terbuka setelah kudorong perlahan. Aku tertegun. Tampak Mama sedang be
Pov 3“Mairani benar, Bara. Alea cantik. Mama juga suka.” Bara melongo melihat Mamanya yang sudah berdiri dan tersenyum. Wajahnya, terlihat lebih semringah dari pada biasanya. Apakah benar ini pengaruh dia dekat dengan Alea? Namun, Bara lekas menepis pikirannya sendiri. Alea bukan gadis tipenya. Dialah perempuan yang sudah membuat namanya rusak di depan Banyu dan Jingga. “Sudahlah, Ma. Gak usah terprovokasi oleh tampang pura-pura baik Alea. Dia tak sebaik yang Mama pikirkan.” “Loh, kok ngomongnya gitu, sih, Bara? Alea membuat Mama merasakan Rani datang lagi. Dia cantik, pintar, lembut.” “Ahm, Ma … sebaiknya Mama lekas tidur … sudah malam! Ayo Bara antar ke kamar!” Bara memangkas kalimat Mamanya dan lekas menggandeng lengan Mama ke kamar. Namun, entah seperti apa Alea mencoba menarik perhatian Mama. Sepanjang sebelum tidur, Mama terus-terusan bercerita tentang Alea dan itu benar-benar membuat kepala Bara cenat-cenut dibuatnya. Kuping Bara terasa panas hingga Mama akhirnya terlelap
[Jingga, boleh share lokasi sekolahan kamu. Aku Alea. Ingin ketemu. Ada perlu. Please, ya! Demi masa depanku.] “Alea?” Jingga menggumam dalam dada. Sedikit bingung, apa hubungan dirinya dengan masa depan gadis itu. [Saya di sekolah, Alea. Ada urusan apa, ya?] Jingga mengirim pesan dengan cepat. [Boleh ke sana? Jam berapa kalau boleh? Ada hal yang tak bisa dibahas ditelepon.] Alea mengirim pesan lagi. [Hmmm, datanglah selepas makan siang.] Jingga pun mengirimkan share lokasi. Membiarkan Alea datang ke sekolahannya. Untuk Aluna, banyak opsi transportasi. Dia bisa memesankan mobil online, bisa juga nitip pesan pada wali kelasnya agar bisa ikut jemputan. Alea menatap pesan yang diterimanya. Udara Bandung yang sejuk sebetulnya masih membuatnya betah. Namun, demi Bara … dia pun segera bersiap untuk ke Karawang. Bandung-Karawang tak lama, hanya cukup waktu dua jam saja. Dia pun bergegas dan berpamitan pada pamannya. Alea mengarahkan kamera ke wajahnya, lalu menguploadnya di status wha
Aku mengusap perut yang sudah terasa mulas-mulas dari tadi. Keringat mengucur pada pelipis karena tegang dan takut. Bagaimanapun, lahiran pertama itu operasi cesar. Dokter dulu pernah bilang, kalau untuk bisa melahirkan secara normal itu harus berjarak lima tahunan dari kehamilan pertama. Namun, rupanya program KB-ku kebobolan. Usia Cakra saja baru satu tahun lebih bebebrapa bulan dan kini adiknya sudah sembilan bulan di dalam perut. “Unda, ini minumnya!” Aluna manyodorkan botol air mineral. “Makasih, Kakak.” Aku menerima botol itu dengan tangan gemetar. Jujur, ada rasa takut berlebih ketika mendengar penuturan dokter tadi, mereka akan membuka bekas jahitan yang lama dan itu katanya cukup makan waktu. “Baby Cakra rewel gak?” Aku menoleh pada Aluna setelah hening beberapa saat. “Rewel, Unda … tadi lagi ditenangin sama Bi Mul, Oma juga.” Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala mendengar jawaban dari Aluna. “Nek, Papanya Cakra masih ngurus administrasi, ya?” Aku melirik pada Ibu yang