Pov BaraAku baru saja pulang dari berbelanja bahan-bahan. Prospek toko kue yang di sini memang sedikit merambat. Berbeda dengan yang di Karawang. Karena itu juga, aku belum berani mengambil karyawan. Di sini, penjualan masih naik turun, belum juga dapat pelanggan tetap. Berbeda dengan di Karawang yang sudah bekerja sama dengan beberapa hotel. Di sini baru dapat satu pelanggan saja kemarin sudah dibuat kacau oleh hmmm, gadis aneh itu … Alea maksudnya. Dari dalam kamar Mama terdengar suara orang tertawa dan bercengkrama. Aku menautkan alis. Siapa yang berbicara dengan Mama. Mairani tadi bahkan sedang sibuk meladeni pembeli. Lagipula, Selama ini, Ma tak suka ditemui siapapun dan lebih memilih mengurung diri setiap hari. Menyendiri katanya lebih membuatnya tenang. Aku lekas berjalan menuju kamar Mama. Kamar Mama sengaja kutempatkan di bawah agar aku tak lelah wara-wiri kalau hendak membawakannya makanan. Daun pintu terbuka setelah kudorong perlahan. Aku tertegun. Tampak Mama sedang be
Pov 3“Mairani benar, Bara. Alea cantik. Mama juga suka.” Bara melongo melihat Mamanya yang sudah berdiri dan tersenyum. Wajahnya, terlihat lebih semringah dari pada biasanya. Apakah benar ini pengaruh dia dekat dengan Alea? Namun, Bara lekas menepis pikirannya sendiri. Alea bukan gadis tipenya. Dialah perempuan yang sudah membuat namanya rusak di depan Banyu dan Jingga. “Sudahlah, Ma. Gak usah terprovokasi oleh tampang pura-pura baik Alea. Dia tak sebaik yang Mama pikirkan.” “Loh, kok ngomongnya gitu, sih, Bara? Alea membuat Mama merasakan Rani datang lagi. Dia cantik, pintar, lembut.” “Ahm, Ma … sebaiknya Mama lekas tidur … sudah malam! Ayo Bara antar ke kamar!” Bara memangkas kalimat Mamanya dan lekas menggandeng lengan Mama ke kamar. Namun, entah seperti apa Alea mencoba menarik perhatian Mama. Sepanjang sebelum tidur, Mama terus-terusan bercerita tentang Alea dan itu benar-benar membuat kepala Bara cenat-cenut dibuatnya. Kuping Bara terasa panas hingga Mama akhirnya terlelap
[Jingga, boleh share lokasi sekolahan kamu. Aku Alea. Ingin ketemu. Ada perlu. Please, ya! Demi masa depanku.] “Alea?” Jingga menggumam dalam dada. Sedikit bingung, apa hubungan dirinya dengan masa depan gadis itu. [Saya di sekolah, Alea. Ada urusan apa, ya?] Jingga mengirim pesan dengan cepat. [Boleh ke sana? Jam berapa kalau boleh? Ada hal yang tak bisa dibahas ditelepon.] Alea mengirim pesan lagi. [Hmmm, datanglah selepas makan siang.] Jingga pun mengirimkan share lokasi. Membiarkan Alea datang ke sekolahannya. Untuk Aluna, banyak opsi transportasi. Dia bisa memesankan mobil online, bisa juga nitip pesan pada wali kelasnya agar bisa ikut jemputan. Alea menatap pesan yang diterimanya. Udara Bandung yang sejuk sebetulnya masih membuatnya betah. Namun, demi Bara … dia pun segera bersiap untuk ke Karawang. Bandung-Karawang tak lama, hanya cukup waktu dua jam saja. Dia pun bergegas dan berpamitan pada pamannya. Alea mengarahkan kamera ke wajahnya, lalu menguploadnya di status wha
Aku mengusap perut yang sudah terasa mulas-mulas dari tadi. Keringat mengucur pada pelipis karena tegang dan takut. Bagaimanapun, lahiran pertama itu operasi cesar. Dokter dulu pernah bilang, kalau untuk bisa melahirkan secara normal itu harus berjarak lima tahunan dari kehamilan pertama. Namun, rupanya program KB-ku kebobolan. Usia Cakra saja baru satu tahun lebih bebebrapa bulan dan kini adiknya sudah sembilan bulan di dalam perut. “Unda, ini minumnya!” Aluna manyodorkan botol air mineral. “Makasih, Kakak.” Aku menerima botol itu dengan tangan gemetar. Jujur, ada rasa takut berlebih ketika mendengar penuturan dokter tadi, mereka akan membuka bekas jahitan yang lama dan itu katanya cukup makan waktu. “Baby Cakra rewel gak?” Aku menoleh pada Aluna setelah hening beberapa saat. “Rewel, Unda … tadi lagi ditenangin sama Bi Mul, Oma juga.” Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala mendengar jawaban dari Aluna. “Nek, Papanya Cakra masih ngurus administrasi, ya?” Aku melirik pada Ibu yang
Hari yang ditunggu, akhirnya datang juga. Acara lamaran yang dulu dilakukan secara sederhana tak serta merta mengurangi khidmatnya acara. Hari suci yang dinantikan pun kini tiba. Imelda masih tak percaya jika beberapa jam ke depan, statusnya akan segera berubah. Menuju status baru, menjadi istri seorang Pak Huda.Masih terkenang dalam benaknya kata-kata yang dulu diyakininya sebagai kata-kata terakhir untuk Pak Huda. Bahkan dia sudah mengucapkan selamat tinggal dan selamat jalan. Melepaskan rasa kecewanya yang mendalam. “Selamat tinggal, Pak Huda … selamat jalan … semoga kehidupan yang baik buat kita sudah menunggu di masa depan.” Itulah kalimat yang sampai saat ini masih terngiang dalam benaknya. Kalimat yang dia ucapkan untuk seorang yang sudah membuatnya kecewa, Huda. Bagaimana tidak, dulu Imelda sangat terpesona dengan sosok Pak Huda yang terlihat bersahaja, cerdas dan pekerja keras. Namun, ketika dirinya tahu jika Pak Huda hanya memanfaatkannya, rasa kagumnya itu menguap dan ha
Kondisi Jingga yang belum pulih, tak menjadi alasan untuknya tak hadir dalam acara spesial Imelda, sahabatnya. Hanya saja, memang dirinya tak terlalu memaksakan diri. Dia hanya datang pada hari H saja dan itu pun mendekati jam akad terlaksana. Kedua putranya tak dia bawa. Cakra dan Buma ditangani oleh dua orang baby sitter dibawah pengawasan Oma Fera. Jingga tak mengajak mereka. Bagaimanapun, kondisinya yang belum pulih akan menghambat gerak tubuhnya. “Unda yakin akan berangkat?” Papa Banyu menatap sang istri yang sudah mengenakan setelan gamis di depannya. Tubuh Jingga tak terlalu banyak berubah setelah kehamilannya. Total penambahan berat badannya hanya 10 kg termasuk berat bayi. Jadi meskipun belum sampai pada tahapan diet lagi, tubuhnya tak terlihat gemuk berlebihan. Hanya sedikit semok saja. “Iya, Papa. Imelda loh yang nikah,” tukas Jingga sambil memoleskan lip mate cream warna merah bata pada bibirnya menimbulkan kesan dewasa. “Hmmm … kalau gitu, Unda harus pakai kursi roda,
“Makasih, Jingga.” Alea tersenyum. Mereka berpelukan singkat dan saling mendoakan. Lalu pada Bara, Jingga hanya menangkupkan tangan di depan dada dan mengangguk saja. Ucapan selamat teriring bersama doa dari bibirnya. Pak Banyu mengikuti langkah Jingga, ketika turun dari pelaminan, dia meminta Jingga menunggu. Sementara dirinya bergegas mengambil kursi roda. Dia tak sadar, ada sepasang mata yang mengembun menatapnya dari balik kerumunan para tamu yang tengah menikmati hidangan. Entah kenapa, dirinya selalu merasa sakit melihat perhatian berlebih lelaki itu pada istrinya. Perempuan itu adalah Misye. Misye yang memang sudah tiba sejak tadi di pernikahan Alea menyeka sudut matanya. Semenjak kejadian yang membuat Aluna terseret ke dalamnya, Misye tak mau terang-terangan menampakkan lagi batang hidungnya di depan Pak Banyu.Dia selalu takut melihat kilat kemarahan yang terpancar beringas dari sepasang netra tajam lelaki itu. Dia pun takut akan ancaman Pak Banyu yang kala itu murka. Dia me
Seringkali kita harus menjalani takdir yang tak kita inginkan. Namun, kerap kali pada ujungnya, kita tahu. Tuhan sedang memilihkan skenario terbaik untuk hidup yang kita jalani. Kini Unda Jingga, sudah melewati belasan tahun bersama seorang pria gagah yang menumpahkan seluruh cinta ke dalam hidupnya. Kanvas usang yang dulu terlantar karena ditinggal pelukisnya, kini tercipta sebagai sebuah lukisan kehidupan yang menakjubkan. Tak ada lagi air mata tumpah melainkan karena rasa syukur dan bahagia. Tak ada lagi penyesalan karena terputusnya pertunangan dengan orang terkasihnya, Bara. Ketika dia sudah berserah, ternyata Tuhan lebih tahu apa yang bisa membuatnya terasa sempurna. Siapa yang menyangka, justru bermula dari titik nadir itulah, semua keberkahan mengalir deras. Unda Jingga membesarkan ketiga anaknya dengan penuh kasih dan cinta. Aluna, Cakrawala dan Bumantara, tumbuh baik dalam asuhannya. Cakra dan Buma, pertumbuhan badannya saling menyalip. Perbedaan usia yang hanya satu tah