Pov 3[File rekaman dari rencana jahat Glen, terlampir. Cuma sepertinya gak terlalu efektif. Aku ketahuan.] Sebuah email masuk dari Alea. Pak Banyu segera mendownload file yang dikirimkan. Dia dengarkan, lalu segera diforward kepada Pak Seto---kuasa hukum keluarga. Kebetulan Pak Roy memang sedang berhalangan, jadi Pak Seto akhirnya yang diminta untuk membantu menyelesaikan kasus ini. Selama ini keluarganya memang menjalin hubungan baik dengan beberapa lawyer ternama. Ya, salah satunya Pak Seto ini. [Dear Pak Seto. Terlampir file rekaman yang didapatkan Alea. Semoga bisa dijadikan sebagai salah satu alat bukti atas kejahatan terencana mereka.] Email terkirim. Lekas Pak Banyu mengambil gawai dan menelpon Pak Seto langsung. Pak Banyu tahu, dia orang sibuk. Mungkin belum sempat melihat emailnya. “Siang, Pak Banyu!” Suara Pak Seto terdengar menyapa dari seberang sana. “Siang, Pak Seto! Mohon check email, ya!” Tak banyak basa-basi, Pak Banyu langsung pada inti permasalahan. “Baik, Pak
Pov3“Selamat siang, Pak! Mohon maaf … saya cukup kaget dengan kedatangan Bapak ke sini? Ada perlu apa, ya, Pak?” tutur Karissa. Mencoba bersikap senatural mungkin agar terlihat tak bersalah. Glen bilang kan tak boleh kelihatan panik agar mereka tak curiga. “Tenang, Karissa … tenang … kamu pasti bisa …,” batin Karissa sibuk membaik-baikkan hatinya. “Siang dengan Bu Karissa! Kami dari kepolisian! Mohon kerja samanya agar ikut kami untuk memberikan keterangan di kantor polisi. Ini surat tugasnya!” Salah satu polisi tersebut mengangsurkan surat dengan logo kepolisian, lengkap dengan stempel dan tanda tangan. Padahal Karissa sempat berharap ini hanya sebuah prank yang disiapkan oleh Glen. Lelaki itu sering sekali memberi kejutan untuknya. “Mohon maaf, ya, Pak. Saya bingung harus memberikan keterangan apa? Soalnya saya gak pernah berbuat salah apa-apa.” Karissa tetap berusaha terlihat tenang. Meskipun sebetulnya kaki sudah merasa tak menginjak bumi. Seluruh dunia seakan menjadi kerdil.
Waktu cuti melahirkanku tak terasa sudah habis. Hari ini adalah terakhir aku berada di rumah. Esok harus sudah mulai aktivitas seperti biasa lagi. Hari minggu pagi yang cerah. Papa Banyu sedang duduk di teras rumah bersama baby Cakra yang tergeletak di atas stroller. Matahari pagi Kota Karawang menyorot hangat. Menelusup menembus pori-pori dan membuat badan terasa lebih semangat. “Alhamdululah, proses sidang Mbak Karissa dan Mas Glen selesai.” Suara itu membuat tarikan pada garis bibirku melengkung. Wajah suamiku pun tak kalah sumringah kulihat. “Apakah itu artinya semua sudah seleai?” tanyaku seraya mengaduk teh dalam cangkir. “Ya, mereka sudah mendapatkan ganjaran hukuman yang setimpal.” Dia menjawab sambil menerawang. “Mas Glen dapat juga hukuman, Pa?” “Tentu! Dia terbukti sebagai dalang di balik semuanya. Mbak Karissa hanya pion catur yang dia gerakkan.” Dihembuskan kasar napasnya. “Iya, masih berasa mimpi. Awalnya kukira kedatangan Mbak Karissa adalah dewa penyelamat untuk
Pov HudaDiabaikan, itulah yang aku alami selama beberapa bulan ini. Imelda yang biasanya mengejar, tiba-tiba mengabaikan. Jujur, terasa banget ada yang kosong melompong. Tanpa kehadiran Imelda, entah kenapa, semua hal yang kulakukan terasa hambar. Biasanya aku begitu bersemangat membuat artikel dan idenya pun lancar. Namun, selama Imelda mendiamkanku, ide-ide yang biasa muncul, hilang begitu saja. Mereka kini seperti ikut-ikutan bersembunyi entah di mana. Semua hal menjadi tersendat, Ya Tuhaaan!Karena semua hal itu, kini aku pun menjadi lebih gampang marah dan uring-uringan. Hal ini berimbas juga pada pekerjaanku yang masih memegang akun Mbak Misye. Aku terbawa emosi dan adu mulut dengan segerombolan fans fanatik karena hal sepela. Alhasil, managernya langsung memberi somasi dan memberikan upah terakhirku. Hilang sudah satu pemasukkan tambahanku. Beberapa bulan lalu, nasib tak baik kembali menghampiriku. Di saat aku mendapat uang tambahan untuk Bapak berobat, tapi dia malah pergi.
Pov 3Semenjak berbincang dengan Jingga, tujuan Huda lebih jelas. Pada akhirnya, Huda memberanikan diri berkunjung ke rumah Imelda. Meskipun, jelas … tiap hari Imelda sudah di antar jemput oleh pemilik bengkel dengan tampang urakan itu, Bang Ako. Lelaki dengan pakaian kemeja lengan pendek dan celana jeans berwarna gelap itu tengah berada di perempatan. Dia tengah membeli martabak. Begitulah cara Huda. Dia akan mendekati keluarga Imelda untuk bisa merebut hati gadis itu. “Martabaknya berapa, Mas?” Pertanyaan terlontar dari seorang penjual, sedangkan tangannya sibuk membubuhi topping pada martabak manis ketan hitam, pesanan orang. “Martabak yang daging ikan tuna satu, martabak telor yang daging sapi satu, lalu martabak manis kombinasi satu.” Huda menjawab. Sesekali dia mengusasp rambutnya yang terpangkas rapi. Penampilannya terlihat kalem dengan paras yang cukup menarik perhatian. “Yang ikan tuna, telor ayam atau bebek, Mas?” Tukang martabak itu menoleh. “Telor bebek saja, Mas.” “
Pov Alea Aku menatap layar ponsel yang berpendar. Nomor Banyu yang menelpon. Aku lekas mengangkatnya. “Ya ….” Aku menjawab malas. “Alea! Kapan kamu gabung lagi dengan tim kita?” Terdengar suara yang sejak dulu selalu membuat hatiku berdebar-debar. Namun, kini … entah kenapa tidak lagi. Aku seperti biasa saja ketika mendengar suaranya. “Ahm … sepertinya aku tak jadi menarik surat pengunduran dirinya.” Aku bicara setelah berpikir sejenak. “Loh? Maksudnya?” Suara Banyu terdengar heran. “Aku, tetap jadi resign. Soalnya … aku sudah menemukan pekerjaan baru di sini.” Aku berbohong. Padahal bukan menemukan pekerjaan baru, tetapi entah kenapa sikap Bara yang cuek dan masih marah justru membuatku penasaran. Aku masih butuh waktu untuk … hmmm … untuk apa, ya? Pokoknya, aku masih pengen di sini. Aku mengedik sendiri. Entah untuk apa aku mengejar-ngejar kata maaf dari Bara. Padahal dia bukan siapa-siapa. Entah kenapa, semua jadi sepenting ini? “Serius, Lea? Kamu jadi resign?” Kudengar sua
Pov BaraAku baru saja pulang dari berbelanja bahan-bahan. Prospek toko kue yang di sini memang sedikit merambat. Berbeda dengan yang di Karawang. Karena itu juga, aku belum berani mengambil karyawan. Di sini, penjualan masih naik turun, belum juga dapat pelanggan tetap. Berbeda dengan di Karawang yang sudah bekerja sama dengan beberapa hotel. Di sini baru dapat satu pelanggan saja kemarin sudah dibuat kacau oleh hmmm, gadis aneh itu … Alea maksudnya. Dari dalam kamar Mama terdengar suara orang tertawa dan bercengkrama. Aku menautkan alis. Siapa yang berbicara dengan Mama. Mairani tadi bahkan sedang sibuk meladeni pembeli. Lagipula, Selama ini, Ma tak suka ditemui siapapun dan lebih memilih mengurung diri setiap hari. Menyendiri katanya lebih membuatnya tenang. Aku lekas berjalan menuju kamar Mama. Kamar Mama sengaja kutempatkan di bawah agar aku tak lelah wara-wiri kalau hendak membawakannya makanan. Daun pintu terbuka setelah kudorong perlahan. Aku tertegun. Tampak Mama sedang be
Pov 3“Mairani benar, Bara. Alea cantik. Mama juga suka.” Bara melongo melihat Mamanya yang sudah berdiri dan tersenyum. Wajahnya, terlihat lebih semringah dari pada biasanya. Apakah benar ini pengaruh dia dekat dengan Alea? Namun, Bara lekas menepis pikirannya sendiri. Alea bukan gadis tipenya. Dialah perempuan yang sudah membuat namanya rusak di depan Banyu dan Jingga. “Sudahlah, Ma. Gak usah terprovokasi oleh tampang pura-pura baik Alea. Dia tak sebaik yang Mama pikirkan.” “Loh, kok ngomongnya gitu, sih, Bara? Alea membuat Mama merasakan Rani datang lagi. Dia cantik, pintar, lembut.” “Ahm, Ma … sebaiknya Mama lekas tidur … sudah malam! Ayo Bara antar ke kamar!” Bara memangkas kalimat Mamanya dan lekas menggandeng lengan Mama ke kamar. Namun, entah seperti apa Alea mencoba menarik perhatian Mama. Sepanjang sebelum tidur, Mama terus-terusan bercerita tentang Alea dan itu benar-benar membuat kepala Bara cenat-cenut dibuatnya. Kuping Bara terasa panas hingga Mama akhirnya terlelap