Ini terlalu mudah. Apakah segampang ini aku bisa kabur sementara persiapan untuk acara pernikahan sudah siap semua? Bukankah ini terlalu mudah? Firasatku tak enak. Tapi bagaimanapun, bismillah aja. Allah sebaik-baik pelindung. Dan benar saja, tiba-tiba dipersimpangan kami dihadang oleh orang yang tidak kami kenal. "Kalian mau apa?" kata Om Tino. Tak ada yang menjawab. "Mau kemana Ras?" Mas Ifan muncul. Matilah aku. Tapi kenapa Mas Ifan bisa ada disini sementara rumah Mas Ifan bukan didekat sini. Siapa yang sudah mendahului kami? Seminggu yang lalu, ketika Mas Ifan sekeluarga kembali dari rumah Pak Alex, Ifan singgah kerumah tetangga yang juga temannya Ifan. Ifan minta tolong untuk memantau Laras selama dirumah Pak Alex dengan iming-iming uang. Kebetulan orangtua Ifan juga kenal dengan orangtuanya. Jadilah mereka tak langsung pulang. Dan benar saja. Semua kegiatan Laras dilaporkan mereka ke Mas Ifan sekeluarga. Tak lupa mereka menguping pembicaraan Ayu dan Laras dihalaman belak
Tak kujawab panggilan Mas Ifan. Aku takut. "Ras, suami kamu nanya loh, kok ga dijawab. Dosa tau."Fakta baru yang tak bisa kuhindari. Satu jam yang lalu, aku mulai menyandang status sebagai istri Mas Ifan. Perlahan kubuka pintu. Nampak Mas Ifan berdiri tegap dengan senyuman yang sangat manis menurutku. "Kamu kenapa Ras? Sedih karena ditinggal orangtua kamu? Atau karena kamu takut?"Aku tak menjawab. Mas Ifan memanggil penata rias untuk memperbaiki riasanku yang sudah tak berwujud. Selama proses merias, semua diam. Rasanya sangat canggung. Mas Ifan kemudian masuk ke kamar. "Jangan pasang wajah ketat gitu dong Ras. Kamu mau mempermalukan kami semua disini? Dipikir orang-orang aku maksa kamu. Terima kenyataan dong Ras."Mas Ifan mulai jengkel. Aku tetap tak menjawab. Bagaimanapun ini hari kami. Aku disini sendirian, aku tak mau mengambil resiko. Kupaksakan untuk tersenyum kepada semua tamu yang hadir. Wajah jengkel Mas Ifan berubah menjadi senyum yang sangat manis. Acara berjalan lan
Aku menatap tajam mata Mas Ifan. Ingin kuhajar saja lelaki yang sudah sah menjadi suamiku itu. "Tak sedikit pun aku ada rasa sama kamu Mas. Bahkan sekarang yang ada aku sangat membencimu! Mungkin sekarang ragaku ada disini. Tapi hatiku tertinggal entah dimana Mas. Maafkan aku jika besok dan seterusnya tak bisa jadi istri yang kamu inginkan. Karena pernikahan ini hanya kemauan sepihak. Bukan kedua belah pihak!" "Ya, tapi kamu itu sekarang sudah jadi istriku Ras!""Aku ngak bilang aku bukan istrimu Mas. Aku sadar sepenuhnya aku itu sudah jadi menantu dirumah ini. Hanya saja, hatiku belum jadi milikmu Mas."Mas Ifan tersenyum. Senyum misterius menurutku. "Seandainya kamu gak menghalangi kami kemarin Mas. Mungkin aku masih bisa memaafkanmu.""Tak perlu dimaafkan Ras. Aku juga tak akan meminta maaf padamu. Ya, memang aku yang mau kamu harus jadi istriku. Dan kuwujudkan walaupun dengan cara yang salah. Dan sekarang semua sudah terjadi. Kamu juga sudah sadar sepenuhnya. Kamu sadar saat ij
Hahh? Pertanyaan macam apa itu. "Maksudnya? Kenapa Ibu ngomong kayak gitu?""Kemarin juga Mbak mu ngirim ini. Sekarang juga. Apa karena kami ga sanggup beli makanya kamu suruh Mbak mu?""Ibu kenapa? Laras ga pernah nyuruh Mbak Rika buat ngirimin ini Bu. Ini Mbak Rika sendiri yang ngirim.""Banyak alasan kamu Ras. Bilang aja memang kamu yang minta ini semua." Bu Murni menatapku sangat tajam. Begitu juga Pak Danar dan Mas Ifan. Hanya Andy yang terlihat santai. Aku tersenyum santai. "Iya Bu. Aku yang nyuruh Mbak Rika ngirim ini!" jawabku sambil berlalu. Kuambil ponselku dan mengetik pesan untuk Mbak Rika. |Mbak, kurmanya enak. Mkasih banyak ya Mbak!| Klik. Terkirim. Tiba-tiba Mas Ifan masuk. "Ras, kamu kenapa bentak Ibuku?"Hahh??? Apalagi ini"Bentak gimana maksudnya Mas?""Ya tadi. Kamu kenapa ngomong kasar sama Ibuku?""Yang bagian mana ya Mas aku ngomong kasar sama bentak Ibu kamu?""Alah banyak alasan kamu Ras. Selama ini juga aku udah berusaha ngasih yang terbaik buat kamu.
Tanganku gemetar saat aku melihat layar ponselku. Aku tak percaya kala melihat foto Mas Ifan suamiku tersenyum mesra dengan seorang wanita yang tidak aku kenal dengan buku nikah ditangan masing - masing. Perlahan aku scroll beranda facebook ku. Ada banyak foto - foto Mas Ifan menikah lagi. Ya Allah. Hati ini nyeri. Seperti luka yang disiram dengan air jeruk nipis. Sakit ya Allah. Sungguh aku tak menyangka pada akhirnya seperti ini. Pernikahan yang baru seumur jagung. Terakhir yang aku tau, suamiku pergi merantau lagi. Bosan di kampung katanya saat itu. Aku duduk, linglung, entah apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Kupandangi anakku dengan Mas Ifan yang baru berusia 3 bulan. Wajah yang polos dan lugu sedang asyik bermain mobil - mobilan yang diberikan sepupunya. Perlahan ku dekati, kubelai rambutnya, dalam hati kukatakan padanya "Nak, ayahmu menikah lagi." Aku tidak tau apakah ini karma bagiku atau memang ini sudah jalan hidupku. Apakah ini akibat dari perbuatanku, atau memang aku
Bingung. Angkat atau tidak. Mas Rey, ada rasa ga enak hati karena dia saudara ipar. Dan juga dia jarang sekali mencampuri urusan kami kecuali darurat. Tapi tunggu. Apakah ini juga darurat? Menurutku tidak. Lalu kenapa Mas Rey menelepon? Segera ku angkat dan aku kembali masuk kamar. "Halo Mas.""Assalamualaikum. Mas lagi di terminal. Jemput sekarang ya. Mas ga tau jalan kerumah itu."Dari nada suaranya, Mas Rey nampak kesal dan telepon di akhiri sepihak. Segera kuberitahu Mas Ifan dan keluarganya. Tegang, panik, seperti pencuri yang tertangkap basah. Hanya aku sendiri yang terlihat santai. Mau tak mau, Mas Ifan menjemput Mas Rey ke terminal. Sembari menunggu mereka tiba dirumah, ponselku tak berhenti bergetar."Sia - sia aku habiskan duitku untuk biaya kuliahmu. Kalau seandainya dari dulu aku tau kamu sebodoh ini, lebih baik kuinvestasikan ke hal lain.""Mba mohon. Tolong pulang lah dulu. Kita bisa bicarakan semuanya baik - baik. Kalian tetap nikah, tapi jangan sekarang. Tunggulah
Kutekan tombol jawab. ya’lamu ma baina aidihim wa ma khalfahum, wa la yuhituna bisyai’ im min ilmihi illa bima sya... Kudengar potongan ayat kursi. Ica memang sering mendengar murottal. Bulu kudukku berdiri. Tiba - tiba aku menangis lagi. Terasa sesak didada. Ada yang bergejolak dari hati yang paling dalam. "Assalamualaikum Mbak. Gimana kabarnya?"Tak kujawab salam Ica. "Kabar baik Ca.""Mbak tau ga Ibu belum sadar juga sampai hari ini."Aku diam. "Mbak, Mbak punya adik empat orang. Aku tiga orang. Ingat ga dulu kita bilang sama Ibu, jatah kita 1 satu orang. Aku sama Santi dan Mbak sama Fizi. Biar Doni sama Ibu aja karena ga mungkin lagi sama Mbak Rika. Mbak, kalau Mbak nikah sekarang gimana kita menepati janji kita sama Ibu?"Aku diam. Hanya suara isakan ku yang terdengar. "Mbak, nangis ga menyelesaikan masalah loh. Ga ada gunanya Mbak nangis. Mau nangis darah juga ga ada gunanya Mbak. Mbak pulang ya sama Mas Rey.""Mas Rey marah Ca. Mbak ga berani ngomong sama Mas Rey.""Ga a
Pov Ita (Ibu Laras) Drrtttt drrtttttPonselku bergetar diatas meja mengajar ku. Ku lirik nama yang tertera, Laras. Anak keduaku yang saat ini sedang bekerja di Salon, dipulau seberang. "Assalamualaikum, halo nak.""Ma, aku mau nikah. Restuin ya."Tak ada jawaban salam atau sekedar basa basi dari Laras. "Alhamdulillah anak ku mau nikah." jawabku sekenanya. "Beneran Bu, aku udah di jalan mau kerumah calon menantu Ibu.""Kamu kalau bercanda jangan kelewatan Ras.""Aku ga bercanda Bu. Sumpah deh.""Yang benar kamu Ras. Kamu mau nikah tapi kok kayak mau beli sayur." "Maaf Bu, ga sempat nelpon Ibu. Tapi ini beneren kami udah di jalan."Tiba-tiba kepalaku berputar. Dan brukkkk aku ambruk. Hal terakhir yang aku lihat, anak didikku berlari sambil berteriak memanggilku, dan aku merasakan aliran darah di dadaku tidak terbendung. Bau aroma obat menusuk penciumanku. Perlahan-lahan aku membuka mata, dan terkejut ketika melihat aku terbangun dirumah sakit. "Alhamdulillah udah siuman Bu!"Pak