Pov Ifan
Setelah aku tamat SMK, aku langsung merantau ke ibukota. Jika tetap tinggal di desa ini, aku tidak bisa memanfaatkan ijazahku yang walaupun hanya tamat SMK. Mencoba peruntungan, bagaimanapun lebih bagus di kota dari pada di desa.
"Doain Ifan ya Bu, Pak!" ucapku sambil mencium telapak tangan Ibu Bapakku. Tampak Ibu menitikkan air mata. Tak butuh waktu lama, aku bekerja sebagai mekanik, bermodalkan ijazah SMK ku. Tak lepas dari campur tangan seorang kenalan yang berasal dari desa yang sama.***
Larasati namanya.
Gadis polos yang berhasil mencuri hatiku pada pandangan pertama. Selain cantik, dia terlihat baik dan juga solehah. "Mbak orang sini ya!" tanyaku ketika tak sengaja kami berpapasan. "Bukan Mas. Saya orang Sumatera.""Ohh orang Sumatera!" Aku hendak melanjutkan percakapan kami tapi Laras sudah berlalu. Tiga hari kemudian kami tak sengaja berpapasan lagi. "Mbak namanya siapa?" Tanyaku lagi. "Laras Mas.""Sumatera mana Mbak asalnya?""Sumatera Utara Mas. Kenapa ya?""Ohh gak. Cuma nanya aja."***Sebulan berlalu. Tak butuh waktu lama untuk mendapatkan hati Laras. Namun aku patah hati ketika kutahu usia kami terpaut 5 tahun dan aku lebih muda dari Laras. Laras juga seperti menjaga jarak dariku. Aku seakan tak rela. Aku ingin memilikinya. Akhirnya kuputuskan mengajak Laras nongkrong disebuah kafe yang tak jauh dari kosan kami. Ya, kami sama-sama ngekos di dekat tempat kerja kami. "Mau pesan apa Mbak?" tanya waiters. "Aku nasi goreng kampung sama teh tawar hangat aja ya Mbak!" kata Laras. "Sama aja ya Mbak. Biar cepat!" jawabku. "Fan, aku ke toilet dulu ya!" kata Laras. Ketika pesanan kami sudah datang, Laras belum kembali juga dari toilet. Ini waktu yang pas. Kumasukkan "serbuk ajaib" yang sengaja kubawa dari kost tadi. Aku tidak tau apakah "serbuk ajaibnya" bekerja atau tidak. Tiba di perantauan, ketika aku membuka tas, ntah kenapa tiba-tiba ada di dalam tas ku. Ketika aku tanya ke Bapak, beliau hanya bilang suatu saat pasti aku butuhkan. Mungkin ini lah saatnya. Lambat laun, Laras yang sudah menjaga jarak denganku perlahan mendekat lagi. Ternyata "serbuk ajaibnya" bekerja. Bahkan dia terlihat sangat bucin kepadaku. Aku senang, karena tak perlu menggunakan berbagai cara untuk merebut hatinya kembali. Laras bahkan rela menghabiskan duitnya untukku. "Mas, kapan kita menikah?" "Nanti lah. Tunggu ada modal dulu. Atau bulan depan aja" jawabku setelah kami siap "bergelut" dikosannya. Ya, Laras telah memberikan semuanya padaku, tak terkecuali dengan harta satu satunya. "Janji bulan depan ya Mas.""Iya, kamu tenang aja. Asalkan nikahnya dirumah Mas ya. Kalau ke rumah kamu jauh banget!" jawabku. Yang sebenarnya aku takut. "Iya Mas dirumah kamu aja. Yang penting kita nikah." ***Dua hari sebelum kami berangkat ke kampungku, Laras mengajak ku kerumah Tantenya untuk mengembalikan barang-barang yang Laras bawa ke kosannya. "Mas takut kesana Ras. Nanti tante kamu nanyain Mas gimana." Jujur aku takut. Apalagi setelah aku tau, keluarga Laras semua berpendidikan. Apalagi Tantenya bukan orang yang neko-neko. Dan aku, baru kemarin sore aku lulus SMK. Aku memang pengecut. "Ngantarnya nanti sekitar jam 1 aja Mas. Biasanya cuma Tia yang dirumah.""Yasudah. Tapi Mas ga ikut kerumah ya."Sesuai kesepakatan, aku menunggu Laras di depan rumah tetangganya. Ada anak kecil dirumah. Sepertinya Tia, anak Tantenya. "Ga nunggu Ummi pulang dulu ka, baru kakak pergi lagi?" kudengar Tia bertanya pada Laras. "Ga usah Tia. Sekarang aja. Kakak buru-buru soalnya. Salam sama Ayah dan Ummi ya!" jawab Laras. Besoknya, kami berangkat ke kampungku. "Ras, orangtua kamu sudah kamu kabari?""Belum Mas.""Kabari aja sekarang. Jangan tunggu sampai rumah baru kamu kabari."Laras menelpon orang tuanya. Entah apa yang dikatakan orangtuanya, Laras menghela nafas berat. "Tak apa. Yang penting kamu sudah kasih tau!" hiburku sambil menggenggam tangannya. 'Bodohnya kamu Ras.' Batinku. Setibanya dirumah, Bapak Ibu dan juga Andy sudah menyambut kami dirumah. Bapak dan Ibu tidak kaget lagi karena sebelumya kami sudah pernah pulang. Saat itu, Bapak menatapku dengan penuh tanda tanya. Anak nya yang masih ingusan sudah berani bawa anak gadis orang kerumah. Kujelaskan pada Bapak berkat "serbuk ajaib" yang Bapak berikan, Bapak dan Ibu dapat mantu yang sudah sarjana. Bapak dan Ibu terlihat senang. Makanya tidak perlu ada drama setelah kuberitahu Bapak bahwa kami mau menikah, Bapak langsung mengiyakan saja. "Akhirnya Mbak, selamat datang dikeluarga Danar." Ucap Ibu dengan wajah sumringah. Aku masih tak bisa tenang sebelum akad nikah dilangsungkan. Bukan karena takut Laras berubah pikiran. Bagaimana pun Laras sudah memberikan segalanya untukku. Jadi aku yakin, walaupun dia sadar, dia tak akan bisa pergi dariku. Aku takut jika tiba-tiba salah satu keluarga Laras datang kesini. Matilah aku jika itu terjadi. Bapak dan Ibu seakan tau apa yang aku pikirkan. Pagi-pagi, Ibu sudah menyiapkan teh dan pisang goreng. Dan aku yakin ada sesuatu di dalam teh yang dibuatkan Ibu.Kami tidak terlalu paham agama. Kami lebih mengikuti ada istiadat disini. Itulah sebabnya kenapa kami tak berpikir panjang menggunakan sesuatu seperti serbuk ajaib disini. ***"Mas, Mas Rey minta jemput di terminal sekarang. Mas Rey udah sampai di terminal." pagi-pagi Laras mendapat telpon dari abang iparnya. Bagaimana ini? Aku panik. Pun Bapak dan Ibu. Hanya Laras yang terlihat santai. Aku takut. Pak, Bu. Apa yang akan aku lakukan tanyaku melalui tatapan. Aku masih belum berpengalaman dalam hal seperti ini. Mau tidak mau, aku harus menjemput Mas Rey ke terminal. Tapi pertama - tama aku pastikan Mas Rey tidak membawa polisi. Jika Mas Rey datang sendirian, maka masih aman. Bapak dan Ibu pasti bisa mengatasi. Aku bawa Mas Rey keliling kampung untuk memastikan apakah Mas Rey sendirian. "Kenapa kamu malah mutar - mutar? Takut kamu ya? Kalau takut jangan bawa lari anak orang!" Mas Rey setengah berteriak padaku. 'Iya Mas. Aku takut.' Batinku. Tak kujawab pertanyaan Mas Rey. "Apa yang sudah kamu lakukan pada adikku?" tanya Mas Rey lagi. Aku tetap diam. Tak berani menjawab karena memang aku takut. "Laras bukan orang yang seperti itu kecuali kamu sudah melakukan sesuatu padanya!""Kenapa kamu diam aja? Sudah kuduga. Kamu pasti ketakutan sekarang."Perjalanan yang hanya memakan waktu kurang lebih lima belas menit, rasanya seperti berjalan bertahun-tahun. Akhirnya tiba juga dirumah. Bapak dan Ibu berdiri di depan rumah dengan wajah yang sangat tegang. Laras masih tetap terlihat santai. Entah apa yang akan terjadi setelah ini.Pov Ifan 2Pada akhirnya Laras memilih tidak pulang dan pernikahan kami tetap akan dilangsungkan. Aku menghampiri Bapak yang duduk diteras dengan kopi dan rokoknya. "Fan, kamu yakin akan menikah secepat ini? Kamu baru 19 tahun loh!" Bapak membuka percakapan. "Tidak ada larangan toh Pak mau nikah di usia berapa. Yang penting udah cukup umur.""Nikah itu bukan sekedar tidur bersama dan makan bersama Fan. Nikah dan pacaran itu perbedaannya seratus persen. Ini ceritanya kamu melarikan anak orang. Kamu udah mikirin resiko yang akan kamu hadapi?"Bapak menatapku tajam. Tak mau kalah, kutatap balik Bapakku. "Lalu, kenapa Bapak selipkan serbuk itu di tas Ifan?""Bapak hanya tak habis pikir aja dengan mu Fan. Kenapa secepat itu kamu gunakan? Udah hamil berapa bulan Laras?""Kenapa Bapak malah menyalahkanku? kalau serbuk itu tidak ada ini semua tak akan terjadi Pak. Sadar ga ini semua akibat perbuatan Bapak!"Kusadari, ternyata Bapakku juga seorang pengecut. Aku masuk ke kamarku dengan mem
Setelah kepergian Mas Ifan, kuperhatikan raut wajah kedua calon mertuaku yang semakin lama semakin memucat. Entah apa yang mereka takutkan, tapi bagiku semuanya seperti biasa saja. "Ras, kamu benaran yakin melanjutkan acara ini?" Pak Alex memecah keheningan. "Ia Pak. Bapak tanya berkali-kali lagi pun jawaban ku tetap sama.""Trus kamu apa gak mikirin orang tua kamu Ras? Pernikahan itu kalau bisa sekali seumur hidup. Kamu kayak gini gak ada harga dirinya loh Ras. Bisa saya bayangkan gimana perasaan orangtua kamu. Ibu kamu seorang pendidik tapi kamu malah seperti ini Ras. Apalagi Bapak kamu, punya harga diri yang sangat tinggi. Ga bisa dijengkali orang.""Iya Pak. Laras tau. Tapi gimana Pak, Laras udah sampai disini.""Nahh, Laras kenapa bisa sampai dikampung ini? Laras udah berapa kali kesini?""Dua kali Pak. Pertama kami langsung pulang hari. Dan ini kali kedua.""Ifan udah pernah ketemu orang tua kamu?""Belum Pak."Pak Alex menarik nafas panjang. "Kalau belum pernah, kenapa kamu
"Assalamualaikum Ras. Sehat nak?""Wa'alaikum salam. Alhamdulillah sehat Pak. Bapak sehat?""Bapak sama Ibu ga sehat Ras. Ibu sempat diopname. Bapak kepikiran sama kamu. Apa gak pulang aja dulu Ras? Jangan buang harga diri kamu."Aku diam. Tak tau harus menjawab apa. "Bapak harap kamu pulang Ras. Jangan lupakan kami orangtua kandung kamu."Aku tetap diam. "Ras, kamu dengar nak?" kali ini Ibu yang bicara. Air mataku tak bisa kubendung. "Iya Bu.""Jangan lupa shalat ya. Perbanyak Istigfar. Minta sama Allah diberikan kesehatan.""Iya Bu.""Jangan nyusahin yang punya rumah Ras. Anak-anak Ibu ga pernah Ibu ajarin nyusahin orang. Tapi entah lah kali ini.""Maafin Laras Bu.""Yasudah. Ibu tutup dulu ya. Jangan lupa shalat Ras. Assalamualaikum.""Iya Bu. Wa'alaikum salam.""Ras, kamu tidur dikamar sebelah Ibu ya. Yuk, udah malam!" ajak Bu Rina. "Iya Bu."Aku berbaring dikasur. Mencoba memejamkan mata tapi tak junjung terpejam. Tok...tok... tok"Ras, udah tidur belum? Ini Ibu.""Belum Bu.
Tiga hari sebelum acara pernikahan, utusan dari keluarga Pak Danar datang kerumah Pak Alex. "Pak, semua sudah siap ya pak. Akad nikah hari minggu jam 9. Dirumah saja. Dilanjutkan dengan resepsi!" kata utusan Pak Danar. Pak Alex menarik nafas panjang. Tak mengiyakan dan tak menolak juga. Karena pada intinya keputusan bulat ada ditanganku. Setelah makan malam, saat semua sedang berkumpul di depan televisi, "Ras, kamu yakin akan melanjutkan semua ini?" tanya Pak Alex. Semua menatapku menunggu jawaban. Aku ragu. Antara melanjutkan dan membatalkan. "Gak tau Pak. Aku bingung. Tadi malam aku bermimpi didorong Mas Ifan kejurang!" Aku menceritakan mimpi buruk tadi malam. "Aku benar-benar tidak bisa mengambil keputusan Pak. Aku bingung."Aku menarik nafas panjang. Speaker murottal yang diberikan Bu Rina selalu kuhidupkan saat aku berada dikamar. Shalat yang sejak tiba dirumah Mas Ifan selalu kutinggalkan, setelah dirumah Pak Alex tak pernah kutinggalkan lagi. Bahkan sujudku lebih panj
Ini terlalu mudah. Apakah segampang ini aku bisa kabur sementara persiapan untuk acara pernikahan sudah siap semua? Bukankah ini terlalu mudah? Firasatku tak enak. Tapi bagaimanapun, bismillah aja. Allah sebaik-baik pelindung. Dan benar saja, tiba-tiba dipersimpangan kami dihadang oleh orang yang tidak kami kenal. "Kalian mau apa?" kata Om Tino. Tak ada yang menjawab. "Mau kemana Ras?" Mas Ifan muncul. Matilah aku. Tapi kenapa Mas Ifan bisa ada disini sementara rumah Mas Ifan bukan didekat sini. Siapa yang sudah mendahului kami? Seminggu yang lalu, ketika Mas Ifan sekeluarga kembali dari rumah Pak Alex, Ifan singgah kerumah tetangga yang juga temannya Ifan. Ifan minta tolong untuk memantau Laras selama dirumah Pak Alex dengan iming-iming uang. Kebetulan orangtua Ifan juga kenal dengan orangtuanya. Jadilah mereka tak langsung pulang. Dan benar saja. Semua kegiatan Laras dilaporkan mereka ke Mas Ifan sekeluarga. Tak lupa mereka menguping pembicaraan Ayu dan Laras dihalaman belak
Tak kujawab panggilan Mas Ifan. Aku takut. "Ras, suami kamu nanya loh, kok ga dijawab. Dosa tau."Fakta baru yang tak bisa kuhindari. Satu jam yang lalu, aku mulai menyandang status sebagai istri Mas Ifan. Perlahan kubuka pintu. Nampak Mas Ifan berdiri tegap dengan senyuman yang sangat manis menurutku. "Kamu kenapa Ras? Sedih karena ditinggal orangtua kamu? Atau karena kamu takut?"Aku tak menjawab. Mas Ifan memanggil penata rias untuk memperbaiki riasanku yang sudah tak berwujud. Selama proses merias, semua diam. Rasanya sangat canggung. Mas Ifan kemudian masuk ke kamar. "Jangan pasang wajah ketat gitu dong Ras. Kamu mau mempermalukan kami semua disini? Dipikir orang-orang aku maksa kamu. Terima kenyataan dong Ras."Mas Ifan mulai jengkel. Aku tetap tak menjawab. Bagaimanapun ini hari kami. Aku disini sendirian, aku tak mau mengambil resiko. Kupaksakan untuk tersenyum kepada semua tamu yang hadir. Wajah jengkel Mas Ifan berubah menjadi senyum yang sangat manis. Acara berjalan lan
Aku menatap tajam mata Mas Ifan. Ingin kuhajar saja lelaki yang sudah sah menjadi suamiku itu. "Tak sedikit pun aku ada rasa sama kamu Mas. Bahkan sekarang yang ada aku sangat membencimu! Mungkin sekarang ragaku ada disini. Tapi hatiku tertinggal entah dimana Mas. Maafkan aku jika besok dan seterusnya tak bisa jadi istri yang kamu inginkan. Karena pernikahan ini hanya kemauan sepihak. Bukan kedua belah pihak!" "Ya, tapi kamu itu sekarang sudah jadi istriku Ras!""Aku ngak bilang aku bukan istrimu Mas. Aku sadar sepenuhnya aku itu sudah jadi menantu dirumah ini. Hanya saja, hatiku belum jadi milikmu Mas."Mas Ifan tersenyum. Senyum misterius menurutku. "Seandainya kamu gak menghalangi kami kemarin Mas. Mungkin aku masih bisa memaafkanmu.""Tak perlu dimaafkan Ras. Aku juga tak akan meminta maaf padamu. Ya, memang aku yang mau kamu harus jadi istriku. Dan kuwujudkan walaupun dengan cara yang salah. Dan sekarang semua sudah terjadi. Kamu juga sudah sadar sepenuhnya. Kamu sadar saat ij
Hahh? Pertanyaan macam apa itu. "Maksudnya? Kenapa Ibu ngomong kayak gitu?""Kemarin juga Mbak mu ngirim ini. Sekarang juga. Apa karena kami ga sanggup beli makanya kamu suruh Mbak mu?""Ibu kenapa? Laras ga pernah nyuruh Mbak Rika buat ngirimin ini Bu. Ini Mbak Rika sendiri yang ngirim.""Banyak alasan kamu Ras. Bilang aja memang kamu yang minta ini semua." Bu Murni menatapku sangat tajam. Begitu juga Pak Danar dan Mas Ifan. Hanya Andy yang terlihat santai. Aku tersenyum santai. "Iya Bu. Aku yang nyuruh Mbak Rika ngirim ini!" jawabku sambil berlalu. Kuambil ponselku dan mengetik pesan untuk Mbak Rika. |Mbak, kurmanya enak. Mkasih banyak ya Mbak!| Klik. Terkirim. Tiba-tiba Mas Ifan masuk. "Ras, kamu kenapa bentak Ibuku?"Hahh??? Apalagi ini"Bentak gimana maksudnya Mas?""Ya tadi. Kamu kenapa ngomong kasar sama Ibuku?""Yang bagian mana ya Mas aku ngomong kasar sama bentak Ibu kamu?""Alah banyak alasan kamu Ras. Selama ini juga aku udah berusaha ngasih yang terbaik buat kamu.
Hahh? Pertanyaan macam apa itu. "Maksudnya? Kenapa Ibu ngomong kayak gitu?""Kemarin juga Mbak mu ngirim ini. Sekarang juga. Apa karena kami ga sanggup beli makanya kamu suruh Mbak mu?""Ibu kenapa? Laras ga pernah nyuruh Mbak Rika buat ngirimin ini Bu. Ini Mbak Rika sendiri yang ngirim.""Banyak alasan kamu Ras. Bilang aja memang kamu yang minta ini semua." Bu Murni menatapku sangat tajam. Begitu juga Pak Danar dan Mas Ifan. Hanya Andy yang terlihat santai. Aku tersenyum santai. "Iya Bu. Aku yang nyuruh Mbak Rika ngirim ini!" jawabku sambil berlalu. Kuambil ponselku dan mengetik pesan untuk Mbak Rika. |Mbak, kurmanya enak. Mkasih banyak ya Mbak!| Klik. Terkirim. Tiba-tiba Mas Ifan masuk. "Ras, kamu kenapa bentak Ibuku?"Hahh??? Apalagi ini"Bentak gimana maksudnya Mas?""Ya tadi. Kamu kenapa ngomong kasar sama Ibuku?""Yang bagian mana ya Mas aku ngomong kasar sama bentak Ibu kamu?""Alah banyak alasan kamu Ras. Selama ini juga aku udah berusaha ngasih yang terbaik buat kamu.
Aku menatap tajam mata Mas Ifan. Ingin kuhajar saja lelaki yang sudah sah menjadi suamiku itu. "Tak sedikit pun aku ada rasa sama kamu Mas. Bahkan sekarang yang ada aku sangat membencimu! Mungkin sekarang ragaku ada disini. Tapi hatiku tertinggal entah dimana Mas. Maafkan aku jika besok dan seterusnya tak bisa jadi istri yang kamu inginkan. Karena pernikahan ini hanya kemauan sepihak. Bukan kedua belah pihak!" "Ya, tapi kamu itu sekarang sudah jadi istriku Ras!""Aku ngak bilang aku bukan istrimu Mas. Aku sadar sepenuhnya aku itu sudah jadi menantu dirumah ini. Hanya saja, hatiku belum jadi milikmu Mas."Mas Ifan tersenyum. Senyum misterius menurutku. "Seandainya kamu gak menghalangi kami kemarin Mas. Mungkin aku masih bisa memaafkanmu.""Tak perlu dimaafkan Ras. Aku juga tak akan meminta maaf padamu. Ya, memang aku yang mau kamu harus jadi istriku. Dan kuwujudkan walaupun dengan cara yang salah. Dan sekarang semua sudah terjadi. Kamu juga sudah sadar sepenuhnya. Kamu sadar saat ij
Tak kujawab panggilan Mas Ifan. Aku takut. "Ras, suami kamu nanya loh, kok ga dijawab. Dosa tau."Fakta baru yang tak bisa kuhindari. Satu jam yang lalu, aku mulai menyandang status sebagai istri Mas Ifan. Perlahan kubuka pintu. Nampak Mas Ifan berdiri tegap dengan senyuman yang sangat manis menurutku. "Kamu kenapa Ras? Sedih karena ditinggal orangtua kamu? Atau karena kamu takut?"Aku tak menjawab. Mas Ifan memanggil penata rias untuk memperbaiki riasanku yang sudah tak berwujud. Selama proses merias, semua diam. Rasanya sangat canggung. Mas Ifan kemudian masuk ke kamar. "Jangan pasang wajah ketat gitu dong Ras. Kamu mau mempermalukan kami semua disini? Dipikir orang-orang aku maksa kamu. Terima kenyataan dong Ras."Mas Ifan mulai jengkel. Aku tetap tak menjawab. Bagaimanapun ini hari kami. Aku disini sendirian, aku tak mau mengambil resiko. Kupaksakan untuk tersenyum kepada semua tamu yang hadir. Wajah jengkel Mas Ifan berubah menjadi senyum yang sangat manis. Acara berjalan lan
Ini terlalu mudah. Apakah segampang ini aku bisa kabur sementara persiapan untuk acara pernikahan sudah siap semua? Bukankah ini terlalu mudah? Firasatku tak enak. Tapi bagaimanapun, bismillah aja. Allah sebaik-baik pelindung. Dan benar saja, tiba-tiba dipersimpangan kami dihadang oleh orang yang tidak kami kenal. "Kalian mau apa?" kata Om Tino. Tak ada yang menjawab. "Mau kemana Ras?" Mas Ifan muncul. Matilah aku. Tapi kenapa Mas Ifan bisa ada disini sementara rumah Mas Ifan bukan didekat sini. Siapa yang sudah mendahului kami? Seminggu yang lalu, ketika Mas Ifan sekeluarga kembali dari rumah Pak Alex, Ifan singgah kerumah tetangga yang juga temannya Ifan. Ifan minta tolong untuk memantau Laras selama dirumah Pak Alex dengan iming-iming uang. Kebetulan orangtua Ifan juga kenal dengan orangtuanya. Jadilah mereka tak langsung pulang. Dan benar saja. Semua kegiatan Laras dilaporkan mereka ke Mas Ifan sekeluarga. Tak lupa mereka menguping pembicaraan Ayu dan Laras dihalaman belak
Tiga hari sebelum acara pernikahan, utusan dari keluarga Pak Danar datang kerumah Pak Alex. "Pak, semua sudah siap ya pak. Akad nikah hari minggu jam 9. Dirumah saja. Dilanjutkan dengan resepsi!" kata utusan Pak Danar. Pak Alex menarik nafas panjang. Tak mengiyakan dan tak menolak juga. Karena pada intinya keputusan bulat ada ditanganku. Setelah makan malam, saat semua sedang berkumpul di depan televisi, "Ras, kamu yakin akan melanjutkan semua ini?" tanya Pak Alex. Semua menatapku menunggu jawaban. Aku ragu. Antara melanjutkan dan membatalkan. "Gak tau Pak. Aku bingung. Tadi malam aku bermimpi didorong Mas Ifan kejurang!" Aku menceritakan mimpi buruk tadi malam. "Aku benar-benar tidak bisa mengambil keputusan Pak. Aku bingung."Aku menarik nafas panjang. Speaker murottal yang diberikan Bu Rina selalu kuhidupkan saat aku berada dikamar. Shalat yang sejak tiba dirumah Mas Ifan selalu kutinggalkan, setelah dirumah Pak Alex tak pernah kutinggalkan lagi. Bahkan sujudku lebih panj
"Assalamualaikum Ras. Sehat nak?""Wa'alaikum salam. Alhamdulillah sehat Pak. Bapak sehat?""Bapak sama Ibu ga sehat Ras. Ibu sempat diopname. Bapak kepikiran sama kamu. Apa gak pulang aja dulu Ras? Jangan buang harga diri kamu."Aku diam. Tak tau harus menjawab apa. "Bapak harap kamu pulang Ras. Jangan lupakan kami orangtua kandung kamu."Aku tetap diam. "Ras, kamu dengar nak?" kali ini Ibu yang bicara. Air mataku tak bisa kubendung. "Iya Bu.""Jangan lupa shalat ya. Perbanyak Istigfar. Minta sama Allah diberikan kesehatan.""Iya Bu.""Jangan nyusahin yang punya rumah Ras. Anak-anak Ibu ga pernah Ibu ajarin nyusahin orang. Tapi entah lah kali ini.""Maafin Laras Bu.""Yasudah. Ibu tutup dulu ya. Jangan lupa shalat Ras. Assalamualaikum.""Iya Bu. Wa'alaikum salam.""Ras, kamu tidur dikamar sebelah Ibu ya. Yuk, udah malam!" ajak Bu Rina. "Iya Bu."Aku berbaring dikasur. Mencoba memejamkan mata tapi tak junjung terpejam. Tok...tok... tok"Ras, udah tidur belum? Ini Ibu.""Belum Bu.
Setelah kepergian Mas Ifan, kuperhatikan raut wajah kedua calon mertuaku yang semakin lama semakin memucat. Entah apa yang mereka takutkan, tapi bagiku semuanya seperti biasa saja. "Ras, kamu benaran yakin melanjutkan acara ini?" Pak Alex memecah keheningan. "Ia Pak. Bapak tanya berkali-kali lagi pun jawaban ku tetap sama.""Trus kamu apa gak mikirin orang tua kamu Ras? Pernikahan itu kalau bisa sekali seumur hidup. Kamu kayak gini gak ada harga dirinya loh Ras. Bisa saya bayangkan gimana perasaan orangtua kamu. Ibu kamu seorang pendidik tapi kamu malah seperti ini Ras. Apalagi Bapak kamu, punya harga diri yang sangat tinggi. Ga bisa dijengkali orang.""Iya Pak. Laras tau. Tapi gimana Pak, Laras udah sampai disini.""Nahh, Laras kenapa bisa sampai dikampung ini? Laras udah berapa kali kesini?""Dua kali Pak. Pertama kami langsung pulang hari. Dan ini kali kedua.""Ifan udah pernah ketemu orang tua kamu?""Belum Pak."Pak Alex menarik nafas panjang. "Kalau belum pernah, kenapa kamu
Pov Ifan 2Pada akhirnya Laras memilih tidak pulang dan pernikahan kami tetap akan dilangsungkan. Aku menghampiri Bapak yang duduk diteras dengan kopi dan rokoknya. "Fan, kamu yakin akan menikah secepat ini? Kamu baru 19 tahun loh!" Bapak membuka percakapan. "Tidak ada larangan toh Pak mau nikah di usia berapa. Yang penting udah cukup umur.""Nikah itu bukan sekedar tidur bersama dan makan bersama Fan. Nikah dan pacaran itu perbedaannya seratus persen. Ini ceritanya kamu melarikan anak orang. Kamu udah mikirin resiko yang akan kamu hadapi?"Bapak menatapku tajam. Tak mau kalah, kutatap balik Bapakku. "Lalu, kenapa Bapak selipkan serbuk itu di tas Ifan?""Bapak hanya tak habis pikir aja dengan mu Fan. Kenapa secepat itu kamu gunakan? Udah hamil berapa bulan Laras?""Kenapa Bapak malah menyalahkanku? kalau serbuk itu tidak ada ini semua tak akan terjadi Pak. Sadar ga ini semua akibat perbuatan Bapak!"Kusadari, ternyata Bapakku juga seorang pengecut. Aku masuk ke kamarku dengan mem
Pov IfanSetelah aku tamat SMK, aku langsung merantau ke ibukota. Jika tetap tinggal di desa ini, aku tidak bisa memanfaatkan ijazahku yang walaupun hanya tamat SMK. Mencoba peruntungan, bagaimanapun lebih bagus di kota dari pada di desa. "Doain Ifan ya Bu, Pak!" ucapku sambil mencium telapak tangan Ibu Bapakku. Tampak Ibu menitikkan air mata. Tak butuh waktu lama, aku bekerja sebagai mekanik, bermodalkan ijazah SMK ku. Tak lepas dari campur tangan seorang kenalan yang berasal dari desa yang sama. ***Larasati namanya. Gadis polos yang berhasil mencuri hatiku pada pandangan pertama. Selain cantik, dia terlihat baik dan juga solehah. "Mbak orang sini ya!" tanyaku ketika tak sengaja kami berpapasan. "Bukan Mas. Saya orang Sumatera.""Ohh orang Sumatera!" Aku hendak melanjutkan percakapan kami tapi Laras sudah berlalu. Tiga hari kemudian kami tak sengaja berpapasan lagi. "Mbak namanya siapa?" Tanyaku lagi. "Laras Mas.""Sumatera mana Mbak asalnya?""Sumatera Utara Mas. Kenapa ya